Penulis amatir seperti saya ini, kalau sekali update yang baca 300-500 orang saja rasanya udah kayak cuwaaaw...cimiwiwww...berasa penulis beneran hehhehe
Selamat membaca teman-teman. Ada yang belum gajian seperti saya?
*
Setelah membangunkan Mbok Sumi dan pekerja lain untuk berpindah ke bilik.
"Duh Gusti...! Minta diapakan kamu itu, Gemintang Cahaya? Heh?"
Angger menurunkan tangannya. Dia yang dengan ekspresif mengomel pada Gemintang akhirnya menghela napas panjang.
"Kamu itu ga takut sama mahkluk astral?"
"Mas...orang mati itu kan butuh doa. Mereka ga bisa ngapa ngapain."
"Nah...itu aku setuju. Tapi bagaimana kalau yang kamu ikuti sama Mas Kelik tadi itu orang beneran? Orang beneran bisa saja jahat Mi...kalau kamu kenapa-napa gimana?"
"Kalau dia orang beneran berarti kita perlu lapor polisi Mas. Kan namanya dia menerobos properti orang lain Mas..."
"Ada buktinya?"
Gemintang sibuk merogoh kantong kardigan nya. Dia lalu mengulurkan ponselnya pada Angger. "Aku tadi tremor setengah mati. Jadi fotonya mungkin ga fokus."
Gemintang memang secara reflek mengambil beberapa gambar walaupun tidak dipungkiri dia sangat penasaran dan deg degan. Angger mengubek ponsel Gemintang.
"Ga ada apa-apa. Nih lihat..."
Gemintang mendekat ke arah Angger dan ikut mengamati ponselnya." Lah tadi itu siapa? Eh...apa maksudku..."
Mereka berdua lalu sibuk mengubek ponsel hingga benar-benar yakin tidak menemukan apapun. Angger menghela napas.
"Sedang hamil. Jangan keluar tengah malam. Terus aku kok ga yakin kamu tremor?"
"Itu tadi otomatis Mas. Lha wong ada yang mencurigakan kok masa diam saja. Dan beneran aku tadi itu gemeteran..."
"Mbok teriak minta tolong..."
"Tahu ilmu sirep ga Mas? Orang-orang semua tidur."
"Mas Kelik ga tidur."
"Mas Kelik tadi bilang dia keliling. Mas kan dengar sendiri. Jadi dia pasti ga kena."
"Kamu? Kamu kan juga di dalam rumah sebelumnya."
"Aku wadon linuwih..." Gemintang menahan tawanya ketika Angger mencebik keras. Wajah Angger adalah perpaduan gemas, kesal dan khawatir tapi tidak bisa berbuat apa-apa.
"Haduuuh...kalau dibilangi kok ngeyel."
"Iya Mas iya..." Gemintang berkata lirih.
"Iyamu itu iya yang tidak menjanjikan Mi."
"Mas mau mandi ga? Aku siapkan air panas ya." Gemintang mengalihkan pembicaraan dan memberi Angger pelukan ringan dan sebentar.
Angger terpaku. Mereka memang berdebat di depan anak tangga. Angger menyugar rambutnya dan meraih tangan Gemintang. "Nanti aku jalan jam 7 dari rumah. Mampir Kulonprogo jemput Mas Galih terus bablas."
"Huum..."
Mereka menapak anak tangga dan berjalan di sepanjang lorong lalu masuk ke kamar. Angger memutuskan untuk mandi dan mereka segera memanfaatkan waktu yang tinggal sebentar sebelum subuh untuk tidur. Dan mereka benar-benar terlelap ketika Angger selesai mengulang lagi kata-kata tentang kekhawatirannya pada Gemintang. Juga tentang mereka yang akan memeriksa CCTV besok pagi-pagi sekali.
*
"Ga ada siapa-siapa Mi..." Angger yang sudah memutar beberapa kali rekaman CCTV di rumah itu hingga CCTV halaman belakang menoleh ke arah Gemintang.
Gemintang seketika menatap Mas Kelik. "Mas...Mas Kelik lihat kan semalam itu. Masa aku halu sih Mas?"
"Nggih loh Mas Angger. Saya lihat pakai mata kepala sendiri. Wah...berarti itu bukan manusia...maksud saya itu orang tapi arwahnya bisa kemana-mana."
Angger menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi ruang kerja bapaknya dan menangkupkan tangannya di depan dagu.
"Sekarang begini, karena sebentar lagi aku harus jalan mengembalikan kotak itu, Mas Kelik nanti tolong antar Gemintang ke rumahnya."
"Mas..."
Angger menggeleng. Dia tidak mengeluarkan suara lagi dan beranjak. Dan tiba-tiba saja Angger merundukkan kepala tepat di depan wajah Gemintang. "Jangan ngeyel. Belum pernah lihat aku marah beneran kan? Tanya sama Mas Kelik kalau pengen tahu. Mas Kelik..."
"Nggih Den. Saya panaskan motor dulu." Mas Kelik keluar dari ruangan itu meninggalkan majikannya yang bertingkah manis.
Gemintang memundurkan kepalanya dan mencebik pelan. Angger berjalan keluar menuju pintu. "Hiish...belum lihat aku ngambek kan? Nanti nangis kalau aku..."
"Apa? Bilang apa?"
Angger berbalik dan urung keluar. Dia menatap Gemintang. Gemintang yang segera berjalan ke arahnya dan mengamit lengannya.
"Hati-hati Mas..."
"Huum..."
Mereka keluar dan berjalan di sepanjang lorong lalu masuk ke aula. Gemintang naik ke kamarnya dan kembali dengan jaket milik Angger.
"Sarapan nasi dulu Mas."
"Kan sudah ngeteh. Nanti sarapan sama Mas Galih saja sekalian ngomongin gimana baiknya."
"Ya sudah."
Angger menatap bungkusan kotak yang sudah dimasukkan ke dalam sebuah tas blacu.
Angger menyambar tas itu dan mereka keluar dari rumah.
"Hati-hati kalau nanti pergi ke rumah Bapak. Aku pergi dulu." Angger mencium kening Gemintang lembut dan mengusap perutnya beberapa kali.
Gemintang turun ke halaman dan menunggu hingga mobil Angger keluar dari kediaman Pananggalih. Dia menatap Mas Kelik yang sedang membersihkan motornya. Gemintang berbalik masuk dan berpapasan dengan Mbok Sumi yang membawa kopi pagi untuk Mas Kelik dan Pak Tarjo.
"Mbok ke pasar yuk..."
"Nggih."
Gemintang berjalan masuk dan membuka semua tirai ruang tamu dan ruang santai. Hawa hangat menyeruak dan dia merasakan setiap ruangan yang dia masuki terasa dingin. Tidak seperti kemarin kemarin.
*
"Alamatnya bener? Ga masuk map kok Ngger."
"Wah...kita kemana ini Mas? Map nya berhenti di sini. Ga kelihatan titiknya lagi." Angger mengedarkan pandangan ke sekelilingnya.
"Ini jam berapa to? Kok masih gelap banget."
Angger menatap jam di ponselnya. "Hampir jam 9 loh Mas padahal."
Perjalanan dari Yogya ke Jakarta yang cukup melelahkan membuat mereka memutuskan beristirahat di sebuah hotel di daerah Tanah Abang. Angger dan Galih baru bergerak lagi menuju Rangkasbitung dari stasiun Tanah Abang. Dan mereka beruntung karena perjalanan lebih cepat karena KRL tidak lagi berhenti di 4 stasiun di daerah Lebak.
Galih celingukan. Pria itu membetulkan tas ransel dan mengambil air minum. "Aneh kok Ngger. Sejak turun di stasiun tadi memang gelap banget."
Angger mengangguk. Memang, begitu turun di stasiun Rangkasbitung suasana entah mengapa masih gelap. Padahal jelas-jelas mereka turun tepat jam 8.
Dan ketika mereka sepertinya sudah sampai di tujuan mereka sesuai alamat yang diberikan Laras, keanehan itu terus berlanjut. Suasana di sekitar mereka gelap membuat jarak pandang menjadi terbatas.
"Gimana sekarang?"
"Jalan saja Mas sampai ketemu perkampungan lagi. Tapi benar kan tadi diarahkan ke sini pas kita tanya?"
Galih mengangguk. Mereka mulai berjalan lagi.
"Untung lagi ga ada kerjaan Ngger. Ini namanya kurang kerjaan banget sampai blusukan dan buta arah gini."
Langkah mereka melambat ketika dari kejauhan terlihat seseorang berjalan. Seseorang itu seperti membawa rumput yang sangat banyak dalam bentuk gulungan dan dipanggul dengan bilah bambu. Bahkan untuk jarak yang cukup dekat, orang itu terlihat seperti tengah berjalan menembus kabut.
Angger menyapa pria itu dan menanyakan alamat di ponselnya dengan hati-hati.
"Di bawah Jang. Masih turun jauh."
Begitu pria paruh baya itu menjelaskan setelah yakin dengan alamat yang ditunjukkan oleh Angger.
"Kira-kira berapa kilometer lagi ya Pak?"
"Ya...kira-kira 3-4 kilometer lagi."
"Wah...lumayan juga ya Pak."
"Iya. Tidak ada kendaraan di sini mah Jang. Jalan kaki."
"Oh...begitu. Terimakasih, Pak."
"Sami-sami. Dan hati-hati, ujang berdua nanti akan melewati banyak turunan tajam."
"Terimakasih, Pak." Angger merunduk dan pria pengangkut rumput itu balas merunduk.
Orang itu meneruskan langkahnya. Meninggalkan Angger dan Galih yang saling pandang. Angger menoleh ke belakang dan tidak menemukan pria itu. Kabut masih cukup tebal. Dan mereka merasa bahwa perjalanan mereka akan sedikit sulit.
Dan benar saja, mereka harus naik turun persawahan dengan jurang yang lumayan curam. Mereka juga beberapa kali bertanya pada orang yang mereka temui di sawah dan ladang di lereng sebuah perbukitan kecil. Mereka terseok melewati sungai kecil yang menjadi irigasi sederhana bagi petani di daerah itu. Pemandangan yang menarik seandainya suasananya tidak gelap seperti itu.
Mereka berhenti beberapa kali untuk menghela napas dan kembali melanjutkan perjalanan. Dan kembali menghela napas lega ketika seseorang yang mereka tanyai menunjuk sebuah rumah terpencil di tengah persawahan. Walaupun tak dipungkiri bahwa orang itu menatap mereka dengan pandangan aneh dan heran ketika dia tahu rumah yang mereka tuju, tak urung Angger dan Galih merasa lega bukan main.
Mereka menyusuri pematang sawah dan akhirnya tiba di depan rumah yang terlihat sunyi.
"Ada orangnya, Ngger. Di teras samping." Galih menunjuk arah samping rumah dengan dagunya. Dia kembali meraih botol minum dan meminum isinya sampai tandas.
Angger yang memang tidak ingin membuang waktu dan ingin menyelesaikan masalah kotak titipan itu sesegera mungkin, berjalan ke arah samping rumah dan memberi salam. Salam yang tidak dibalas oleh seorang pria berjanggut panjang.
"Permisi, saya..."
"Letakkan di situ."
Belum sempat Angger memberitahukan tujuannya, pria itu dengan suara serak memintanya meletakkan bawaannya ke lantai kayu di depannya.
"Wanita culas. Dia pikir semua beres dengan mengembalikan kotak itu dan isinya?"
Angger tertegun dan menatap tas blacu yang teronggok di lantai kayu.
"Maksudnya, Pak?"
"Dia pikir bisa seenaknya membuat kami berperang antar sesama pekerja di ranah ini?"
Angger semakin bingung dan dia duduk di emperan teras samping itu.
"Bukan begitu cara main kami. Dia tidak menyelesaikan semua tapi memutuskan mendatangi orang lain dan memakainya? Itu penghinaan."
Angger mulai mengerti arah pembicaraan orang di depannya itu setelah mencoba dengan keras mengartikan apa yang dibicarakan pria itu. Perbedaan bahasa membuat Angger sedikit kesulitan. Apapun yang dilakukan Laras, rupanya Laras tidak mengikuti aturan main mereka. Para dukun. Mungkin itu sebutan mudahnya.
"Dia membuat kami berperang. Dia yang akan hancur sendiri."
"Tapi, kami tidak ada sangkut pautnya dengan semua ini, Pak. Jadi apa benar ada yang mengganggu rumah kami?"
"Dia ada dimana kotak itu berada."
Angger menggeleng pelan. Jelas secara langsung mereka menjadi korban tindakan Laras. Dia yang dimaksud pria yang belum terlalu tua itu pasti orang---atau apapun sebutannya---, yang kata orang-orang rumah, menyatroni kediaman Pananggalih dan membuat Gemintang keluar malam-malam.
"Setelah ini semoga bapak tidak berada di sekitar kami lagi. Kami hanya dimintai bantuan."
"Ini awalnya hanya pengasihan yang sederhana saja. Seorang wanita yang menjadi tujuan wanita itu. Dan dia tidak tahu terimakasih sementara aku sudah bersamanya selama bertahun-tahun."
"Wanita itu ibu saya, jadi kalau begitu lepaskan masalah ibu saya ini secepat mungkin. Karena wanita itu sudah tidak menginginkannya. Dia sudah tidak ada urusan dengan ibu saya."
"Itu masalah gampang. Pergilah."
Angger beranjak dan menoleh pada Galih yang sejak tadi ikut mendengarkan pembicaraan mereka. Mas nya itu terlihat memegang ponselnya dengan posisi aneh.
"Wanita itu dan ibunya berperang terus menerus. Dan mungkin saja kalian akan tetap terlibat walaupun kalian tidak mau."
"Kami permisi." Terdengar suara Galih yang sejak tadi diam.
Galih menarik Angger dan mereka keluar dari halaman rumah itu. Kembali menyusuri pematang sawah, jalanan sempit, naik turun jurang dan menyeberang sungai.
Langkah Angger dan Galih terlihat lebih ringan dengan kabut yang sepenuhnya sudah pergi. Suasana seketika terang benderang selayaknya waktu saat itu yang menunjukkan pukul 11:30.
Dan mereka merasa beruntung menemukan gerobak yang ditarik seekor kuda. Pemiliknya mengijinkan mereka menumpang hingga stasiun.
Benar-benar aneh. Seperti perjalanan yang gelap gulita lalu terang benderang ketika mereka sudah benar-benar menyerahkan kotak itu pada pemiliknya.
Akhirnya Angger dan Galih sampai di stasiun setelah perjalanan nyaris satu jam.
Mereka duduk di peron. Kereta selanjutnya menuju Tanah Abang masih 1 jam lagi. Galih membeli minum dan mereka duduk di peron yang sepi dengan hanya sesekali orang lewat.
"Mas. Sambutannya..."
"Lah terus maumu gimana? Diajak sarapan sama ngeteh bareng?"
Angger tertawa pelan. Dia memang cukup terkejut dengan sambutan pria pemilik kotak tadi.
"Tapi Mas..."
Galih menoleh dan langsung mengerti apa yang dipikirkan oleh Angger.
"Sudah. Tidak usah ikut campur. Perkara mereka mau perang, perkara Laras dan Ibunya, sudah cukup. Biar mereka urus sendiri."
"Dia bilang kita tetap akan terlibat kok Mas. Apa maksudnya coba?"
"Huum..." Galih terlihat menyelonjorkan kedua kakinya dengan acuh. "...kita ga bisa sendiri kalau sudah begini, Ngger. Maksudku, bagaimana dengan kemungkinan bicara dengan Mbah Margo tentang ini?"
"Huum. Aku juga perlu tanya-tanya Mas."
"Ya sudah. Kita lihat beberapa hari ke depan. Apa maunya mereka itu?"
Akhirnya mereka duduk diam ketika peron mulai ramai oleh calon penumpang kereta menuju Jakarta.
*
"Harus dicari, Den Mas."
Angger terhenyak ketika mendengar perkataan Mbah Margo. Dan pria sepuh itu langsung mengerti apa yang dipikirkan oleh Angger.
"Mbak Laras itu kalau orang Jawa bilang punya banyak cekelan di tubuhnya Den Mas."
"Waah..." Angger menyugar rambutnya pasrah. Dia benar-benar tidak menyangka hal itu. "...bagaimana dengan ibunya, Mbah?"
"Mereka itu sedang adu kuat. Benar-benar tidak bisa dipercaya."
"Yang kemarin itu cukup mengganggu, Mbah. Simbah kan tahu bagaimana Gemintang. Dia tidak bisa diam."
"Ini kalau misalnya disembunyikan dari Nduk Gemintang bagaimana kira-kira? Maksud saya, jangan ada yang membicarakan hal ini sama dia? Bisa atau tidak?"
"Untuk tidak bicara bisa Mbah. Tapi dia seperti tahu sendiri kalau ada apa-apa."
"Mata batin anak itu sangat kuat memang...huuum..." Mbah Margo mengusap jenggotnya yang memanjang.
"Saya usahakan ya Mbah. Dia sedang di rumah Bapak."
"Sebaiknya begitu. Ini bukan tentang apa-apa Den Mas. Masalah kemanusiaan saja. Saya siap membantu."
"Nggih Mbah. Sekarang saya permisi dulu jemput Gemintang."'
Mereka beranjak dan Angger meninggalkan Pondok Pesantren Kyai Krapyak. Memang Angger tidak membuang waktunya. Begitu dia dan Mas nya sampai di Kulonprogo, hal yang dia lakukan adalah bergegas menemui kedua orang tuanya dan Mbah Margo di Bantul.
Angger melajukan mobilnya menuju pusat kota Yogya. Dia ingin menemui Gemintang dan mengajaknya pulang. Sesuatu yang sudah seharusnya walaupun sepertinya masalah mereka belum akan selesai sampai di situ saja. Angger berharap Gemintang tidak mengetahui apapun. Cukup dia saja.
Tidak mengetahui. Mungkin itu hanya harapan Angger saja. Tidak untuk Gemintang yang melongo dan sempat kehilangan keseimbangannya ketika dia membuka pintu rumah dan seseorang terjerembab ke arahnya. Sosok itu lalu rubuh ke lantai dengan posisi tengkurap.
"Mbak Laras? Loh...Put...Put...tolong Put..."
Gemintang berteriak ke Putri lalu berjongkok dan memeriksa Laras. Dia memang mendengar bel pintu berbunyi dan membukanya karena dia mengira itu Bapaknya atau tamu.
"Astagfirullahaladzim..." Gemintang menutup mulutnya ketika menyibak rambut Laras dan rambut wanita itu lolos dari kepalanya begitu saja dalam jumlah banyak. Gemintang menatap rambut di tangannya tak percaya. Dan dia semakin tercekat ketika mendapati wajah Laras yang menghitam di beberapa bagian.
"Ada apa Mi...loh...astagfirullahaladzim."
Wangi bunga gayam santer tercium dibawa angin yang bertiup kencang. Waktu Isya' sudah terlewat begitu banyak.
*
Wis...wis...ruwet wis...
Kalian sabar ya. Tetap sehat.
👑🐺
MRS BANG