LINGER (Completed)

By raemanuellaa

583K 58.6K 1.4K

"Melepas kamu nggak semudah membenci kamu, Kinira." Jeshiro mencintai Kinira; Seperti air yang selalu kemba... More

A Love Like His
I. Avoiding Home
II. On Going Home
III. A Piece of Regret
IV. How the World Plays
V. The Epitome of Encounterance
VI. Like the Cold War
VII. One Unexpected Speech
VIII. Heartfelt Honesty
IX. A Home to Build
X. Talking About Chemistry
XI. The Bride's Gift
XII. Early Airport Conversation
XIII. Late Introduction
XIV. A Glimpse of Start
XV. Truth About Hatred
XVI. By the Beach
XVII. Settlement
A Little Side Story
XVIII. How Relationship Is
XIX. Perfect Story Line
XX. The Night Before
XXI. And He Left
XXII. The Morning After
XXIII. That One Woman
XXIV. Long Distance Thing
XXV. Malam Ini, Malioboro
XXVI. Talk of the Town
XXVII. Healthy Relationship
XXVIII. Family Approval
XXIX. Good News
XXX. They Stopped Talking
XXXII. Two Sides of A Coin
XXXIII. Reunion
XXXIV. About Not Deserving
XXXV. Kinira and Her Love
EPILOG
Highest Appreciation (author note)
Tentang Vio & Ara

XXXI. New Year's Plan

9.5K 1K 15
By raemanuellaa


Hangatnya malam natal tidak pernah berubah bagi Kira. Satu-satunya malam dalam satu tahun di mana rumah terasa seperti saat ia masih anak-anak. Tahun ini berarti natal kedua tanpa ayahnya, meskipun begitu Kira benar-benar bersyukur untuk keramaian suasana rumahnya itu. Malam di mana Jovan dan Nala, istrinya, bisa bermalam tanpa peduli besok harus berangkat pagi ke kantor. Malam di mana Rena tidak perlu berisik ingin cepat-cepat kembali ke kamar untuk mengerjakan tugas. Malam di mana sayangnya Kira tetap harus menyediakan waktu membaca bagian naskah awal yang sudah dikirimkan penulis skenarionya.

Rasanya tahun cepat sekali bergulir. Ingin bilang bahwa waktu cepat berlalu ketika sedang jatuh cinta, namun kalau dipikir ulang, mau tidak jatuh cintapun, waktu akan tetap berlalu dengan cepat. Terutama jika menghabiskan hari menunggu kabar dari orang yang sampai sekarang belum juga mengajaknya bicara meskipun kata sepupunya, Jesse baik- baik saja.

Malam ini berbeda, karena tidak hanya ada keluarganya. Kira sengaja mengundang Nia dan Rivan untuk makan malam di rumahnya, karena menghabiskan malam natal berdua saja sepertinya akan sedikit sepi. Lebih ramai lebih baik.

"Jadi, akhir tahun ada rencana apa kalian kira-kira? Liburan kah?" Alea bertanya pada ketiga anaknya yang masih fokus pada makan malamnya.

"Jovan ada rencana sama keluarganya Nala sih ma, pada mau pergi pulang kampung ke Bali," jawab Jovan tersenyum.

Mata Rena menayala mendengar jawaban Jovan, "Rena ada rencana nebeng Bang Jovan sama Kak Nala ke Bali ma," usulnya asal.

Dari dua bulan lalu Rena sudah merengek-rengek ingin pergi akhir tahun ini, namun Alea tidak bisa menyanggupi karena awal tahun depan ia juga sudah ada rencana untuk pergi dengan kelompok teman arisannya sehingga kalau mereka pergi waktunya akan sangat mepet.

"Enak aja. Lo liburan aja kek sendiri," balas Jovan tidak terima.

"Ya udah gue liburan sama Gilang," sahut Rena lebih asal lagi.

Mendengar itu, Kira melotot dan mencubit pipi Rena gemas.

"Kalau ngomong dipikir dulu. Ma, anaknya ngelunjak."

Nia dan Rivan yang tidak terbiasa melihat pemandangan seperti itu tertawa lepas. Keluarga Kira benar-benar hangat. Pantas saja ketiga anaknya tumbuh dengan sempurna, keluarganya merupakan lingkungan yang teramat baik.

"Kalau kamu ke mana, Ki?" tanya Alea mengabaikan tingkah anak bungsunya.

Sebenarnya tanpa perlu bertanya pun, Alea tahu Kira akan menjawab apa.

Kira tersenyum kikuk, "Ada kerjaan ma."

Alea mendengus kesal. Ia juga ingin melihat Kira menikmati waktunya untuk hal lain selain pekerjaannya. Meskipun ia tahu seberapa cintanya Kira pada pekerjaannya, ia juga ingin Kira menghabiskan tahun barunya keluyuran seperti orang-orang lainnya dan bukannya mendekam di dalam kamarnya membaca naskah skenario.

"Kamu tuh, jangan kerja terus kenapa sih, Ki..." Alea angkat suara memulai kegiatan rutinnya menceramahi Kira.

Sebelum mamanya itu melanjutkan, Kira sudah lebih dulu berdiri mengambil piring-piring kotor di meja makan dan menjadikannya alasan untuk pergi ke dapur menjauh dari meja makan. Nia tidak habis pikir. Kira dan Jesse seperti satu kepribadian. Gila kerja akut. Melihat keluarga ini, Nia jadi rindu anaknya juga. Sudah tidak tahu lagi kapan terakhir menghabiskan natal bersama. Nia menebas jauh sendunya. Setidaknya akhir tahun ini ia punya tempat berkunjung yang baru. Sejak Kira mengenalkannya pada Alea, keduanya langsung akrab dalam waktu dekat. Ternyata, Kira belum lama memberitahu mamanya itu bahwa ia sedang menjalin hubungan jarak jauh dengan teman SMA-nya dulu. Sama seperti Nia, yang Alea lakukan juga menghela napas lega ketika pertama kali mendengar hal itu. Lihat kan, Kira dan Jesse lagi-lagi seperti pribadi yang sama.

Kira mengangkat ponselnya yang tiba-tiba berbunyi.

Melihat nama yang muncul, ia hanya meletakkan piring yang dibawanya asal. Menanyakan kabar pria yang sudah lama ditelan bumi itu lebih penting dari apapun juga detik ini. Menghilang hampir 3 minggu, Jesse akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hal itu. Entah Kira harus senang, khawatir atau marah. Di seberang sana, Jesse dapat mendengar juga helaan napas Kira, membuatnya yang tadi sudah tidak sabar mendengar suara Kira jadi sedikit ciut. Rasa bersalah secara instan menghantuinya.

"Kamu mau ngomong apa aja aku dengerin," ucap Kira tanpa nada, membuka percakapan pertamanya dalam 3 minggu dengan Jesse tanpa sapaan. Jesse menggunakan waktunya untuk memikirkan harus mulai dari mana.

"I've been busy. Aku tahu kerjaan aku nggak seharusnya jadi alasan bener-bener nggak ngabarin selama hampir tiga minggu. Aku sebenarnya cuma ngehindarin ngeluapin emosi aku ke kamu dan malah bikin keadaan tambah keruh," desah Jesse panjang di akhir kalimatnya.

Kira masih sedikit kesal, jelas. Tapi ia tahu Jesse tidak mungkin menghilang kalau tidak punya alasan. Mendengar bagaimana bersalahnya pria itu dari suaranya, Kira juga tidak bisa seenaknya meluapkan amarahnya yang tertahan.

"Sekarang udah nggak sibuk?"

"Masih. Tapi aku nggak mungkin nggak ngomong sama kamu satu bulan kan?"

Kira tidak tahu kesibukan seperti apa yang sedang dijalani Jesse sekarang, tapi besar sekali keinginannya untuk ada di samping Jesse. Derita jarak jauh.

"Kamu ada rencana nggak tahun baru?" Kira mengalihkan topik.

"Enggak. Biasanya ngerjain sisa kerjaan, terus paling pergi nongkrong sama temen- temen. Kamu ada rencana?"

"Enggak juga. Sama kayak kamu kok. Aku harus review naskah."

"Keluarga kamu?"

"Pada mau pergi masing-masing. Paling nanti aku berduaan sama Rena," jawab Kira malas.

Ia sudah bisa membayangkan menghabiskan waktunya berdua dengan Rena. Kalau anak itu tidak membuat telinganya penga dengan menelepon Gilang tiap hari, pasti Rena membuat telinganya penga dengan teriakannya menonton segudang film romantis komedi kesayangannya. Kira bisa saja memilih untuk menyendiri di apartemennya, tapi mamanya tidak mungkin membiarkannya meninggalkan Rena sendirian di rumah. Bisa-bisa kelayapan tiap malam.

Ada jeda tidak berarti sebelum Kira bertanya,

"Je... tiga minggu, kamu ke mana aja?" tanya Kira akhirnya. Ia berusaha untuk tidak bertanya sampai Jesse menjelaskan lebih lagi. Namun sekeras apapun ia berpikir, cukup tidak masuk akal bahwa Jesse tidak bisa meluangkan barang satu menit pun di pagi atau malam hari untuk bicara dengannya. Dan Jesse bukan tipe yang mengabaikan tumpukan pesannya. Kira jadi mau tidak mau merasa kesibukkan bukan satu-satunya alasan Jesse.

"Kamu nggak percaya aku bilang sibuk?" Jesse balik bertanya. Kira diam, memilin ujung kemejanya dengan tangannya, berharap tidak mendengar jawaban yang tidak diinginkan.

"Aku lagi banyak pikiran sih, Ki. Banyak banget. Ya kayak yang aku bilang, aku pengin hubungin kamu, tapi nggak mau bikin kepikiran karena akunya juga lagi nggak dalam kondisi yang baik. Jadi aku nunggu sampai pikiran aku jernih buat hubungin kamu, tapi ternyata butuh lebih lama dari yang aku perkirakan."

"Kamu mikirin apa? Are you okay?"

"I am now. Tapi aku belum bisa cerita kamu sekarang. Nggak apa-apa kan?" Jesse ragu, tapi jawaban Kira menghangatkan hatinya.

"Kalau kamu emang nggak mau cerita, nggak apa-apa kok. Kalau sampai kapanpun emang masalah itu mau kamu simpan aja, nggak apa-apa kok. Asal kamu nggak sakit, asal kamu nggak kesulitan nanggung semuanya sendiri. You're my boyfriend, and I really really care about you. Tapi kamu juga berhak punya duniamu sendiri, Jeshiro."

Senyum bahagia yang belakangan ini belum dirasakannya, muncul tanpa aba-aba di wajah Jesse. Kira memang tidak dapat melihatnya, tapi Jesse benar-benar merasa jauh lebih baik sekarang.

"Tapi lain kali kalau mau ngilang kabarin dulu ya, aku khawatir banget nggak bohong."

Jesse terkekeh kecil, "Kamu tuh kalau jujur bikin kangen banget."

"Ah, about that! Kayaknya, rencananya, aku ke Revere tahun depan."

"Revere? Revere yang 20 menit doang naik mobil dari apartemen aku?!" Jesse tidak bisa menyembunyikan pekikannya.

Selain kesulitan mencerna berita mendadak dari Kira, kakinya tiba-tiba seperti sudah siap menginjak pedal gas untuk menyetir ke Revere.

"Iyalah, Revere mana lagi? Bukunya Ara jadi digarap sama salah satu produser terbaik di Indonesia dan karena kejar waktu, tahun depan udah dijadwalin mulai proses produksi."

"Udah ada jadwal ke sini kapan?"

"Untuk sekarang sih belum, karena nanti masih harus ada survey lokasi juga kan. Kayaknya sih aku nggak bisa ikut survey lokasinya karena masih ada yang harus aku urusin di sini. Jadi nanti yang pergi pertama ke sana sekitar awal tahun depan sih cuma manajer lokasinya aja. Tapi kalau emang sesuai jadwal, harusnya sih I'll be there around June or July."

"Nggak sia-sia dulu aku dipalak Ara es krim tiap dia mau nulis. Kok kamu baru kasih tahu aku sih?"

Kira memutar bola matanya, "Kamu nanya gitu kayak nggak inget aja baru ngilang tiga minggu."

Jesse meringis. Benar juga. Tapi kan kalau Kira bilang, tanpa pikir panjang Jesse pasti langsung menghubunginya.

Dalam waktu sekitar 6 bulan ia akan bertemu lagi dengan Kira, itu bukan kabar yang mungkin diabaikannya.

Jovan masuk ke dalam dapur dengan santainya menginterupsi percakapan Kira dengan Jesse sambil tersenyum penuh arti dan langsung mengerti kenapa adiknya itu tidak kunjung kembali ke meja makan. Dalam satu gerakan dan ketidakpeduliaannya akan omelan Kira, Jovan merebut ponsel yang masih menempel di telinga wanita itu.

"Jesse?"

Jesse terkejut mendengar suara seorang pria yang terasa asing. "Iya, halo? Siapa ya? Kinira...?" Jesse heran. Perasaan tadi masih bicara dengan Kira.

"Hai. Gua Jovan, abangnya Kira." Jovan tersenyum jenaka sambil menghindar dari Kira yang berusaha merebut kembali ponselnya. Mengerjai adiknya itu memang paling enak.

"Eh? Hai bang. Jeshiro." Jesse dengan kikuk memperkenalkan dirinya.

"Buset pake perkenalan. Gue udah kenal kali. Gue ngerebut HP adek gue cuma buat ngomong maaf. Maaf dulu suka ngusir lo dari rumah. Maaf juga suka bohong Kira nggak di rumah. Sumpah, semuanya Kira yang nyuruh. Emang adek gua suka kurang ajar, makanya karmanya banyak," ucap Jovan, antara tulus minta maaf atau hanya ingin meledek Kira.

"Hahaha, santai bang. Tahu kok gue," balas Jesse.

Bukan satu dua kali dulu ketika Jovan berbohong Kira tidak ada di rumah, Jesse menangkap Kira yang mengintip dari jendela kamarnya untuk memastikan apakah Jesse sudah pergi atau belum. Masalah diusir, ia sudah terbiasa. Sudah jadi rutinitas. Lagipula ia juga tidak menyalahkan Jovan. Jovan tidak kelihatan seperti orang yang suka ikut campur kalau tidak diminta. Mungkin karena Kira yang minta, ia jadi tidak bisa menolak. Selain itu, kalau dibahas sekarang, cerita itu rasanya jadi cerita yang menyenangkan dan penuh kenangan untuk diceritakan kembali. Jadi sepertinya tidak semua tentang diusir tiap Sabtu pagi buruk.

Jovan melempar kembali ponsel Kira, yang untungnya ditangkap wanita itu dengan selamat. Kalau tidak terpaksa ia harus membuang tenaga lebih untuk menyiksa Jovan dengan pukulan mautnya. Punya kakak kok banyak tingkah. Sudah menikah kelakuan macam ABG.

"Sumpah, maaf ya. Bang Jo kalau lagi libur suka kurang kerjaan," ucap Kira pada Jesse sambil memelototi Jovan yang melambai kecil padanya sembari meninggalkan dapur.

"Iya, nggak apa-apa kok. Ngomong sama kakak kamu malah bikin aku kangen papa mama, hahaha. Aku telepon mereka dulu kali ya? Dari kemaren belum ngabarin."

"Eh, mama sama papa kamu lagi di rumah aku. Aku undang makan bareng. Ini aku kasih aja ya teleponnya ke mama kamu."

"Hah? Mama aku di rumah kamu?"

"Iya, tuh lagi ngobrol sama mama."

"Oalah, ini ceritanya kalian natal keluarga sama calon besan ya?" goda Jesse sambil menaik-naikkan alisnya yang anehnya meskipun tidak dapat dilihat, namun dapat dirasakan Kira. Jesse jadi semangat sendiri mendengar keluarganya dengan Kira semakin dekat.

"Kebiasaan banget kalau ngomong asal jeplak aja. Awas ya kalau kamu ngomong aneh- aneh sama tante," ancam Kira sebelum menyerahkan ponselnya pada ibunda Jesse. Begitu-begitu sejujurnya Kira sudah memerah. Malu sendiri mendengar kata besan.

"Tan, Jesse."

//

Keajaiban natal baru saja terjadi di apartemennya. Seorang Jeshiro Melvino yang sudah lama tidak dilihatnya tersenyum dengan wajar, pagi ini keluar dari kamarnya sambil bersenandung. Dovan sampai merinding ketika pria itu menawarinya sarapan. Dovan pikir hari ini akan jadi puncak hari-hari menyedihkan Jesse karena tumpukan pekerjaan dan masalah hubungannya dengan Amber belum juga menemukan titik selesainya bahkan sampai hari natal tiba. Tapi sepertinya dugaan Dovan tidak ada artinya. Buktinya sekarang Jesse sedang menyantap sarapannya dengan sambil tersenyum kecil.

"Did something good happen?" Dovan mengambil posisi duduk di depan Jesse.

"Kira bilang mau ke sini tahun depan, syuting film baru adaptasi novel sahabatnya."

"Sahabat lo juga berarti?"

Jesse mengangguk. Dovan mengerti sekarang. Pantas saja Jesse bahagia macam anak SD yang sedang nonton doraemon di TV Minggu pagi. Seharusnya ia tahu.

Siapa lagi yang bisa merubah mood pria ini secepat itu kalau bukan Kira?

"Syuting di mana dia?"

"Revere."

Dovan bergidik ketika mendengar kota itu disebut. "Gue nggak mau ya nemenin lo bolak-balik nyamperin Kira ke sana. Nanti kalau gue papasan sama Jane kan nggak lucu."

Jesse hampir terpingkal. Dovan sudah sedikit membaik dari pertama putus dengan Jane, namun masih saja takut ketemu mantan. Membicarakan Jane, Jesse jadi ingat rencananya mengenalkan Dovan pada Ara. Ada kemungkinan Ara akan memukul kepalanya dan memakinya karena tidak setuju dengan rencana Jesse, tapi Jesse mana peduli. Kan cuma kenalan. Kalau tidak cocok ya sudah. Tapi mana mungkin sih Dovan menolak cocok dengan Ara? Yang ada ia mungkin malah mencocok-cocokkan diri.

Galatia Adara itu sampai sekarang di grup alumni SMA-nya masih dipanggil 'Permaisuri Wijaya Purna'. Hanya orang bodoh yang melepaskan Ara. Contohnya ya Jeravio Sebastian, sepupu sekaligus sahabat gilanya itu.

"Rencana datang kapan? Biar gua cepat-cepat pesan tiket balik ke Indo, ogah ketemu sama Kira. Gue kalau ketemu dia disiksa mulu." Dovan memasang wajah horror mengingat Kira yang sejak balita paling senang menjewernya. Salah atau tidak salah, selalu saja ia dijewer.

"Juni atau Juli," jawab Jesse singkat.

Dovan memanggutkan kepalanya. Masih ada sekitar 6 bulan untuk menyiapkan mental.

"Emang bakal masih bertahan pacaran kalian enam bulan lagi?"

"Pernah dilempar pisau dapur nggak lu?" celetuk Jesse menengok sedikit ke pisau di kabinet dapur belakangnya.

Dovan terkekeh tidak merasa bersalah sedikitpun kemudian mengalihkan pembicaraan, "Oh iya, tanggal tiga satu beneran jadi pada mau ke New York nggak sih?"

"Jadi kali. Jujur gue males banget sebenarnya, tapi dipaksa Dana. Nih dia baru ngingetin lagi." Jesse menunjukkan layar ponselnya yang berisikan belasan pesan masuk dari Dana yang mengingatkannya untuk segera membeli tiket ke New York.

Jesse sedikit tidak mengerti esensi dari melakukan perjalanan selama 3 jam dari Cambridge ke New York hanya untuk menutup tahun di Times Square dan kembali setelahnya. Buang-buang uang dan tenaga.

"Turutin aja sih, atau dia bakal ceramahin lo tentang ini terus tahun depan."

"Bilang aja lo dipaksa ikut juga..." Jesse memutar bola matanya. Ia tahu Dovan dipaksa ikut juga ke New York dan ia pasti tidak ingin pergi. Secinta apapun Dovan menghabiskan waktunya di luar apartemen dan berkumpul-kumpul tidak jelas, berdesak-desakan di tempat seramai Times Square bukan sesuatu yang senang ia lakukan. Jesse juga begitu. Kalau bisa pilih, ia bahkan lebih memilih tidak kemana-mana dan mengerjakan pekerjaannya untuk mengurangi tumpukan kerjaannya tahun depan, atau memandang jalanan Cambridge dari kamarnya dan menggambar gedung-gedung pencakar langit di sekeliling apartemenya dengan tenang. Dan akan lebih baik lagi ditemani Kira yang katanya juga tak akan kemana-mana akhir tahun ini. Tapi melihat Dovan yang merengek dan pesan masuk yang tidak ada hentinya dari Dana, sepertinya ia tidak punya pilihan.

It's only few hours of Times Square, it won't be that bad.


L.I.N.G.E.R

Vomments are highly appreciated<3

Continue Reading

You'll Also Like

98.3K 11.5K 31
Semuanya bermula dari sebuah insiden kecil yang menimpa Olivia Maier di GOR kampusnya ketika sedang menonton latihan futsal hingga mempertemukannya d...
ARIEANNA By Cecans

Teen Fiction

2.4K 355 38
Takdir membuatnya gila. Namanya Arieanna Ananta Gabriela seorang gadis yang hidup layaknya di cerita dongeng. Memiliki paras yang rupawan, harta yang...
25.4K 2.8K 33
Mungkin kalau bukan karena Mama yang harus pergi ke luar kota sama Papa, gue gak akan dateng ke Jakarta. Mungkin juga kalau bukan karena Tante Tiara...
392K 52.9K 58
Awal masuk praktikum, Jennie sudah dicap sebagai tukang gosip oleh salah satu asisten praktikum yang ia sebut sebagai titisan medusa. Namanya Terry...