DARI BALIK KELAMBU

By niken_arum

355K 75.1K 10.1K

Angger Liveni Pananggalih itu dokter muda berdarah ningrat. Orang bilang dia tinggal di dalam tembok. Tembok... More

Prolog
Satu PROSA
Dua KERATON
Tiga PROSA DAN BURUNG KERTAS
Empat PEMUDA BERNAMA ANGGER PANANGGALIH
Lima PEMUDA NINGRAT
Enam JANJI
Tujuh DUA SISI HATI
Delapan BERTEMU LAGI
Sembilan MENANDAI
Sepuluh KEBENARAN
Sebelas RAHASIA
Dua belas RANTAI
Tiga belas KEMBALI
Empat belas JIWA YANG SAKIT
Lima belas DICULIK
Enam belas KEHILANGAN
Tujuh belas GADUH
Delapan belas PERGI
Sembilan belas DIAM
Dua puluh VERSAILLES
Dua puluh satu AWALAN MIMPI BURUK
Dua puluh dua ROMANTISME YANG ANEH
Dua puluh tiga PULANG
Dua puluh empat KALAP
Dua puluh lima DARI BALIK KELAMBU
Dua puluh enam IBU MERTUA DAN RAHASIANYA
Dua puluh tujuh HATI YANG BERCABANG
Dua puluh delapan LAKON SANDIWARA
Dua puluh sembilan RUMAH PENUH KEBOHONGAN
Tiga puluh HAL ANEH
Tiga puluh satu RUMAH SAKIT JIWA
Tiga puluh dua JANUR MELENGKUNG
Tiga puluh tiga SILSILAH YANG RUMIT
Tiga puluh empat AROMA MAYAT
Tiga puluh lima RAMBUT YANG SUDAH TERURAI
Tiga puluh enam TENTANG MASA LALU
Tiga puluh tujuh KUNCI
Tiga Puluh Delapan PERJODOHAN GHAIB
Tiga Puluh Sembilan PRIA BERNAMA BANYU BIRU
Empat Puluh SALAH MENGERTI
Empat Puluh Satu UNDANGAN
Empat Puluh Dua ABU-ABU
Empat Puluh Tiga KECURIGAAN
Empat Puluh Empat PEMAKAMAN
Empat Puluh Lima WASIAT DALAM BUKU CATATAN
Empat Puluh Enam MISTIS
Empat Puluh Tujuh PENGAKUAN
Empat Puluh Delapan RAHASIA TENTANG ARSENIK
Empat Puluh Sembilan RUANG DAN WAKTU
Lima Puluh SARUNG TANGAN ISTIMEWA
Lima Puluh Satu BUNGKAM
Lima Puluh Dua CINTA ITU BENAR BUTA ADANYA
Lima Puluh Tiga MELAMAR ANGGER
Lima Puluh Empat MENIKAH DAN TEORINYA
Lima Puluh Lima HARI PENUH RAHASIA
Lima Puluh Enam TIDAK HARUS SEDARAH UNTUK DISEBUT SAUDARA
Lima Puluh Tujuh GEMINTANG DAN AKSINYA
Lima Puluh Delapan JEJAK MASA LALU
Lima Puluh Sembilan DRAMA TIADA AKHIR
Enam Puluh SANATORIUM
Enam Puluh Satu BU DOSEN LARASATI
Enam Puluh Dua INI BUKAN TENTANG CEMBURU
Enam Puluh Tiga BU DOSEN DAN RAHASIANYA
Enam Puluh Empat BONEKA JERAMI
Enam Puluh Lima KABAR GEMBIRA
Enam Puluh Enam PENOLAKAN
Enam Puluh Tujuh BU DOSEN DAN MASA LALU
Enam Puluh Delapan KETEMPELAN
Enam Puluh Sembilan ANTARA MENANTU DAN MERTUA
Tujuh Puluh CEMBURU
Tujuh Puluh Satu DETEKTIF DADAKAN
Tujuh Puluh Dua TANAH KUBURAN
Tujuh Puluh Tiga SANDI MORSE
Tujuh Puluh Empat KABUR
Tujuh Puluh Lima KEJAHATAN SEPANJANG MASA
Tujuh Puluh Enam JANGAN MENYERAHKAN HATI SEPENUHNYA PADA PRIA
Tujuh Puluh Tujuh KEJADIAN MISTERIUS
Tujuh Puluh Delapan PRIA MISTERIUS
Tujuh Puluh Sembilan PENGGANGGU RUMAH
Delapan Puluh DI AMBANG PUTUS ASA
Delapan Puluh Satu KASIH SAYANG YANG SALAH
Delapan Puluh Dua RAHASIA BAPAK
Delapan Puluh Tiga LELAH
Delapan Puluh Lima RAPI, KLIMIS, BUAYA
Delapan Puluh Enam TARIK JIN
Delapan Puluh Tujuh MONOKROM HITAM PUTIH
Delapan Puluh Delapan PENGACARA MENCURIGAKAN
Delapan Puluh Sembilan KIRANI, ANEH
Sembilan Puluh PEWARIS YANG ABSURD
Sembilan Puluh Satu BANASPATI
Sembilan Puluh Dua DALANG DAN WAYANGNYA
Sembilan Puluh Tiga KIRANI DICULIK?
Sembilan Puluh Empat TEKA TEKI MAYAT DI SUNGAI OPAK
Sembilan Puluh Lima MAYAT DENGAN LABEL B196

Delapan Puluh Empat KEBAYA HITAM

2.4K 661 182
By niken_arum

Saya hanya manusia biasa yang bisa sakit hati ketika ada yang komentar tidak mengenakkan di salah satu naskah saya.

Saking sakitnya, bahkan menatap wallpaper Bang Chan di ponsel saya tidak bisa mengobati hati saya.

Yakin? Jujur?

Ga lah. Aku lihat Bang Chan langsung hilang semua keresahan di hati. Silahkan komen sak karepmu. Satu orang tidak menghargai hasil karya saya, 1000 orang mencintai saya apa adanya.

Selamat membaca teman-teman

Saranghandago reader-nim ♥️

*








Gemintang berdiri bersandar di pilar klinik dan menatap Bu Sri Astuti yang menerobos setiap ruangan di klinik itu satu persatu. Dokter Anggit yang baru datang untuk membuka klinik gigi sesi sore menatap Gemintang dengan pandangan bertanya. Seorang perawat akhirnya berbisik pada dokter itu. Kata o yang panjang sepertinya keluar dari mulut dokter Anggit yang akhirnya berdiri acuh.

Entah mengapa wanita itu masih suka memakai kebaya komplit dengan kain batik di jaman seperti sekarang ini? Kebaya hitam dengan kain batik motif Sekar Jagad yang memang cantik.

Tapi, tidak kalau wanita itu yang memakainya.

Gemintang menahan napasnya ketika Bu Sri Astuti memasuki ruangannya. Dia melirik perawat yang membantunya. Perawat bernama Estu itu menunduk dan tersenyum ke arahnya. Dari pintu, Gemintang bisa melihat bagaimana wanita itu dengan kasar menyibak tirai, memeriksa lemari yang hanya ada catatan medis pasien, memeriksa laci, tempat sampah dan...sebuah keranjang cucian kotor.

Dan wanita itu keluar. Dengan pandangan nanar dia menatap satu persatu orang-orang yang ada di tempat itu. Lalu pergi begitu saja. Wanita itu berjalan keluar dan tak lama, mobilnya merayap keluar halaman klinik.

Gemintang duduk di kursi ruang tunggu. Dia mengusap perutnya berulang kali sambil terus beristighfar. Estu menghampirinya dengan botol minum yang diambil dari ruang periksa.

"Baju Mbak yang tadi sudah saya amankan. Ruangan juga sudah saya semprot dengan pewangi lagi."

Gemintang tertawa pelan. Terus terang dia baru saja senam jantung ketika melihat Ibu Sri Astuti memeriksa ruangannya terutama keranjang pakaian kotor yang ada di sudut ruangan.

"Waah...terimakasih Sus."

"Sama-sama, Dok."

"Kenapa Dokter Gemintang?"

Gemintang menatap Dokter Anggit yang akhirnya bertanya setelah dia keluar sejenak.

"Ceritanya panjang, Dok."

"Wah boleh kapan kapan sambil ngopi saya pengen dengar."

Gemintang tertawa dan mengangguk. "Tentu saja. Selamat bekerja Dok."

"Matur nuwun." Dokter Anggit balas tertawa dan masuk ke ruangannya.

Gemintang menatap jam di pergelangan tangannya. Dia masuk ke ruangannya dan berdiri menatap keluar melalui jendela. Dia mulai berpikir, membawa Laras ke rumah Sosrowijayan mungkin bukan pilihan yang bagus tapi setidaknya itu yang bisa mereka lakukan sekarang dibanding harus membawa Laras ke kediaman Pananggalih atau ke rumah Mbah Margo. Ibunya Laras pasti berpikir Laras ada di salah satu rumah itu.

"Mi..."

Gemintang menoleh dan berbalik. Putri datang dengan sebuah paper bag besar dan meletakkannya ke atas meja.

"Telat kamu, Buk."

"Heh? Sudah waktunya *goro-goro ya?"

"Sudah lewat."

"Beneran kemari Ibunya Laras?"

Gemintang duduk dan mengubek isi paper bag.

"Itu baju bersih."

"Ga bisa diantar sekarang Put. Ibunya Laras itu kok seperti matanya ada di seluruh kepala. Tahu saja anaknya ada di mana?" Gemintang menunjuk seluruh sisi kepalanya dengan kesal.

"Dia ngamuk?"

"Ga. Cuma ya itu. Bar-bar banget. Mau ditegur nanti malah ngamuk. Ga ditegur kok ya ga ada adab."

Putri ikut duduk setelah melepas jaketnya. "Tadi Angger nelpon Bapakmu, Mi. Katanya kok minta tolong bantu jaga makam?"

"Masalahnya, ada yang mau bongkar makam Ibuk. Ya memang kalau benar Ibuk masih ada pegangan yang belum dilepas, memang mau tidak mau harus dibongkar. Tapi bukan oleh perorangan begitu. Aku belum dengar rincinya malah Mbak Laras datang kemari."

"Dia gimana?"

"Lukanya malah tambah parah."

Putri menghela napas. "Duh...terus gimana?"

"Kalau kita nyusul takutnya Ibunya Laras itu nyuruh orang ngikutin kita." Gemintang berbisik lirih. "Jadi kita tunggu kabar dulu dari Mas Angger."

Putri mengangguk-angguk.

"Jadi bapak ke makam?"

"Iya. Kamu masih ada pasien?"

"Ga ada. Standar."

Mereka terdiam. Gemintang mendongak ketika Dokter Syam melongok dan siap menggantikannya. "Waah...tepat waktu loh Dokter Syam ini. Selalu."

Dokter muda itu merunduk dan tertawa. Gemintang dan Putri beranjak. Mereka keluar dengan Gemintang yang membawa paper bag di atas meja. Mereka akhirnya memutuskan memakai jasa ojek untuk mengantarkan baju bersih dan obat-obatan ke rumah Sosrowijayan.

Mereka akhirnya berjalan di sepanjang trotoar dan duduk di kursi istirahat pejalan kaki.

"Aku terus terang belum dengar semua, Put. Tapi beban ku seperti nambah lagi."

"Kenapa lagi?"

"Aku tidak mau memukul rata para ningrat itu melakukan tradisi turun temurun yang buruk terkait rumah tangga mereka. Kita bicara oknum ya Put, bukan keseluruhan."

"Mertuamu ternyata punya istri lain selain almarhumah dan Bu Rima?"

Gemintang mengangguk. "Ingat Kirani Alifa kan?"

"Mbak yang plonga plongo dulu itu? Yang dijodohkan sama Angger?"

"Iya."

"Kenapa dia? Dia ternyata istrinya mertuamu?"

"Hiish...bukan. Anak."

"*Ra gumun, Mi. Kita tidak perlu merasa tidak enak hati dengan berbaik sangka membicarakan oknum saja. Rata-rata, Mi. Rata-rata begitu. Mengelak juga memang begitu. Mau bagaimana lagi. *Mblarah anak-anak yang disembunyikan bahkan tidak diakui dari orang yang menyebut dirinya ningrat itu."

"Nah itu. Kirani itu kata Mas Angger disuruh menyerahkan uang ke seseorang."

"Dukun?"

"Kok kamu tahu sih, Put."

"Lah gampang. Hidupmu itu kan sekarang ga jauh-jauh dari sesajen dan dukun. Jadi yah...tebakanku pasti bener."

Gemintang mengusap lengannya. "Jadi, ini kalau benar ya Put...Bapak itu menyuruh dukun memasukkan apa gitu ke tubuh Ibuk sebelum meninggal."

"Astagfirullahaladzim. Kok ya jahat banget. Kalau sudah tidak suka mbok ya dikembalikan ke orang tuanya."

Gemintang menyenggol bahu Putri dengan bahunya sendiri. "Kalau sesederhana itu. Ini urusannya kan harta dan tahta."

"Harta dan tahta, jelek ga papa mari berjuang bersama? Lah...*wegah."

Gemintang tertawa kencang mendengar perkataan Putri. "Serius to, Put." Gemintang menutup mulut ketika beberapa pejalan kaki menoleh ke arah mereka.

"Terus gimana? Kan sudah kelihatan harus seperti apa? Diurus masalah pegangan itu. Diambil. Dikembalikan ke tempatnya."

"Kalau semudah itu Put."

"Orang yang bekerja di ranah itu yang penting harganya cocok, uangnya lancar sepertinya ga masalah. Setuju ga kamu, Mi?"

"Aku setuju kecuali kalau ternyata ada bagian yang meminta syarat khusus."

"Tumbal?"

Gemintang mengangguk. "Ngeri sama pikiranku sendiri aku Put."

"Kediaman Pananggalih itu gimana sekarang? Maksudku, kamu kan sering lama di sana. Biasa atau gimana?"

"Biasa."

"Biasanya orang meninggal dengan masih ada pegangan begitu suka ga tenang, Mi. Kamu yakin ga pernah merasakan apa-apa?"

"Maksudmu kehadiran almarhumah?"

Putri mengangguk. "Begini ya cah ayu. Aku pernah dengar hal seperti itu memang sering kejadian. Tapi belum tentu kita bisa mendengar atau melihat. Bisa jadi ibu mertuamu itu ingin bicara sama kamu atau keluarga yang lain tapi tidak sampai. Pengen ngomong tapi suaranya tidak bisa bisa kalian dengar."

"Ya Allah. Kasihan kalau seperti itu."

"Kamu ingat ga cerita soal ikan paus yang paling kesepian di dunia?"

"Whale 52 hertz?"

"Iya. Bayangkan kalau almarhum, mengalami yang mirip-mirip dengan paus itu. Paus itu memanggil kawanan paus lain dengan frekuensi 52 hertz. Frekuensi dimana kawanan paus lain selamanya tidak akan pernah mendengar suaranya karena mereka hanya bisa mendengar suara dengan frekuensi 20 hertz. Dia sendirian, bingung, dan kesepian namun tetap memanggil dengan suara yang tidak mungkin terdengar."

Gemintang menghembuskan udara dari mulutnya. "Duh..." Gemintang mengusap air mata yang entah mengapa luruh begitu saja. "Kalau benar Ibuk mertuaku masih ada di perbatasan dunia dan akhirat dan mencoba memanggil kami tapi kami tidak bisa mendengar...ya Allah."

"Sudah. Ayo makan dulu. Aku yakin nanti akan ada petunjuk."

Putri beranjak dan mengulurkan tangannya. Gemintang meraih tangan Putri dan mereka mulai berjalan lagi. Mereka akhirnya makan di sebuah kedai kebab di pinggir jalan. Salah satu makanan yang harus dimakan sebelum menghilang dari peredaran. Begitu kata Putri.

"Besok jadwal mu apa saja?" Putri menyeruput teh manisnya.

"Bawa pengacara ketemu Bu Rima. Terus ketemu pengacara keluarga. Ini mungkin susah juga, Put."

"Kenapa?"

"Jelas bapak ga mau cerai."

"Oh...egois banget. Sudah. Paket komplit mertuamu itu. Ibarat gudeg, dia gudeg komplit pakai krecek dan opor ayam. Tapi ini paket komplit jahatnya."

"Tapi bapak itu kalau aku pikir bukan tidak mau cerai, Put. Dia cuma mengulur waktu untuk mengatur kecurangan."

"Kalau itu Angger sama Mas Galih yang harus maju, Mi. Ngerti maksudku?"

"Kalau bapak ga bisa diajak bicara, mereka harus bicara sama pengacara keluarga. Maksudmu gitu?"

"Iya. Kan semua masih atas nama masing-masing kan? Di ultimatum saja Mi. Untuk seperti itu kan kalau Angger sama Mas Galih dan Bu Rima tidak setuju untuk tanda tangan ya jalan satu-satunya adalah pemalsuan. Ancam saja kalau sampai mau melajukan hal seperti itu."

Gemintang menggigit kebab dan mengunyahnya pelan.

"Nanti aku bicara sama Mas Angger. Atau besok. Seketemunya sama dia saja."

"Ya sudah. Mau ke rumah atau pulang?"

"Kamu juga sendiri Put. Suamimu kan ga ada. Ayo nginep saja."

"Bapakmu, Mi."

Gemintang tertawa. Dia mencoba menepikan semuanya. Mereka beranjak dan kembali berjalan dan menemukan becak yang akan mengantarkan mereka ke kediaman Pananggalih.

*

"Ga mau Mas aku. Emoh pokoknya. Ga mau urusan begitu. Buat Mas Galih sama Mas Angger semua. Aku dikirimi saja tiap bulan."

"Lah gimana? Ini jadi urusan kamu sekarang Kirani..."

"Ga mauuu...pokoknya ga mau...!" Kirani mulai melompat-lompat tidak karuan dan menangis. Gadis itu bahkan merebahkan tubuhnya ke lantai dan menangis seperti anak kecil. Angger dan Galih yang duduk di ruang tengah itu menahan tawa.

"Pantesan kuliah ga lulus lulus. Huuuuh...ini anak kurang sedikit."

Galih menyeruput kopi paginya dan membiarkan Kirani menangis. Gadis itu tetap rebah di lantai dan menggaruk-garuk pembatas ubin.

"Sudah mandi sana. Terus ke kantor." Angger yang sejak tadi diam mengeluarkan suara membuat Kirani beranjak dan menghampirinya. Gadis itu masih menangis dan sekarang memegangi kaki Angger.

"Heeh...mandi sana. Kerjaan kamu banyak lho."

"Ga mau Maaas...hiish...Mas Angger ini."

"Ga mau gimana lha wong sama Bapak diganti atas nama kamu semua lho."

"Ya diganti lagi. Buat Mas Angger sama Mas Galih semua. Aku ga mau. Aku sedikit saja. Mas ya...Mas Galih! Jangan diam saja."

"Kamu pikir ini seperti main bank bank an yang bisa ganti semaunya?"

Galih beranjak dan membawa kopinya keluar dari ruang tengah. Dia mengabaikan panggilan Kirani yang mengiba. Kirani beralih menatap Angger lekat. Gadis itu benar-benar ketakutan walaupun sejatinya Mas nya menyampaikan masalah warisan itu dengan bahasa bercanda saja.

"Mas Angger..."

"Huum..."

"Aku dikirimi saja ya Mas. Sama dibayari kuliah. Sepuluh juta seperti Ibuk tiap bulan."

"Kamu sekarang ada tanggungjawab orang tua Kirani. Orang tua kandungmu. Harus bisa mikir dari sekarang."

"Tapi aku ga bisa, Mas. Kan tahu sendiri...aku kuliah saja ga kelar kelar."

"Sudah. Duduk sini."

Angger menarik Kirani ke sofa dan menatapnya lekat. "Kalau minta Mas mu yang ngurus semua sampai kamu siap, kamu harus lulus kuliah tahun ini."

Kirani memundurkan kepalanya tidak yakin.

"Nanti dicarikan yang bisa bantu belajar. Kalau kamu ga mau ya berarti aku sama Mas Galih angkat tangan. Tidak mau bantu."

Kirani terlihat berpikir. "Aku kayaknya salah ambil jurusan, Mas..."

"Halah..." Angger beranjak dan membawa kopinya menuju aula membuat Kirani ikut beranjak dan mengikutinya. "Mandi sana..."

"Tapi, Mas..."

"Mandi."

"Nggih."

Kirani berbelok dan urung berjalan ke aula ketika melihat tatapan serius Angger. Angger meneruskan langkahnya ke ruang makan.

"Kenapa Mas? Kok rame banget?"

"Itu Mas Galih ngledek Kirani suruh ke kantor ngurus perusahaan sama semua harta."

Gemintang tertawa. "Kamu jadi libur, Mas?"

"Iya."

"Ya sudah. Mau makan sekarang apa nanti? Apa mau nengok Ibuk ke Sindhet?"

"Bapak sama Ibuk di rumah Bantul kok Mi. Sementara. Nanti kalau sudah beres semua baru ke sana. Aku sudah pamitan."

"Oh ya sudah. Mau makan?"

Angger menggeleng. Dia meletakkan cangkir kopi ke meja makan. "Nanti saja, Mi."

Gemintang yang mencuci mangkok bekas sup menoleh ke arah Angger.

"Kamar Ibuk boleh dibuka, Mas?"

"Boleh. Kenapa?"

"Ga papa. Biar ganti udara."

"Huum..." Angger beranjak. "Aku bicara dulu sama Mas Galih soal pengacara yang semalam kamu bilang itu, Mi."

Gemintang mengangguk dan menatap Angger yang berjalan di sepanjang lorong dan menuju halaman belakang. Gemintang mengeringkan tangannya dengan lap bersih dan keluar dari dapur bersih yang menyatu dengan ruang makan. Dia berjalan melintasi aula dan menuju kamar utama di rumah itu. Kamar almarhum ibu mertuanya. Gemintang berdiri di depan pintu yang terkesan mewah. Ada dua kamar utama di rumah itu. Satu di lantai bawah dan satu lagi di lantai dua. Tapi Gemintang tahu, sejak dia memasuki rumah itu, ibu mertuanya paling sering berdiam diri di kamar utama di lantai bawah.

Gemintang mendorong pintu dan membukanya lebar-lebar.

Gemintang masuk dan menutup pintu. Dia berjalan membuka semua jendela. Udara segera berganti. Cahaya matahari masuk dan membentur tembok di dekat sebuah sofa singel. Dia menatap sekelilingnya. Kamar itu tidak seperti kamar yang sudah lama tidak ditempati. Nuansa modern kamar itu membuatnya seperti kamar selayaknya kamar tidur. Jauh dari suasana mistis seperti yang tercipta di ruang Ageng. Sebuah rak buku besar dan tinggi yang ada di kamar itu semakin membuat kamar itu jauh dari kesan angker. Kesan yang hampir pasti tertinggal ketika pemilik kamar meninggal.

Dan yang pasti, ruangan itu lebih modern dibanding kamar utama dilantai atas yang memiliki arsitektur tradisional dengan banyak ukiran.

Gemintang melangkah ke depan lemari dan membukanya. Baju-baju dalam lemari itu tertata rapi. Sebagian besar bahkan tidak dilepas dari plastik binatu.

Gemintang menutup lemari dan berbalik. Dia menatap lampu baca di atas nakas yang menyala dan berpikir? Apakah tadi dia menyalakan lampu itu?

Gemintang menghampiri lampu itu dan menatapnya. Tangannya urung mematikan lampu itu. Dia duduk di tepi ranjang dan menatap keluar melalui jendela setelah melepaskan dua pengikat kelambu di pilar ranjang. Gemintang mengangkat kaki dan duduk dengan melipat kakinya menyamping.

Pandangan yang samar melalui jaring kelambu yang rapat. Gemintang mematung. Dia tidak mencoba menegaskan pendengarannya. Matanya mengedip semestinya. Ruangan itu sunyi. Sunyi yang seharusnya dia bisa mendengar suara selembut apapun.

Bagaimanapun ibu mertuanya itu di masa lalu.

Dia tidak ingin dia menjadi wanita dengan suara yang tidak bisa di dengar karena perbedaan frekuensi.

Gemintang tidak ingin ibu mertuanya menjadi seperti Whale 52 hertz.

Yang kesepian dalam kesunyian...

*

*goro-goro : babak dimana kesenian wayang sudah mencapai puncak.
*ra gumun : tidak heran.
*mblarah : saking banyaknya.
*wegah : tidak mau.

Maaf teman-teman, kalian terjebak dalam kegabutan saya. Maaf update terus. Mana tahu ada yang bosan? Silahkan loh menepi sebentar tidak masalah.

Sampai jumpa besok

👑🐺
MRS BANG

Continue Reading

You'll Also Like

224K 4.9K 13
Allea menyadari bahwa selama ini dia telah dibohongi oleh kekasihnya sendiri. Hubungan penuh kasih sayang yang mereka jalani selama ini hanya sandiwa...
145K 18K 21
Sebastian lebih mencintai rumus-rumus Fisika dan penelitian sainsnya dibandingkan wajah cantik yang berkeliaran di sekelilingnya. Dengan wajah tampan...
199K 15K 20
Perjalanan seorang wanita lajang yang putus asa oleh cintanya. Bertemu seorang pria lajang yang berusaha menyembuhkan luka hati. Bersama mereka diper...
Pengantin Iblis By Khalisa

Mystery / Thriller

203K 13K 43
"Kau telah terikat dengannya, Alana." Malam itu burung gagak membawa kabar buruk yang akan menghancurkan seluruh hidup Alana, sebuah kutukan yang mem...