Semoga hari kalian menyenangkan
Jangan lupa jajan sekali kali buat nyenengin hati
Atau membeli sesuatu sebagai penghargaan untuk diri sendiri yang sudah bekerja keras
Selamat membaca teman-teman
*
Gemintang menunduk. Gerakan yang tidak luput dari pengamatan Angger. Juga ketika Gemintang sedikit mendongak dan beradu pandang dengan Putri. Dan saat itu mereka sedang menyaksikan bagaimana Ibunya begitu panik masuk ke mobil untuk pergi ke rumah sakit menengok Laras. Sikap Ibunya yang seperti itu, tentu membuat Gemintang cemburu. Angger bahkan dengan mudah membaca gerak bibir Gemintang pada Putri. Bibir istrinya itu jelas mengatakan kata duh dan Gemintang sepertinya menahan perasaan di balik senyum tertahannya.
"Mi, Bapak pulang dulu, mau lihat rumah. Takutnya ada yang rusak."
"Ikut, Pak."
Semua menoleh ke arah Gemintang yang seakan terlalu cepat menanggapi ucapan Bapaknya. Gemintang juga meraih tas nya dengan cepat. Dia seakan tidak mau berada di tempat itu lama-lama.
"Ikut pokoknya. Motornya ditinggal saja. Kita naik taksi. Mas, aku pulang dulu sebentar nanti balik lagi."
Gemintang menuruni teras dan melintasi halaman diikuti oleh Putri yang terlihat bingung. Putri menoleh ke arah teras dan melihat Bapaknya Gemintang berbicara sebentar dengan Angger dan Galih. Mereka akhirnya menunggu di pos penjagaan dan mencegat sebuah taksi ketika Pak Hilmawan menghampiri mereka.
Di teras, Angger menyugar rambutnya.
"Ngambek kenapa si Gemintang itu?"
"Aku marahi karena nekat. Dia itu..."
"Ga bisa dimarahi, Ngger."
"Ya habisnya piye Mas. Dia itu seperti ga mikir sedang hamil. Anakku Mas. Anakku..." Angger memberi penekanan pada setiap kata anakku dengan wajah jengkel. "...kalau terjadi apa-apa gimana?"
"Iya ngerti. Cuma kan kamu tahu Gemintang itu seperti apa? Ikuti saja sampai dia bosan sendiri. Seperti makanan...dia minta apa kasih saja sampai dia bosan...nanti dia bakal diam sendiri."
"Duh..."
Angger terhempas di kursi pondok. Mereka bahkan belum sempat sarapan pagi itu, dan seperti yang sudah diduga, Ibunya heboh dengan kekhawatiran nya pada Laras. Bahkan Mas nya yang datang pagi-pagi mengantarkan salinan baju hanya bisa terdiam.
"Mbak Wiji sensitif ga Mas pas hamil?"
"Tidak. Tapi perempuan hamil itu kan macam-macam. Wiji itu morning sick nya parah sampai nangis setiap pagi. Gemintang tidak mengalami itu. Gantinya ya...begitu...mutungan. Mbok mau kamu bilangin apa saja, dia ga bakalan ngerti. Kamu yang harus punya banyak maklum."
"Tapi..."
"Di maklum itu ga ada kata tapi setahuku Ngger."
Angger mendesah kesal. Gemintang terlihat diam saja semalam. Istrinya itu terlihat menurut dan bisa menerima kata-katanya. Tapi paginya...semua seperti menguap bersamaan dengan embun yang luruh.
"Apa ya seperti itu, Mas?"
"Memang seperti itu. Mau gimana lagi. Apa kamu pernah lihat Gemintang seperti itu sebelumnya?"
"Bagian dia yang nekat itu memang dia banget Mas."
Galih tertawa. "Kalau kamu sudah tahu seharusnya lebih mudah, Ngger. Kan sudah hafal tabiat istrimu seperti apa? Tinggal diawasi saja."
"Apa-apa memang ga perlu cerita ke dia sepertinya, Mas. Biar dia anteng ga tahu."
"Dia itu pintar membaca situasi. Jadi mustahil dia ga penasaran dan cari tahu kalau ada yang mencurigakan. Sudah...sudah. Terima nasib wae."
"Ga bisa terus menerus seperti ini, Mas."
"Selesaikan satu-satu, Ngger. Ibumu dulu."
Angger mengusap wajahnya. "Sarapan dimana, Mas? Siang Bapak Ibuk baru balik lagi kemari. Aku sudah bilang sama staf."
"Kamu ada jadwal pagi?"
"Iya, niatnya tadi mau barengan ke rumah sakit, cuma aku jaga perasaan Gemintang."
"Ya sudah. Sarapan di emperan saja. Ayok. Simbah gimana?"
"Ada staf yang ngurus, Mas."
Mereka berjalan ke arah parkiran dan masuk ke mobil. Angger menolak berada di belakang kemudi dengan alasan dia tidak bisa berkonsentrasi. Galih menepuk bahunya keras. "Jangan lemah, Ngger."
"Hisssh...meneng Mas. Aku sedang bingung ini."
Galih tertawa dan melajukan mobilnya keluar dari area pondok. Mereka menuju jalan Jogokariyan dan sarapan di emperan. Walaupun tampilan mereka begitu mencolok dan sering mendapat lirikan dari orang-orang, mereka hanya berpikir itu karena mereka memiliki postur tubuh yang sedikit lebih besar dan tinggi dibanding orang-orang kebanyakan.
Mereka makan dengan lahap dan berbicara hal-hal ringan. Sambil mengisi perutnya dengan minuman hangat, Angger berusaha mengalihkan semua pikirannya. Dia membangun lagi ketenangan agar dia bisa bekerja pagi itu.
Setelah sesi sarapan akhirnya mereka berpisah di depan pintu ruang gawat darurat ketika Galih menghentikan mobilnya di sana.
"Aku ga bisa ke pondok nanti malam, Ngger. Ada mertuaku datang."
"Nanti aku pulang sebentar Mas buat ketemu mertua sampeyan." Angger membetulkan tali tasnya dan melambai ke arah Mas nya. Dia memasuki ruang gawat darurat dan melanjutkan langkah ke ruangannya.
*
Gemintang dan Putri mengikuti langkah Pak Hilmawan yang merunduk sambil mengikuti jejak tanah yang berawal dari ruang tamu. Jejak tanah itu baru berhenti di depan kamar Gemintang.
"Wah...hewan apa sampai bawa tanah masuk ke rumah seperti ini, Mas?"
"Bukan hewan. Ini tanah kuburan."
"Heh?"
Putri mundur selangkah. Gemintang melakukan hal yang sama dan menegakkan tubuhnya.
"Mas...hissh..."
"Sana mandi lagi. Kamu juga Mi. Terus istirahat. Biar Bapak yang bereskan ini."
"Tidak tanya-tanya dulu apa gimana Pak?"
"Kalian bebersih dulu. Nanti Bapak nelpon Simbah, Mi. Sudah sana."
Gemintang menumpukan tangan di dagunya dan mengamati tanah memanjang hingga ke teras itu. Dia baru terhenyak ketika Putri menariknya.
"Kamu mandi dulu sana. Aku bikin teh dulu. Sarapan pesan antar saja."
"Huum..." Gemintang berjingkat ke arah kamar mandi. "Buk...handuk ya..."
"Halaaaah..." Putri yang hendak berjalan ke arah dapur mengurungkan niatnya. Dia masuk ke kamarnya dan keluar dengan setumpuk handuk bersih. Dia menatap suaminya yang terlihat sibuk dan menelpon Mbah Margo di teras.
"Mi...semalam ada gempa kamu berasa ga?"
Tidak ada sahutan dari dalam kamar mandi. Putri mengetuk pintu kamar mandi dan pintu itu justru terdorong dan terbuka dengan sendirinya.
"Astagfirullahaladzim..." Putri menutup mulutnya dan menghampiri Gemintang yang berdiri terpaku di depan bak mandi.
"Mi!"
"Heh?"
"Jangan melamun. Sudah dibilang berulang kali kok ya ngeyel."
"Oh..." Gemintang menggeleng kuat dan menatap Putri yang mengulurkan handuk.
"Sudah mandi asal saja. Aku tunggu di pintu."
Gemintang mengangguk linglung. Putri menepuk pundaknya dan Gemintang mengangguk. Dia lalu melangkah keluar dan menunggu di depan pintu kamar mandi.
"Kenapa? Kok malah ga bikin teh atau apa?"
"Itu, Gemintang malah bengong."
Putri memperhatikan suaminya yang mengumpulkan tanah berserak dengan sapu.
"Ditempatkan apa, Mas? Plastik?"
"Bukan. Kata Simbah suruh diikat kain kafan kalau ada, terus dimasukkan ke toples."
"Itu banyak, Mas. Ada kainnya?"
"Aku sudah suruh orang beli ke pasar."
"Siapa?"
"Hansip."
Putri mengangguk.
"Ini nanti jangan dilangkahi, Put."
"Lah...tadi Gemintang nglangkahi itu, Mas."
"Heh? Suruh mandi bersih. Kalau perlu kamu mandikan."
"Eh?"
"Iya. Nanti dijelaskan."
"Oh...ya..."
Putri mengetuk pintu kamar mandi dan menerobos masuk ketika Gemintang membuka pintu.
"Suruh mandi yang bersih kata Bapakmu, Mi."
"Aku ga mau keramas, Put. Dingin."
"Hissh...nanti habis ini minum teh panas terus sarapan yang panas-panas. Sudah. Ayo dibantu. Kamu itu mbok potong rambut."
"Katanya kalau hamil ga boleh potong apa-apa, Put."
"Kata siapa? Nanti minta duit sama Angger terus ke salon."
Gemintang melengos dan menyalakan shower. Dia membasahi rambutnya dan mulai membersihkannya dengan shampo. Mereka menutup mulut hingga Putri juga selesai mandi.
Kembali memperhatikan tanah yang menjadi gunungan kecil dan teronggok di dekat dinding. Gemintang mengaitkan peniti ke saku terusannya.
"Kamu itu pakai baju hitam terus, Nduk. Mana rambutmu itu sudah panjang. Mbok dipotong."
"Nanti, Pak. Siangan mau nengok Ibuk di Ghrasia. Habis itu potong rambut."
"Ya sudah. Sarapannya di studio saja."
"Bapak ga ke sanggar?"
"Ini libur sehari pementasannya. Besok pagi pergi pagi-pagi banget buat latihan."
Gemintang mengangguk dan melangkah keluar menuju studio dan menunggu pesanan sarapan.
"Rumah tangga itu, Mi...kalau ga ada yang mau mengalah salah satu, ga baik."
Gemintang meletakkan ponselnya. Dia menatap Bapaknya yang membuka pintu studio lebar-lebar. Gemintang beranjak dan mengaitkan tali tirai. Dia menatap keluar melalui jendela yang sudah terbuka lebar.
"Aneh kalau Angger ga marah sama kamu. Kamu itu bukan hanya membawa badan sendiri, tapi ada anaknya di perut kamu itu. Wajar dia jadi keras."
Gemintang membisu.
"Bapak ga menyalahkan kamu masalah intuisi mu yang tajam soal Laras. Tapi, besok-besok lagi tolong dipikirkan dulu. Kalau sampai kejadian apa-apa sama kamu semalam gimana? Kodrat mu itu sekarang istri orang. Dan kamu harus menjalaninya dengan baik. Ngerti, Gemintang Cahaya Desembriarto?"
Gemintang tetap membisu.
"Gemintang."
"Gemintang ngerti, Pak."
"Telepon suamimu sana. Tanyakan sudah makan atau belum?"
Gemintang berbalik dan duduk lagi di meja kerja Bapaknya. Dia menatap ponselnya ragu. Lalu menatap Bapaknya yang mengelap kaca jendela. Bukan sekali dua kali Bapaknya itu menasehatinya hal seperti itu.
Gemintang meraih ponselnya dan menyalakannya. Tepat saat nama Angger tertera dalam layar panggilan. Gemintang menjawab ragu salam yang terdengar begitu dia menekan tanda terima.
Hening...
Dua orang yang tidak mengerti harus berbicara apa?
"Sudah sarapan, Mi?"
"Belum, Mas."
"Loh kok belum. Mau makan apa?"
"Sudah pesan, Mas."
"Huum...ya sudah."
Pembicaraan canggung antara dua orang yang seakan baru bertemu setelah sekian lama.
"Huum."
"Ya sudah. Aku tutup ya?"
"Huum..."
Dan hening yang ditingkahi suara kertas di geser dan suara perawat yang membantu Angger di ruangannya.
"Ya sudah..."
"Mas."
"Huum..."
"Hmm...aku kangen."
Hening yang dipecah suara tawa kecil Angger.
"Mau jenguk Ibuk. Ketemu di sana habis Dzuhur mau?"
Gemintang mengangguk-angguk.
"Mau?" Angger mengulang pertanyaan karena lama tidak mendengar jawaban Gemintang.
"Iya, mau."
"Atau dijemput terus barengan?"
"Huum."
"Huum...gimana?"
"Dijemput saja."
"Baik, nyonya."
Gemintang menahan tawanya. "Ya sudah sana kerja lagi."
Kali ini Angger yang tertawa. Mereka berbincang lebih lama sampai akhirnya Angger harus melanjutkan pekerjaannya.
"Begitu kan enak dilihat. Tidak wajah ditekuk aja."
Gemintang mendongak dan Putri datang dengan rantang dari sebuah kedai makan.
Gemintang meraih piring yang baru saja diletakkan oleh Putri.
"Cuci tangan dulu." Putri memukul punggung tangan Gemintang pelan.
"Hiiish. Sudah bersih. Kan barusan mandi."
"Tapi pegang pegang tirai. Cuci tangan sana."
Gemintang beranjak dan keluar dari studio. Dia mencuci tangannya di padasan.
"Mbak Gemintang."
"Eh, Pak hansip. Cari Bapak ya?"
"Nggih, Mbak."
"Masuk saja. Ada di dalam. Huum...di ruang makan."
"Nggih. Permisi, Mbak."
"Monggo."
Gemintang kembali ke studio dan menunggu Bapaknya untuk makan.
"Makan dulu saja. Tadi Bapakmu sudah bilang suruh duluan. Dia agak lama."
Gemintang mengangguk dan meraih piringnya.
"Jadi ke Grashia, Mi?"
"Jadi. Mau ikut?"
"Ga lah, Mi. Besok kapan-kapan saja aku nengok sendiri."
"Nanti aku bawain apa yang kamu pengen."
"Huum. Iya."
Mereka makan diseling Putri yang harus melayani seseorang yang mengambil lukisan. Hari sepertinya berawal dengan hal baik.
*
Duduk di taman Rumah Sakit Jiwa Ghrasia. Gemintang bisa merasakan bagaimana Angger merasakan kesedihan yang dalam karena Bu Rima yang belum juga membaik.
Wanita itu
Yang seharusnya masih lincah di usianya sekarang, duduk diam dengan raga yang seakan tanpa jiwa lagi. Dia seperti seseorang yang sedang melamun dan menolak mengenali siapapun yang menjenguknya. Walaupun tidak menolak genggaman tangan Angger, tidak ada sepatah katapun keluar dari mulut wanita itu.
Hingga seorang perawat membawanya masuk dan meninggalkan Angger dan Gemintang duduk di taman. Jam 4 sore. Angger menatap genggaman tangannya dengan Gemintang.
"Mau makan apa, Mi?"
Gemintang menoleh. "Eh?" Dan menggeleng.
"Ada makanan kekinian di daerah sini. Mau?"
"Putri yang mau, Mas."
"Yok. Dibelikan. Sekalian nyicipi."
Gemintang menolak beranjak hingga Angger tertahan dan duduk lagi.
"Kenapa?"
"Masalah menurut itu Mas..."
Angger tertawa. "Aku ngerti. Mana bisa Gemintang melakukannya. Begitu?"
Gemintang mengangguk. "Tapi bukan tidak bisa. Cuma harus pelan-pelan..."
Angger hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dan tersenyum.
"...tapi takutnya kamu ga sabar, Mas."
"Mi...mau ga sabar juga sudah niat kecebur pernikahan sama kamu. Aku pasti kuat."
Gemintang tertawa. Tangannya mengamit lengan Angger dan memeluknya hangat membuat Angger tersenyum. Rasanya mustahil pernikahan tanpa gejolak. Apalagi kalau itu dengan Gemintang. Begitu Angger berpikir. Tapi mengalah jelas hanya dia yang sanggup melakukannya. Bukan Gemintang.
"Mau lihat-lihat kedai kekinian itu sekarang?"
Gemintang mengangguk dan beranjak ketika Angger membantunya. Mereka menuju ke arah ruang jaga di lorong kamar Bu Rima berada dan berpamitan pada perawat yang berjaga.
Membelakangi kamar Ibunya. Angger mengusap lehernya pelan dan mendengarkan beberapa penjelasan dari perawat jaga terkait apa yang akan dibutuhkan Ibunya di kunjungan mereka selanjutnya.
Bunyi konstan sebuah anak pulpen yang keluar masuk rangkanya nyaris tidak terdengar di ruangan sepi yang mengurung jiwa yang terdiam bernama Karima Suntowo.
Tatapan tajam dari balik kaca kecil di pintu pada anak dan menantu yang membelakanginya seakan menyiratkan sesuatu.
Suara pulpen yang terus menerus
Seperti sebuah sandi Morse
*
Kurang gimana Mas Angger tuh? Sudah dokter, cakep, kaya raya, sabar...halaaaah...
Adakah dari kalian yang menunggu kata The End?
Aku usahakan ya
👑🐺
MRS BANG