LINGER (Completed)

By raemanuellaa

583K 58.6K 1.4K

"Melepas kamu nggak semudah membenci kamu, Kinira." Jeshiro mencintai Kinira; Seperti air yang selalu kemba... More

A Love Like His
I. Avoiding Home
II. On Going Home
III. A Piece of Regret
IV. How the World Plays
V. The Epitome of Encounterance
VI. Like the Cold War
VII. One Unexpected Speech
VIII. Heartfelt Honesty
IX. A Home to Build
X. Talking About Chemistry
XI. The Bride's Gift
XII. Early Airport Conversation
XIV. A Glimpse of Start
XV. Truth About Hatred
XVI. By the Beach
XVII. Settlement
A Little Side Story
XVIII. How Relationship Is
XIX. Perfect Story Line
XX. The Night Before
XXI. And He Left
XXII. The Morning After
XXIII. That One Woman
XXIV. Long Distance Thing
XXV. Malam Ini, Malioboro
XXVI. Talk of the Town
XXVII. Healthy Relationship
XXVIII. Family Approval
XXIX. Good News
XXX. They Stopped Talking
XXXI. New Year's Plan
XXXII. Two Sides of A Coin
XXXIII. Reunion
XXXIV. About Not Deserving
XXXV. Kinira and Her Love
EPILOG
Highest Appreciation (author note)
Tentang Vio & Ara

XIII. Late Introduction

12.7K 1.6K 19
By raemanuellaa


Udara panas Belitung menerpa wajah Jesse dan Kira begitu mereka menginjakkan kaki keluar dari pintu pesawat. Baru sampai di bandara namun rasanya angin pantai sudah menyambut mereka semangat, begitu juga sahabat-sahabatnya yang katanya akan menunggu mereka di pintu masuk bandara.

Jesse dan Kira tidak banyak bicara dalam penerbangan 1 jam mereka. Tidak ada lagi perdebatan lanjutan atau pertanyaan terusan.

Mereka berjalan beriringan memasukki gedung bandara, kemudian tanpa bicara lagi menghampiri kumpulan manusia yang batang hidungnya sudah kelihatan sempurna. Mirei tersenyum lebar melihat Jesse dan Kira yang mendekat lalu melambaikan tangannya semangat.

"Gimana gimana?" tanya Mirei mengenai penerbangan mereka. Mirei menggandeng lengan Kira, menuntunnya ke mobil sewaan mereka. Ren membantu mereka menaikkan barang ke bagasi dan naik ke mobil yang langsung heboh. Mobil meninggalkan kawasan bandara dan Vio melesat menuju penginapan mereka.

Sepanjang perjalanan, mereka sudah disuguhkan oleh hamparan pasir dan laut biru yang tentu sudah lama sekali tidak mereka lihat akibat padatnya kehidupan di Ibu Kota. Tisha membuka lebar kaca mobil membiarkan aroma asin pantai masuk ke dalam mobil.

20 menit dari Bandara, mereka sampai di penginapan mereka. Satu kata untuk menggambarkan tampak penginapan itu dari luar; Indah.

Kira menghirup udara dalam-dalam begitu keluar dari mobil. Lalu menggeret kopernya masuk, menuju kamarnya di lantai atas untuk menaruh barangnya. Setelah menaruh barang, mereka berkumpul di ruang tengah untuk membahas rencana perjalanan hari ini. Karena waktu yang juga masih menunjukkan pukul setengah satu siang, mereka sepakat untuk memulai perjalanan dengan makan siang dan pergi ke museum kata Andrea Hirata karena besok akan menghabiskan satu hari penuh menjelajahi pantai dan pulau-pulau.

Mereka kembali meninggalkan penginapan setelah beberapa menukar pakaiannya dengan kaos dan celana pendek. Jesse memegang kemudi kali ini, mengikuti petunjuk Vio ke arah restoran seafood yang dimaksud Mirei. Mereka kemudian berhenti di salah satu restoran kecil di pinggir pantai, tak begitu jauh dari penginapan. Makanan laut di pinggir pantai adalah salah satu agenda terbesar orang pergi berlibur ke kota ini, yang laut dan kotanya semakin tenar akibat salah satu novel yang menurut Kira adaptasi filmya tidak mengecewakan seperti kebanyakan adaptasi buku menjadi film lainnya.

Setelah memesan, mereka berbincang santai menunggu makan siang datang. 2 porsi udang saus tiram, 2 porsi kepiting lada hitam, 2 porsi cah kankung dan 1 porsi ikan gurame bakar. Menu yang membuat manusia besyukur hidup berdampingan dengan alam. Tidak menunggu lama, meja mereka sudah dibanjiri semua pesanan itu membuat kelimpungan ingin mulai menyantap yang mana.

Kira menatap piring Jesse yang duduk di sebelahnya, berandai apakah pria itu tidak menyukai udang. Udang sudah hampir tandas namun Jesse belum juga mengambilnya. Berusaha menjadi Kira yang baru, ia mengangkat piring tersebut dan meletakannya di sebelah piring Jesse.

"Udang, Je," tawarnya. Semua, kecuali Vey yang asyik makan, menoleh dan menatap Kira antara aneh, terkejut dan takjub. Seorang Kinira Quinta menawarkan sesuatu pada Jeshiro Melvino, yang juga berarti sedari tadi ia sudah memerhatikan pria itu. Kalau tangannya tidak ditarik Mirei, Ren sudah pasti akan berdiri sekarang juga dan bertepuk tangan.

Jesse menghentikan kegiatannya menyendok nasi kemudian menatap Kira dan piring udangnya bergantian. "Saya alergi udang, Ki," balas Jesse singkat.

Kira membelalakan matanya lalu cepat-cepat menjauhkan piring udang itu dari hadapan Jesse. Usahanya berbuat baik dan perhatian lagi-lagi gagal.

"Maaf, Je. Gue nggak tahu," ucap Kira tulus, benar-benar merasa bersalah hampir membuat alergi Jesse kambuh. Ia memang tidak tahu separah apa alerginya, namun kalau sampai Jesse tidak mau menyentuhnya sama sekali, sudah pasti lebih parah dari yang bisa ia bayangkan.

Jesse tersenyum simpul. Ia menghargai Kira yang memberikan perhatian lebih untuk dirinya, meskipun tak bisa dipungkiri hal itu juga membuat hatinya sedikit ngilu. Apapun yang Kira lakukan sekarang, Jesse tidak bisa tidak menatap Kira dan tidak mengingat perkataan tentang bagaimana bertemu Jesse merupakan kesalahan dan lebih baik tidak terjadi. Meskipun Kira sudah mengatakan yang sebaliknya, meskipun Kira sudah mengaku menyesal melepaskannya, meskipun Kira mungkin tidak mengatakan hal tersebut dalam emosi yang stabil, Jesse tampaknya masih belum bisa benar-benar menghapus jejak kejadian itu.

"Nggak apa-apa, kok. Saya tahu kamu nggak tahu," sahut Jesse, yang entah kenapa di telinga Kira sedikit terdengar seperti sindiran. Kira menganggukan kepalanya pelan lalu kembali berkutat dengan piring di hadapannya, memasukkan satu sendok penuh makanan agar mulutnya tidak tiba-tiba bicara lagi. Tiap kali ia bicara tidak ada hal baik yang pernah terjadi. Baik sekarang, maupun 8 tahun lalu. Sama saja.

//

Kira tidak bercanda saat berkata ia rela melakukan apapun untuk meyakinkan Jesse bahwa sekarang ia sudah tidak punya keinginan apapun untuk menyakiti pria itu. Ia memelankan langkahnya, menyamakan ritme jalannya dengan Jesse yang matanya sibuk menatap bingkai-bingkai yang tertata rapih pada tembok museum itu. Sahabat-sahabatnya lantas sudah menghilang entah di museum bagian mana. Mungkin sedang di luar untuk berfoto atau di sisi lain museum berbentuk rumah kecil ini.

Sejak perjalanan dari Jakarta tadi, Kira sudah bertekat untuk mengenal Jesse, yang belum sempat ia kenal. Hal-hal yang Kira ketahui tentang Jesse dapat dihitung dengan jari. Nama panjangnya, pekerjaannya, negara tempat tinggalnya, sahabatnya di Jakarta, dan sekarang bahwa ia alergi udang. Lain dari itu, Kira tidak tahu apa-apa. Berbanding terbalik sekali dengan Jesse yang sepertinya mengetahui semua tentang dirinya, bahkan yang terkadang ia sendiri lupa. Kira tidak mau lagi menjadi orang itu. Orang yang tidak pernah peduli tentang pria di hadapannya.

"Lo... sejak kapan pengin jadi arsitek, Je?" tanya Kira.

Jesse yang sedang tidak memerhatikan sekeliling terkejut mendengar suara Kira yang berdiri di sebelahnya. Ia bahkan tidak menyadari wanita itu sudah tidak lagi di depannya. Netranya menangkap Kira yang sedang tersenyum halus padanya, serta memainkan jarinya gugup. Mungkin takut Jesse tidak akan menjawabnya dengan jawaban yang ia mau. Jesse menyadari hal itu.

"Dari kecil. Saya udah pernah cerita ini sih ke kamu, cuma mungkin kamu nggak ingat," jawab Jesse.

"Saya emang suka gambar, dulu sebenarnya juga pengin kerja di bidang animasi, cuma pas masuk SMA, lebih ngerasa cocok ke arsitektur," jelasnya.

Kira tersenyum mendengar jawaban Jesse. Tanpa disadarinya, ia mulai sangat tertarik untuk tahu tentang semua yang ada pada pria keriting itu.

"Terus gimana MIT sama kerjaan di Amerika?" tanya Kira lagi, mengikuti Jesse yang mulai melangkah meninggalkan tempatnya berdiri.

"Lebih baik dari yang dulu saya perkirakan. Sepupu kamu temen yang baik. Terlepas dari sebenarnya saya nggak punya bayangan sama sekali dulu bahwa akan menghabiskan separuh waktu saya di Amerika, tapi saya rasa emang itu yang saya butuh."

"Gimana ceritanya, bisa ketemu Dovan?"

Penasaran Kira membuncah, ditambah setelah mendengar bahwa sepupu sintingnya itu merupakan teman yang baik. Sejak tahu Dovan selama ini tinggal bersama Jesse, Kira jadi bertanya-tanya menagpa kebetulan seperti itu bisa sampai terjadi. Dari semua orang, dari semua tempat, Dovan ternyata satu tempat tinggal dengan orang yang selama ini selalu ingin Kira ketahui kabarnya.

Jesse tampak mengingat-ngingat sejenak. Ia tidak dapat mengingat pasti kapan ia bertemu dengan Dovan karena itu juga sudah lama sekali.

"Kalau nggak salah, tahun kedua saya kuliah di Amerika. Saya ketemu Dovan di salah satu acara yang emang buat kayak anak-anak Indonesia gitu. Nggak tahu gimana ceritanya, ternyata kita nyambung, terus jadi deket dan akhirnya mutusin buat jadi housemate karena waktu itu apartemen yang buat dua orang jauh lebih murah kan karena bisa patungan jadi ya, malah keterusan sampai sekarang." Jesse becerita panjang lebar. Kira lega karena ia dan Jesse bisa mempunyai pembicaraan normal yang tidak mengandung unsur-unsur sindiran dan kejadian dulu.

"Lo bakal selamanya di Amerika, Je?"

"Boleh tanya yang lain nggak? Saya kalau ditanya kayak gitu juga masih bingung mau jawab apa. Untuk sekarang sih emang belum ada rencana mau balik ke sini, cuma nggak tahu deh nanti. Kontrak kerja saya juga masih agak panjang."

Jawaban Jesse bukan jawaban yang Kira harapkan. Kira tidak tahu apa yang diharapkannya dan ia bahkan tidak tahu selama ini menunggu Jesse... bukan hanya menunggu maafnya.

"Eum, hobi?"

"Gambar, pasti. Sama basket, meskipun sekali-sekali doang sekarang mainnya," jawab Jesse, membawa ingatan Kira kembali pada salah satu turnamen basket di SMA-nya.

Jesse, Vio dan Ren, tiga pangeran berkuda putih sekolahnya. Menghabiskan waktu mereka membuat onar dan bermain basket. Kira mengingat satu turnamen yang tanpa ia ketahui masih basah dalam ingatannya. Jesse menghampirinya sebelum pertandingan mulai, meminta Kira untuk sekali saja meneriakkan namanya dan ia akan berhenti mengganggu Kira selama 1 minggu penuh. Kira sebenarnya tidak mau, namun ia tergiur akan bayangan hari-hari tenang tanpa Jesse. Maka ia melakukannya.

Beberapa waktu sebelum pertandingan berakhir dan sekolah mereka masih ketinggalan beberapa skor, Kira menyerukan nama Jesse, tidak kencang, namun bisa cukup didengar dari tempat Jesse berlari dengan bola di tangannya. Kira tidak tahu apakah ia salah lihat atau tidak, namun Jesse seakan tersenyum kecil dan dalam beberapa menit terakhir dalam pertandingan, Jesse berhasil memutarbalikkan skor hingga sekolah mereka membawa pulang piala. Jesse memang tidak mengganggunya selama 1 minggu, namun telinga Kira lebih panas lagi dibuat oleh semua omongan tentang kejadian itu. Kejadian Kira menyebut nama Jesse yang membuat Jesse seperti entah kerasukan apa di lapangan, berlari seperti tidak ada hari esok.

"Makanan kesukaan?"

"Roti bakar."

"Minuman?"

"Es teh manis."

"Buku?"

"Semua yang layak dibaca... ini kamu lagi interogasi saya apa gimana sih?" Jesse bertanya, lalu terkekeh melihat Kira yang salah tingkah. Mungkin semangatnya untuk mengenal Jesse terlalu menggebu-gebu.

"Terakhir. Film?"

"Hm. Susah. Tapi kalau ditanya yang akan saya tonton lagi dan udah saya tonton lebih dari satu kali ada tiga sih. Psycho, Forrest Gump, sama Tukar Kata," jawab Jesse mulus, bahkan tidak berpikir lagi untuk menyebutkan judul ketiga layar lebar itu. Satu judul berbahasa Indonesia yang terakhir Jesse sebutkan menarik perhatian Kira.

"Tukar Kata?"

"Iya, cerita tentang seorang cewek yang jatuh cinta sama cowok tunarungu. Film yang isinya tentang gimana nggak harus selalu bervolume, untuk mengerti, untuk bertukar kata."

"Tukar Kata... lo nonton?" tanya Kira tidak percaya.

"Saya udah tahu dari dulu kamu akan jadi sutradara hebat, Ki. Kita emang nggak pernah ngomong, tapi bukan berarti saya nggak nunggu kelanjutan mimpi kamu. Waktu saya denger ada sutradara namanya Kinira Quinta yang karya pertamanya jadi buah bibir masyarakat Indonesia dari Sabang sampe Merauke, saya nggak waras kalau nggak masukkin film itu ke daftar film kesukaan saya."

"Je..."

"Hm?"

"If you haven't planned on staying here in Indonesia, if you somehow know you won't and you don't have to meet me again, why haven't you let me go yet?"

"Do you want me to let you go?"

Kira diam. Jawabannya tidak. Tapi ia belum cukup berani untuk bersuara. Sayangnya Kira lupa, kalau Jesse penggemar filmnya, di mana volume tidak harus selalu ada untuk bertukar kata.

"Ngelepasin kamu nggak segampang benci sama kamu, Ki. Nggak segampang marah sama kamu. Saya belum ngelepasin kamu, sesederhana karena saya belum bisa."

"Selama delapan tahun, pernah nggak Je, berpikir untuk coba lagi?"

"Kenapa? Kalau saya ngejar kamu lagi, sekarang udah kepikiran buat buka hati kamu? Incase you didn't know, saya nggak mau mengulang kesalahan yang sama, Kinira."

"Dan kalau gue bilang yang sekarang nggak akan jadi kesalahan?"

L.I.N.G.E.R

Have a happy weekend<3

Continue Reading

You'll Also Like

823K 79.2K 57
Bagas dan Dara telah bercerai lima tahun yang lalu. Dara tidak ingin bertemu dengan Bagas lagi karena begitu tersakiti dengan perceraiannya. Tapi tid...
124K 16.2K 72
PART MASIH LENGKAP! "Mungkin, pada dasarnya kita hanya datang untuk kembali berkata hendak pergi. Kamu itu layaknya rasi bintangใ…กtidak selamanya tera...
4M 251K 43
Kirana, seorang news anchor muda berbakat, menjalin hubungan dengan Garin, seorang aktor layar lebar. Hubungan Kirana dan Garin yang menginjak usia 6...
98.4K 11.5K 31
Semuanya bermula dari sebuah insiden kecil yang menimpa Olivia Maier di GOR kampusnya ketika sedang menonton latihan futsal hingga mempertemukannya d...