Yang sudah merasa tobat sama naskah yang akhirnya seperti menguliti sejarah masa lalu ini, silahkan berhenti dulu. Soalnya ini ga bakalan tamat buru-buru.
Selamat membaca yang masih memupuk niatan bertahan. Seperti..."Jatuh cinta itu mudah, bertahan itu yang sulit."
Semoga besok hari kalian menyenangkan.
*
Untuk waktu yang terbatas, seharusnya berdiam diri tidak dilakukan oleh 2 orang yang semestinya berbicara hal mendesak dan penting. Tapi Angger dan Bapaknya melakukan itu. Mereka berdiam diri untuk beberapa saat.
"Tidak ada alasan khusus mengapa pembagian warisan harus seperti itu. Hanya memang sudah seharusnya seperti itu."
Perkataan Bapaknya membuat Angger membisu. Dia mencoba mencari pembenaran dalam setiap kata itu. Namun dia merasa gagal menemukannya. Hatinya sama sekali tidak tergerak untuk menyetujui kalimat itu. Tidak sedikitpun.
"Mas Galih itu anak laki-laki tertua di rumah Pak."
"Memang seperti itu Ngger. Tapi ada beberapa hal penting yang memang seharusnya dijalankan sesuai dengan kebenaran yang ada. Dia anak Bapak. Tapi kesejatiannya sebagai anak Ibumu dengan pria lain tidak bisa di rubah."
Angger menangkupkan tangannya. Dia menunduk putus asa. Bahkan sejarah yang sedang berlangsung dan berbentuk coreng moreng untuk keluarga besar Pananggalih beberapa bulan ini, tidak mengubah pola pikir Bapaknya.
"Kamu hanya harus menjalankan semuanya Ngger atau kamu tidak akan mendapatkan semuanya."
"Ini tidak lebih dari urusan dunia, Pak. Aku tidak menginginkan harta sebanyak itu."
Helaan napas tidak berkenan terdengar dari mulut Raden Aryo Pananggalih.
"Harta itu terlanjur ada. Sudah ada bahkan sejak waktu yang lama, Ngger. Kamu, seperti halnya Bapak, tidak bisa ingkar pada semua itu. Ada kewajibanmu mengurusnya. Mau tidak mau."
"Kalau selama ini Bapak mencoba membuat semua terlihat baik di mata masyarakat, lalu menurut Bapak, apa yang akan dipikirkan oleh masyarakat kalau mereka tahu Bapak melakukan hal seperti ini?"
"Masyarakat sudah memberikan penilaian mereka sendiri selama beberapa bulan terakhir ini. Benar atau salah, Bapakmu ini salah di mata masyarakat. Sudah terlanjur, jadi untuk apa memikirkan pandangan mereka lagi? Mungkin orang menganggap apa yang Mas kamu dapatkan dari keluarga kita itu sedikit. Tapi dia bisa hidup nyaman sampai tujuh turunan dengan apa yang dia peroleh."
Angger menghembuskan napas pelan. Dia merasa percuma bicara pada Bapaknya. Dia jelas berbeda pikiran dan pendapat dengan pria itu. Sementara Bapaknya berpikir bahwa semua aset harus lestari oleh pewaris sah dari aliran darah yang sama, maka Angger berpikir tindakan yang diambil Bapaknya itu sama saja menyakiti Mas nya. Dia seakan tidak menganggap keberadaan Mas nya selama ini. Dan perkataan nya tentang Mas nya yang tetap anaknya? Itu hanya sebatas agar penglihatan orang-orang tetap baik pada keluarganya. Sungguh pemikiran yang picik sekalipun Bapaknya mengatakan bahwa dia tidak perduli lagi apa pandangan masyarakat pada keluarga besarnya sekarang.
Angger beranjak dan berdiri terpaku. Dia menatap Bapaknya yang terlihat acuh. Khas sekali orang dengan pemikiran kolot yang enggan mengalah.
"Angger pamit, Pak."
Angger tidak menunggu jawaban Bapaknya. Ruang jenguk itu sudah sepenuhnya sepi.
"Mas mu berhak mencari Bapaknya dan dia akan melakukannya. Bapak yakin."
Langkah Angger terhenti. Dia tidak menoleh pada Bapaknya namun dia termenung sejenak sebelum kembali melangkah dan sepenuhnya keluar dari ruang jenguk itu. Angger menghampiri sebuah mesin penjual minum otomatis. Sebuah hal yang baru di kota itu.
Angger meraih minuman yang dia inginkan dan membawanya keluar dengan langkah cepat. Terik matahari yang yang semakin menyengat menemaninya melajukan mobilnya ke rumah sakit. Dia memutuskan akan mengabaikan semuanya dan berkonsentrasi pada tugasnya sekarang. Shift malam yang lengang.
*
Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari muram dengan penyidikan yang tetap mengarah adanya tindak pidana pada kematian Bendoro Raden Ayu Wirastri. Pemeriksaan forensik yang membutuhkan waktu yang cukup banyak memang membuktikan bahwa kematian wanita itu sepenuhnya adalah tindakan bunuh diri yang bahkan sengaja direncanakan secara khusus oleh wanita itu dan tertulis dalam jurnal pribadi miliknya. Namun tindak pidana sudah diambil oleh Raden Mas Aryo Pananggalih dan Karima Suntowo terhadap jasad wanita itu. Dalih kepanikan tidak membuat segalanya berubah. Justru dakwaan tambahan dijatuhkan kepada Karima Suntowo tentang pengaburan informasi dan percobaan menyembunyikan dan untuk selanjutnya niatan untuk memusnahkan barang bukti.
Semua sudah berusaha sebaik mungkin membuat segala lini lebih baik.
Amar putusan yang tidak sedikit telah dijatuhkan. Semua berniat menjalaninya sebagai sebuah keharusan.
Pada akhirnya, kedua penerus Pananggalih memutuskan untuk menanggung semuanya sebagai sebuah keharusan yang tidak ingin mereka jelaskan pada khalayak ramai. Apalagi ketika media sudah terlanjur menurunkan berita yang begitu kejam.
"Wanita bangsawan kehilangan nyawa karena cinta segitiga." Atau "Istri muda terlibat kasus kematian wanita bangsawan Pananggalih." Dan seterusnya. Berita serupa terlanjur menjadi sebuah kebenaran versi masyarakat yang tergiring oleh alur yang diciptakan oleh media.
Hati dua kakak beradik itu seakan kembali menyatu di bale-bale setiap kali mereka sampai di penghujung hari.
"Masalah warisan itu Mas, aku tetap tidak menyetujui pembagian yang seperti itu."
"Munafik kalau aku tidak butuh, Ngger. Aku butuh untuk memulai langkah awal. Tapi, Ngger...bagian yang ditentukan oleh Bapak itu lebih dari cukup."
"Cukup kalau dihitung secara nominal Mas. Tapi tidak kalau dihitung dengan ukuran harga diri. Kamu Mas ku, Mas. Kamu bahkan lebih Pananggalih dari aku. Kamu yang lebih bisa mengelola semuanya dibanding aku. Aku ingin semua berakhir baik. Baik yang semestinya."
Galih menghela napas panjang. "Kalau didiamkan saja bagaimana, Ngger?"
"Orang kalau keras kepala seperti Bapak itu panjang umur, Mas."
"Hesssh...jangan bilang seperti itu."
Angger merebahkan tubuhnya ke bale-bale. "Aku sudah tobat dengan sikap Bapak itu. Tinggal nunggu siapa dulu nanti yang gila duluan. Aku atau Bapak?"
"Kita harus bisa momong Bapak, Ngger. Itu saja."
"Yang dimomong yang tidak mau, Mas."
"Bapak itu generasi tua. Wajar kalau keras kepala dan teguh pendirian sama prinsip hidupnya."
"Didiamkan saja. Tapi aku ga bisa ngurus semuanya sendiri. Dan...Astagfirullah Mas. Aku pengen kamu berdiri dengan harga dirimu."
"Tidak baik memaksakan sesuatu yang Bapak tidak mau."
"Menyimpan dendam sama almarhum Ibuk juga tidak seharusnya dilakukan oleh Bapak, Mas."
"Masalah mereka itu rumit, Ngger. Hati Bapak juga tidak sama seperti kita. Kalau dilawan...ya...sama kerasnya. Tidak bisa dengan jalan seperti itu, Ngger."
"Jadi? Bagaimana menurutmu, Mas?"
"Aku ga papa, Ngger kalau seperti ini. Yang penting bisa rukun sama kamu sampai nanti anak turun kita. Sudah cukup buat aku."
Angger menghela napas panjang. "Let it flow." Angger meniupkan udara dari mulutnya. "Huum...baiklah..."
"Tidak usah merencanakan hal yang aneh-aneh, Ngger."
Angger diam saja. Dia yakin bukan mereka saja yang bersikap seperti itu terkait dengan harta yang banyak. Banyak orang di dunia dengan pemikiran yang sama. Alih-alih berebut harta hingga tumpah darah, banyak dari mereka yang justru ingin semuanya berjalan sebagaimana mestinya. Perbandingannya mungkin lebih banyak yang bertengkar atau berebut harta dibanding mereka yang rukun dan memilih membicarakan masalah sensitif itu dengan hati-hati. Dan Angger ingin menjadi yang seperti itu.
Angger menyangga kepalanya sambil memiringkan tubuhnya. Dia menatap Galih yang menatap langit dan memejamkan mata.
Kalau dia boleh bertanya, berapa ton duka yang sudah dipikul Mas nya itu sejak dia lahir? Orang tidak akan sanggup menimbangnya. Hitungannya sangat berat. Terlalu berat hingga Angger berpikir Mas nya tidak layak menerima duka apapun lagi.
"Orang bahkan sulit untuk percaya orang seperti aku mendadak menjadi orang baik, Ngger."
"Tidak ada yang dadakan Mas. Sudah banyak usaha yang kamu lakukan diam-diam. Biar saja mereka bilang seperti itu. Tapi aku tidak."
"Bapakku masih hidup, Ngger."
Angger beranjak duduk. "Dimana sekarang, Mas?"
"Giwangan."
"Sehat?"
"Sehat secara fisik."
Angger kembali terdiam.
"Aku belum punya nyali buat melihatnya, Ngger. Padahal sudah sebulan lebih aku tahu dari informan yang aku sewa."
"Ga papa Mas. Pelan-pelan saja."
"Huum."
"Nanti bilang aku kalau sudah siap."
Galih terlihat mengangguk. Mereka kembali berdiam diri dan menatap langit. Menentukan sikap pun rasanya percuma. Semua hanya harus dijalani. Setiap masalah yang pada akhirnya seperti membuka sulur sulur sejarah keluarga. Dan sayangnya sejarah itu gelap.
*
"Seperti menimbulkan luka baru. Apa ini tidak terlalu memaksakan, Mas?"
Gemintang yang berdiri di dekat mobil bersisian dengan Angger yang menyandarkan tubuhnya dan bersedekap.
"Mas Galih yang mau, Mi. Berarti dia sudah siap."
Mereka mengamati interaksi yang terjadi di kejauhan. Galih yang duduk kaku menghadap seorang pria yang kata Gemintang, sangat mirip dengan Galih. Entah apa yang dibicarakan oleh keduanya, yang pasti Galih terlihat menunduk.
Dan baru satu jam kemudian, Galih beranjak dan menghampiri Angger dan Gemintang. Gemintang bahkan sudah memegang plastik es jeruk ke-2 nya.
"Ayo...pulang...sekarang, Ngger."
Galih mendahului masuk ke mobil. Angger menatap Gemintang heran karena Mas nya terlihat sedikit aneh. Nada bicaranya terdengar sedikit gugup. Gemintang menggeleng samar. Mereka masuk ke mobil dan Angger segera melajukan mobilnya pelan. Tidak ada pembicaraan apapun setelah itu. Bahkan hingga Angger menghentikan mobilnya di depan klinik Gemintang dan mereka turun.
"Mas, pulang sendiri ga papa ya? Aku ke rumah sakit dari sini."
Galih yang sedang berpindah ke belakang kemudi mengangguk. Dia tidak berbicara apapun hanya tersenyum tipis dan melajukan mobilnya meninggalkan Angger dan Gemintang yang berdiri di depan gapura klinik.
Galih tidak berbelok ke selatan menuju kediaman Pananggalih. Dia justru melajukan mobil Angger lurus ke arah Kauman. Lima menit kemudian dia menepi dan memasuki masjid Agung Kauman. Sambil menggulung lengan kemeja kotak-kotak hitamnya, Galih berjalan memasuki masjid dan mengambil air wudhu.
Melaksanakan yang sunah dengan perasaan berdosa. Galih berpikir bahwa dia sungguh sangat keji karena datang pada Sang Khalik hanya ketika membutuhkan. Galih duduk termenung dan menghela napas pelan. Di sudut masjid duduk seorang pria tua yang khusyuk berzikir.
"Aaah..." Galih mengusap wajahnya. Di pelupuk matanya kembali terbayang percakapannya dengan Bapaknya. Pria yang tentu saja baru dikenalnya dan dia mendapati kenyataan bahwa ikatan Bapak anak di antara mereka sangat kuat. Tidak ada penyangkalan apapun hingga mereka bisa berbicara dengan baik dan sebuah janji untuk bertemu kembali di banyak kesempatan yang akan mereka ciptakan.
Tapi bukan itu yang membuatnya seakan tidak bertulang sekarang. Dia merasakan lemas yang ditahannya semata agar Angger tidak khawatir dengan keadaannya. Pembicaraan serius tadi seakan menyiratkan bahwa Bapaknya yang bernama Jatmiko Gunardi itu tidak ingin menyembunyikan apapun darinya.
Kata-kata Bapaknya yang konsisten bahkan setelah dia bertanya lebih dari 3 kali membuat Galih meyakini bahwa Bapaknya sehat secara mental. Kata-kata runut pria itu membuat Galih merasa hatinya baru saja tercabik.
"Ooh..." Galih kembali mengusap wajahnya dan menggosok hidungnya hingga memerah. Dia berpikir bahwa mereka, dia dan Angger memang ditakdirkan memiliki masalah yang seperti jalur maraton. Galih mendongak dan menatap ukiran kaligrafi bertuliskan Allah yang berkilat ditempa cahaya lampu Chandelier model kuno yang menyala terang.
"Bayi itu ditukar begitu lahir. Tidak ada satupun dari kalian benar-benar Pananggalih."
Terlepas dari pernyataan itu benar atau tidak, itu adalah sebuah pernyataan yang akan menjadi pukulan berat bagi Angger. Entah bagaimana Angger akan menyikapi hal itu tapi satu hal yang pasti terjadi adalah Angger yang akan sangat terpukul. Dan...dialah di dunia ini yang paling tahu seberapa kadar rapuhnya Angger. Dirinya yang paling tahu. Bukan orang lain. Bahkan Gemintang sekalipun.
Air mata merebak di pelupuk mata Galih namun menolak untuk luruh. Bagaimanapun, Angger adalah adiknya bagaimanapun kesejatian mereka.
Penyelidikan
Mata Galih yang menyipit
*
*Mohon diterima visualnya Mas Galih. Lha wong saya ga tahu pria ganteng Indonesia itu siapa aja. Di mata saya adanya Bang Chan doang. Duh halaaah..nasib.
👑🐺
MRS BANG