LINGER (Completed)

By raemanuellaa

583K 58.6K 1.4K

"Melepas kamu nggak semudah membenci kamu, Kinira." Jeshiro mencintai Kinira; Seperti air yang selalu kemba... More

A Love Like His
I. Avoiding Home
II. On Going Home
III. A Piece of Regret
IV. How the World Plays
V. The Epitome of Encounterance
VI. Like the Cold War
VII. One Unexpected Speech
VIII. Heartfelt Honesty
IX. A Home to Build
X. Talking About Chemistry
XI. The Bride's Gift
XII. Early Airport Conversation
XIII. Late Introduction
XIV. A Glimpse of Start
XV. Truth About Hatred
XVI. By the Beach
XVII. Settlement
A Little Side Story
XIX. Perfect Story Line
XX. The Night Before
XXI. And He Left
XXII. The Morning After
XXIII. That One Woman
XXIV. Long Distance Thing
XXV. Malam Ini, Malioboro
XXVI. Talk of the Town
XXVII. Healthy Relationship
XXVIII. Family Approval
XXIX. Good News
XXX. They Stopped Talking
XXXI. New Year's Plan
XXXII. Two Sides of A Coin
XXXIII. Reunion
XXXIV. About Not Deserving
XXXV. Kinira and Her Love
EPILOG
Highest Appreciation (author note)
Tentang Vio & Ara

XVIII. How Relationship Is

13.5K 1.4K 34
By raemanuellaa


"Cut!" Suara tinggi Kira menggaung di seluruh lokasi syuting, membuat para pemain lantas berhamburan keluar dari tangkapan kamera dan bersiap menyudahi hari mereka. Untuk hari ini sudah selesai.

Kira merenggangkan tangannya ke atas lelah lalu tersenyum kecut melihat tidak ada pesan masuk di ponselnya. Ia seperti remaja sedang jatuh cinta saja, menunggu kabar dari kekasih baru yang hari ini hilang entah kemana.

"Sampai besok Mbak Kira..."

Kira mengangguk ramah seraya mengembalikan senyum setiap pemain yang berjalan menuju pintu keluar gedung olahraga tersebut. Kira menepuk punggungnya yang pegal, sekalian membubuhkan tepukan bangga untuk dirinya sendiri yang berhasil menyelesaikan adegan paling krusial dalam filmnya dan masih seratus persen waras.

Adegan pernyataan cinta di gedung olahraga setelah pertandingan basket, dengan pemeran utama pria bersimbah keringat dan sahabatnya yang menonton di baris paling depan. Kira sampai harus menggeleng berkali-kali memerhatikan tiap kata yang keluar dari mulut pemainnya. Saat pemutaran pertama nanti sepertinya Kira harus mengajak adiknya yang juga sedang di mabuk cinta dengan pacarnya untuk menonton film ini, agar mereka tahu bagaimana sudut pandang Kira melihat mereka.

Sebenarnya, setelah ini, Kira ingin berhenti dulu menyutradai film bertema romansa seperti yang selalu ia lakukan. Alasan pertamanya adalah karena tentu ingin mencoba ranah lainnya. Alasan keduanya jelas karena lama-lama ia tidak sanggup sendiri melihat kisah indah orang lain. Namun berdasarkan keadaannya sekarang, alasan kedua sudah tidak menjadi masalah lagi. Belum lagi, jika tawaran film yang berikutnya adalah film dari buku milik sahabatnya.

Kira selalu lebih menyukai film yang dibuat berdasarkan buku. Menurutnya, mengubah pandangan seseorang tentang bagaimana film yang diadaptasi dari buku tak akan sebaik bukunya adalah sebuah tantangan. Kira ingin mencoba mengubah perspektif itu. Memang, tidak semua kata-kata dalam buku bisa masuk dalam dua jam penayangan, namun menjadikan dua jam penayangan cukup untuk membuat seseorang merasa sedang membaca bukunya ada di daftar paling atas tugasnya. Ini akan jadi kali yang pertama, buku Ara difilmkan, dan Kira berjanji untuk menggarap buku itu lebih baik dari apapun dan dari siapapun, meski lagi-lagi, ia harus berkutat dengan drama romansa.

Jesse menyaksikan kerutan dahi Kira dari pintu masuk gedung olahraga yang pagi itu digunakan sebagai lokasi syuting. Beberapa kru menghadangnya di depan tadi, bertanya ada keperluan apa ia datang. Setelah menjelaskan siapa dirinya, hampir semua yang mendengar menjatuhkan rahangnya mengira mereka salah dengar. Berita bahwa sutradara keras kepala mereka itu punya kekasih rasanya sulit sekali dipercaya. Jesse jadi menerawang, sedingin apa Kira pada semua orang yang berusaha mendekatinya hingga predikat susah didekati melekat kuat.

Jesse membawa kakinya mendekat, berdiri di belakang Kira lalu mengusak rambutnya pelan.

"Udahan?" tanyanya.

Kira terperanjat mendengar suara Jesse. Matanya yang sedang terpaku menunggu telepon dari Jesse diangkatnya hingga menemui kepingan mata bulatnya. Setelah tidak bisa dihubungi dan tidak menghubungi, ia muncul tanpa undangan di sini.

"Kamu kok di sini?" Kira membereskan barang-barangnya cepat lalu mengucapkan selamat tinggal pada beberapa orang yang tersenyum padanya. Ia kemudian berbalik pada Jesse yang tersenyum simpul.

"Jemput," jawabnya singkat.

Kira seperti dipaksa bernostalgia mendengar jawaban Jesse. Bayangan Jesse menawarinya tebengan pulang dan jasa antar-jemput Bintaro-Senayan-Kemang kembali lagi mendatanginya. Kalau dipikir-pikir pria itu nekat juga, bersedia muncul di rumah Kira saat matahari belum terbit hanya agar Kira tidak terlambat, dan mengantarnya pulang bahkan ketika matahari sudah terbenam hanya untuk memastikan Kira sampai di rumah dengan selamat. Kira juga gila sekali, menolak semua tawaran itu kecuali jika benar-benar terpaksa.

Kira meraih tangan Jesse untuk digenggam.

"Udah makan belom? I know an amazing sushi place."

Jesse melirik tautan tangan Kira dan tangannya. Ia menatap Kira dalam namun menjaga dirinya tetap santai, meskipun yang ingin ia lakukan sebenarnya hanya duduk dan menatap kosong dinding gedung ini karena kakinya lemas. Efek yang Kira berikan terhadap dirinya tidak pernah berkurang sedikit pun dan ia masih dibuat kagum oleh hal itu.

"Kira!"

Kira menoleh mendengar namanya dipanggil kencang. Seorang pria berlari ke arahnya dan Jesse penuh semangat menenteng barang-barang yang kelihatannya banyak sekali. Tubuh jangkungnya ramping berdiri di depan Kira. Meskipun tidak setinggi Jesse, pria ini masih membuatnya merasa seperti kurcaci kurang minum susu.

Kalau Kira tidak salah ingat, namanya Gevan. Pemeran pengganti yang dipilihnya di detik-detik terakhir casting. Untuk pengalaman yang sejujurnya masih sedikit dalam seni peran, acting yang dilakukannya sangat menjanjikan. Kira tidak mengerti kenapa Gevan baru sekarang memilih menekuni bidang ini padahal ia jelas-jelas berbakat, dan bahkan lebih berbakat dari sebagian besar mereka yang namanya sudah dikenal satu tanah air. Kira dapat melihat semua itu, bahkan hanya dalam beberapa adegan yang dimainkannya. Kira mungkin harus merekomendasikan nama pria itu lebih sering. Sayang sekali kalau bakatnya terbuang sia-sia.

"Eh, Mas Gevan. Kenapa?" tanya Kira ketika Gevan sudah berdiri mengatur napasnya.

"Nggak apa-apa sih, mau bilang aja, makasih buat hari ini."

"Hari ini kenapa?"

"Makasih aja," ujar Gevan lalu beranjak dari hadapan Kira sambil melambai kecil.

Ia berlalu setelah memberikan lirikan terakhir pada Jesse dan tangan Kira yang digenggamnya. Sedang Jesse memicingkan matanya mencoba membaca keadaan, Kira menggaruk tengkuknya yang tidak gatal bingung. Ia tidak merasa melakukan sesuatu yang membuat Gevan harus berterima kasih. Bahkan seingatnya ia tidak bicara satu kata pun pada Gevan hari ini. Kira mengendikan bahunya, pikirnya pria yang lebih tua 3 tahun darinya itu memang hanya terlampau baik saja. Mungkin memang itu menjadi kebiasaan pria itu untuk mengucapkan terima kasih pada semua orang ketika selesai menjalankan syuting.

Jesse melayangkan tatapan tidak percaya pada Kira yang sepertinya sama sekali tidak mengerti situasi yang baru terjadi.

"He likes you," ujar Jesse tenang.

Kira mengangkat kedua alisnya pada kekasihnya itu, tersenyum mengejek mendengar kalimat Jesse yang meninggalkan kesan delusional bagi Kira.

"Aku baru kenal sama dia, Je. Ngomong juga baru berapa kali. Kamu asal aja."

Keduanya melanjutkan langkah mereka yang sempat terhenti. Jesse tampak tidak termakan penjelasan Kira. Entah Kira yang kelewat tidak peka atau pura-pura tidak tahu, tapi Jesse yakin semua orang yang ada di situ dapat langsung tahu Gevan menyukai Kira.

Namun wanita itu tidak termakan omongan ngawur Jesse. Satu hal yang Kira ketahui tentang Jesse, pria itu tidak pandai membaca orang lain. Terkadang Jesse merasa dirinya pintar mengetahui perasaan orang lain, tapi nyatanya tidak. Kalau Jesse pintar membaca perasaan orang lain seharusnya Jesse bisa langsung tahu bahwa dulu Kira menyakitinya karena saat itu hanya itu mekanismenya untuk tidak jatuh lebih dalam pada pesona seorang Jeshiro Melvino.

Kalau Jesse bisa membaca Kira seperti yang dikatakannya, mereka tidak perlu menghabiskan 8 tahun bermain kejar-kejaran tanpa tahu siapa bertindak sebagai apa.

"Aku juga suka sama kamu waktu baru sekali ngomong sama kamu. Nggak susah buat jatuh cinta sama kamu, Kinira." Jesse memberi penekanan saat menyebutkan nama Kira di ujung kalimatnya. Seharusnya terdengar mengintimidasi, namun sudut bibir Kira malah terangkat.

Kira sangat menyukai cara Jesse menyebut namanya secara lengkap. Kedengarannya sepele, karena bahkan Kira dan Kinira tidak sejauh itu. Namun tetap saja.

"Terus kenapa kalau iya? Cemburu?" Kira mengangkat sebelah alisnya lalu masuk ke dalam mobil Jesse. Untung hari ini ia naik taksi, kalau tidak mereka harus berada dalam 2 mobil yang berbeda sekarang, di saat Kira sangat ingin mendengar jawaban Jesse akan pertanyaannya. Semacam balas dendam akan pembicaraannya tentang Dana waktu itu.

Jesse mengerutkan dahinya, pura-pura berpikir. Padahal tanpa berpikir pun ia dapat langsung menjawab pertanyaan Kira. Jesse mengangguk.

"Banget."

Kira yang sedang merapihkan rambutnya di cermin mobil Jesse menghentikan kegiatannya lalu memandang Jesse yang sedang menyetir. Jesse menjawab tanpa memedulikan reaksi Kira dan bukan untuk mengetahui reaksi Kira. Jesse hanya mengeluarkan isi hatinya tentang bagaimana perasaannya mengetahui rekan kerja Kira menaruh rasa pada Kira.

"Kenapa ngeliatinnya gitu banget?" tanya Jesse mendapati Kira menatapnya dengan mata melebar seperti tidak percaya akan apa yang baru Jesse katakan. Jesse terlihat sangat mudah mengatakannya, padahal niat Kira mengembalikan pertanyaan Jesse adalah untuk melihat pria setengah dingin itu salah tingkah. Kira pikir Jesse akan menyangkalnya.

"Kalau kamu takut aku berubah posesif terus ngelarang kamu deket-deket sama Gevan, nggak usah khawatir. Aku mau kamu ngehargain hubungan kita dengan cara yang beda kayak kamu ngehargain hubungan kamu sama Aldo."

Kira menyenderkan kepalanya di kaca mobil namun matanya masih melekat pada Jesse yang terlihat lebih tampan dengan raut wajah seriusnya, sebelah tangan pada setir mobil dan sebelah tangan ia istirahatkan pada sandaran tangan miliknya. Ketika sedang senang- senangnya, lagi-lagi Kira diingatkan bahwa lusa rutinitasnya tidak akan sama lagi.

Jesse tidak akan menjemputnya di lokasi syuting dan Kira tidak bisa meneleponnya untuk makan siang bersama. Setelah kembali membuka diri untuk berhubungan, kini Kira dihadapkan pada hubungan jarak jauh, seakan perasaannya pada Jesse sedang diuji lagi. Kira mengatupkan bibirnya sedih. Penyiar di radio menjadi latar suasana mobil Jesse siang menjelang sore itu. Panasnya matahari yang dihalang AC mobil Jesse menemani perjalanan mereka ke restoran yang dituju.

Sama dengan Kira, Jesse sudah mulai memikirkan kepulangannya lusa. Penerbangan selama satu hari penuh, makanan pesawat yang tidak pernah disukainya, dan benua Amerika yang menjadi tempatnya pulang. Ia belum merencanakan kepulangan berikutnya ke Jakarta, namun karena sekarang ia dan Kira sudah berbeda, ia mulai memikirkan hal itu. Tidak mungkin ia membiarkan 7 tahun berlalu lagi tanpa kembali ke sini.

"Pesawat kamu lusa jam berapa?" Kira angkat bicara, memecah hening walau topik yang dipilihnya bukan yang sekarang ingin dibicarakannya.

"Malam. Jam sebelas kalau nggak salah." Jesse belum melihat lagi tiketnya. Bahkan sejujurnya ia mulai lupa bahwa lusa ia sudah harus meninggalkan Jakarta.

Kira mengangguk mengerti.

"Kok ditekuk gitu mukanya? Sedih ya mau ditinggal?" lanjut Jesse menyeringai kecil.

Kira mengiakan pertanyaan Jesse tanpa sadar. Tadinya ia ingin mengelak setelah itu, namun tidak ada gunanya juga. Memang ia sedih kok, akan ditinggal Jesse pulang ke Amerika.

"Samperin aku ke Amerika makanya," gurau Jesse.

Kira mencebikan bibirnya kesal. "Ya kamu ngomongnya gampang banget. Dipikir murah apa ke sana."

"Jadi nggak ada rencana nyamperin aku nih? Nanti kangen."

"Sebenarnya ya, aku tuh abis ini rencananya mau garap film dari bukunya Ara kan. Setting-nya tuh sebagian di Amerika. Nanti aku kabarin kamu ya kalau proyeknya jalan dan aku jadi sutradaranya."

Baru Jesse ingin menanggapi pernyataan Kira dengan semangat, ponselnya berbunyi membuatnya terlonjak kaget. Nama Dovan terpampang besar di layar ponsel Jesse. Pria itu mengerang malas lalu meminta tolong Kira untuk mengangkatnya. Jesse tidak habis pikir. Bisa-bisanya Dovan meneleponnya saat di Amerika sana sudah jam 3 pagi. Dovan merindukannya apa memang tidak punya pekerjaan, tidak ada yang tahu selain Dovan dan Tuhan.

Suara rengekan Dovan terdengar melengking begitu saja ketika Kira mengangkat telepon itu. Kira sampai harus menjauhkan ponsel Jesse dari telinganya.

"Van? Masih waras nggak sih?" Kira bertanya kesal bahkan tanpa menyapa pria itu dulu. Sepupunya benar-benar gila. Menelepon Jesse jam segini hanya untuk bergumam dan merengek tidak jelas.

Dovan berhenti bersuara mendengar suara yang tidak asing di telinganya. Ia terkesiap begitu menyadari mengapa ia bisa mengenal suara yang bicara menggantikan Jesse. Dari semua orang yang bisa mengangkat teleponnya, Dovan tidak menyangka akan mendengar suara sepupunya. Sepupu yang seingatnya sangat dibenci Jesse. Setelah Jesse bercerita tentang bagaimana ia bisa mengenal Tata dan apa yang Tata lakukan dulu, Dovan sempat berniat menghubungi sepupunya itu untuk memberinya ceramah panjang lebar. Namun Dovan lupa dan sekarang sepertinya ceramahnya sudah tidak diperlukan lagi.

"Ta? Is that you?" Dovan bertanya tidak percaya. Berarti Kira sedang bersama dengan Jesse. Yang tidak masuk di akal Dovan adalah kenapa Kira memegang ponsel milik Jesse.

"Hm. Mau ngomong sama Jesse?" tanya Kira, kemudian menyalakan mode loud speaker di ponsel Jesse. Ia tidak mau mendengar suara menyedihkan Dovan sendirian.

"Kenapa, Van?" tanya Jesse begitu Kira mengaktifkan mode tersebut. Dovan tampaknya sudah tidak punya tenaga untuk bertanya lebih lanjut mengenai Kira dan Jesse. Tujuan utamanya kan memang untuk menceritakan masalahnya.

"Lo kapan balik sih?"

"Lusa. Kangen?"

"Banget."

Kira meletakkan tangan di dahinya mendengar dua pria dewasa ini saling bersahutan. Yang merupakan pacarnya Jesse kan dirinya, tapi rasanya Dovan satu anak tangga di atasnya.

"Jane broke up with me," tutur Dovan pelan, seperti jika ia bicara sedikit lebih keras maka satu dunia akan mendengarnya.

Jesse menginjak remnya mendadak membuat Kira yang duduk di sebelahnya terkaget hampir terpental. Kira melihat ke luar kaca mobil Jesse. Rupanya mereka sudah sampai di restoran pilihan Kira itu.

"Jane ngapain?" Jesse mengambil ponselnya dari tangan Kira, mulai menanggapi pembicaraan Dovan serius.

Rasa kasihan mulai timbul dalam hati Jesse. Dovan sangat menyayangi kekasihnya itu. Meski baru 2 tahun, Jesse mengerti Dovan pasti sudah banyak membayangkan masa depannya dengan Jane. Jesse tahu karena Dovan selalu membicarakan Jane, bahkan saat Jesse terang-terangan berkata bahwa ia sedang tidak ingin mendengar tentang hubungan Dovan.

Dovan dan Jane menjalani hubungan yang serius. Dari semua mantan pacarnya, Jane bertahan paling lama menghadapi tingkah laku ajaib Dovan. Mendengar kalau Jane mangambil keputusan untuk meninggalkan Dovan, waktu dan keadaan seperti sedang rancu sekali.

Kira tidak jauh berbeda dengan Jesse. Meski tidak berbicara terlalu sering dengan Dovan, ia tahu Dovan menjalani hubungan yang serius dengan pacarnya yang satu itu. Ia sering mendengar tantenya bicara panjang lebar mengenai hal ini pada mamanya. Tidak jarang Kira mencibir kesal kalau mamanya sudah membandingkan dirinya dengan Dovan dalam masalah mencari pasangan hidup.

"We agreed that it's a mutual thing. But I feel like it's not, because I still love her way too much."

Dovan menghembuskan napas lelah, yang bisa terdengar jelas di telinga Kira dan Jesse. Jesse menatap Kira penuh tanya, bingung harus berkata apa. Biasanya Jesse hanya akan kembali bergurau seperti biasa, karena patah hati-patah hati Dovan yang sebelumnya tidak pernah seserius ini, Dovan tidak pernah menyayangi mantan-mantanya sebesar ia menyayangi Jane.

Kira langsung kehilangan semangatnya untuk menikmati makanan Jepang yang sudah ia idam-idamkan sejak awal minggu ini.

"I'll treat you when I got back. Mau nitip sesuatu nggak dari sini?" tanya Jesse, tidak bertanya lebih lagi.

"Ta, lo masih bisa masak teri balado kan? Can you make that for me?"

Mendengar permintaan Dovan, Kira menahan keinginannya untuk mengamuk sekarang. Bisa-bisanya pria itu memintanya macam-macam. Memang dipikirnya Kira tidak punya banyak kerjaan apa.

"Iya, nanti gue bikinin. Stop mourning over it, if Jane's not the one, she never meant to be the one," titah Kira, dibalas gumaman Dovan yang kemudian menutup telepon secara sepihak tanpa mengucapkan apa-apa lagi.

Kira menggertakan giginya kesal namun menghela napas melawan amarah. Ya sudahlah, Dovan pasti sedang melalui hari yang lebih berat dari dirinya. Kira turun dari mobil Jesse, mengejar pria yang sudah beberapa langkah di depannya.

"Kamu bisa masak teri balado? Aku nggak tahu kamu se-Batak itu." Jesse terkekeh.

"Nggak usah ngeledek deh. I cook a lot. I just don't have the time lately."

"What will you do about Dovan anyway?" lanjut Kira bertanya penasaran. Ia tidak pernah membayangkan Jesse sebagai konsultan percintaan.

"I'll let him be. Dia tipe yang membaik sendiri, selalu gitu. Biasanya kalau dia putus, aku nunggu sekitar dua tiga bulan, and I'll set him up then. Jane itu aku juga yang ngenalin. Tapi nggak tahu sih, kali ini kayaknya akan butuh lebih lama dari dua tiga bulan."

Kira mengangguk. Jesse lebih mengenal Dovan daripada dirinya yang satu darah jadi ia tidak mau banyak bicara. Yang tiap hari bersama Dovan kan Jesse, yang tiap hari dengar cerita tentang Jane juga Jesse. Kira hanya kebagian rempahan saja, jadi ia tidak mau sok menilai.

Kira sedang membacakan pesanan mereka pada pelayan restoran tersebut ketika Jesse membaca pesan di ponselnya mengernyit.

Adara: Barusan gue ngomong sama Vio. It's truly over now, Je.

Jesse semakin bingung kenapa akhir-akhir ini banyak sekali orang datang membawa masalah percintaannya. Saat akhirnya masalahnya sendiri bisa selesai, seakan orang-orang di sekitarnya sedang mengalami kebalikannya.

"Kok nggak makan?" Kira melihat Jesse yang belum menyentuh piring-piring di depannya, hanyut dalam pikirannya sendiri.

Kira berasumsi Jesse berada di luar kepalanya karena pesan yang tadi didapatnya. Kira ingin bertanya namun tidak ingin mengganggu privasi Jesse.

Jesse mengangkat sumpitnya namun lalu meletakkannya lagi dan malah mengamati Kira makan. Kira yang risih ditatap sebegitu dalam ikut meletakkan sumpitnya berhenti mengunyah.

"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya.

Satu pertanyaan dari Kira yang membuat perasaan Jesse membaik seketika. Jujur ia belum terbiasa dengan Kira yang peduli. Atau panggilan aku-kamu dari Kira. Kira yang dapat dengan mudah menatap matanya dan Kira yang tidak menolak genggamannya. Rasanya ia ingin membuat sertifikat keberhasilan untuk dirinya sendiri.

Pikiran Jesse berkelana pada Dovan yang mungkin sedang membanjiri apartemen mereka dengan air mata, kemudian pada Ara yang mungkin sedang merenung sendiri di kamarnya menuliskan ribuan kata, meyakinkan diri bahwa ia bahagia.

"Kamu masih merasa bersalah sama aku nggak, Ki?" tanya Jesse tanpa aba-aba.

Kira tidak mengerti kenapa tiba-tiba Jesse ingin membahas masalah ini lagi.

"Masih," jawabnya.

Kira tahu Jesse tidak ingin lagi mendengar bahwa ia masih merasa bersalah, tapi Kira tidak bisa bohong bahwa ia tidak merasa bersalah lagi. Ia berbohong kalau berkata bayangannya menyakiti Jesse dulu tidak suka muncul di kepalanya. Yang Jesse harus mengerti adalah rasa sayang Kira dan keputusan Kira untuk menjalin hubungan dengannya tidak ada sangkut pautnya dengan rasa bersalahnya.

Kira menerima Jesse karena memang sayang, bukan karena ingin menebus kesalahannya. Kira menerima Jesse tulus, bukan karena takut tidak dapat menemukan orang yang mencintainya seperti Jesse. Melepaskan Jesse dulu adalah kesalahan, namun Kira tidak menerima Jesse karena takut mengulang kesalahan yang sama. Ia menerima Jesse karena saat ini hanya itulah yang saat ini ingin ia lakukan. Menerima Jesse adalah keinginan lamanya yang ia tunda hingga 8 tahun berlalu. Dan ia harus berterima kasih pada setiap sudut cakrawala bahwa setelah 8 tahun itu, Jesse juga masih sama.

"Waktu awal kuliah di Amerika, my friend asked me to watch a musical theater with her." Jesse menerawang tentang salah satu temannya yang menyeret ia menonton teater musikal di malam musim dingin. Jesse menolak habis-habisan karena lebih ingin menghabiskan waktunya duduk menggambar pemandangan gedung-gendung tinggi dari jendela apartemennya.

Tapi sudah habis-habisan menolak, 5 jam berikutnya ia duduk di gedung pertunjukan dengan buku kecil di tangannya berisi segala informasi tentang pertunjukan itu.

Dear Evan Hansen.

Jesse tidak begitu menyukai semua hal berbau seni kecuali menggambar. Ia tidak pernah berteman akrab dengan musik, jadi ia tidak begitu mengerti tentang 2 setengah jam yang ia habiskan duduk dengan punggung hampir mati rasa. Ia kesal, meskipun juga bukan ia yang membayar tiketnya.

Namun pulang dari situ ia malah berterima kasih. Satu lirik lagu dalam pertunjukkan itu menjadi permulaannya belajar menerima kenyataan dan tidak terus-terusan dimakan dendamnya pada Kira.

I don't need more reminders of all that's been broken,
I don't need you to fix what I'd rather forget,
Clear the slate and start over, try to quiet the noises in your head, We can't compete with all that.

"Kamu suka teater kan?" tanya Jesse pada Kira meskipun sudah tahu jawabannya.

Kira mengangkat kepalanya bingung. Jesse tiba-tiba diam dan melamun hanya untuk menanyakan ini pada Kira? Atau karena temannya mengajak ia nonton teater, Jesse jadi ikut senang menonton juga?

Kira mengangguk mengiakan.

Jesse bahkan tidak menyelesaikan ceritanya.

"Suka kok. Kenapa? Mau ngajak nonton?" Kira bertanya balik.

Ia tidak tahu banyak tentang Jesse, namun ia tahu semua yang berhubungan dengan musik tidak ada dalam kamus Jesse. Kalau bicara tentang musik yang bisa Kira bayangkan hanya ketika Jesse membuat keributan di kantin dengan menyanyi tanpa nada tidak peduli wakil kepala sekolah sudah hampir menarik Jesse ke ruangannya. Jesse seperti tidak punya urat malu siang itu.

"Kalau kamu ada rencana ke Amerika, let me know in advance. I'll get us tickets for a musical theatre," ujar Jesse membubuhkan rona bahagia di wajah Kira.

"Siap!"

"Ki, kamu mau saudaraan sama Ara nggak?"

"Kamu tuh random banget sih. Saudaraan gimana?"

"Kayaknya aku mau ngenalin dia ke Dovan deh."

Jesse berujar terlalu santai, tanpa keraguan sama sekali sembari mengambil tisu dan membersihkan sudut bibir Kira yang baru saja menyudahi makan siangnya. Jantung Kira seperti berhenti memompa darah begitu Jesse mengeluarkan kalimat saktinya. Dari semua perpaduan manusia di muka bumi ini, ia jelas tidak pernah membayangkan akan membiarkan Ara menjalin hubungan dengan sepupunya itu. Ara terlalu manusiawi untuk sepupunya yang dulu ia pikir merupakan titisan alien.

"Kamu bercanda aja deh."

Hanya itu yang bisa Kira katakan sebagai responnya akan rencana tanpa dasar yang baru saja Jesse utarakan. Jesse diam tidak menjawab Kira lagi. Kira pasti berpikir ia tidak masuk akal.

Namun coba pikirkan. Ara akan sangat melengkapi Dovan. Ara yang baik hati, Dovan yang juga sama. Ara yang waras, Dovan yang lumayan waras. Dovan sudah pasti ada di jalur yang benar jika bersama dengan Ara. Keduanya sedang melewati masa yang berat dan Jesse tidak ingin melihat satu di antara kedua sahabatnya seperti itu lagi.

Jesse bisa memercayakan Dovan pada Ara sebesar ia bisa memercayakan Ara pada Dovan.

Dovan bukan pria suci yang baru mengencani satu wanita dalam hidupnya. Sebelum mengenal Jane, hampir setiap beberapa bulan ia mengganti tambatan hatinya. Tapi Vio yang dulu ganti pacar setiap minggu saja jatuh cinta setengah mati pada Ara, bahkan hingga sekarang Jesse masih yakin sahabat sekaligus sepupunya itu masih sesekali melihat Ara dan berandai kenapa ia meninggalkan manusia sebaik Ara. Jadi Jesse yakin kalaupun akhirnya keduanya bisa bertemu dan jatuh cinta, Dovan dan Ara akan jatuh sama kerasnya.

"Mikirin apa sih?" Kira menggoyang-goyangkan tangannya di depan wajah Jesse.

Sejak telepon dari Dovan, Jesse seperti tidak bisa fokus. Kira jadi berpikir Jesse mungkin benar-benar khawatir dengan keadaan Dovan di Amerika sana.

Lamunan Jesse buyar karena Kira. Jesse menggeleng, tidak mau menambah pikiran Kira dengan rencana anehnya. Kalau ia memberi tahu Kira sekarang, bisa-bisa Kira menyangka di Amerika ia juga bekerja sambilan membuka biro jodoh.

"Do you know how long distance works?" Kira bertanya tiba-tiba.

Jesse mengembalikan perhatiannya pada Kira. Untuk pertanyaan Kira yang satu ini, Jesse sudah punya jawabannya.

"Like any other relationship does. Kalau emang ternyata nggak berhasil, berarti emang seharusnya nggak berhasil," jawab Jesse, sederhana.

Kira tidak pernah berpikir bahwa Jesse punya pola pikir sedewasa ini. Untuk pria berusia 26 tahun, Jesse selalu terlihat menjalani hidupnya dengan santai, terlebih jika sudah digabungkan bersama Vio dan Ren, mereka tidak ada bedanya dengan tiga pembuat onar sekolah mereka dulu. Tapi di balik itu, ternyata Jesse memang sedewasa itu, terlebih dalam mengambil keputusan. Termasuk keputusan untuk pergi ke Amerika, menjadi asing dengannya selama 8 tahun, dan kembali di waktu yang tepat.

Kalau boleh jujur, Kira belum siap melihat Jesse kembali ke Amerika untuk waktu pulang yang belum ditentukan. Kira belum siap membawa hubungannya ke tahap 'tanpa kepastian akan dibawa kemana'. Tapi selama ini selalu Kira yang egois, jadi sekarang, sudah semestinya ia berusaha lebih keras, untuk percaya pada keputusan Jesse. Lagipula untuk sekarang yang Kira mau hanya bahagia bersama Jesse, tanpa peduli ada di benua mana pria itu. Jadi untuk sekarang dan mungkin beberapa bulan atau tahun ke depan, apapun yang akan mereka miliki, bagaimanapun hubungan mereka nantinya, itu semua akan cukup untuk Kira.

L.I.N.G.E.R

haloo<3 maaf yaaa 2 hari nggak update huhu:(

Continue Reading

You'll Also Like

520K 36K 44
Lyla tidak berminat menikah. Namun, siapa sangka ia harus terjebak dalam pernikahan dengan sahabatnya sendiri? "You're a jerk, Hanan." "And you're tr...
98.4K 11.5K 31
Semuanya bermula dari sebuah insiden kecil yang menimpa Olivia Maier di GOR kampusnya ketika sedang menonton latihan futsal hingga mempertemukannya d...
6.8M 212K 38
"Aku pernah hampir diperkosa saat SMP." -Naresha Luveeana Agatha- Luvee menderita Haphephobia, sebuah penyakit psikis, di mana dia akan merasa sangat...
1.8M 144K 49
Lara selalu bermimpi membangun pernikahan indah yang dilandasi cinta dan kasih sayang bersama orang yang dikasihinya. Namun, semua itu lenyap saat se...