LINGER (Completed)

Por raemanuellaa

583K 58.6K 1.4K

"Melepas kamu nggak semudah membenci kamu, Kinira." Jeshiro mencintai Kinira; Seperti air yang selalu kemba... Más

A Love Like His
II. On Going Home
III. A Piece of Regret
IV. How the World Plays
V. The Epitome of Encounterance
VI. Like the Cold War
VII. One Unexpected Speech
VIII. Heartfelt Honesty
IX. A Home to Build
X. Talking About Chemistry
XI. The Bride's Gift
XII. Early Airport Conversation
XIII. Late Introduction
XIV. A Glimpse of Start
XV. Truth About Hatred
XVI. By the Beach
XVII. Settlement
A Little Side Story
XVIII. How Relationship Is
XIX. Perfect Story Line
XX. The Night Before
XXI. And He Left
XXII. The Morning After
XXIII. That One Woman
XXIV. Long Distance Thing
XXV. Malam Ini, Malioboro
XXVI. Talk of the Town
XXVII. Healthy Relationship
XXVIII. Family Approval
XXIX. Good News
XXX. They Stopped Talking
XXXI. New Year's Plan
XXXII. Two Sides of A Coin
XXXIII. Reunion
XXXIV. About Not Deserving
XXXV. Kinira and Her Love
EPILOG
Highest Appreciation (author note)
Tentang Vio & Ara

I. Avoiding Home

33.3K 2.2K 48
Por raemanuellaa


"Your mom called me again..."

Pria dengan rambut hitam keriting yang dibiarkannya berantakan itu mengangkat kepalanya lalu menyipitkan mata ketika sekelabat bayangan hitam dan rasa menusuk muncul di kepalanya.

Jeshiro Melvino, atau biasa disapa Jesse tidak ingat kapan terakhir ia memalingkan mata dari meja kerjanya. Tidak ingat kapan terakhir makan, minum, atau berdiri untuk pergi ke kamar mandi. Ia menghela napasnya, mungkin yang terberat minggu ini.

"Kali ini bilang apa?" Jesse bertanya malas.

Setiap kali ia mengabaikan ponselnya karena pekerjaan yang menumpuk, mamanya akan menghubungi sahabatnya itu, dan untuk pria berumur 26 tahun, itu bukan suatu hal yang membanggakan.

"Biasa. Kapan lo bakal pulang, hari ini udah makan atau belum, lo keluar-keluar apartemen nggak, cukup tidur nggak, ya, semacam itu lah."

"Lo jawab apa?"

"Gue bilang aja, tante anaknya belum mandi udah seminggu, belum keluar apartemen udah dua minggu, belum makan udah dua hari, kerjaannya gambar terus dari pagi sampe pagi lagi."

Jesse menunjukkan kepalan tangannya mendengar jawaban sahabatnya yang sama sekali tidak membuat perasaannya lebih baik. Ibu yang khawatir itu lebih menyeramkan dari apapun.

Mengusak sedikit rambutnya hingga lebih berantakan, Jesse melirik jam dinding dan memasang senyum masam melihat waktu yang ia miliki tidak banyak lagi. Ia berdiri, berjalan ke arah dapur untuk membuat segelas kopi hitam untuk dirinya. Entah gelas keberapa yang masuk ke sistem pencernaannya sejak ia dikejar waktu 2 minggu belakangan ini.

Dovan menggelengkan kepalanya tak percaya melihat kelakuan sahabat karibnya itu. Daripada pria muda tampan berusia 26 tahun, lulusan salah satu universitas terbaik di Amerika, ia lebih terlihat seperti manusia purbakala yang belum keluar dari goa sejak zaman megalitikum berakhir. Dovan berdiri di depan kulkas, mengambil satu botol susu coklat sambil menggaruk kepalanya geli sendiri melihat Jesse.

"Pete's celebrating his birthday later at the bar down the street. The usual. Make sure to put on some decent clothes and take a shower would you?"

"Shit. Is that today?"

"I've been reminding you everyday since three weeks ago. You can't make excuses. I'll see you tonight."

Dovan tidak membiarkan Jesse kembali membalas kata-katanya ketika ia beranjak membuka pintu dan meninggalkan apartemennya.

Jesse mengerang kesal. Di satu sisi ia tahu pekerjaannya harus selesai besok sore. Ia harus memberikan design yang telah dibuatnya sesuai dengan waktu yang dimintanya saat bertemu kliennya pertama kali. Di sisi lainnya, ia tidak mungkin melewatkan ulang tahun salah satu teman terdekatnya, bahkan salah satu teman pertamanya sejak ia sampai di Amerika 8 tahun lalu. Sebelum bertemu Dovan yang juga mahasiswa rantau waktu itu, Pete banyak membantunya. Jesse datang ke Amerika dengan minimnya persiapan. Ia mengajukan beasiswanya di detik-detik terakhir pendaftaran, dan ia sama sekali tidak menyangka akan diterima. Ia datang dengan hati berat meninggalkan ibukota, dan Pete menjadi teman terdekatnya kala itu. Akan sangat mengecewakan jika ia harus melewatkan acara ulang tahun temannya itu.

Sebelum melanjutkan pekerjaannya, yang sekarang harus ia selesaikan dalam waktu lebih sedikit lagi, Jesse meninggalkan satu pesan singkat untuk mamanya, yang belum ia temui sejak 2 tahun lalu saat wanita paruh baya itu datang untuk berlibur ke Amerika. Sederhana, ia meminta mamanya untuk tenang saja. Ia aman. Mungkin sudah lama tidak makan, tapi ia akan baik-baik saja.

Untuk pria 26 tahun yang tinggal berdua dengan sahabatnya di satu apartemen layak huni di tengah kota Cambridge dan sedikit sekali keinginan untuk kembali ke tanah air, bahkan ketika ia tahu pasti akan mendapat tawaran pekerjaan yang lebih menggila di Jakarta, ia baik-baik saja.

Kehidupannya sekarang di Amerika sudah sangat baik. Ia mencukupi dirinya sendiri dan jelas sedang berinvestasi lebih untuk kehidupannya ke depan. Namun untuk saat ini, berada di sini dan menolak permintaan mamanya agar ia cepat kembali, merupakan pilihan yang terdengar lebih baik di telinganya.

//

Suasana ramai malam itu sama sekali tidak membuat Jesse ikut terbuai. Pikirannya kalut dengan pekerjaan dan tumpukan kertas yang ia tinggalkan di apartemennya. Kalau ia menghitung waktu, jika ia berhasil sampai kembali di apartemen setidaknya pukul 2 pagi, ia masih mempunyai waktu 13 jam untuk menyelesaikan pekerjaannya, dan ia harap itu waktu yang cukup.

Balutan baju santainya malam itu tidak membuat Jesse gagal menjadi sorotan perhatian bagi teman-temannya maupun beberapa wanita tak dikenalnya yang malam itu kebetulan ada disana.

Dengan rambut hitam ikalnya, tubuh jangkung dan senyum manis yang menyempurnakan wajah khas Indonesia miliknya, suara tawa Jesse bisa menjadi musik bagi siapa saja yang terhipnotis pesonanya. Jesse terlahir dengan visual yang tampan bukan main, membuatnya tak asing lagi dengan tatap mata kagum yang ditujukan untuknya. Kalau dikatakan tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini, mereka jelas belum pernah bertemu dengan Jeshiro Melvino. Otaknya setampan wajahnya. Orangnya ramai, supel dan ramah meski tak jarang juga tiba-tiba dingin. Mereka yang tidak bisa melihat itu, akan sangat kelewatan dan mungkin menyesal di kemudian hari.

"Kebiasaan. Berisik gini masih bisa ngelamun."

Jesse menolehkan wajahnya mendengar suara merdu yang cukup lama tidak ia dengar, lalu tersenyum ramah pada sang empunya suara.

Jesse memanggilnya Dana. Ia pertama kali bertemu dengan Dana dalam perkumpulan mahasiswa Indonesia di kampusnya, awal-awal mulai kuliah di Amerika. Keduanya dalam waktu singkat berubah menjadi lebih dari sekadar teman dan berujung menjadi pasangan di akhir tahun kedua kuliahnya. Dana merupakan salah satu wanita paling baik yang pernah Jesse temui, dan mungkin paling mirip dengannya. Dari selera musiknya, selera rasa, selera buku, selera film dan selera-selera lainnya. Namun tidak sampai 6 bulan menjalin hubungan, keduanya sama-sama tumbuh merasa bahwa lebih baik menjadi teman saja. Mereka lebih menyayangi satu sama lain jika mereka tetap dalam hubungan pertemanan. Dari situ keduanya menjaga pertemanan mereka lebih baik dari apapun, sampai satu tahun belakangan ini, saat keduanya harus sibuk dengan dunia masing-masing dan sangat susah menemui satu sama lain.

"Apa kabar lo, Na?"

"Better than ever. Kerjaan bisa kepegang semua, pacar puji Tuhan belum berubah, life's been really nice to me, I think."

Jesse tersenyum.

"Lo yang gimana? Gue kira hari ini nggak bakal dateng juga, kayak biasanya. Ternyata ada. Kerjaan gimana?"

Pria itu terkekeh mendengar pernyataan Dana. Belakangan ini, Jesse memang jarang hadir dalam acara-acara atau sekadar kumpul-kumpul bersama teman-temannya. Alasannya tidak lain adalah pekerjaannya. Teman-temannya sampai kadang muak melihat pola hidup Jesse yang selalu berkutat dengan pekerjaan. Namun sejak kuliah pun teman-temannya tahu orang seperti apa itu Jesse dan mereka selalu belajar untuk mengerti. Dana dari semua orang, paling mengerti hal itu.

"Numpuk, kayak biasa. Ini aja gue berharap banget bisa ada di apartemen setidaknya jam dua. Ada yang harus selesai besok."

Dana tidak heran mendengar jawaban Jesse. Benar-benar sesuai ekspektasinya. Namun bukan hanya itu yang sebenarnya ingin Dana sampaikan.

"Your mom texted me..."

Jesse membelalakan matanya mendengar tutur kata Dana. Siapa lagi yang sudah mamanya hubungi di Amerika ini? Bukankah ia sudah menghubungi mamanya untuk bilang bahwa mamanya tidak perlu khawatir?

"Lama-lama bos gue yang dia telepon. Bilang apa? Kalo dia nanya gue baik-baik aja, udah makan atau belum, bilang aja nggak ada yang perlu dikhawatirin. Nyokap juga gimana ceritanya masih nyimpen nomor lo coba..."

Suara Jesse terdengar frustasi di telinga Dana. Ada kasihan dalam hati Dana karena ia tahu pasti tak mudah bagi Jesse untuk terkadang menanggapi semua kekhawatiran mamanya, meski sudah seberapa keras Jesse berkata ia baik- baik saja dan akan baik-baik saja. Tapi alasan mamanya Jesse menghubungi Dana siang tadi lebih dari sekadar meminta Dana unuk mengingatkan Jesse agar tidak lupa makan. Ada kerinduan besar dibalik pesan mamanya, untuk melihat anaknya kembali ke tanah air. Bahkan katanya tidak menetap tidak apa, tapi mamanya berharap Jesse untuk setidaknya menghabiskan 2 sampai 3 minggu di Jakarta.

Dana tahu Jesse luar dalam. Ia tahu baik sejak mulai kuliah 8 tahun lalu sampai Jesse sudah bekerja dan menetap disini, pria itu hanya pernah pulang satu kali, dan di waktu lainnya selalu meminta mamanya untuk datang ke Amerika. Sedangkan mamanya tahu Jesse sangat berkecukupan untuk pulang ke Jakarta lebih sering dari itu.

"Mama lo minta lo pulang. Dua sampai tiga minggu. Je, nggak ada salahnya pulang. Ketemu keluarga lo, temen-temen lo. Izin kerja. I know your boss loves you so much that he will definitely give you a three weeks leave."

"You know well enough the reason I'm avoiding home, Na."

"Gue tahu. Dan gue juga tahu itu delapan tahun yang lalu, dan bahwa kalo lo masih nggak berani pulang, lo adalah pengecut terbesar di dunia ini, Je."

Jesse tidak merasa tersinggung mendengar komentar Dana. Ia mengerti dari mana tanggapan itu berasal. Ia juga merasa begitu tentang dirinya sendiri. Pengecut sekali kalau belum berani berhadapan dengan salah satu alasannya membawa dirinya mengejar beasiswa ke Amerika dan berakhir dengan menetap disini. Dan Jesse juga tahu betapa egoisnya tidak menjadikan keluarga dan teman-temannya alasan untuk pulang. Ia ragu. Tapi hati kecilnya juga tidak bisa ia bohongi. Jesse juga menaruh sedikit rindu pada kota kelahirannya, pada keluarga kecilnya, pada dua sahabat bodohnya yang sampai sekarang masih berbicara dengannya setidaknya seminggu sekali. Ia rindu rumahnya. Dan perkataan Dana malam ini menjadi tamparan kerasnya untuk kembali mempertimbangkan pilihannya untuk kembali ke Indonesia akhir bulan ini.

"Gue pikirin dulu."

"Pakai otak pintar lo itu ya, Je, mikirnya. Jangan pakai hati. Kalo pakai hati sampai mati juga nggak pulang-pulang lo ke Jakarta."

Jesse mengangguk lalu meneguk habis minuman di tangannya dalam sekali teguk, membuat Dana menggelengkan kepalanya tidak habis pikir. Setelah menepuk pundak Jesse pelan dan berkata untuk menghubunginya ketika sudah membuat keputusan, Dana meninggalkan Jesse untuk bergabung dengan teman-temannya yang menempati meja di sudut ruangan.

Jesse menunggu hingga jam tangannya menunjukkan pukul 01.30 sebelum akhirnya menghampiri Pete, mengucapkan selamat ulang tahun lagi, lalu pamit untuk pulang lebih dahulu mengejar pekerjaannya. Pete hanya memutar bola matanya, menggerutu tak jelas sebentar lalu menganggukan kepalanya dan menepuk punggung Jesse pelan,

"Don't forget to drop by my apartment the day after tomorrow. You promised me a rough sketch for my house."

Jesse mengangguk, lalu berjalan untuk menghampiri Dovan yang sudah tidak sadarkan diri, dan membantunya berdiri untuk kembali bersamanya. Sahabatnya yang satu ini memang senang sekali membuatnya kelimpungan sendiri. Kalau saja Pete tidak meminta bantuannya untuk menyingkirkan si mabuk Dovan dari acara ulang tahunnya, sudah pasti ia meninggalkannya tergeletak disini.

Malam itu Jesse pulang, dengan kerjaan yang lebih menumpuk dari sebelumnya, penat yang lebih parah dari sebelumnya dan beban yang menggunung di pundaknya.

L.I.N.G.E.R

Selamat malam Minggu!

Di awal cerita ini aku mau tanya dong, buat kalian sendiri, definisi move on itu apaa? Sekadar melupakan? Atau lebih?

Semoga berkenan jawab yaa<3

Seguir leyendo

También te gustarán

203K 17.1K 51
Gadis cacat adalah sebutan untuknya, dia tidak memiliki sihir seperti lainnya. Earwen Freya Laurels gadis yang lahir berbeda dengan putri Raja lainny...
1.7M 40.4K 9
Semua terlihat sempurna di kehidupan Maudy, seorang aktris papan atas yang juga dikenal sebagai kekasih Ragil, aktor tampan yang namanya melejit berk...
486K 31.4K 61
Semula Vanta tidak tahu, kalau satu perlawanannya bakal menjadi masalah serius. Siapa sangka, cowok yang ditantangnya─Alvin─ternyata adalah penguasa...
382K 29.2K 50
Irish ragu dengan apa yang ia lihat kali ini. Ia tidak minus. Seratus persen ia yakin pandangannya tidak bermasalah. Dia juga tidak punya kemampuan u...