BAD BUDDY SERIES (Hanya Teman)

By diadjani

26.8K 1.6K 37

"Kisah tentang dua orang yang tidak pernah bisa menjadi teman, menjadi dua orang yang tidak pernah bisa menja... More

EP.1 | Part 1
EP.1 | Part 2
EP.1 | Part 3
EP.1 | Part 4
EP.2 | Part 1
EP.2 | Part 2
EP.2 | Part 3
EP.2 | Part 4
EP.3 | Part 1
EP.3 | Part 2
EP.3 | Part 4
EP.4 | Part 1
EP.4 | Part 2
EP.4 | Part 3
EP.4 | Part 4
EP.5 | Part 1
EP.5 | Part 2
EP.5 | Part 3
EP.5 | Part 4
EP.6 | Part 1
EP.6 | Part 2
EP.6 | Part 3
EP.6 | Part 4
EP.7 | Part 1
EP.7 | Part 2
EP.7 | Part 3
EP.7 | Part 4
EP.8 | Part 1
EP.8 | Part 2
EP.8 | Part 3
EP.8 | Part 4
EP.9 | Part 1
EP.9 | Part 2
EP.9 | Part 3
EP.9 | Part 4
EP.10 | Part 1
EP.10 | Part 2
EP.10 | Part 3
EP.10 | Part 4
EP.11 | Part 1
EP.11 | Part 2
EP.11 | Part 3
EP.11 | Part 4
EP.12 | Part 1
EP.12 | Part 2
EP.12 | Part 3
EP.12 | Part 4

EP.3 | Part 3

322 32 0
By diadjani


"Pak, kami memiliki satu konsep lagi untuk diusulkan." Pran sama sekali tak mengerti apa yang sedang direncanakan oleh Pat dengan berkata memiliki satu konsep lagi. Mereka tak pernah membicarakan konsep apapun selain yang sudah Pran presentasikan sebelumnya. Dengan wajah bingung Pran kembali duduk dan memberikan Pat ruang untuk presentasi.

"Mari kita dengarkan." Kata pimpinan perwakilan pihak Logtech ramah.

"Sebenarnya saya mendengar bahwa kalian tertarik dengan proyek ramah lingkungan, benar kan?" Pat memulai dengan sangat tenang. "Bagaimana kalau kita mengubahnya menjadi halte bus ramah lingkungan 100%? Kami bisa menggunakan bahan daur ulang dan tenaga surya. Apakah itu akan lebih menarik?"

Keempat orang pihak Logtech tampak mulai tertarik mendengar penjelasan Pat. Mereka saling berpandangan dan semakin memperhatikan Pat dengan seksama.

"Dan juga, jika proyek ini dikabulkan, halte ini akan tersebar di seluruh institusi kami. Orang-orang yang lewat akan melihatnya, dan kalian semua kan memiliki kesempatan untuk mengiklankan Perusahaan Logtech." Pat menyelesaikan kalimatnya dengan sempurna, membuat pihak Logtech mengangguk-angguk dan saling tersenyum.

Senyum itu bahkan menular ke wajah Pran. Ia tak menyangka Pat bisa menyelamatkan presentasi mereka hari ini.

***

"Sudah kubilang aku adalah jimat keberuntunganmu." Kata Pat penuh percaya diri ketika mereka masuk ke lift untuk kembali turun ke lobby.

Pran tak menyangkal, karena faktanya memang Pat baru saja menjadi keberuntungannya. "Lalu, kau tahu dari mana kalau mereka mendukung proyek ramah lingkungan?"

Pat mendekatkan dirinya ke tempat Pran berdiri dan membawa pemuda itu hingga bersandar pada dinding lift.

"Apa?" Tanya Pran tak mengerti.

Diraihnya bagian belakang kepala Pran dan diputar ke arah poster yang menempel di dinding lift. "Nih! Lihatlah." Tegas Pat kemudian mundur kembali ke tempatnya semula.

Pran lalu membaca isi poster yang berbunyi, Logitech. Please join us, Ecolife, safe the planet.

"Hemmh. Kau anjing yang pintar juga, ya." Kata Pran kemudian.

"Kau harus belajar untuk melihat apa yang ada di sekitar. Aku lihat, kau selalu melihatku." Kata-kata Pat sukses melenyapkan senyum di bibir Pran. Pat lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Pran dan berkata sangat perlahan. "Cari masalah dengan menghinaku dengan memanggilku anjing dan kutukan."

Tapi Pran malah mencibir. "Lagian itu benar, kok."

Keduanya terjebak dalam keheningan selama beberapa saat lalu saling berpandangan.

"Terus, kau mau pergi kemana sekarang?" Tanya Pat memecah keheningan.

"Rumah." Jawab Pran singkat.

"Ya ampun, jadi kau akan membuangku setelah aku membantumu?" Pran hanya menanggapi dengan senyum. "Ayo temani aku, ya?"

"Kemana?"

Bukannya menjawab Pat malah menyunggingkan senyum tanpa melihat Pran.

"Kenapa kau senyum-senyum?!" Pran berseru cukup tegas sehingga membuat Pat melihat wajahnya. Mereka lalu terkekeh bersama.

Pat mengajak Pran ke Mall The Promenade yang terletak di jantung kota Bangkok untuk melihat-lihat alat musik. Pat sangat yakin Pran menyukainya.

"Hei, ayo kemari!" Ajak Pat dengan setengah berlari memasuki toko alat musik. "Toko ini, begitu banyak alat musik untuk dipilih. Aku berharap aku bisa memainkannya." Kata Pat sambil menggerakkan tangannya bak orang bermain gitar.

Melihat tingkah Pat, Pran hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Halo, dek. Koleksi baru, baru saja tiba hari ini." Kata si penjual menunjukkan beberapa alat musik kepada Pat. "Beri tahu saya mana yang kamu inginkan. Kamu juga bisa melihat-lihat katalog kami dan melakukan pre-order."

"Tentu. Terima kasih banyak," jawab Pat sopan.

Dung. Dung. Dung. Pat mulai mencoba menabuh beberapa drum yang membuat Pran menoleh ke arahnya.

"Jika aku memiliki satu set drum ini di asrama, apakah tetangga akan mencaciku?"

"Entahlah. Tapi yang jelas, seseorang di kamar seberang benar-benar akan melakukannya." Kata Pran tegas. Ia lalu mengeluarkan salah satu tangan dari saku celananya dan menyentuk set drum elektronik. "Kenapa kau tidak membeli yang elektronik saja? Ini tidak memakan tempat dan tidak berisik juga."

Mendengar saran Pran, Pat segera menghampiri dan melihat label harga yang tertera di sana. "Mahal." Sahutnya kemudian. "Eh, tapi... Bukan aku juga sih yang bayar." Pat terkekeh. "Papaku yang akan membelikannya untuk merayakan gelar ketua kelasku."

"Keluargamu santai juga, ya." Komentar Pran sambil berjalan melewati Pat menuju kea rah display gitar. Pat sangat memahami apa yang Pran maksud.

"Hei. Kau pun bukannya sudah memiliki gitar?"

"Um. Aku punya satu tapi sudah hilang. Mungkin sudah dimakan rayap."

Pat sedikit menyeringai. "Kalau begitu, kau latihan pakai punya siapa?"

"Wai meminjamkan miliknya. Tapi, itu tidak seperti yang aku punya dulu. Yang waktu itu aku menabung dan membelinya sendiri."

Pat terdiam sejenak sebelum melanjutkan percakapan. "Kenapa kau tidak mencoba mencarinya dulu? Mungkin saja masih ada di suatu tempat."

"Lupakan saja. Pertarungan terakhir itu mungkin sudah membuat kita dikeluarkan dari kontesnya." Kata Pran mengingatkan. "Kau dan aku mungkin tidak bisa mengikuti kontes musiknya bersama.

"Ketika kau mengikuti kontes denganku, kau menganggapnya sangat serius."

"Ya..." Pran terdiam sejenak lalu menggelengkan kepalanya, ia tak meneruskan kalimatnya. Pat pun hanya tersenyum dan memalingkan pandangan ke arah luar toko saat matanya menangkap sosok yang dikenalnya.

"Hei! Ayo sembunyi." Pat segera menarik tangan Pran mencari tempat untuk berlindung.

"Sayang, bisakah aku membeli gitar baru?" Sosok itu sedang bertanya kepada istrinya.

"Yang mana? Yang itu?" Sang istri bertanya sambil menunjuk salah satu gitar yang tergantung di toko.

Sementara di balik speaker musik, Pat dan Pran sedang merunduk bersembunyi. "Apaan?" Pran yang belum mengerti masih bertanya.

"Bang Chai ada di sini." Bisik Pat dari belakang Pran. Bang Chai adalah mantan pegawai keluarga Pat yang pindah bekerja di tempat keluarga Pran. Sejauh yang Pat dan Pran tahu, ia lah penyebab perselisihan antara keluarga Pat dengan keluarga Pran. Itulah mengapa mereka harus bersembunyi, karena mereka berdua tidak boleh terlihat bersama. Akah gawat jika keluarga Pat dan Pran tahu tentang ini.

"Yang mana?"

"Yang itu."

"Ayo pergi saja, kita sudah membahas hal ini." Istri bang Chai menarik lengan suaminya untuk pergi meninggalkan toko musik.

"Kau bisa geseran sekarang." Kata Pran yang melihat bang Chai dan istrinya baru saja pergi.

"Geser apa? Aku tidak bisa, dia mungkin bisa melihatku." Pat masih menempel dengan Pran.

"Bukan itu, maksudku kau bisa bergeser sedikit. Kau terlalu dekat sekarang."

Pat lalu mulai menegakkan tubuhnya dengan perlahan mengintip ke arah luar toko. Sial. Bang Chai telah kembali. "Dia masih di sana." Pat cepat-cepat menunduk kembali.

"Aku tahu kamu menyukainya. Tapi kita sudah membahas ini, jangan membelinya." Sang istri kembali mengingatkan sambil menggandeng tangan suaminya besiap menarik pergi. "Ayo, pergi saja."

Sambil sesekali melihat ke arah dalam, Bang Chai menuruti istrinya untuk meninggalkan toko musik tempat Pat dan Pran sedang bersembunyi.

"Bang Chai sudah pergi." Kata Pran kemudian. Posisi Pat seperti sedang memeluknya dari samping dan meletakkan wajahnya di belakang kepala Pran. "Kau bisa berdiri sekarang."

Tak mengindahkan perkataan Pran, Pat justru mulai mengenduskan hidungnya.

"Apa lagi sekarang?"

"Kau harum." Pat mengendus punggung Pran sekarang. "Baumu benar-benar sangat harum. Aku suka."

Pran yang mendengar pujian itu merasa aneh dan terdiam. Ia sama sekali tidak menoleh.

"Cucikan bajuku, dong." Kata Pat kemudian.

Pran tak lagi ingin meladeni pemuda itu. Dihantamnya Pat dengan sikunya hingga jatuh terduduk ke lantai.

"Kau psiko, ya? Aku tidak harum, kau saja yang bau. Mandi kek." Pran mengomel sambil mengenakan tas di pundaknya lalu melangkah keluar toko.

"Yang benar?" Masih terduduk di lantai, Pat mengangkat satu tangannya ke atas, sementara tangan yang lainnya memegangi ketiak dan menciumnya.

***

Malam ini Pran harus kembali ke kampus. Ia duduk bersila di depan halte bus yang hancur akibat ulah kelompoknya dan kelompok Pat tempo hari. Di tangannya sudah tebentang sebuah kertas sketsa dan pensil. Pran ingin mulai membuat design halte bus baru. Ia membuat bentuk kotak dengan menyatukan jari telunjuk dan jempol dari kedua tangannya ke arah halte.

"Baa!" Bukannya bentuk halte yang muncul di kotak itu melainkan wajah Pat yang miring lengkap dengan senyum andalan menyebalkan yang begitu Pran kenal.

"Hoi!" Seru Pran terperanjat.

"Apa yang kau lakukan?"

"Nyuci baju." Jawab Pran dengan sarkastik.

Pat meletakkan kedua tangannya di pinggang, menoleh ke kanan dan ke kiri. "Tidak ada orang di sini. Kau bisa berbicara denganku baik-baik, kali."

Pran lalu memeriksa keadaan sekitar depan mata kepalanya sendiri sebelum memperbaiki nada bicaranya kepada Pat. "Ada apa?"

"Kau tuh, tidak membalas Line-ku." Kata Pat menghampiri dan duduk di samping Pran. "Kau tidak ada di asramamu. Itu sebabnya aku mencarimu kemari."

"Aku akan membalas jika itu ada urusannya dengan bisnis." Kata Pran datar.

"Tidak bisakah kita mengobrol saja?"

Pran tidak menjawab, ia berpaling dari tatapan Pat dan kembali melempar pandangannya pada sketsa di tangannya.

"Dengan teman-temanmu, apakah kau sama kerasnya seperti denganku?"

Pran akhirnya menengadah memandang Pat. "Kalau itu teman-temanku, aku tidak akan terlalu keras."

"Maaf kalau begitu, aku bukan temanmu." Ada nada kecewa dari nada Pat bicara.

"Lah, itu kau sudah tahu faktanya. Sekarang kau bisa pergi." Ujar Pran tak berperasaan.

Pat menghela nafas dan mendekatkan dirinya melihat sketsa yang Pran buat. "Seriusan, kau benar-benar ingin aku pergi? Kau sudah melihatnya cukup lama, tapi tidak membuat garis apapun."

"Eh. Insinyur sepertimu tuh cuma menandatangani dan menyetujui designnya. Kau tidak akan tahu betapa sulitnya menjadi kreatif."

Pat menyunggingkan senyum miringnya lagi. "Insinyur mungkin tidak kreatif. Tapi kami benar-benar menyelesaikan sesuatu, hal-hal yang praktis." Pat berkata sambil berdiri kali ini. "Jika kau tidak percaya, bangunlah."

Pat mengulurkan tangan kanannya untuk membantu Pran berdiri. "Apa?" Pran tidak beranjak dari duduknya.

"Bangun."

Dengan sedikit ragu Pran menerima uluran tangan Pat dan bangkit berdiri.

"Kau tidak akan bisa hanya duduk dan membayangkannya. Kau harus menggunakan seseorang yang benar-benar menggunakannya. Mari kita lakukan saja. Katakanlah kita berteman."

Pat baru saja akan mengutarakan rencananya ketika Pran memotong dengan tegas. "Tidak."

"Kalau begitu jadi pacarku."

"Hah?"

"Ya, jadi pacar. Jadi mendapatkan perspektif yang berbeda."

Kali ini Pran tidak menyela. Membiarkan Pat melanjutkan kalimatnya.

"Begini saja kalau begitu. Katakanlah aku seorang cowok seksi Teknik, dan kau seorang cewek seksi Arsitektur. Lalu kita berdua pacarana, dan..." Pat mulai berlari kea rah halte bus. "Berlari mencari perlindungan dari hujan dan menunggu untuk naik bus."

"Aku tidak mau bermain." Tegas Pran keras kepala.

"Aku lagi membahas bisnis denganmu, loh, ini." Pat bertolak pinggang kali ini. "Sayang..." Ia lalu mengulurkan tangan kanannya kepada Pran.

Pran menghela nafas dan mulai berjalan mendekat. Kedua tangannya memegang sketsa dan pulpen di belakang pinggangnya. "Terus kenapa aku yang harus jadi cewek? Kau sajalah."

"Kenapa kau begitu pilih-pilih, sih?" Tanya Pat gemas. "Yasudah begini saja. Katakanlah kita berdua cowok seksi dan kita pacaran."

Pran tidak merespon, hanya memandang Pat tanpa sepatah katapun.

"Kau suaminya dan aku istrinya. Oke?" Pat akhirnya mengalah.

Tapi Pran malah terkekeh. "Istri apa yang begitu macho sepertimu?"

Pat berjalan mengambil tas Pran yang tergeletak di tanah dan meletakkannya di pundak. Ia lalu mulai memainkan perannya sebagai istri. "Sayang... Aku mulai basah semua, nih. Hujannya begitu deras." Kata Pat berlari mendekati Pran dengan menirukan gaya dan suara perempuan.

Pran mulai tersenyum melihat tingkah Pat.

"Astaga. Bajuku transparan sekali." Kali ini Pat menyilangkan kedua tangannya di dada. "Apa yang harus aku lakukan, sayang?"

Pran terkekeh sejenak lalu turut memainkan perannya sebagai suami. "Ah, ada halte bus tuh di sana. Haruskah kita menggunakannya sebagai tempat berlindung?"

Pat mengangguk dan mengikuti langkah Pran kea rah halte bus yang rusak.

"Kalau begitu atapnya harus setinggi ini dan melengkung." Pran mulai menggerakkan tangannya membayangkan ketinggian atap. "Itu akan membantu menghalangi hujannya." Usai menyelesaikan kalimatnya, Pran segera menggoreskan pensil sketsanya.

"Sayang, hujannya baru saja berhenti. Tapi sekarang mataharinya terang sekali." Pat mulai memainkan perannya sebagai seorang istri kembali. "Kulitku terbakar."

Pran mulai berpindah posisi dan mengira-ngira. "Eh, kita harus memiliki sel surya juga. Ini akan menghasilkan daya untuk digunakan di malam hari. Untuk kipas, CCTV, dan tanda-tanda elektronik." Pran mulai menambahkan sketsanya lagi.

"Sayang, nih. Kamu hanya peduli dengan halte busnya. Kamu tidak peduli denganku. Aku ngambek sekarang." Rengek Pat dengan manja.

Pran melihat-lihat sekitar lalu merunduk bak memetik bunga dan memberikannya kepada Pat. "Ah. Ini bunga bangkai untuk seseorang yang sangat cantik."

Pat menggertakkan giginya. "Bunga, Bapakmu! Jadi ada bunga yang tumbuh di sekitar halte ini juga?"

"Lah, ini kan halte bus ramah lingkungan. Bunga enak dilihat, dan mereka menemani orang sambil menunggu bus."

"Terus, siapa yang akan merawatnya?"

"Ya..." Pran menoleh ke kanan kiri lagi sambil berpikir. "Ah, kita akan memiliki keran di sini dan pipa pembuangannya akan diarahkan ke bunga-bunganya. Begitulah cara kita menyiraminya." Pran sangat puas akan ide yang ditemukannya dan segera membuat beberapa sketsa lagi.

"Tapi aku haus sekarang." Rengek Pat minta perhatian.

"Itu dia, minum saja dari pembuangannya." Jawab Pran asal.

"Aku serius." Kali ini Pat bicara dengan suara normal. "Membuat suara seperti cewek membuat tenggorokanku sakit."

Pran lalu meraih tas miliknya dari pundah Pat dan mengambil sebotol the hijau rasa buah dari sana. "Nih."

Tapi Pat tidak mengambil minuman yang diulurkan tangan Pran. "Bisakah kau membukanya untukku, sayang?"

"Bangsat. Kau masih jadi cewek seksi Teknik, nih?"

"Ya ampun, sayang. Aku membantumu menemukan beberapa ide, loh, di sini."

"Ya udah. Aku akan membukanya untukmu, sayang." Pran mulai membuka tutup botol minuman di tangannya. "Biarkan aku menyapimu, sayang."

Pat mengangguk kegirangan dan mulai menyesap isi botol minuman dari tangan Pran.

"Bukankah itu menyegarkan, sayang?"

Pat mengangguk ketagihan. "Lagi, dong."

"Tentu saja." Pran mulai menyuapinya lagi, tapi kali ini ide usinya mulai muncul. Diangkatnya botol minuman itu lebih tinggi hingga airnya meluncur ke hidung Pat dan mengalir ke dagunya.

"Apakah kamu suka itu, sayang?" Pran lalu menggodanya dengan puas.

Pat tak mau kalah mulai memamerkan senyum dengan maksud tersembunyi. "Aku sangat menyukainya, sayang!" Ia lalu berlari ke arah Pran dan mengusapkan hidung dan dagunya yang basah ke baju Pran.

"Tidak. Tidak. Tidak. Itu lengket." Pran berusaha melepaskan cengkeraman Pat yang sudah menempel ke tubuhnya. "Pat! Lepas!"

Keduanya mulai berjekaran mengelilingi halte bus yang rusak.

"Pat. Pat. Pat. Pat."

"Kenapa larimu begitu cepat, sayang?"

"Aku seorang pemain Rugby!"

Pat tak mau berhenti mengejar.

"Pat, tidak mau!"

Setelah berlari beberapa kali putaran, Pran akhirnya menyerah dan menjatuhkan dirinya ke tanah. Pat pun ikut berbaring di sisinya. Keduanya tertawa terengah-engah sambil saling mengatur nafas.

"Apa yang kau lihat? Sialan." Pran mengumpat ketika mendapati Pat sedang memandangnya.

"Melihat sialan, lah."

"Kau tuh yang sialan."

Pat terkekeh. "Kau menyukainya tidak? Halte bus barunya." Tanya Pat sambil menghadap ke langit.

"Ya, aku suka. Tapi aku hanya tidak yakin apakah mereka akan menyukainya juga atau tidak." Pran juga sedang memandangi langit malam.

"Mereka akan menyukainya." Pat melihat Pran lagi.

Pran lalu balas memandangnya.

"Umm.. Sayangku sangat pintar." Kata Pat menggoyang-goyangkan dagu Pran dengan tangannya.

"Bangsat, sudah berhentilah." Pran menepis tangan Pat dari dagunya. "Kau membuatku merinding. Tidak mau!"

"Sayangku adalah yang terbaik!" Pat masih terus menggoda Pran.

Sementara Pran pun terus mengumpat. "Sial. Suara femininmu tidak cocok dengan tubuh sebesar itu, bangsat!"

***

"Kami semua setuju untuk mensponsori proyek ini. Siapkan dokumen dan kirimkan kepada kami untuk ditanda-tangani."

"Sudah kubilang, aku adalah jimat keberuntunganmu." Bisik Pat keesokan harinya setelah pihak Logtech akhirnya menerima hasil desain yang ia dan Pran presentasikan.

"Tapi kabar buruknya adalah biayanya sedikit terlalu tinggi. Kami hanya dapat mensponsori setengah dari apa yang kalian usulkan." Kata pimpinan perwakilan pihak Logtech memutuskan.

***

"Hei." Di pelataran Logtech Pat sedang memanggili Pran yang berjalan cukup cepat. "Hei."

"Apa?" Sahut Pran menoleh.

"Haruskan kita pergi melihat-lihat gitar?"

"Nggak lah, kau pergi sendiri saja." Tolak Pran bersiap untuk meninggalkan Pat.

"Tunggu." Pran pun berbalik melihatnya. "Aku pikir kita bisa cukup menggunakan bahan berkualitas rendah saja. Mereka tidak akan tahu."

"Bukan waktu yang tepat untuk bercanda."

"Terus kenapa kau sebegitu seriusnya? Ini bukan masalah besar. Kau akan segera menemukan jalan keluarnya."

"Bukan masalah besar?"

"Iya."

"Tentu saja. Kau bisa mengatakan itu. Tapi jika kami tidak mendapatkan uangnya tepat waktu, teman-temanku yang akan diskors. Mereka bahkan bukan yang memulai pertarungan ini."

"Kalau begitu siapa? Aku?" Pat bertanya kepada angin, karena Pran sudah meninggalkannya.


Bersambung...

Continue Reading

You'll Also Like

697K 3K 12
Hts dengan om-om? bukan hanya sekedar chatan pada malam hari, namun mereka sampai tinggal bersama tanpa ada hubungan yang jelas. 🔛🔝 my storys by m...
60.1K 4.8K 25
[After Boyfriend] "Tolong kembali dengan perasaan yang sama seperti dulu dan buat akhir yang bahagia" -Prem Warut Chawalitrujiwong bxb🌈 Ps : Harap m...
1.7M 56.4K 69
Cinta atau Obsesi? Siapa sangka, Kebaikan dan ketulusan hati, ternyata malah mengantarkannya pada gerbang kesengsaraan, dan harus terjebak Di dalam n...
4M 124K 87
WARNING ⚠ (21+) 🔞 𝑩𝒆𝒓𝒄𝒆𝒓𝒊𝒕𝒂 𝒕𝒆𝒏𝒕𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒘𝒂𝒏𝒊𝒕𝒂 𝒚𝒈 𝒃𝒆𝒓𝒑𝒊𝒏𝒅𝒂𝒉 𝒌𝒆 𝒕𝒖𝒃𝒖𝒉 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒍𝒂𝒊𝒏 𝒅𝒂𝒏 �...