DARI BALIK KELAMBU

By niken_arum

355K 75.1K 10.1K

Angger Liveni Pananggalih itu dokter muda berdarah ningrat. Orang bilang dia tinggal di dalam tembok. Tembok... More

Prolog
Satu PROSA
Dua KERATON
Tiga PROSA DAN BURUNG KERTAS
Empat PEMUDA BERNAMA ANGGER PANANGGALIH
Lima PEMUDA NINGRAT
Enam JANJI
Tujuh DUA SISI HATI
Delapan BERTEMU LAGI
Sembilan MENANDAI
Sepuluh KEBENARAN
Sebelas RAHASIA
Dua belas RANTAI
Tiga belas KEMBALI
Empat belas JIWA YANG SAKIT
Lima belas DICULIK
Enam belas KEHILANGAN
Tujuh belas GADUH
Delapan belas PERGI
Sembilan belas DIAM
Dua puluh VERSAILLES
Dua puluh satu AWALAN MIMPI BURUK
Dua puluh dua ROMANTISME YANG ANEH
Dua puluh tiga PULANG
Dua puluh empat KALAP
Dua puluh lima DARI BALIK KELAMBU
Dua puluh enam IBU MERTUA DAN RAHASIANYA
Dua puluh tujuh HATI YANG BERCABANG
Dua puluh delapan LAKON SANDIWARA
Dua puluh sembilan RUMAH PENUH KEBOHONGAN
Tiga puluh HAL ANEH
Tiga puluh satu RUMAH SAKIT JIWA
Tiga puluh dua JANUR MELENGKUNG
Tiga puluh tiga SILSILAH YANG RUMIT
Tiga puluh empat AROMA MAYAT
Tiga puluh lima RAMBUT YANG SUDAH TERURAI
Tiga puluh enam TENTANG MASA LALU
Tiga puluh tujuh KUNCI
Tiga Puluh Delapan PERJODOHAN GHAIB
Tiga Puluh Sembilan PRIA BERNAMA BANYU BIRU
Empat Puluh SALAH MENGERTI
Empat Puluh Satu UNDANGAN
Empat Puluh Dua ABU-ABU
Empat Puluh Tiga KECURIGAAN
Empat Puluh Empat PEMAKAMAN
Empat Puluh Lima WASIAT DALAM BUKU CATATAN
Empat Puluh Enam MISTIS
Empat Puluh Tujuh PENGAKUAN
Empat Puluh Delapan RAHASIA TENTANG ARSENIK
Empat Puluh Sembilan RUANG DAN WAKTU
Lima Puluh SARUNG TANGAN ISTIMEWA
Lima Puluh Satu BUNGKAM
Lima Puluh Dua CINTA ITU BENAR BUTA ADANYA
Lima Puluh Tiga MELAMAR ANGGER
Lima Puluh Empat MENIKAH DAN TEORINYA
Lima Puluh Lima HARI PENUH RAHASIA
Lima Puluh Enam TIDAK HARUS SEDARAH UNTUK DISEBUT SAUDARA
Lima Puluh Tujuh GEMINTANG DAN AKSINYA
Lima Puluh Delapan JEJAK MASA LALU
Lima Puluh Sembilan DRAMA TIADA AKHIR
Enam Puluh SANATORIUM
Enam Puluh Satu BU DOSEN LARASATI
Enam Puluh Dua INI BUKAN TENTANG CEMBURU
Enam Puluh Tiga BU DOSEN DAN RAHASIANYA
Enam Puluh Empat BONEKA JERAMI
Enam Puluh Lima KABAR GEMBIRA
Enam Puluh Enam PENOLAKAN
Enam Puluh Tujuh BU DOSEN DAN MASA LALU
Enam Puluh Delapan KETEMPELAN
Enam Puluh Sembilan ANTARA MENANTU DAN MERTUA
Tujuh Puluh CEMBURU
Tujuh Puluh Satu DETEKTIF DADAKAN
Tujuh Puluh Dua TANAH KUBURAN
Tujuh Puluh Tiga SANDI MORSE
Tujuh Puluh Empat KABUR
Tujuh Puluh Lima KEJAHATAN SEPANJANG MASA
Tujuh Puluh Enam JANGAN MENYERAHKAN HATI SEPENUHNYA PADA PRIA
Tujuh Puluh Tujuh KEJADIAN MISTERIUS
Tujuh Puluh Delapan PRIA MISTERIUS
Tujuh Puluh Sembilan PENGGANGGU RUMAH
Delapan Puluh DI AMBANG PUTUS ASA
Delapan Puluh Satu KASIH SAYANG YANG SALAH
Delapan Puluh Dua RAHASIA BAPAK
Delapan Puluh Tiga LELAH
Delapan Puluh Empat KEBAYA HITAM
Delapan Puluh Lima RAPI, KLIMIS, BUAYA
Delapan Puluh Enam TARIK JIN
Delapan Puluh Tujuh MONOKROM HITAM PUTIH
Delapan Puluh Delapan PENGACARA MENCURIGAKAN
Delapan Puluh Sembilan KIRANI, ANEH
Sembilan Puluh PEWARIS YANG ABSURD
Sembilan Puluh Satu BANASPATI
Sembilan Puluh Dua DALANG DAN WAYANGNYA
Sembilan Puluh Tiga KIRANI DICULIK?
Sembilan Puluh Empat TEKA TEKI MAYAT DI SUNGAI OPAK

Sembilan Puluh Lima MAYAT DENGAN LABEL B196

3.6K 707 197
By niken_arum

*
Lorong rumah sakit yang lengang itu ibarat makanan sehari-hari. A daily basis kalau orang luar bilang.

Gemintang memasukkan kedua tangan ke saku jaketnya dan menunggu Angger yang sedang berbicara dengan kepala penyidik dan seseorang dari bagian forensik rumah sakit.

Gemintang menyandarkan tubuhnya ke dinding dan menunduk. Sebuah pemikiran menggelitik hatinya. Tentang banyaknya sineas Indonesia yang sering sekali melakukan kesalahan saat menggambarkan suasana menjelang pengidentifikasian jenazah. Orang-orang datang langsung menerobos untuk melihat apa yang perlu dilihat? Itu hanya ada di film dan sinetron. Indonesia.

Kenyataannya tidak begitu. Banyak prosedur yang harus dipenuhi sebelum seseorang bisa masuk ke ruang penyimpanan jenazah sebuah rumah sakit. Mereka harus mengisi daftar hadir, menerima penjelasan dari kepolisian, orang-orang dengan terkait ruang penyimpanan jenazah dan bila diperlukan, pendampingan secara psikologis dari pihak rumah sakit. Dan mereka juga harus memenuhi protokol memasuki ruang penyimpanan jenazah seperti membersihkan tangan dan memakai baju khusus.

Gemintang mendongak dan seketika lamunan tidak pentingnya terputus. Dia melihat Galih dan Wiji muncul dari belokan lorong. Mbak Wiji menyedekapkan tangan dan menghampirinya.

"Gimana, Mi?"

"Sebentar lagi, Mbak." Gemintang menunjuk Angger dengan pandangan matanya. Mbak Wiji ikut menyandarkan tubuhnya ke dinding dan meletakkan kepalanya ke bahu Gemintang. Jelas sekali dia gelisah dan menatap suaminya yang sudah bergabung dengan Angger.

"Ayo Mbak." Gemintang menyenggol bahu Mbak Wiji ketika sudah mendapat kode dari Angger. Mbak Wiji menegakkan tubuhnya dan termangu.

Langkah Gemintang terhenti ketika Mbak Wiji justru menahan lengannya. "Mi, kalau benar itu Kirani...gimana?"

"Kita tidak akan tahu kalau belum memeriksanya, Mbak. Tenang dulu ya. Kalau misal sekiranya ga kuat, Mbak Wiji tunggu di sini. Gimana?"

Mbak Wiji menggeleng. Dia meraih tangan Gemintang dan mereka berjalan menghampiri Angger dan Galih. Seorang perawat ruang penyimpanan jenazah mendorong sebuah pintu baja di depan mereka. Pintu itu berderit menimbulkan suara yang memilukan.

Mereka mencuci tangan secara bergantian. Gemintang lalu membantu Mbak Wiji memakai sebuah baju yang seperti sebuah plastik transparan. Mereka berjalan lagi di sepanjang lorong dan sampai di depan sebuah pintu lagi.

Perawat tadi kembali mendorong pintu yang terlihat lebih berat itu. Tidak ada derit apapun. Semua orang seperti serempak merapatkan masker mereka dan masuk satu persatu. Tidak ada satupun yang berbicara. Semua mata tertuju pada deretan lemari pendingin di ruangan itu. Pelat besi yang dingin. Entah berapa yang terisi oleh jenazah yang menunggu keluarga mereka.

Sekali lagi, dokter forensik yang membantu mereka, menjelaskan bahwa kondisi mayat wanita itu sudah sangat rusak.

Gemintang meremas tangan Mbak Wiji yang terlihat menggeleng. Wanita itu terlihat menahan napas. Gemintang berbisik menenangkan.

Suara berderit pelat besi yang ditarik, seakan memakan waktu yang sangat lama. Semua mata tertuju pada pada sosok tertutup kain putih yang terlihat.

"Oh..." Galih segera menarik Wiji menjauh. Mereka berjalan ke sisi lain ruangan itu. Gemintang dan Angger menatap nanar mayat di depan mereka sambil mendengarkan dokter forensik berbicara. Keadaan mayat itu sangat mengenaskan. Bahkan Angger dan Gemintang harus mengeryit berulang kali untuk memperjelas pandangan mata mereka. Dan mereka menggeleng serempak. Mereka tidak bisa mengenali wajah rusak itu.

"Sepertinya seseorang sengaja merusak bagian jari tangan untuk menghilangkan sidik jari, Dokter Angger, Dokter Gemintang. Kita masih perlu menunggu hasil otopsi untuk memutuskan penyebab kematian dan status kematiannya. Apakah meninggal alami atau menjadi korban pembunuhan."

Angger mengangguk dan menarik Gemintang mundur. Bunyi pelat besi tertutup rapat kembali terdengar. Mayat dengan kode B196 itu kembali sendirian di dalam kotak pendingin. Mereka menuju tengah ruangan.

"Barang-barang yang menyertai mayat masih ada di sini jadi nanti bisa dibawa oleh pihak kepolisian untuk diselidiki. Sebelumnya, silahkan diperiksa apakah anda sekalian mengenali barang-barang itu."

Mereka mengerumuni sebuah meja dengan lapisan kaca tebal di atasnya. Perawat merunduk dan mengeluarkan sebuah plastik hitam berukuran besar dengan penanda kepemilikan barang-barang pada mayat yang ditemukan.

Perawat membuka plastik dan mengeluarkan beberapa plastik bening dengan zipper perekat.

"Mi. Itu...tas yang dibawa Kirani, Mi."

Gemintang mengatupkan mulutnya. Tangannya mengepal. Dia melirik Angger yang memakai sarung tangan yang diulurkan oleh dokter forensik. Galih menyugar rambutnya kencang saat Angger mulai ikut memeriksa tas-tas plastik di depan mereka. Angger belum mengeluarkan suara apapun.

"Bajunya juga, Mi. Itu baju Kirani." Wiji mulai menangis. Galih segera membawa istrinya keluar dari ruangan itu.

Plastik bening berjumlah 5 buah berisi beberapa item itu sekarang menjadi pusat perhatian Angger dan Gemintang. Sebuah tas kulit besar bermodel selempang, sepotong baju lengkap dengan baju dalam, sebuah cincin, gelang emas dan sepasang sepatu kets merk Converse berwarna abu-abu membisu di atas meja.

"Kami akan menunggu hasil otopsi, Dok."

Angger melepaskan sarung tangannya. Perawat dengan cekatan memasukkan kembali barang-barang kulit itu ke dalam plastik dan menyerahkan semuanya kepada kepala penyidik. Mereka keluar ruangan setelah membersihkan diri.

Kembali ke lorong sepi yang kesunyian segera terpecah suara ranjang dorong dari kejauhan. Angger membawa Gemintang yang terpaku, menepi ke dinding. Satu lagi sosok tanpa nyawa masuk ke ruangan dengan dua lapis pintu masuk itu. Gema suara roda ranjang dorong segera terdengar menyusuri lorong bagian dalam setelah melewati pintu baja bagian luar.

Angger menghampiri Mas nya. "Kita pulang Mas, Mbak."

"Itu terus gimana, Ngger?"

"Aku belum yakin, Mas. Kondisi mayat rusak secara menyeluruh. Ini mungkin akan makan waktu dan kita harus menunggu. Sabar."

"Masalah barang-barang itu, Ngger?"

"Itu bukti penguat. Tapi aku tetap butuh bukti dari otopsi, catatan gigi dan lain-lain untuk bisa yakin."

Semua terdiam. Gemintang mengajak Mbak Wiji berjalan. Langkah mereka gontai menyusuri lorong dan berbelok, meninggalkan Angger dan Galih yang menunggu pihak forensik dan kepolisian keluar.

Udara lembab menerpa. Suasana mendung menambah pilu suasana hati. Gemintang membimbing bahu Mbak Wiji yang luruh. Mereka keluar dari gedung pemulasaraan dan penyimpanan jenazah dan menyusuri lorong panjang di area terbuka menuju gedung lain rumah sakit itu.

Mereka akhirnya duduk di depan ruang administrasi. Tepat di sudut bangku-bangku tunggu. Suara televisi layar datar yang menempel di dinding terdengar. Berita sedang menayangkan situasi terkini erupsi Semeru yang terus berlanjut. Duka dengan rasa yang sama karena sebuah peristiwa yang berbeda.

Gemintang beranjak ke kafetaria lantai itu. Dia masuk dan membeli dua cup teh panas lalu membawanya lagi keluar. Gemintang mengulurkan satu cup ke arah Mbak Wiji. Mereka termenung berdiam diri mengabaikan lalu lalang orang di depan mereka.

*

Setiap detik seperti penantian setahun lamanya. Semua menunggu kabar selanjutnya dari pihak kepolisian dan rumah sakit. Angger tertahan di rumah sakit untuk melengkapi berkas. Dia baru pulang ke rumah menjelang sore dan langsung mandi.

"Kirani sama sekali tidak punya dental record, Mi."

Gemintang yang mengulurkan teh hangat ke arah Angger menghela napas pelan mendengar perkataan Angger itu.

"Berarti pemeriksaan sampel primer tidak bisa dong Mas?"

Angger mengangguk. "Anak itu tidak pernah sekalipun mendatangi dokter gigi. Aku pikir ibuk juga tidak pernah membawanya ke dokter gigi. Begitu juga yang merawatnya waktu kecil di Surakarta dulu. Aku sudah melacak semua."

Mereka menoleh ke arah Galih yang sudah segar dan ikut duduk bersama mereka di selasar belakang rumah.

"Terus gimana, Ngger?"

"Sebenarnya catatan lengkap untuk pembanding pemeriksaan post mortem dan catatan riwayat ante mortem dokter gigi dimana mayat pernah memeriksakan dirinya itu paling bagus untuk pengidentifikasian jenazah, Mas. Gigi punya struktur paling tahan lama dibanding dengan bagian tubuh lain. Dan karena Kirani tidak memilikinya, maka kita menunggu saja hasil otopsi dan pemeriksaan DNA."

"Dan itu butuh waktu yang tidak sebentar." Gemintang melanjutkan.
Dia meregangkan tubuhnya dan beranjak menyandarkan tubuhnya ke pilar selasar.

"Kirani atau bukan, pengajian diperpanjang saja, Mas. Sampai minggu depan. Sambil menunggu. Gimana?"

"Biar aku yang urus." Galih beranjak dan masuk ke rumah. Meninggalkan Gemintang yang kembali duduk di samping Angger. Angger segera memijat lengan Gemintang. "Istirahat, Mi."

"Ga papa, Mas."

"Tanganmu, gimana?"

Gemintang mengangkat tangan kirinya. "Sudah tidak apa-apa."

"Huum."

Mereka beranjak ketika melihat Banyu Biru yang memakai seragam dinas lengkap menghampiri mereka.

"Ngger, Simbah mau jalan sekarang. Jadi biar besok pagi-pagi bisa dibereskan semua."

"Baik, Mas. Aku lihat Pak Ndaru dulu."

Angger mengangguk dan berjalan menuju bangunan bilik para pekerja pria.

"Terima kasih, Mas."

"Kamu sebaiknya istirahat, Mi. Barusan aku ketemu Galih dan dengar semua. Ini akan makan waktu lama kan?"

"Huum. Iya Mas."

Banyu Biru menghela napas panjang. Gesture tubuhnya jelas merasa canggung saat hanya berdua saja dengan Gemintang.

"Mas."

Banyu Biru mendongak dan menetap Gemintang. "Ya?"

"Masalah makhluk itu bagaimana ya, Mas? Aku khawatir kalau muncul lagi dan membahayakan penghuni rumah ini."

Banyu Biru mengangguk-angguk. "Kita belum tahu akan seperti apa, Mi. Tapi aku usahakan pulang kerja untuk kemari. Sekalian pengajian dan kalau kalau dia muncul lagi. Sambil nunggu Simbah karena urusan jimat itu lebih mendesak."

Gemintang mengangguk mengerti. Dia baru saja akan bertanya pada Banyu Biru tentang mengapa banaspati yang terakhir dia lihat itu bisa berubah-ubah namun Gemintang mengurungkan niatnya karena Angger dan Pak Ndaru yang sudah rapi datang dari arah bangunan bilik.

"Sudah siap, Pak?"

"Sampun Mas Banyu."

"Monggo."

Mereka berjalan ke arah halaman depan di mana Mbah Margo dan Pak Samsuri sudah siap dengan mobil yang akan mengantar mereka ke Pandeglang.

Menjelang sore yang semakin mendung. Kain kain penghias tenda melambai ditiup angin yang cukup kencang. Mereka menatap mobil yang keluar perlahan dari kediaman Pananggalih.

"Aku balik kantor dulu dan ketemu beberapa orang. Selepas Maghrib nanti aku kemari lagi."

"Nggih, Mas. Matur nuwun."

Banyu Biru mengangguk dan berjalan ke arah mobilnya. "Kalau ada yang mendesak kabari aku, Ngger."

"Nggih, Mas."

Angger berdiri tegak sambil memasukkan kedua tangan ke saku celananya.

Dua buah mobil pick up masuk. Seperti hari-hari lalu, orang-orang dari katering dan bingkisan mulai berdatangan. Gemintang berbalik dan melangkah ke arah rumah.

"Mi. Itu ga diperiksa?"

Gemintang menoleh, Angger menunjuk pick up pick up yang mulai masuk ke halaman belakang melalui halaman samping.

"Emoh."

Gemintang kembali berbalik dan berjalan menuju rumah. Dia berhenti di teras dan menoleh pada Angger yang bingung dengan jawabannya.

"Mau buat aku sibuk biar ga tahu apa-apa? Huuh?"

Gemintang mencebik dan kembali meneruskan langkahnya. Dia berjalan ke arah kamar Bagus dan langsung masuk karena pintu setengah terbuka.

"Mi! Wiji lagi ga di sini. Sana keluar."

Gemintang menoleh dan mendapati Galih yang menggendong Bagus.

"Heh?! Memangnya kenapa? Aku mau ambil Bagus, Mas."

Gemintang mengulurkan tangannya namun Galih justru menatapnya dengan pandangan canggung yang aneh.

"Sini, Mas."

Galih mengulurkan Bagus dengan menjaga jarak dan itu membuat Gemintang jengkel.

"Orang kok sensitif nya ngalahi perempuan. Jangan ditiru bapakmu itu, Le."

"Heeeh!"

"Apa?!" Gemintang setengah berteriak setelah menutup telinga kiri Bagus. "Aku sudah tidak naksir kamu lagi Mas. Jangan takut aku terkam. Hiiish...orang kok kepalanya gede banget. Mbak Wiji itu kok ya mau aja sama..."

"Kenapa, Mi? Berantem lagi?"

Gemintang menoleh dan Mbak Wiji yang masuk dengan setumpuk handuk bersih. Galih yang sejak tadi menatap Gemintang dengan jengkel-- bahkan dengan berdiri menyamping seakan melindungi tubuhnya--, akhirnya bergerak membantu istrinya memasukkan handuk bersih ke lemari.

"Dia memang begitu, Mi. Sensi."

"Dik..."

"Iya. Gede rumongso. Hiiih."

Mbak Wiji tertawa. Gemintang berjalan keluar sambil mengajak Bagus bicara. Meninggalkan Galih yang menggerundel dan Wiji yang terus menenangkannya.

Malam mulai turun ketika Gemintang yang sejak sore membawa Bagus ke paviliun, membawa Bagus kembali ke rumah induk. Lalu seperti biasanya, Gemintang melakukan kegiatannya, menutup tirai dan menatap keluar ke arah properti Pananggalih yang luas dan berpikir bahwa terlalu banyak pohon-pohon besar di pekarangan rumah itu yang memberi kesan angker.

Rumah pohon di kejauhan sangat terawat tapi hanya sekali saja Gemintang memasuki rumah pohon itu. Dulu sekali saat dia datang ke rumah itu sebagai teman dari Angger dan Galih.

*

Sesuatu yang diharapkan akan berjalan dengan cepat, nyatanya membutuhkan waktu lebih lama untuk mendapatkan jawaban. Seperti seorang gadis yang menunggu pernyataan cinta dari seorang pria yang tidak sedang menaruh hati padanya.

Menunggu hasil otopsi dan tes DNA mayat berlabel B196 itu jelas bukan situasi membuka paket dari seorang idola yang bahkan bisa tiba dengan cepat.

Hari ke 4 setelah pengidentifikasian jenazah itu, belum juga ada kabar dari rumah sakit maupun pihak kepolisian. Titik terang konon katanya mulai didapatkan terkait keberadaan pengacara Dwi Winarko yang mulai terendus. Selebihnya adalah menunggu ditambah kejengkelan menggunung karena Raden Mas Aryo Pananggalih tetap menolak untuk bicara dan menyanggah keterlibatannya pada kasus hilangnya Kirani Alifa.

Setelah 4 hari yang cerah menyelimuti Yogyakarta, cuaca kembali mendung namun pengajian di kediaman Pananggalih tetap dilaksankan untuk waktu yang tidak ditentukan. Malam itu semua sudah berkumpul. Termasuk Mbah Margo yang sudah kembali dari Pandeglang.

Suasana ketika pengajian baru saja masuk ke pertengahan acara. Alunan doa-doa terdengar mengalun ritmis dan merdu. Gerimis turun disertai angin yang sedikit kencang hingga daun-daun di pepohonan serempak meliuk ke arah kanan mengikuti hembusan angin.

Semua tidak berhenti. Beberapa orang berpindah ke dalam rumah dari teras. Juga orang-orang yang berada di halaman, sebagian memilih berkumpul di tengah tenda. Para muda berdiam di pendopo. Hampir semua bagian rumah itu terisi oleh orang yang menghadiri pengajian.

Hujan turun tidak terlalu deras namun angin bertiup semakin tebal dan kencang. Alunan doa timbul tenggelam berpadu dengan hujan dan angin.

Pos depan terlihat redup karena Pak Tarjo salah mengganti lampu dan belum sempat menggantikannya lagi. Gerbang rumah yang gagah dan tinggi besar, terbuka sepenuhnya.

Pintu utama rumah juga terbuka sepenuhnya. Acara pengajian hampir mencapai puncaknya. Angger dan Galih terlihat semakin khusyuk dengan doa mereka. Gemintang dan Wiji yang memilih duduk di dekat pintu penghuni ruang tengah dan aula bersama dengan ibu-ibu komplek lainnya, menunduk takzim.

Suasana syahdu dan khusyuk itu tiba-tiba saja berubah dengan tempo lambat, dimulai dari bagian tenda di halaman. Orang-orang seperti terpecah menjadi dua pemikiran berbeda. Puluhan orang membeku ketakutan dan hanya beberapa orang saja yang memilih mengencangkan bacaan doanya. Pandangan semua orang tertuju pada sosok perempuan yang entah dari mana asalnya, masuk dan berjalan terseok menuju teras rumah. Perempuan itu memakai baju setelan batik berwarna ungu dan putih yang kini sudah lepek terkena hujan. Rambut wanita itu terurai dan basah kuyup. Ketika akhirnya wanita itu mencapai anak tangga menuju teras, wanita itu menaikinya pelan. Orang-orang di ruang tamu dan aula mulai berbisik-bisik dan yang ada di dekat pintu mulai menyingkir.

Wanita itu berdiri di tengah pintu dan luruh. Semua mata tertuju pada perempuan itu. Bisik-bisik mulai terdengar riuh. Angger dan Galih baru saja mengucapkan kata aamin dan mengusap wajah ketika mereka akhirnya mendongak dan menatap ke arah sumber pandangan orang-orang.

Dan hening

Semua terpaku

"Mau kemana, Mas?"

"Makan, Ngger. Masyaallah, lapar aku. Dari pagi belum makan."

Keheningan dipecah suara Angger yang bertanya pada Mas nya. Galih yang memasang muka acuh segera beranjak dan meninggalkan aula.

Angger menoleh ke arah sosok wanita di pintu. Wanita yang tiba-tiba sudah menangis jengkel membuat Gemintang dan Wiji keluar dari ruang tengah dan melongo tak percaya.

"Mas Angger! Kok aku tidak dicari ki piye?!"

Suara itu meruntuhkan keyakinan tentang mayat dengan label B196 di rumah sakit daerah.

*

Bab 96-Epilog ada di Karyakarsa ya. Terima kasih banyak.

👑🐺
MRS BANG

Continue Reading

You'll Also Like

110K 6.4K 38
Sebuah insiden kecil membuat Ariana William terpaksa harus terlibat dengan perjanjian konyol yang dibuat oleh Justin Orion. ©️2015 Vandesca
1.5M 77.6K 36
SELESAI (SUDAH TERBIT+part masih lengkap) "Nek saumpomo awakdewe mati, awakdewe bakal mati pas negakke keadilan. Mergo sejatine hukum kui kudu sing r...
190K 17.3K 33
"Peperangan diantara para belalang adalah pesta bagi kelompok burung gagak." Kematian anggota klub renang bernama Danu yang dinyatakan polisi sebagai...
278K 15.7K 12
Side Story 27 to 20 (Dira-Steve) Apa yang paling menyedihkan di dunia ini? jawabannya hanya satu, mencintai dalam diam. Karena kita tau bahwa ia buka...