"Mak kok kamu kayak orang nganggur bisa nulis tiap hari?"
"Nganggur dari negeri Wakanda?"
Bukan begitu konsepnya. Tapi aku tuh sambil ngapain aja nyambi nulis karena aku bukan tipe penulis yang butuh tempat sepi ( ex : kuburan ) untuk bisa nulis. Percaya atau enggak, aku bisa bikin telinga ga dengar sekeliling dan tetap menulis padahal tempat itu ramai banget.
Istilahnya, aku sering punya duniaku sendiri yang hanya ada aku dan pikiranku.
Aku juga tipe orang yang bisa mengendalikan mimpiku harus seperti apa.
Itulah mengapa aku mirip Bang Chan
😂 Aku nek sombong wagu sodara sodara
*
"Hujannya kok ya ndlejih banget ya Mi?"
"Iya..."
Setelah kegaduhan yang terjadi.
Gemintang menatap keluar melalui jendela kamar khusus tamu. Jendela itu berembun cukup tebal.
"Besok kapan-kapan pasang kanopi Put di depan itu." Gemintang menunjuk ke arah luar tepat di depan jendela.
"Iya. Belum sempat. Kemarin Bapakmu juga bilang."
"Huuuh..." Gemintang menghela napas panjang seakan meratapi situasi itu. Pandangannya lalu tertuju pada sosok Laras yang masih tertidur pulas. Tadi, Gemintang dan Putri berpikir untuk membawa Laras ke rumah sakit namun cengkeraman tangan Laras ke tangannya membuat Gemintang urung melakukannya. Apalagi ketika Laras justru menggeleng kuat dan mencoba mengucapkan sebuah kata namun tidak berhasil.
Akhirnya, dengan peralatan dasar medis Gemintang dan Putri mengambil tindakan. Sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan selain suhu tubuh Laras yang sangat dingin. Putri menyelimuti Laras hingga berlapis-lapis. Dan mereka harus menunggu entah kapan bisa mengetahui apa yang terjadi pada Laras sebenarnya.
"Mobilnya siapa masuk, Mi?"
Gemintang kembali menatap keluar. "Mas Angger. Tunggu di sini Put."
"Hmm."
Gemintang keluar sambil membenahi mukena yang dia letakkan asal di kursi depan kamar tamu. Dia melangkah ke rumah tamu dan membuka pintu.
Angger mengucapkan salam saat Gemintang membuka pintu. Gemintang menjawabnya cepat dan menatap Angger lekat. "Kan ada payung di mobil, Mas. Aku yang taruh."
"Loh...iya to?"
"Iya ada."
Mereka masuk dan Angger mengunci pintu. "Bapak ga ada Mi?"
"Lagi ke paguyuban. Mau mandi atau..."
"Mandi, Mi."
"Ya sudah. Aku bikin wedang jahe dulu."
Gemintang berjalan ke kamar dan mengambil handuk bersih. Dia menyerahkannya pada Angger.
"Ada tamu, Mi?" Angger menatap kamar tamu yang pintunya sedikit terbuka.
"Mandi dulu. Nanti ceritanya."
Angger mengangguk dan berjalan masuk ke kamar mandi sementara Gemintang menuju dapur. Dia memanaskan air dan membuat 3 gelas wedang jahe lalu membawanya ke ruang tengah.
"Mas. Bajunya sudah aku siapkan di kamar."
"Iya Mi." Jawaban Angger mengalahkan suara air yang mengalir.
Sesaat kemudian Angger keluar dari kamar mandi dan berlari kecil masuk ke kamar. Dia keluar lagi sambil mengeringkan rambutnya.
"Mau wedang ronde Mas? Tadi bikin sama Putri. Estetik."
"Halah..."
Angger menyeruput wedang jahenya pelan. Dia menatap Gemintang yang datang dengan 2 mangkok kecil wedang ronde.
"Nih Mas. Bagus kan?"
"Bagus. Tapi enak ga?"
"Enak. Pas."
Angger menerima wedang ronde itu dan mencobanya. "Kurang manis, Mi."
"Sambil lihat aku minumnya."
Angger tertegun dan mencebik pelan membuat Gemintang tertawa.
"Tamunya siapa? Tamunya Ibuk?"
"Mbak Laras."
"Uhuuk..." Angger yang sedang menyeruput wedang ronde tersedak. Gemintang menepuk punggung Angger pelan. "...Laras?"
"Iya. Datang langsung...bruk! Jatuh. Pingsan."
Angger menatap kamar tamu tepat ketika Putri keluar dari sana.
"Ga mau di bawa ke rumah sakit, Mas." Gemintang melanjutkan penjelasannya.
"Pulas kok tidurnya. Nanti gantian saja jaga sambil nunggu Bapakmu pulang." Putri duduk dan meraih wedang jahenya.
"Gimana urusan ke Rangkasbitung nya Mas?"
"Sudah dikembalikan kotaknya."
"Alhamdulillah." Gemintang dan Putri serempak mengucap syukur dan menatap Angger yang seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Ada apa Mas?"
Angger mendongak. "Tidak ada apa-apa. Cuma bingung kok Laras sampai kemari. Dia ga pulang pas bapaknya meninggal."
"Huum. Bingung juga mau tanya-tanya ya. Kan bukan urusan kita. Tapi dia kok datang ke rumah ini?" Putri menimpali sambil mencomot kue dari piring.
"Intinya itu...ada apa? Gitu saja."
Gemintang berbisik.
"Ga usah kepo. Kalau kamu yang kepo semua susah nanti, Mi." Putri menimpali dan menatap Angger yang mengangguk setuju.
"Ga kepo ya judulnya. Tapi dia kemari pasti ada alasannya. Masa ya ujug ujug datang. Kan dia bisa saja ke rumah orang tuanya atau kemana gitu?"
"Heh...minum air putih yang banyak. Kan sudah dibilang bapaknya meninggal saja dia ga pulang, Gemintang." Putri balas berbisik.
"Oh...iya. Lha terus kok kemari, gitu."
"Haduh. Ngger. Urus istrimu itu. Tobat aku."
Putri membuka mukena yang sejak tadi masih dia pakai. Dia kembali menyeruput wedang jahenya.
"Tapi keadaannya stabil?"
"Badannya dingin banget, Mas. Seperti habis kecebur air es."
"Susah kalau menolak dibawa ke rumah sakit. Kalau ada apa-apa kita yang bingung."
"Coba besok aku yang ngomong." Angger menatap pintu kamar tamu yang tertutup rapat.
"Aku ada jadwal pagi. Kamu masih libur, Mi?" Putri menyalakan ponselnya.
"Sehari lagi terus aktif."
Gemintang mendongak ke arah Angger yang beranjak dan menuju studio. Sesaat kemudian terdengar pintu dan jendela yang ditutup dan suara mobil Pak Hilmawan yang memasuki halaman rumah. Gemintang menatap Putri yang beranjak dan membuka pintu. Dia melihat Bapaknya lari dari mobil ke rumah.
"Mau wedangan, Mas?"
"Mau. Ada tamu nginep ya? Siapa? Kok berdiri depan jendela begitu?"
"Heeeh?" Putri menatap Gemintang dan mereka berjalan mendekat ke pintu kamar tamu. Gemintang mendorong pintu itu pelan dan melongok ke dalam. Laras berbaring dalam posisi semula. Gemintang kembali menutup pintu dan menggeleng ke arah Putri.
"Ya sudah. Diamkan dulu, Mi. Sebentar, aku urus bapakmu dulu."
Mereka bubar. Gemintang berjalan ke arah studio dan memeluk Angger erat.
"Adem Mas."
"Huum." Angger yang sedang mengamati meja kerja mertuanya tertawa pelan.
"Kapan jadwal ketemu dokter Rani?"
"Dua hari lagi."
"Oke." Angger berbalik dan memeluk Gemintang erat. Dia memperhatikan wajah Gemintang yang mendongak ke arahnya. Angger tidak bicara apapun. Dia hanya terus mengamati wajah istrinya itu. Bohong kalau pria tidak melakukan judge a book by it's cover. Sejak awal pertemuannya dengan Gemintang, dia menyukai tampilan fisik istrinya itu. Lalu menjadi tergila-gila begitu mengenalnya lebih lagi. Gemintang itu kombinasi fisik dan kecerdasan yang di mata Angger adalah sebuah keseksian.
Lalu, setelah berumah tangga, semakin hari Angger merasa mereka semakin terlihat sebagai dua orang yang jarang sekali berada dalam satu frekuensi. Tapi, pada akhirnya dalam masalah apapun, dirinyalah yang dengan senang hati mengalah.
Angger bucin pada istrinya itu.
"Kenapa, Mas?"
"Ga papa."
"Melihatnya seperti itu."
"Kamu itu kok ngeyelan ternyata orangnya."
Gemintang tertawa. "Nah itu makanya aku buru-buru ajak nikah kamu Mas. Kalau kelamaan dan kamu semakin tahu aku, nanti kamunya kabur."
Angger mencubit hidung Gemintang kecil. Mereka berdua memang sejatinya tidak saling mengenal sangat dalam walaupun mereka ada dalam satu keluarga. Waktu itu cerita mereka berbeda.
Akhirnya, mereka dengan kehidupan pernikahan mereka. Hanya bisa menyelipkan sedikit momen romantis di sela kehidupan mereka yang sedang ruwet.
*
Laras yang baru saja dibantu oleh Gemintang untuk bersandar di kepala ranjang menunduk. Gemintang yang akan mengganti selimut dan membersihkan tubuh Laras menyingkap selimut di tubuh Laras.
"Astagfirullahaladzim...Mbak. Ini kenapa?"
Gemintang bertanya namun dia tidak menunggu jawaban Laras yang tetap terdiam. Gemintang dengan naluri dokternya segera memeriksa kaki Laras yang terlihat dalam kondisi mengerikan.
"Tunggu sebentar." Gemintang bergegas keluar dan melewati Angger yang sedang minum teh. "Kakinya Mbak Laras tumbuh koreng Mas. Dan belatungan. Atau mataku yang salah sih? Coba tolong Mas dilihat. Aku ambil kotak P3K dulu."
Tanpa bicara apapun, Angger beranjak dan berjalan masuk ke kamar tamu yang terbuka lebar pintunya. Angger memeriksa kaki Laras dan menghela napas pelan.
"Kalau kamu ga mau bicara Ras, ini bakalan sulit. Kamu main-main loh sama hal yang berbahaya. Apa yang kamu sembunyikan sebenarnya?"
Angger beranjak dan menatap Laras lekat. Wanita itu menunduk. Gemintang yang masuk kembali segera mengurus luka Laras. Dengan telaten dia mencabuti belatung kecil-kecil yang ada di luka Laras.
*luka dengan estetika
"Ga ada antibiotik, Mas. Bisa diresepkan? Nanti nyuruh orang saja ke apotik."
"Huum. Meradang cepat ya Mi?"
"Iya. Lumayan cepat ini. Semalam cuma memerah saja pas diperiksa sama Putri." Gemintang terus mengurus luka Laras. Dia bahkan juga memakai kacamatanya agar lebih fokus. Angger ikut merunduk dan memeriksa luka Laras dengan teliti. Mereka membicarakan beberapa istilah medis untuk mendapatkan kesimpulan.
"Telepon saja apotik. Jam berapa ini?" Angger keluar dan melihat jam di dinding. "Oh, sudah bisa. Aku hubungi mereka, Mi."
"Huum. Iya Mas." Gemintang menatap Angger sekilas lalu meneruskan kegiatannya. "Mbak Laras, beneran ga mau ke rumah sakit?" Gemintang bertanya lembut tanpa menatap Laras.
"Itu ga bakalan sembuh hanya dengan obat, Mi."
"Saya tahu Mbak. Tapi setidaknya harus dengan bantuan obat-obatan medis juga. Ya sudah, kalau tidak mau ke rumah sakit ga papa. Kita cari jalan tengah saja."
"Aku butuh seseorang yang bisa nolong aku."
"Huum. Seperti ini kalau diteruskan akan jadi bomerang sendiri buat Mbak Laras loh."
"Kalau aku ga begini sudah mati dari kemarin kemarin aku, Mi. Ibuku itu ngilmu hitam."
"Seperti itu kalau dihadapi dengan hal yang sama ya tidak akan selesai, Mbak. Kalian saling menyakiti."
Laras menggeleng. Gemintang menoleh ketika Angger masuk lagi.
"Ditutup dulu saja, Mi. Nanti dibuka kalau obatnya sudah datang. Agak lama katanya."
"Ya sudah. Aku bantu Mbak Laras mandi dulu."
Angger mengangguk dan keluar. Dia menutup pintu. Gemintang membantu Laras berdiri dan memapahnya ke kamar mandi. Dengan tidak ada rasa canggung sedikitpun, Gemintang membantu Laras untuk mandi.
"Ada di punggung juga Mbak. Sebentar." Gemintang mengamati punggung Laras lekat. Ada luka memerah yang terlihat sudah berwarna tua seakan siap meletus. Diameter luka itu cukup besar. Gemintang memeriksa suhu air dan membantu Laras masuk ke bathtub.
"Huum...rontoknya banyak banget Mbak. Nanti dipotong saja ya Mbak."
Laras tidak menjawab tapi wanita itu mengangguk. Butuh waktu lebih dari 10 menit untuk membuat Laras benar-benar bersih. Gemintang lalu membantu Laras mengganti bajunya dan membantunya duduk di dekat jendela agar mendapatkan sinar matahari.
"Sebentar, saya ambilkan sarapan dulu."
Laras mengangguk dan terdiam menatap keluar. Lalu lalang orang di jalan sudah mulai ramai. Bunyi pintu dan jendela dibuka terdengar. Pemilik rumah yang baru saja mengantarkan istrinya untuk bekerja, membuka studio lukisnya.
Kegiatan yang semestinya.
Gemintang membantu Laras untuk sarapan sambil terus memikirkan kemungkinan terburuk karena masih jauh panggang dari api, untuk berpikir tentang bahagia.
Gemintang baru keluar dari kamar Laras satu jam kemudian ketika dia sudah memastikan bahwa luka Laras benar-benar sudah tertutup oleh salep dan Laras meminum obatnya dengan benar.
"Mas, kamu masuk malam atau gimana?"
Angger menggeleng. "Tukar jadwal sama dokter Adit, Mi. Biar bisa temanin kamu."
"Oh...ya sudah. Makan dulu."
Mereka duduk di meja makan. Gemintang menyendokkan makan untuk Angger lalu membawa sepiring sarapan untuk bapaknya.
"Besok kalau kalian kerja, si Laras itu siapa yang jaga Mi?"
"Nanti Gemintang bicarakan sama Mas Angger dan Ibuk dulu ya Pak."
"Ya sudah. Bapak mau kopi ya Mi."
"Nggih, Pak."
Gemintang segera membuat kopi untuk Bapaknya dan mengantarkan ke studio. Setelah itu dia duduk menemani Angger sarapan. Gemintang membuka koran pagi bapaknya dan membaca beberapa berita.
"Sarapan, Mi."
"Sudah tadi Mas. Lapar banget jadi makan duluan."
"Nanti mau makan apa? Atau beli apa?"
"Belikan rujak saja Mas. Tapi yang di Mayjend Sutoyo. Tahu kan?"
"Iya."
"Bapak tanya nanti siapa yang ngurus Mbak Laras kalau kita kerja, Mas."
"Mbah Margo nanti mau kemari. Aku sudah bicara sama beliau barusan. Biar dilihat dulu Mi. Terus terang bingung aku kalau masalah seperti ini. Kita cuma bisa bantu dari sisi medis kan?"
Gemintang mengangguk. Dia menghela napas dalam. Semua tertunda termasuk membersihkan griya Muntilan. Juga janjinya untuk menemui pengacara keluarga dan mencarikan pengacara baru untuk mertuanya. Gemintang melirik Angger. Dia berpikir untuk melakukan apa yang harus dia lakukan mulai besok.
*
Semua terbangun karena jeritan Laras tiba-tiba terdengar. Angger dan Pak Hilmawan berlarian ke kamar tamu. Begitu juga Gemintang dan Putri yang saling pandang. Putri bahkan baru saja pulang dari klinik dan sedang menata cemilan di meja makan.
"Ras..."
Banjir keringat dan terlihat kebingungan di tengah hujan yang kembali turun dengan deras. Laras terlihat kesakitan dan secara reflek Gemintang memeriksa luka di punggung Laras.
Gemintang saling pandang lagi dengan Putri. Mereka lalu dengan sigap membersihkan luka itu yang entah mengapa cepat sekali pecah dan membusuk.
"Keluar dulu Mas." Putri memperingatkan suaminya yang terpaku. Dia mendorong Pak Hilmawan keluar.
"Kapan Mbah Margo datang, Mas? Ini ga bisa ditunda lama-lama kayaknya."
"Simbah sedang di jalan Mi. Hujan begini, harus hati-hati."
"Sendiri?"
"Tidak. Sama Mas Banyu Biru."
"Oh...ya sudah." Gemintang membentangkan sebuah kain kasa dan memotongnya menjadi beberapa bagian. Dia terus memperhatikan Laras yang menatap nanar ke jendela. Gemintang menoleh dan tidak mendapati apapun atau siapapun di dekat jendela itu.
Angger bergerak cepat membantu Gemintang menutup luka Laras sementara Putri menahan tangan Laras yang mencabik rambutnya sendiri. Rambut Laras sudah carut marut dan begitu banyak helaian berserak di seprai.
Mereka menoleh ketika mendengar suara mobil masuk ke halaman rumah. Mobil Banyu Biru berhenti dan pria itu membantu Mbah Margo turun. Mereka bisa melihat dua pria itu berbicara satu sama lain dan Mbah Margo menggeleng ketika menatap kediaman Hilmawan.
Angger keluar dari kamar Laras dan membuka pintu kamar tamu. Mbah Margo masuk saat Banyu Biru meletakkan payung di teras rumah.
"Banyak sekali yang datang mengganggu di rumah ini, Pak Hilmawan."
Mbah Margo menatap sekelilingnya.
"Bagaimana Mbah. Bisa dibersihkan?"
"Bisa Pak Hilmawan. Nyuwun sewu. Tapi sebaiknya Nduk Gemintang dan Bu Putri keluar dan diam di studio dulu. Pak Hilmawan yang temani. Itu sumbernya kok di kamar itu."
Angger sontak menoleh. "Laras di kamar itu, Mbah."
Mbah Margo dan Banyu Biru bergerak cepat masuk ke kamar itu. Angger ikut masuk dan segera terperanjat dengan situasi di kamar itu.
"Mas..."
Gemintang yang berada dalam cengkeraman Laras membeku. Sebuah pisau bedah di tangan Laras menahan pergerakannya sementara Putri tengah memegangi lengannya yang terluka...
Seperti luka yang entah mengapa begitu cepat matang dan membusuk. Situasi juga cepat sekali berubah...
*
Ada yang baca ini sambil nyemil? Selamat anda layak dapat bintang
👑🐺
MRS BANG