DARI BALIK KELAMBU

By niken_arum

355K 75.1K 10.1K

Angger Liveni Pananggalih itu dokter muda berdarah ningrat. Orang bilang dia tinggal di dalam tembok. Tembok... More

Prolog
Satu PROSA
Dua KERATON
Tiga PROSA DAN BURUNG KERTAS
Empat PEMUDA BERNAMA ANGGER PANANGGALIH
Lima PEMUDA NINGRAT
Enam JANJI
Tujuh DUA SISI HATI
Delapan BERTEMU LAGI
Sembilan MENANDAI
Sepuluh KEBENARAN
Sebelas RAHASIA
Dua belas RANTAI
Tiga belas KEMBALI
Empat belas JIWA YANG SAKIT
Lima belas DICULIK
Enam belas KEHILANGAN
Tujuh belas GADUH
Delapan belas PERGI
Sembilan belas DIAM
Dua puluh VERSAILLES
Dua puluh satu AWALAN MIMPI BURUK
Dua puluh dua ROMANTISME YANG ANEH
Dua puluh tiga PULANG
Dua puluh empat KALAP
Dua puluh lima DARI BALIK KELAMBU
Dua puluh enam IBU MERTUA DAN RAHASIANYA
Dua puluh tujuh HATI YANG BERCABANG
Dua puluh delapan LAKON SANDIWARA
Dua puluh sembilan RUMAH PENUH KEBOHONGAN
Tiga puluh HAL ANEH
Tiga puluh satu RUMAH SAKIT JIWA
Tiga puluh dua JANUR MELENGKUNG
Tiga puluh tiga SILSILAH YANG RUMIT
Tiga puluh empat AROMA MAYAT
Tiga puluh lima RAMBUT YANG SUDAH TERURAI
Tiga puluh enam TENTANG MASA LALU
Tiga puluh tujuh KUNCI
Tiga Puluh Delapan PERJODOHAN GHAIB
Tiga Puluh Sembilan PRIA BERNAMA BANYU BIRU
Empat Puluh SALAH MENGERTI
Empat Puluh Satu UNDANGAN
Empat Puluh Dua ABU-ABU
Empat Puluh Tiga KECURIGAAN
Empat Puluh Empat PEMAKAMAN
Empat Puluh Lima WASIAT DALAM BUKU CATATAN
Empat Puluh Enam MISTIS
Empat Puluh Tujuh PENGAKUAN
Empat Puluh Delapan RAHASIA TENTANG ARSENIK
Empat Puluh Sembilan RUANG DAN WAKTU
Lima Puluh SARUNG TANGAN ISTIMEWA
Lima Puluh Satu BUNGKAM
Lima Puluh Dua CINTA ITU BENAR BUTA ADANYA
Lima Puluh Tiga MELAMAR ANGGER
Lima Puluh Empat MENIKAH DAN TEORINYA
Lima Puluh Lima HARI PENUH RAHASIA
Lima Puluh Enam TIDAK HARUS SEDARAH UNTUK DISEBUT SAUDARA
Lima Puluh Tujuh GEMINTANG DAN AKSINYA
Lima Puluh Delapan JEJAK MASA LALU
Lima Puluh Sembilan DRAMA TIADA AKHIR
Enam Puluh SANATORIUM
Enam Puluh Satu BU DOSEN LARASATI
Enam Puluh Dua INI BUKAN TENTANG CEMBURU
Enam Puluh Empat BONEKA JERAMI
Enam Puluh Lima KABAR GEMBIRA
Enam Puluh Enam PENOLAKAN
Enam Puluh Tujuh BU DOSEN DAN MASA LALU
Enam Puluh Delapan KETEMPELAN
Enam Puluh Sembilan ANTARA MENANTU DAN MERTUA
Tujuh Puluh CEMBURU
Tujuh Puluh Satu DETEKTIF DADAKAN
Tujuh Puluh Dua TANAH KUBURAN
Tujuh Puluh Tiga SANDI MORSE
Tujuh Puluh Empat KABUR
Tujuh Puluh Lima KEJAHATAN SEPANJANG MASA
Tujuh Puluh Enam JANGAN MENYERAHKAN HATI SEPENUHNYA PADA PRIA
Tujuh Puluh Tujuh KEJADIAN MISTERIUS
Tujuh Puluh Delapan PRIA MISTERIUS
Tujuh Puluh Sembilan PENGGANGGU RUMAH
Delapan Puluh DI AMBANG PUTUS ASA
Delapan Puluh Satu KASIH SAYANG YANG SALAH
Delapan Puluh Dua RAHASIA BAPAK
Delapan Puluh Tiga LELAH
Delapan Puluh Empat KEBAYA HITAM
Delapan Puluh Lima RAPI, KLIMIS, BUAYA
Delapan Puluh Enam TARIK JIN
Delapan Puluh Tujuh MONOKROM HITAM PUTIH
Delapan Puluh Delapan PENGACARA MENCURIGAKAN
Delapan Puluh Sembilan KIRANI, ANEH
Sembilan Puluh PEWARIS YANG ABSURD
Sembilan Puluh Satu BANASPATI
Sembilan Puluh Dua DALANG DAN WAYANGNYA
Sembilan Puluh Tiga KIRANI DICULIK?
Sembilan Puluh Empat TEKA TEKI MAYAT DI SUNGAI OPAK
Sembilan Puluh Lima MAYAT DENGAN LABEL B196

Enam Puluh Tiga BU DOSEN DAN RAHASIANYA

2.6K 645 129
By niken_arum

Di rumah kalau pagi nyaris tidak pernah ada makanan yang disajikan dengan estetika. Misal, roti panggang. Ya sudah aja siapin 22 lembar roti tawar, panggang di mesin. Des...Des...Des...oles toping. Tumpuk jadi 1.
Ambil satu-satu plus segelas susu. Bubar jalan semua cari tempat sendiri-sendiri. Secara belajar online kan...akhirnya sarapan bareng itu...hampir mustahil.

*





"Aku sibuk sampai akhir pekan. Ada seminar hari Rabu dan Kamis. Jadi Mas, kamu jangan rewel sama Mbak Wiji. Jangan apa-apa khawatir. Jangan panik kalau Bagus nangis aja. Bayi ya begitu. Nangis belum tentu sakit. Kalau ga nangis baru boleh panik. Duh, Gusti...lah kamu malah lebih ngrepoti dari anakmu, Mas. Lihat...Bagus aja anteng malah Bapaknya yang heboh."

Gemintang selesai memakaikan baju Rahardian Bagus Jatmiko yang anteng sejak tadi. Gemintang lalu menyerahkan bayi itu pada Galih.

"Ya aku kan bukan Dokter seperti kamu, Mi. Wajar kalau aku panik. Takutnya Bagus nangis karena sakit."

Gemintang hanya sanggup menghela napas panjang. "Bisa jadi dia lapar berarti harus nyusu. Atau ada semut di kasurnya..."

"Heh...?" Galih otomatis memeriksa kasur anaknya.

"Misalnya Mas...misal..." Gemintang menjadi gemas sendiri dengan sikap Galih. Dia menatap Mbak Wiji yang baru saja selesai dipakaikan stagen oleh dukun bayi yang setiap hari datang ke rumah itu.

"Boleh bawa laptop ke kamar bayi, Mi?"

"Boleh. Ga papa yang penting jangan dekat-dekat." Gemintang tahu Galih punya banyak pekerjaan terkait bukunya. "Sudah? Telepon aku atau Mas Angger kalau ada apa-apa yang urgent. Aku pergi dulu." Gemintang mencium pipi Bagus pelan.

"Mbaaak..." Gemintang memanggil Wiji dan melambai. Dia keluar begitu Wiji mengangguk. Gemintang berjalan menuju aula dan menghampiri Angger yang sedang menggulung lengan kemejanya.

"Sudah?"

"Sudah Mas. Ayo jalan sekarang."

Gemintang memeriksa tas nya sambil mengikuti Angger yang keluar rumah terlebih dulu. Mereka masuk ke mobil dan meninggalkan kediaman Pananggalih yang memiliki suasana baru. Setiap pagi, semua jendela dibuka lebar-lebar.

"Seminar itu bentrok sama jadwalku Mi. Kamu ga papa pergi sendiri?"

"Ga papa Mas. Nanti juga ketemu yang lain di tempat seminar."

"Hati-hati."

"Iya, Mas."

"Hari Jum'at jadi ke rumah Bantul? Sudah memastikan janji sama Mas Banyu Biru?"

"Belum. Nanti coba aku telepon lagi. Dia bilang aku harus lihat langsung biar sreg itu halaman samping mau dibikin seperti apa?"

"Ga ada di gambar?"

"Bukan. Ada, cuma kemarin aku lihat lagi kok aku pengen bikin tempat bakar-bakaran, gitu. Buat sesekali."

"Huum."

"Kalau selepas Jum'at an mungkin aku bisa antar."

"Nanti aku tanya lagi, Mas."

"Ya sudah. Kenapa?" Angger menoleh sejenak ke arah Gemintang yang memegangi perutnya.

"Ga tahu ini. Dari kemarin itu kok ga nyaman banget. Mungkin mau dapat."

"Minta teman buat nge cek, Mi."

Gemintang mengangguk. Dia menahan napas dan melepaskannya pelan. Angger berbelok masuk ke halaman klinik dan berhenti.

"Beneran ga papa?" Angger membantu Gemintang turun.

"Ga papa, Mas. Sudah jalan aja. Udah siang."

"Masuk dulu." Angger memijat kedua pundak Gemintang pelan. Gemintang berjalan masuk ke teras klinik dan menoleh. Dia mengangguk ketika Angger melambai dan masuk ke mobil. Gemintang masih berdiri di teras klinik hingga mobil Angger menghilang dari pandangan matanya.

Gemintang berbalik dan menghampiri meja perawat. Dia segera menyiapkan pekerjaannya.

*

"Sibuk banget, Le?"

"Tidak, Buk. Biasa saja."

Angger menatap Ibunya yang menyodorkan kotak makan ke arahnya. Pandangan matanya beralih pada Bapaknya yang mengamati tempat istirahat para dokter. Jam makan siang yang lengang karena shift yang bergantian.

"Ada apa, Bu?"

"Ga ada apa-apa. Tadi habis dari Krapyak terus mampir ke sini."

"Oh..." Angger menerima sendok yang diulurkan Ibunya. Ibunya membuka kotak makan dan menyiapkan semuanya di depan Angger.

"Sudah. Makan dulu."

Angger mengangguk. Dia mulai menyendokkan nasi ke mulutnya.

"Gemintang apa ga pernah masak?"

"Masak Bu kalau jadwal kami sama-sama libur."

"Tenaga kalian itu kan terpakai terus, harus makan yang sehat."

"Nggih, Bu."

"Tadi ke Krapyak diantar Laras. Padahal dia sedang ga enak badan. Katanya belum sempat masak."

Angger diam dan meneruskan makannya.

"Dia kalau masak enak."

"Huum..." Angger mengangguk-angguk. "Enak atau tidak itu cocokan di mulut kok Bu. Sesuai selera. Gemintang belum bisa masak yang aneh-aneh, tapi...sejauh ini masakan dia yang paling cocok di mulut Angger."

Angger menatap Ibunya yang entah mengapa segera mengalihkan pandangan ke arah Bapaknya yang sedang berdiri di depan jendela kaca dan memandang keluar.

Angger beranjak dan mencuci tangannya di wastafel.

"Angger sama Gemintang belum ada jadwal libur yang barengan Bu. Tapi kalau ada yang perlu dibicarakan dan sekitarnya penting, kami bisa atur ulang jadwalnya. Nanti bisa minta tukar jadwal dengan teman."

Angger yang sudah duduk kembali menatap Ibu dan Bapaknya.

"Kalian tahu Angger sudah punya Gemintang. Dan Angger mencintai Gemintang lebih dari Angger mencintai diri sendiri."

"Laras ga akan nuntut banyak."

"Gemintang juga seperti itu. Makanya Angger tidak mau mengecewakan dia."

"Kami sudah terlanjur berjanji."

"Perjanjian itu kan sama Mas Andi, Bu. Bukan Angger. Seharusnya mereka tidak memaksakan."

"Dengan keluarga, Ngger."

Angger menghela napas. "Sebenarnya mereka butuh bantuan berapa banyak, Pak?"

Angger mengamati wajah Bapak dan Ibunya yang terlihat terkejut.

"Kan tidak harus seperti ini. Kalau kita bisa membantu dan Bapak sama Ibuk ikhlas membantu, seharusnya bisa lebih sederhana."

"Seharusnya, Ngger. Tapi setelah ketemu kamu, Laras kok tetap pada keinginannya."

"Tidak semua keinginan itu bisa dipenuhi, Pak. Angger menolak."

"Gemintang itu sepertinya wanita yang mendominasi, Ngger. Kamu manut sekali sama dia. Bukankah wanita itu yang harus nurut sama suami?"

"Lalu, Ibuk kok ya kemanthil manthil sama Larasati itu ada apa?"

"Ibuk sudah kenal dia sejak kecil."

"Ibuk tidak bisa menyayangi Gemintang kalau tidak mau kenal."

"Gemintang itu seperti wanita yang susah dibilangi."

"Kan Ibuk belum kenal. Gemintang jadi mantu juga punya hak untuk bisa diterima, Bu. Dia malah tidak memaksa loh."

Angger melihat Ibunya menghela napas. Wanita itu lalu beranjak ke arah jendela dan menatap jalanan.

"Ada yang tidak beres sama Ibumu itu, Ngger."

"Loh..kenapa, Pak?"

"Masalah dia yang membela Laras sampai sebegitunya. Padahal dia sudah tahu Laras itu bagaimana."

"Bagaimana, Pak?"

"Laras itu kan bungkusnya bagus. Isinya..." Angger melihat Bapaknya menggeleng. "...Bapak bukan diam saja. Maunya Bapak itu Ibumu di beri tahu pelan-pelan. Tapi semua omongan Bapak rasanya mental semua. Dia bersikeras. Apalagi kalau Laras habis dari rumah. Nginep. Sudah. Terus Ibumu jadi keras begitu."

Angger menangkupkan tangannya. Apa ya sekelas Larasati Alamsyah yang berpendidikan tinggi seperti itu melakukan hal-hal mistis pada Ibunya?

"Menurut Bapak bagaimana?"

"Ada yang tidak beres sama keluarga itu. Keluarga Alamsyah sudah lama sekali bermasalah dengan perusahaannya. Mereka minta bantuan sama Bapak. Tapi, ga main-main nominalnya, Ngger. Bapak ga bisa lepaskan begitu saja nominal itu. Terus ya begitu...suatu hari Ibumu mendadak ngotot soal perjodohan anak-anak. Sampai dibuat surat perjanjian."

"Bapak setuju?"

"Almarhum itu suka dengan Laras sejak SMP. Mau bagaimana lagi?"

Angger beringsut menyandarkan tubuhnya ke kursi.

"Kalau alasannya seperti itu bukankah seharusnya tidak semudah membalik telapak tangan berpindah hati, Pak?"

"Karena kamu itu model pria yang diam saja perempuan pada suka, Ngger."

Angger tertawa kecil. Dia tidak ada maksud menyepelekan permasalahan itu. Tapi dia tidak bisa mengerti bagaimana pemikiran Laras itu sebenarnya.

"Menurut Bapak bagaimana? Kalau masalahnya di Ibuk, apa mungkin Ibuk itu nurut sama Laras karena dibuat menurut? Angger tidak menuduh Pak. Cuma pendapat saja."

Angger menatap Bapaknya yang terdiam. "Mungkin, Ngger. Keluarganya Laras itu masih kuat hal hal seperti itu."

"Huum."

Mereka terdiam sebelum mengambil keputusan karena Bu Diah yang menghampiri mereka.

"Pak. Ini Laras kirim pesan, katanya dia tambah sakit Pak."

"Hubungi saja orang tuanya, Buk." Angger menunduk sambil menahan tawanya. Dia lalu melihat jam tangannya.

"Ya sudah, Ngger. Bapak pulang dulu."

Angger beranjak ketika Bapaknya juga beranjak. Menyisakan Bu Diah yang terlihat kebingungan sambil meraih tasnya.

"Tidak bisa dibawa kemari saja, Ngger? Kamu yang periksa Laras?"

"Tidak bisa, Bu. Pasien Angger sudah banyak yang bikin janji dulu. Ini mau dilanjutkan."

"Tapi..."

"Sudah-sudah. Telepon saja Ibunya si Laras itu. Kita pulang sekarang. Aku capek, Bu. Besok masih harus balik lagi ke Krapyak ketemu Pak Kyai kok. Wis. Ayo."

Angger melambai ke arah karyawan bagian bersih-bersih yang segera berjalan menghampirinya. "Mbak, minta tolong dibereskan ya."

"Baik, Dok." Wanita di depan Angger mengangguk.

"Matur nuwun, Mbak."

"Sama-sama, Dok."

Menghela napas dan menatap mobil Bapak Ibunya berlalu dari halaman Rumah Sakit. Kalau mengingat sejarah bagaimana dia harus berhadapan dengan hal-hal mistis belum lama ini, maka Angger tidak bisa berpikir bahwa Ibunya baik-baik saja. Bahkan ketika dibeberkan fakta oleh Bapaknya bagaimana seorang Larasati Alamsyah sesungguhnya, Ibunya itu tetap memiliki pembelaan yang sangat kuat pada wanita itu.

"Aaah...jangan lagi ya Allah."

Angger mematung untuk sesaat. Dia menoleh ketika di seantero Rumah Sakit namanya berkumandang. Seseorang membutuhkannya di IGD karena sejatinya jadwal hariannya sudah beres.

*

Cinta itu...

Terkadang tidak bisa menyadari bahwa dia harus memiliki sebuah rasa yang menyertainya.

Rasa tahu diri

Larasati Alamsyah menyesap kopinya pelan. Dia menjentik rokok di sela jarinya ke sebuah asbak. Jendela ruang kerjanya yang baru, terbuka lebar. Hal itu memang tidak memungkinkan seluruh asap rokok yang tengah dinikmatinya keluar ruangan sepenuhnya, tapi setidaknya ada yang keluar.

Di meja kerjanya yang sedikit berantakan siang itu, laptopnya menyala menampilkan citra seorang pria. Pria yang jelas sekali memiliki aura bangsawan yang tidak terbantah.

Angger Pananggalih itu mempesona. Senyumnya manis seperti balok gula batu yang tidak mudah terkikis habis. Keramahannya menjelaskan banyak hal. Angger pasti bukan tipe pria yang suka main tangan. Tidak seperti Bapaknya yang beberapa waktu lalu menghajarnya habis-habisan karena aib yang dia buat dengan diberhentikannya dirinya dari tempatnya mengajar.

Atau...para pria yang selama ini dekat dengannya? Hampir semua suka sekali mengangkat tangan padanya.

Laras menghela napas. Dia iri setengah mati dengan wanita bernama Gemintang yang bisa mendapatkan pria seperi Angger. Dia pasti merasa nyaman karena Angger menerimanya apa adanya. Angger seperti tidak merasa terintimidasi dengan kecerdasan yang wanita itu miliki. Mungkin karena mereka sama-sama cerdas?

Tidak seperti nasibnya yang sudah-sudah. Para pria merasa terintimidasi oleh kepintaran akademisnya dan cenderung ingin mengalahkannya. Pria yang dekat dengannya selalu merasa tidak terima dengan sikapnya. Mereka selalu berusaha membuatnya menurut. Mematikan egonya. Termasuk Bapaknya sendiri.

Laras menatap kejauhan. Pelataran sebuah Lembaga Pendidikan yang cukup terkenal di daerah itu. Pencapaian yang dia dapat setelah Bapaknya dengan susah payah membungkam para wartawan dan beberapa petinggi Universitas tempat dia bekerja dulu agar berita pemecatannya tidak sampai keluar dari kampus. Dan itu artinya, hutang yang bertambah. Dan memar memar di sekujur tubuh yang dia dapat dari tangan Bapaknya.

Laras bergumam tidak jelas. Dia kembali menyesap rokoknya dan membuat lingkaran lingkaran kecil asap dari mulutnya. Dia cukup lihai dalam hal itu. Laras kembali bergumam. Seharusnya semuanya mudah kalau saja Angger itu masih lajang. Seharusnya semua mudah kalau dia tidak mendadak jatuh hati pada pria itu.

"Huuh..."

Laras mematikan rokoknya. Dia menatap asbak dan menghitung berapa puntung rokok yang sudah dia habiskan. Lalu dia mengambil sebuah plastik dan menuang isi asbak ke dalamnya. Suara heelsnya bergema ketika dia berjalan menghampiri tempat sampah dan membuang plastik ke dalamnya. Laras kembali ke mejanya dan berjongkok. Dia mengambil pengharum ruangan dan menyemprotkannya ke seantero ruangan itu.

"Aaah..."

Ketukan pintu terdengar saat Laras berjongkok dan mengembalikan botol pengharum ruangan ke tempatnya semula.

"Masuk."

Suara berat yang membuat setiap pria mengaguminya secara seksual. Suara berat Larasati Alamsyah yang mampu membuat para pria membayangkan sebuah sex hebat di ranjang.

Larasati yang sudah menggeser kursinya jauh dari meja kerjanya, duduk sambil menyilangkan kaki jenjangnya. Posisi duduk dengan dagu yang sedikit mendongak, membuat seorang mahasiswanya berdiri dengan canggung setelah menutup pintu.

Larasati mengamati pemuda di depannya. Pemuda itu bahkan menelan ludahnya susah payah. Larasati tertawa dalam hati.

"Ya?"

"Oh...Saya Emanuel Anung Prajoko, Bu...saya...mau menanyakan beberapa hal...Bu Laras..."

Laras tidak menjawab. Dia hanya mengangguk dan tersenyum. Dengan gerakan lambat dia menurunkan kakinya. Rok span merah hati yang dia pakai tidak bisa mengcover pahanya yang putih mulus yang sekarang tengah ditatap oleh pemuda di depannya itu. Larasati kembali tertawa dalam hati.

"Silahkan duduk."

"Eh..ya Bu..."

Pemuda itu menjawab dengan gagap. Dia duduk dengan gerakan aneh dan tidak nyaman. Laras mengambil sebuah tisu basah dan dengan gerakan acuh, mengusap belahan dadanya dengan tisu itu.

"Silahkan." Laras tersenyum dan menatap pemuda di depannya tanpa menarik tangan dari belahan dadanya.

"Eeh..." Pemuda itu kembali tergagap. Laras tidak mengubah raut wajah seriusnya. Dia mendengarkan dengan seksama apa yang pemuda itu katakan. Mengangguk-angguk mengerti dan menjadi pendengar yang baik. Sesaat kemudian dia menggeser laptopnya dan mengetikkan sesuatu. Senyum kecil timbul dari sudut bibirnya. Tampilan laptopnya berubah menjadi sebuah form dengan foto dan data lengkap siapa pemuda di depannya.

"Huum." Laras mengubah lagi slide laptopnya dan mengalihkan pandangannya ke depan. Dia mulai menjelaskan apa yang pemuda itu tanyakan sambil menunjuk tulisan pada beberapa lembar kertas di hadapan mereka.

Kegiatan itu berlangsung selama dua puluh menit yang entah mengapa membuat pemuda tampan di depan Laras itu berkeringat dan duduk dengan tidak nyaman sama sekali.

"Kalau belum jelas kamu bisa datang ke rumah Ibu. Di belakang kampus ini."

"Eh..."

"Masih ada lagi yang mau ditanyakan sekarang? Atau mau dipelajari dulu?"

"Iya, Bu. Saya...permisi."

"Huum. Silahkan."

Laras tidak berdiri. Dia menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi dan menatap pemuda yang berjalan canggung dan meraih gagang pintu lalu keluar.

"Huuh...aaah..."

Laras memejamkan mata dan berpikir. Seandainya saja Angger semudah pemuda ningrat lain bernama Anung itu. Laras membuka mata dan menelengkan kepalanya. Matanya memicing menatap lorong dari balik tirai pelapis jendela kaca besar ruangannya. Anung terlihat berdiri dengan wajah bingung. Lalu kembali melangkah membuat Laras mencebikkan tawa pelan.

Pemuda itu muda. Tampan. Ningrat bermasalah. Orangtuanya kaya raya. Pemuda yang selalu bermasalah itu membuatnya berakhir di tempat itu seperti dirinya.

Anung seharusnya mangsa yang mudah, begitu batin Laras. Tapi Laras hanya sanggup memejamkan mata. Tapi itu sulit karena kepala dan matanya sekarang sudah dipenuhi oleh bayang-bayang sosok Angger Pananggalih yang mempesona. Pria itu seperti sosok yang keluar dari sebuah novel romantis. Tokoh utama yang baik, tampan, kaya dan dingin. Perpaduan yang nyaris hanya ada di dalam dongeng pengantar tidur.

Pada akhirnya, apapun tujuan awal dari Bapaknya, tetap membuat Laras sampai pada sebuah jalan. Jalan yang hanya menyajikan satu pilihan saja.

Menjadi pelakor kalau istilah jaman sekarang.

Atas nama orang tuanya yang tamak akan harta dan tahta.

Atas nama hatinya yang mendambakan cinta yang mirisnya dari pria beristri.

"Aaaaaah..."

Laras mendesah panjang. Tangannya menjadi tak terkendali. Dia menyibak rok nya, dan mengusap miliknya.

*

Yo wis. Susah kalau begitu.

👑🐺
MRS BANG

Continue Reading

You'll Also Like

646K 58.3K 45
Diterbitkan oleh Penerbit LovRinz (Pemesanan di Shopee Penerbit.LovRinzOfficial) *** "Jangan percaya kepada siapa pun. Semua bisa membahayakan nyawam...
255K 18K 21
Septiana--Nana tumbuh dewasa dalam keluarga broken home. Sang Ibu, Sastiana, membesarkannya dengan penuh kasih sayang sehingga Nana selalu hidup dala...
897K 56.3K 27
Tujuh tahun aku membiarkan hatiku mencintainya tanpa kepastian. Tetapi baginya hanya butuh satu hari untuk membuat remuk hatiku. Tujuh tahunku tidak...
1M 61.3K 27
Note : Bab 13 - Epilog ( Private ) Aku hanya ingin dicintai dan mencintai.. Seperti Sinta dan Rama dalam kisah pewayangan. Seperti Romeo dan Juliet d...