LINGER (Completed)

由 raemanuellaa

581K 58.5K 1.4K

"Melepas kamu nggak semudah membenci kamu, Kinira." Jeshiro mencintai Kinira; Seperti air yang selalu kemba... 更多

A Love Like His
I. Avoiding Home
II. On Going Home
III. A Piece of Regret
IV. How the World Plays
V. The Epitome of Encounterance
VI. Like the Cold War
VII. One Unexpected Speech
VIII. Heartfelt Honesty
IX. A Home to Build
X. Talking About Chemistry
XII. Early Airport Conversation
XIII. Late Introduction
XIV. A Glimpse of Start
XV. Truth About Hatred
XVI. By the Beach
XVII. Settlement
A Little Side Story
XVIII. How Relationship Is
XIX. Perfect Story Line
XX. The Night Before
XXI. And He Left
XXII. The Morning After
XXIII. That One Woman
XXIV. Long Distance Thing
XXV. Malam Ini, Malioboro
XXVI. Talk of the Town
XXVII. Healthy Relationship
XXVIII. Family Approval
XXIX. Good News
XXX. They Stopped Talking
XXXI. New Year's Plan
XXXII. Two Sides of A Coin
XXXIII. Reunion
XXXIV. About Not Deserving
XXXV. Kinira and Her Love
EPILOG
Highest Appreciation (author note)
Tentang Vio & Ara

XI. The Bride's Gift

13.5K 1.7K 48
由 raemanuellaa


Semua tamu undangan yang hadir di gedung mewah berdekorasi putih itu memandang pelaminan takjub. Setelah hari yang panjang melalui pemberkatan nikah di Gereja hingga tiba di sini untuk malam resepsi, Kira, yang kakinya sudah lecet karena dari pagi berkeliaran sana-sini memastikan semua berjalan lancar dalam sepatu tingginya, kini hanya duduk santai di bagian VIP ditemani sepiring makanan dan segelas air putih, tersenyum puas menatap Mirei dan raut bahagianya berdiri di atas sana dengan suaminya.

Namun tidak dapat dipungkiri, melihat sahabat terdekat menikah, tidak semudah seharusnya. Melihat orang terdekat memulai hidup baru akan membawa seseorang mempertanyakan tentang kehidupannya sendiri. Bagaimana dengan dirinya? Sedikit menakutkan melihat diri sendiri belum sampai di tahap itu. Kira bahkan belum punya bayangan akan bagaimana hidupnya nanti, atau tahun depan, atau 2 tahun lagi. She hasn't found the one yet, and she wonders if she will ever find him.

Belakangan ini Kira sadar, bahwa selama 8 tahun ini, mungkin sebenarnya dia tidak hanya sedang menunggu Jesse menerima maafnya. Tapi mungkin di balik itu, yang sebenarnya Kira tunggu adalah Jesse untuk kembali. Untuk datang ke hadapan Kira dan berkata pria itu juga masih menunggu Kira. Melihat dinginnya Jesse sekarang, Kira tidak yakin yang ditunggunya akan datang. Jadi Kira belum bisa benar-benar membayangkan bertemu seseorang dan memulai langkah hidup yang baru.

Di sisi lain ruangan, sembari mendengarkan Vio dan Vey berceloteh, Jesse tidak bisa tidak menatap Kira yang sedang duduk di seberang ruangan dengan sepatu yang sudah tidak menempel di kakinya, meskipun dengan wajah sumringah melihat kedua sahabatnya menyalami tamu-tamu dari atas pelaminan. Lagu yang bergulir menjadi latar malam itu menambah keinginan Jesse untuk menghampiri Kira, tapi otaknya memerintahkannya untuk diam di tempat.

Kira doesn't wear heels. Semua fakta dan kebiasaan kecil Kira masih tersimpan rapih dalam ingatannya. Kira suka manis, Kira tidak suka pedas, Kira tidak suka pakai sepatu tinggi, entah dalam 8 tahun itu semua sudah berubah atau belum, namun melihat sepatunya yang sudah ia lepas, sepertinya belum. Jesse mengetahui itu semua dalam usahanya mengejar Kira selama 3 tahun dan dari sahabat-sahabatnya, meskipun semua itu tidak membuahkan hasil. Datang ke rumah Kira pagi buta membawakannya satu tas penuh makanan manis tidak berhasil, memberi tahu semua penjaga kantin agar tidak memasukkan bumbu pedas jika Kinira Quinta memesan juga tidak berhasil. Apapun yang Jesse lakukan 8 tahun lalu, tidak ada hasilnya. Setidaknya itu yang ia ketahui.

"Nggak dulu, nggak sekarang, kalau ada Kira mah kita dikacangin." Vio menyenggol Vey dengan sikutnya dan memainkan alisnya.

Dari dulu, jika ada Vio dan Kira, sebagian besar waktu, Vio hanya jadi angin saja, meskipun Kira ada di ujung ruangan sekalipun. Dalam ruangan seramai apapun, sebesar apapun, kalau ada Kira dalam ruangan itu, maka di situ lah pandangan dan perhatian Jesse semuanya tertuju.

"Enak ya jadi Kira, dibucinin lama banget, satu dekade nggak kelar-kelar juga," sahut Vey memanas-manasi. Tangannya bergerak mengipas-ngipas wajahnya menambah gestur sindiranya. Jesse yang mendengar itu hanya tersenyum kecut, tidak berusaha menghardik apapun.

"Kira... kenapa masih sendiri?" tanya Jesse di bawah alam sadarnya.

Sebenarnya Jesse sudah ingin menanyakan ini dari pertama kali Vio memberitahunya, namun saat itu ia tidak begitu berpikir ini ada kaitannya dengannya. Tapi melihat Kira duduk sendiri di kursi VIP masih belum melepaskan pandangan dari Ren dan Mirei, rasa penasarannya bangkit. Kira cantik. Menurut Jesse, lebih cantik dari siapapun. Selain kepada dirinya, Kira lemah lembut, baik hati dan pengertian. Peduli akan orang-orang di sekitarnya teruatama sahabatnya, lebih daripada dirinya sendiri. Kalau dipikir, mustahil sekali sampai sejauh ini belum ada satu insan pun yang menjadikan Kira tambatan hatinya. Jesse tidak mungkin merupakan satu-satunya manusia di dunia ini yang bisa melihat pesona Kira.

Jesse sudah tidak mau berharap apapun. Ia juga sudah bukan remaja lagi. Mamanya juga sudah lebih dari sering bertanya apakah Jesse sudah punya seseorang. Setiap ditanya begitu ia jadi bingung karena jelas hatinya masih bersama Kira. Tapi rasanya kalau sekarang ia menunggu lagi, ia sudah tidak bisa.

Tadinya ia pikir begitu, sampai Kira bilang menyia-nyiakan Jesse adalah kesalahan besar.

"Waktu itu lo bilang itu bukan urusan lo," cibir Vio mengingat pembicaraan mereka waktu itu.

"Fine, don't tell me then," balas Jesse santai.

"Kasihan banget sih sahabat gua yang satu ini." Vey memindahkan gelasnya ke tangan kanan lalu merangkul tubuh jangkung Jesse dengan tangan kirinya. Untung ia pakai hak tinggi, kalau tidak mana mungkin ia bisa merangkul tiang listrik satu ini.

"Sebenarnya sih, gue nggak mau jadi yang bilang hal ini. Gue lebih berharap Ara yang bakal ngomong, tapi itu manusia emang paling jago ngilang. Dan berhubung lo kayaknya lagi nggak bisa mikir, gue kasih gambaran dikit ya. Lo kenal Kira, lebih baik dari siapapun. Mungkin dia nggak kenal lo sedalam itu, tapi lo kenal dia luar dalam, Je. Aldo itu pacar terakhir dia, dan itu udah delapan tahun lalu. Nggak sedikit, Je, yang berusaha deketin dia. Temen kerjanya, anggota krunya, penulis yang tulisannya dia sutradarain, sampe artis yang main film-nya. Tapi dia nolak mereka bahkan sebelum mereka deket lebih dari seminggu. Dan gue bukannya mau ngasih lo harapan, tapi Je, lo yakin ini bukan tentang lo?" lanjut Vey.

"Maksudnya?" tanya Jesse, tidak mau salah menangkap perkataan Vey.

"Maksud gue, lo nggak ngerasa dia masih sendiri karena masih nunggu seseorang?"

"Siapa?"

Vey mengerang kesal menaruh tangan di dadanya, mentralisir rasa ingin memukul Jesse. Vio hanya menggelengkan kepala dan memijit pelan pelipisnya. Kedua orang itu sampai berkeringat padahal pendingin ruangan ini bekerja dengan sangat baik. Beginilah kalau biasanya otak hanya dipakai bekerja dan menggambar dari pagi hingga pagi lagi, giliran masalah begini jadi tiba-tiba buntu.

"Sahabat gue bodoh banget nggak kuat. Bodo, capek gua sama lo." Vey meneguk habis minumnya dan membawa gelas kosong tersebut menjauh dari Vio dan Jesse, menuju Kira yang sedang asyik makan.

Jesse menatap Vio penuh tanya selepas perginya Vey. Vio hanya mengangkat kedua bahunya tanda sudah tak peduli lagi. Tatapannya ia alihkan pada Tisha yang sedang membawakan lagu sebagai kado pernikahan untuk Ren dan Mirei mewakili sahabat-sahabatnya. Lagu Teman Hidup milik Tulus mengalun indah dari Tisha yang berdiri bersama dengan wedding band malam itu. Satu persatu lirik masuk ke telinga Jesse, membuat pria itu kembali melihat Vio.

"Vi, kata-kata Vey tadi, maksudnya apa?" tanya Jesse.

Vio menoleh. "Dulu kita pernah nanya, kenapa dia nolak semua orang yang deketin dia."

"Terus?"

"Dia bilang, mau sama siapapun itu, dia nggak bakal bahagia kalau belum lihat lo bahagia. Mungkin dia pikir dia cuma ngerasa bersalah Je, tapi gue rasa lo juga tahu yang dia rasain lebih dari itu. Emang lo nggak denger dia bilang apa waktu itu? Ngelepasin lo adalah kesalahan buat dia, Je. Kalau dia sekarang lagi nunggu seseorang, dia lagi nunggu lo."

Jesse tidak menyahut lagi pernyataan Vio. Saat yang ada dalam otaknya adalah bagaimana cara agar tidak berharap, Vio malah berkata seperti itu. Ia tahu ada yang ganjil dari Kira yang sampai sekarang masih sendiri, namun ia sudah bertekat untuk tidak berharap itu karena dirinya.

Lamunan Jesse buyar ketika MC memanggil nama mereka untuk naik ke pelaminan dan berfoto bersama kedua pengantin. Usai sesi foto, karena mereka adalah sesi foto terakhir malam ini, Ren dan Mirei mengikuti yang lainnya turun dari pelaminan. Ruangan sudah tidak seramai tadi, hanya tinggal beberapa anggota keluarga dan teman-teman kerja Ren dan Mirei, selebihnya sudah sejak tadi pulang dikarenakan hari yang juga semakin larut.

Mirei mendudukkan dirinya di sebelah Kira sambil mendesah lelah. Ia hanya ingin tidur sekarang. Badannya serasa hancur. Bahagianya memang tak ada tandingannya dapat menggunakan nama belakang Ren, namun ia tidak dapat mengelak dari lelahnya. Mereka berdelapan duduk melingkar di meja tersebut memandang satu sama lain. Sedikit terharu bisa sampai disini. Mereka masih sama. Ini tidak jauh berbeda dari mereka berdelapan yang duduk berdesakan di meja kantin yang sebenarnya hanya muat untuk 5 orang.

Ren biasanya sedang asyik menggoda Mirei yang mengajarinya materi pelajaran setelah istirahat. Vio yang dulu masih cinta setengah mati dengan Ara sedangkan Ara yang mengomeli Vio terus. Tisha dan Vey, yang dulu selalu punya gossip untuk dibicarakan, dan Jesse yang sibuk memerhatikan Kira, yang sama sekali tidak memedulikannya. Persahabatan mereka tidak akan mereka tukar dengan apapun karena mereka ada di sini sekarang, masih saling menertawakan satu sama lain, masih peduli untuk sekadar menawarkan makan, minum dan tumpangan pulang. Dan masih bisa saling menggoda, terutama menggoda Ren dan Mirei yang sekarang membangun rumah tangga bersama.

Di tengah ributnya meja itu, Mirei yang masih kerepotan menggunakan gaun panjang pilihannya dengan Kira itu berdiri, mengundang perhatian.

"Jadi, karena kalian udah banyak bantuin gue sama Ren, dan karena kita juga udah kangen banget ngabisin waktu sama kalian, gue sama Ren punya kejutan."

Sisa meja tersebut menatap Mirei takut-takut. Biasanya kejutan yang dibuat pengantin baru ini tidak bagus. Mereka terlalu mengenal Mirei untuk percaya ia membuat kejutan yang enak didengar. Mirei dan Ren tersenyum penuh arti. Mereka berdua sudah merencanakan ini dari jauh-jauh hari dan sekarang mereka sangat bersemangat untuk mengumumkannya.

"Sebelum gue sama Ren berangkat bulan madu ke Eropa dua minggu lagi... Kita udah beliin kalian tiket ke Belitung!" Mirei hampir berteriak terlalu semangat di ujung kalimatnya.

Hening.

Ada hening canggung yang perlahan merayap di antara mereka.

"Gimana?" Tisha bertanya memastikan ia tidak salah dengar.

"Kok gitu sih reaksi kalian? Belitung! Kita berdelapan, lusa berangkat..."

Satu meja ini lebih terasa seperti sedang dikerjai daripada diberi kejutan. Bukannya mereka tidak senang mendapat tiket liburan gratis. Tapi mereka juga punya kerjaan yang tidak bisa mereka tinggalkan di Jakarta. Ini terlalu mendadak.

"Belitung?" Kira masih enggan percaya perkataan Mirei. Ia jelas senang jalan-jalan dan tentu sedang ingin melepaskan diri dari kerjaannya. Namun ia di ambang waktu. Jadwal syutingnya padat untuk 1 bulan ke depan dan ia tidak mungkin mengambil cuti barang 3 hari saja.

Mirei mengangguk semangat.

"Berapa lama?" Kira lanjut bertanya.

"Lima hari," jawab Ren.

Kira menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"I'm in. Sambil nyari inspirasi juga." Ara memotong sesi bingung Kira dengan semangat. Vey mengikuti Ara, menganggukan kepalanya menandakan ia setuju ikut dalam perjalanan itu.

"Gue harusnya bisa sih. Gue tanya bos gua dulu besok," ujar Tisha mengikuti 2 sahabatnya yang lain.

Kira semakin tidak enak.

Mirei mengepalkan tangannya senang. Mata itu ganti menatap 2 pria yang dari tadi masih belum bersuara. Mirei sangat berharap kali ini Vio bisa bergabung dengan mereka, juga Jesse. Vio selalu melewatkan liburan bersama mereka karena ia selalu sibuk dengan sekolahnya. Dan Jesse, baru pulang setelah 7 tahun.

"Berarti berangkat Senin ya? Gue bisa sih, tapi kayaknya harus balik sehari lebih cepet. Gue Jumat ada seminar sama ada beberapa urusan ngurusin daftar spesialis," tutur Vio membuka jadwal yang menjadi lockscreen ponselnya. Mirei mengangguk tidak apa-apa.

"Lo gimana?" tanyanya pada Jesse.

"Ikut lah, nggak ada kerjaan juga gua di sini," jawabnya santai.

Mirei tersenyum senang.

Sambil menunggu yang lain menjawab tadi, Kira sudah menghubungi asistennya, bertanya mengenai jadwalnya dari lusa hingga Jumat nanti dan apakah mungkin ia meninggalkan Jakarta. Kira tersenyum lega membaca jawaban yang ia terima.

"Rei, gue bisa ikut, tapi gue berangkatnya Selasa nggak apa-apa ya? Gue nggak bisa ninggalin lokasi hari Senin," ujar Kira menuai rasa bahagia dari Mirei dan sahabat-sahabatnya yang lain. Liburan ini tidak akan lengkap jika satu saja di antara mereka tidak dapat ikut, dan mengetahui Kira yang belakangan ini jadwalnya tidak ada saingan, Mirei sudah sempat pesimis tadi. Mereka tidak selalu lengkap, jadi ini tentu menjadi kesempatan berharga.

"Nanti gue tuker tiket lo, gampang." Semangat Mirei yang hampir surut bangkit lagi.

"Nggak apa-apa lo berangkat sendiri?" tanya Ara, mendahului Mirei.

"Gue bukan anak kecil kali. Biasanya juga sendiri. Tenang aja..."

"Yakin?" Mirei memastikan.

"Yakin, Mirei sayang... bakal sampai Belitung dengan aman gue jamin." Kira mengangkat dua jarinya, bersumpah akan sampai di Belitung dengan selamat. Jesse memerhatikan hal itu seksama. Bagaimana sahabat-sahabatnya sampai sekarang masih mengkhawatirkan sikap teledor Kira sampai tidak percaya ia bisa bepergian sendiri meskipun ia sudah sering melakukan itu. Cara menjawab Kira yang masih sama seperti dulu, berusaha meyakinkan orang lain padahal mungkin sendirinya kurang yakin.

Kira tidak manja, namun memang dasarnya sering membuat khawatir. Mungkin karena kebanyakan waktu ia berusaha melakukan semuanya sendiri, ia terbiasa kuat, sehingga malah membuat orang lain ingin terus-terusan memastikan bahwa ia baik-baik saja.

Jesse mengetuk-ngetukan jarinya di atas meja pelan, larut dalam dunianya sendiri. Meja sudah kembali riuh membicarakan apa saja yang bisa mereka lakukan di Belitung. Namun Jesse masih enggan bicara.

Kira yang mendapati Jesse menatapnya, tersenyum, lalu menggerakan mulutnya tanpa suara, 'Kenapa?', itu yang berhasil Jesse baca dari gerakan bibirnya. Jesse tampak berpikir lagi sebelum akhirnya bicara. Persetan dengan Vio yang membuat pikirannya melayang kemana-mana malam ini. Persetan juga dengan Vey yang sudah memancing dirinya. Dan persetan dengan Kira yang tidak pernah gagal membuat hatinya berantakan.

"I'll go with her."

Satu meja menoleh ke arah Jesse, terlebih Kira yang makin mengerutkan dahinya. Jesse tidak menjawab pertanyannya. Ia malah membuat Kira ingin bertanya lagi. Tidak ada yang bersuara, namun mereka semua menuntut kejelasan dari kalimat singkat Jesse.

"Gue berangkat hari Selasa sama Kira. Tiket gue bisa dituker juga kan?" Jesse mengalihkan pandangannya dari manik mata Kira dan bertanya pada Ren. Ren kelabakan.

"Hah? Eh, eh bisa sih. Kok tiba-tiba? Kenapa?" tanya Ren. Seingatnya barusan Jesse bilang ia tidak ada kegiatan di Jakarta, sekarang ia berkata akan berangkat hari Selasa saja bersama dengan Kira.

Vey yang duduk di sisi kiri Vio mengulurkan tangannya ke arah pria itu. Vio yang mengerti maksud Vey kemudian menepuk telapak tangan Vey pelan, menerima ajakannya untuk ber-tos ria. Bukan bermaksud terlalu percaya diri, tapi Vey dan Vio tahu keputusan yang baru saja Jesse buat bisa tercipta sedikit banyak karena apa yang tadi mereka katakan. Jesse bukan tipe orang yang mudah termakan omongan orang lain, tapi jika sudah menyangkut Kira, Jesse akan berubah 180 derajat.

"No reason," jawab Jesse kemudian kembali fokus pada ponselnya, mengabaikan sepenuhnya tatapan bertanya para sahabatnya. Terutama Kira, yang meskipun terselip rasa senang mendengar perkataan Jesse yang akan menemaninya berangkat hari Selasa, tapi tetap bingung setengah mati.

L.I.N.G.E.R

Plis Jesse bucin banget pengen nangis😭😭

继续阅读

You'll Also Like

70.9K 10.4K 39
'Mungkin belum jodoh,' kata yang terdengar sepele dan sangat mudah diucapkan itu ternyata punya beban perasaan yang sangat berat. Nana ingin kabu...
1.7M 233K 45
Semua terlihat sempurna di kehidupan Maudy, seorang aktris papan atas yang juga dikenal sebagai kekasih Ragil, aktor tampan yang namanya melejit berk...
1.7M 110K 37
(HELLO SERIES #1) Desember adalah namaku dan bulan kelahiranku. Tepat di hari ulang tahunku yang ke 20, Tuhan menguji hidupku. Di sanalah awal mula p...
25.3K 2.8K 33
Mungkin kalau bukan karena Mama yang harus pergi ke luar kota sama Papa, gue gak akan dateng ke Jakarta. Mungkin juga kalau bukan karena Tante Tiara...