Manusia selalu punya rencana
Tapi sebaik-baiknya rencana adalah apa yang sudah digariskan oleh-Nya
***
"Gimana, Han?" Aku melirik Reyhan yang sedang duduk bersender melalui cermin besar di hadapanku.
"Hmmm..." Reyhan masih asyik dengan ponselnya tanpa memberikan atensinya padaku sama sekali.
"Bangsat!" Umpatan dari mulutnya langsung keluar saat aku melemparinya dengan gulungan kertas.
Aku mendengus mendengar umpatannya. "Mulut tuh mulut, di jaga!"
"Bang, bilangin temen saya bang biar cepet tobat!" Aku menoleh ke arah tukang potong rambut langgananku selama tinggal di kota hujan ini.
"Lagian lo ngagetin gue, Dit."
"Lagian lo gue ajak ngobrol malah main hp mulu."
"Eh, si anjing. Udah mending ya lo gue temenin ke sini. Masih aja gak tau terima kasih."
Aku mencibir Reyhan. "Utang lo gak jadi gue anggep lunas ya?"
"Eh. Eh. Dendaman banget sih lo, gue kan cuma bercanda barusan."
Aku tidak meresponnya dan kembali menghadap cermin.
"Jadi kenapa manggil-manggil gue?"
"Menurut lo udah oke belum gaya rambut gue?" Tanyaku sembari menyilakkan sebagian ujung rambut ke belakang.
"Sillow men.... Gantengnya gak ngotak!"
Aku melotot mendengar ucapannya. "Jangan jilat Han, gue udah kebal sama mulut manis lo!"
"Ya elah ini orang. Gue diem lo omelin, giliran gue jawab lo kagak percaya. Udah deh serah, gue gak peduli lagi."
"Yok balik. Lo udah kelar kan itu? Kasian masih banyak yang ngantri." Lanjutnya sembari bangkit dan meninggalkanku keluar.
Aku menoleh ke arah Bang Ridwan, which is penyelamat model tambutku untuk saat ini. "Makasih ya Bang, saya pamit dulu!" Ucapku setelah membayar jasa yang dia diberikan.
***
"Jadi mau makan dimana?" Reyhan mengamatiku yang sedari tadi tidak juga beranjak dari depan cermin di dalam kamar.
"Tempat makan sebelah pertigaan lampu merah. Menurut lo gimana?"
Kulirik Reyhan mengangguk-anggukan kepalanya. "Lumayan. Masih memenuhi standar lah buat makan sama gebetan."
"Lo bilang mau jemput doi jam berapa?"
Kontan aku melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. "Lima menit lagi gue otewe!"
"Good luck bro. Kali ini gue berdoa yang terbaik buat lo!" Ucapnya sembari berjalan ke arahku dan menepuk punggung.
"Thanks!"
***
Aku tidak pernah membayangkan akan ada hari seperti ini. Waktu dimana aku begitu gugup hanya untuk menunggu seorang adik tingkat, yang keberadaannya saja bahkan tidak pernah aku sadari.
Sudah lewat dari lima menit dari jawaban Ika yang mengatakan oke melalui pesan whatshapnya, sosoknya belum juga hadir dibalik gerbang yang entah kenapa sekarang ini benar-benar ingin aku hancurkan.
Semua tentang Ika tiba-tiba membuat kontrol diriku menjadi buruk, dan logikaku yang selalu rasional terus saja bekerja dengan irasional.
Untuk mengalihkan rasa gugup dan cemas, pada akhirnya aku memilih untuk bermain game melalui ponsel.
Entah berapa lama aku ikut larut dalam permainan, hingga tiba-tiba suara seseorang benar-benar menarikku kembali ke dunia nyata. "Bang Radit!"
Gila! Ini benar-benar tidak aku antisipasi sebelumnya.
Dengan atasan hoodie putih oversize dan gaya rambut ponytail sederhana kenapa Ika tiba-tiba di mataku menjadi sangat mempesona?
Entah kenapa semua yang melekat di tubuhnya kali ini terasa match dan benar-benar menghasilkan sebuah tampilan yang menakjubkan.
"Bang Radit!??"
"Ya?" Satu kata tidak bermakna yang akhirnya sedikit mengembalikan kesadaran ku.
"Penampilan gue aneh banget ya, Bang?" Tannyanya sembari menunduk memperhatikan apa yang dia kenakan.
Aku tersenyum menanggapi. "Lo tau nggak Ka ada teori yang bilang kalo baju putih bisa menyerap cahaya?"
"Ha?"
"Gue sampe tadi juga percaya kalo baju putih bikin orang yang make jadi keliatan lebih nggak bersinar. Tapi semenjak liat lo barusan, gue rasa teori itu udah gak valid lagi, Ka."
"Lo dan baju putih lo justru bikin cahaya yang lain udah gak bisa gue liat lagi. Benar-benar bersinar di mata gue!"
Dan ya, ucapanku barusan membuat rona merah di kedua pipinya mulai keliatan bahkan di tempat tidak bisa aku katakan cukup terang.
***
"Beneran gak bisa diundur, Le?"
"Enggak bisa lah, Dit. Orang lo sendiri yang bikin janji." Leo di seberang sana keliatan kesal mendengar permintaanku barusan.
Bagaimana mungkin aku bisa lupa jika aku mengajak rapat anak-anak kemaren. Benar-benar sial!
"Tapi gue bener-bener gak bisa, Le." Ucapku pada wakil ketua Hima itu.
"Sumpah Dit udah gak bisa diundur lagi. Kalo lo bilangnya tadi sore mungkin masih bisa gue usahain. Tapi kalo sekarang? Gila aja lo. Bahkan udah hampir semua yang lo undang rapat udah hadir semua nying!"
Aku menyisir rambutku dengan frustasi.
"Kenapa, Bang?" Aku menoleh ke arah Ika yang masih setia berada di sampingku.
Memang tadi setelah gombalan picisan itu kulayangkan, ponselku tiba-tiba berbunyi. Dan untuk pertama kalinya aku menyesal selalu memberikan nada dering untuk panggilan masuk.
"Gapapa, Ka. Sebentar ya." Aku mengucapkan dua kalimat itu dengan tersenyum.
"Lo lagi jalan ya?" Leo di seberang sana sepertinya mendengar suara Ika barusan.
"Tadinya iya. Tapi tiba-tiba ada orang telpon dan ngasih kabar buruk!"
"Hahaha.... Asli Dit, gue minta maaf kalo ganggu acara ngedate lo!"
"Lagian lo bisa-bisanya lupa sama hal sepenting ini sih..." Lanjutnya seolah menyalahkan ku.
"Gue juga manusia, Le."
"Tapi Radit yang gue kenal gak pernah lupa kalo ada acara organisasi!"
"Ini pengecualian!" Jawabku dengan nada ketus.
Benar-benar semua rencana yang sudah kupikirkan semenjak sore tadi tidak akan lagi punya kesempatan untuk direalisasikan.
"Okeoke. Sekali lagi sori. Jadi ini gimana? Tinggal nunggu lo doang!"
Aku menghembuskan napas lelah. "Lo handle dulu selama setengah jam ya. Gue otewe situ!"
"Gila!" Leo di seberang sana sudah mulai mengumpatiku dengan berbagai macam kata.
"Gak ada jalan lain, Le. Gue butuh sekitar dua puluh menitan buat nyampe situ. Please lo ajak ngobrol mereka dulu buat ulur waktu."
"Thanks buat bantuannya. Besok gue traktir, bye!" Aku menutup telpon sebelum pemuda di seberang kembali meneriakkan nama-nama hewan yang bisa menyakiti telinga.
"Ka?" Aku menoleh ke arah Ika yang sedang menunduk dan menggerak-gerakkan kakinya membentuk pola di tanah
"Ya, Bang? Udah kelar telfonnya?" Tanyanya dengan menyunggingkan senyum manisnya.
Astaga... Bagaimana bisa aku tega mengatakan jika ada rapat penting yang tidak bisa tidak aku hadiri....
Oh Tuhan!
Aku menarik napas dalam dan menghembuskan nya secara perlahan. "Kalo tempat makannya kita ganti gimana?" Semoga keputusan ini tidak akan membuatku menyesal di masa yang akan datang.