Informasi yang baik akan menciptakan emosi yang positif
- Efnie Indrianie -
***
"Semester berapa?" Tanyaku pada perempuan yang kali ini duduk di jok belakang motorku.
"Tiga."
"Angkatan 19 ya berarti?"
"Iya."
Tidak sadar aku menghembuskan napas mendengar setiap jawabannya. Sepertinya Arunika adalah tipe perempuan yang tidak banyak bicara dan kelompok yang selalu to the point jika terlibat dalam obrolan. Dan itu berarti aku harus lebih memutar otak untuk menemukan topik obrolan baru jika tidak ingin berakhir saling diam di perjalanan ini.
"Pendiem banget ya, Ka." Aku akhirnya menanyakan langsung padanya.
"Ha? Gimana, Bang?"
"Lo, anaknya pendiem banget?" Ulangku dengan intonasi yang lebih lambat.
Berada ditengah jalan yang penuh dengan kendaraan lalu lalang memang seringkali membuat seseorang mengalami gangguan pendengaran. Hawa panas dan bising yang dialami, membuat orang mudah hilang fokus saat diajak mengobrol.
"Enggak kok."
"Tapi gue tanyain jawabannya singkat mulu, Ka."
"Nggak ada topik obrolan aja, Bang. Jadinya ya diem." Jawabnya jujur.
Aku hanya mengangguk-angguk mendengar penuturannya barusan. Mau mengelak pun, apa yang dikatakannya juga benar-benar sesuai dengan situasi diantara kami.
Dua stranger yang belum saling mengenal, memangnya bisa membicarakan apa? Tanyaku pada diri sendiri.
***
"Sori ya. Lebih lama dari yang gue kira ternyata." Aku meminta maaf kepada Ika karena memang apa yang aku lakukan lebih lama dari apa yang aku perkirakan.
"Gak papa kok, Bang. Emang ngurus apaan aja tadi?"
Aku menarik kedua sudut bibirku ke samping tepat setelah Arunika mengutarakan keingintahuannya barusan. Akhirnya setelah sekian lama kami terlibat obrolan, Ika memberikan respon positif dengan bertanya balik padaku.
"Eh, sori Bang. Nggak usah di jawab nggak papa kok."
Aku memandang ke arahnya dan tersenyum. Perempuan yang kini berdiri tepat di depanku sepertinya salah paham karena aku tak kunjung juga memberikan jawaban atas pertanyaannya. Realitasnya, aku tidak merasa terganggu sama sekali dan justru merasa senang karena setidaknya dia menunjukkan interest-nya saat mengobrol denganku.
"Santai aja kali sama gue!"
"Data gue kemaren nggak sengaja kehapus. Terus kemaren gue bawa kesini buat di pulihin. Eh, taunya abangnya bilang suruh ngambil sekarang. Soalnya besok ampe lusa mau tutup dulu. Jadi gue yang harusnya minta maaf malah karena ngajak lo nemenin gue dulu."
Aku menjelaskannya secara perlahan tentang apa yang sebenarnya terjadi pada data-dataku kemaren. Ika hanya mengangguk. Gesture yang menunjukkan bahwa dia memberikan seluruh atensinya pada penjelasanku barusan.
Aku melirik ke arah pergelangan tangan kiri, tepatnya ke arah jam tangan hitam yang bertengger manis disana. "Mau mampir sebelah bentar nggak? Kelas lo masih ada lima belasan menit. Dari sini ke kampus palingan nggak ada lima menit juga nyampe. Gimana?" Aku menawarinya membeli minum dulu sebelum kembali menuju kampus.
Ika masih terdiam dan belum menjawab ajakkanku barusan. Dia terlihat ragu-ragu, bahkan hanya untuk sekedar menganggukkan kepala. "Gue yang traktir deh. Sebagai ucapan terimakasih karena udah nemenin ngambil flashdisk." Ucapku sembari mengangkat sebuah flashdisk hitam untuk ditunjukkan padanya.
Lagi-lagi Ika masih saja diam. Dan karena aku mendadak jadi tidak sabaran. diamnya aku asumsikan sebagai kata 'ya' dari dirinya.
"Yuk!" Lanjutku akhirnya.
***
"Jadi praktikum apa nanti?" Tanyaku saat kami memilih duduk sembari menungu pesanan yang dibuatkan.
Meski tidak akan lama, kami berdua tetap memilih untuk duduk jika dibandingkan harus berdiri. "Metode Statistika."
Aku tersenyum mendengar satu informasi darinya. Medstat. Jam tiga, di hari jumat. Siapa yang masih bisa berkonsentrasi? Pikirku yang tidak aku suarakan.
Metode statistika adalah salah satu mata kuliah yang bagi kami sebagai penganut mazhab sosial, begitu sulit dan dipertanyakan kebermanfaatannya. Kami yang biasa mempelajari bukan angka harus memaksa diri untuk berkecimpung dengan dunia hitung menghitung. Benar-benar sangat melelahkan.
"Masih ada emang matkulnya?" Tanyaku berniat bercanda.
Obrolan kami yang kurang mengalir harus segera diatasi. Aku mencoba bercanda dengannya agar percakapan diantara kami tidak hanya didominasi olehku saja.
"Masih lah, Bang." Jawabnya setelah berekspresi kaget barusan.
Ika sepertinya tidak menyangka jika pertanyaan itu yang akan keluar dari mulutku. Dalam bayangannya, orang sepertiku pasti menyukai statistik. Padahal, itu adalah hal yang benar-benar salah. Meski dulu aku mendapat nilai mutu A, tetap saja aku tidak begitu mempelajari mata kuliah ini entah karena alasan apa. Mungkin memang tidak ada alasannya.
"Emang bisa di ilangin?" Ika kembali bertanya karena (mungkin) penasaran.
Aku hanya mengendikkan bahu. "Harusnya bisa sih... Nggak guna juga." Jawabku sambil tertawa.
"Nggak ada gunanya?"
Lagi-lagi aku ingin tertawa hanya karena ekspresinya yang terlihat begitu menggemaskan itu. Caranya berbicara dan memastikan benar-benar terlihat imut. "Iya." Aku mengangguk mantap.
"Nggak setuju?" Aku mengangkat kedua alisku dan bertanya pendapatnya.
Ika menggeleng, lalu mengangguk. Jawaban tidak konsisten yang membuat orang lain tidak bisa langsung mengambil kesimpulan. "Eh, setuju apa nggak nih, Ka?"
"Setuju, Bang."
Seperti yang aku duga, dia juga mengatakan setuju jika harusnya mata kuliah yang memberatkan mahasiswa ini harus dihilangkan.
Aku mengangguk mengerti. "Sama dosen apa senior praktikumnya?"
"Dosen."
"Pak Anhar?"
Dia mengangguk mengiyakan.
Aku tertawa. Merasa prihatin karena dia mendapatkan kesulitan yanng tumpang tindih karena diajar oleh Pak Anhar. "Yah, harus rajin-rajin ya."
"Maksudnya, Bang?" Ika mnegernyitkan dahi karena tidak paham dengan maksud ucapanku barusan.
"Suka ngadain kuis kan orangnya?" Lagi-lagi dia mengangguk.
"Dadakan?" Dia mengangguk sekali lagi.
"Sabar-sabarin udah." Jawabku lagi-lagi dengan tertawa.
***
"Abang aselinya emang gini ya? Beda banget!"
Kini obrolan diantara kami sudah terlihat normal dibandingkan sebelumnya. Ika sudah tidak hanya jadi pendengar, namun juga beberapa kali menjadi orang yang melontarkan pertanyaan.
Harus aku akui aku tiba-tiba menjadi lebih cerewetdari biasanya. Aku yang biasanya menjadi pendengar dalam lingkungan pertemananku, kini berubah haluan dan menjadi seorang yang lebih banyak berbicara. Rasa-rasanya aku tida ingin jika perjalanan singkat kami hanya diwarnai dengan kesunyian. Aku ingin tau lebih banyak soalnya, dan tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan begitu saja.
"Beda gimana?"
"Kelihatannya kaya pendiem gitu." Jawabnya pelan.
Aku tersenyum. "Sering merhatiin ya?"
Jujur aku bukannya sedang flirting terhadapnya. Apa yang aku katakan barusan murni karena hanya ingin bercanda. "Bercanda, Ka..." Aku akhirnya mengatakan bahwa apa yang aku katakan barusan tidak serius dan tidak perlu dipikirkan.
"Gue orangnya emang sering bercanda gitu kalo udah kenal, Ka. Kalo baru kenal, barulah pendiam kaya kata yang lo omongin barusan. Maklumin aja, ya!" Aku mencoba memberitahunya agar ke depan dia tidak kaget dengan perkataan-perkataan randomku.
Dia terseyum menanggapi. "Lah emang gue bukan orang baru, Bang?"
Aku menarik kedua sudut bibirku saat kalimat yang tidak aku duga melancar mulus dari mulutnya. "Sejak kapan kita jadi orang baru, Ka?" Responku dengan wajah yang ku buat lebih serius dari sebelumnya.