Ujung Tirani (Completed)

By Amaranteya

6K 1.6K 200

Berkutat dengan sejarah Islam daratan Andalus adalah hal yang tak pernah absen dari kehidupan Hijir. Mulai da... More

Prologue
1. Duality
2. Choices
3. The Piece of Bhagavadgita
4. Imperfect Islamization
5. Next Side
6. Vague Faith
7. The Part of God
8. Stigma
9. Stupidity
10. A Wrong Step
11. On Point
12. Under The Rain
13. Humanitarianism
14. An Assumption
15. Does She Say, "Easiness"?
16. Questions
17. It was A Process
18. Interaction
19. An Unpredictable Gift
20. Unwanted Proposal
21. She is Bold
22. Isn't She?
23. Doubt
24. Anomaly
25. Deadly Combination of Love
26. Drama
27. The End of The Tyrant
28. Is That The Clue?
30. Perfect Puzzle (Ending)
Epilogue

29. A Half of Truth

159 47 8
By Amaranteya

Acara berlangsung selama dua hari dua malam. Kini, di hari ketiga, mereka harus kembali ke pesantren. Setelah membereskan semua peralatan, para santri dan santriwati diarahkan menuju bus masing-masing.

Sampai di tempat bus terparkir, Zaa mundur beberapa langkah. Pashmina bahan cerutinya sedikit bekibar terkena terpaan angin. "Em ... boleh aku pulang sendiri? Jika aku ikut ke pesantren, aku harus putar balik cukup jauh untuk pulang ke rumah."

"Zaa, kita sudah terpisah loh, berangkatnya. Nanti kalau sampai pesantren, kan kamu bisa minta temen kamu yang waktu itu buat jemput," protes salah satu rekannya.

Zaa mendengkus. Kalau begini, mau tak mau ia harus ikut.

Semua tersenyum saat Zaa mengangguk. Saat yang lain sudah naik ke dalam bus, Zaa mengembuskan napas panjang. Ia melangkah mantap dan menghampiri bangku di samping Rita, satu-satunya tempat yang masih kosong.

"Eh, kamu yang pinggir jendela aja deh, Zaa. Kepala aku pusing lihat jalanan." Permintaan Rita diberi anggukan oleh Zaa.

Sepanjang perjalanan, tak banyak yang mereka lakukan, hanya menatap jalanan. Sementara Zaa, sudah gelisah tak karuan. Entahlah, jantungnya tidak berhenti berdetak kencang. Padahal, ia biasa saja, pun tak ada yang mengganggu pikirannya sebenarnya.

Hendak sampai di tikungan curam, Zaa semakin tak tenang. Batinnya bergejolak, telinga berdenging seketika. Benar saja, bus oleng tak karuan. Teriakan dan jeritan mulai memenuhi indra pendengaran satu sama lain.

Setelah menabrak pembatas jalan, bus terperosok ke dalam jurang, berguling beberapa kali. Tubuh para penumpang bergoncang hebat, terlempar ke sana kemari, menghantam kursi, jendela, atap-atap bus, juga bertabrakan satu sama lain. Ada juga yang terlempar ke luar jendela.

Terhantam keras, jendela-jendela bus pecah, serpihan kaca berhamburan tak karuan.

Bus baru berhenti setelah tertahan oleh batang pohon.

Darah, semuanya bersimbah darah. Tak terkecuali Zaa yang tubuhnya terjepit di antara kursi yang sudah tak berbentuk. Dengan darah mengalir melewati kening, Zaa masih sempat membuka sebelah mata, menatap kabur orang-orang yang sudah tak sadarkan diri dan Hijir yang masih sepenuhnya sadar.

Samar, Zaa melihat Hijir kepayahan menarik kakinya yang terjepit. Di dahi lelaki itu juga mengalir darah. Sembari merangkak, lelaki itu menghampirinya dengan air mata berderai.

Hijir sudah tak peduli apa pun. Ditangkupnya pipi Zaa sambil menangis. "Zaa, tetap sadar, Zaa. Aku mohon."

Pelan, tangan kanan Zaa yang masih bebas memegang tangan Hijir, meremasnya pelan, seakan meyakinkan bahwa ia akan baik-baik saja. Senyum pun terbit di bibir perempuan itu. "Wahai jiwa-jiwa yang tenang ...."

Zaa berusaha mengedipkan dua matanya. Tepat sekali, darah mengalir dari mata kiri yang sejak tadi tertutup.

"Sakit, Hijir." Ia mengatakannya bersamaan dengan remasan tangannya yang menguat di tangan lelaki itu. "Allah ...." Kegelapan pun merenggut kesadaran Zaa.

"Tidak, Zaa. Aku mohon, tetap sadar, aku mohon." Tangis Hijir semakin pecah. Tangannya yang masih berada di pipi perempuan itu bergetar hebat. "Zaa, aku tahu jawabannya, aku tahu. Tolong, dengarkan jawabanku dulu, Zaa. Tolong."

Pandangan Hijir ikut mengabur. Dalam kesadaran yang juga di ambang batas, netranya menangkap kilau dari benda yang melingkar di jari manis Jauza.

"Sejak kapan cincin itu ada di sana, Zaa?"

-o0o-

Tragedi seminggu lalu itu masih menjadi buah bibir di Pesantren Tsabitul Asdaq juga EdgeLeaf. Setelah berita menyebar, mereka semua gempar, geger penuh tangis.

Tak ada yang bisa mereka lakukan, selain mendoakan beberapa orang yang berpulang, juga mereka yang masih terbaring tak sadarkan diri di ranjang rumah sakit. Semua berduka, tak hanya keluarga, tetapi juga para santri dan santriwati yang pernah diajar masing-masing korban.

Ansa selamat dengan kaki kanan harus diamputasi. Hikam lebih beruntung lagi, ia hanya mendapat beberapa jahitan di kepala dan diperbolehkan pulang setelah tiga hari di rumah sakit. Zaa dan Hijir, entahlah. Keduanya masih sama-sama koma dengan keadaan banyak alat terpasang di tubuh masing-masing.

Meskipun kondisi Hijir tak terlalu mengkhawatirkan saat dievakuasi, tetapi lelaki itu mengalami trauma otak yang cukup membuatnya koma.

Sementara itu, kondisi Zaa ... belum ada kabar baik untuk itu.

Di hari kesepuluh, Hijir membuka matanya. Kedua orang tua lelaki itu yang pertama dilihat. Juga, Hikam dan kiai pondok.

Baru membuka mata, satu kata yang diucapkan Hijir adalah Jauza. Setelahnya, ia kukuh ingin melihat kondisi perempuan itu. "Hijir mohon, izinkan Hijir."

Seharian itu, Hijir benar-benar memohon untuk melihat keadaan Zaa. Namun, tetap tidak diizinkan.

Menjelang magrib, Rita yang masih berjalan mengenakan tongkat masuk ke ruang rawat lelaki itu.

"Apa kabar, Ustadz?" Senyum lebar perempuan itu layangkan.

Hijir hanya membalas dengan senyuman. Sedang, pandangannya kosong.

Sekali Rita mengembuskan napas panjang. "Zaa masih koma, tapi Ustadz Hijir tenang saja. Doakan yang terbaik untuk Zaa. Saya ke sini mau menyampaikan amanat."

Rita mengeluarkan sebuah amplop yang sudah cukup lusuh dari dalam tas dan mengangsurkannya pada Hijir. "Zaa memberikan ini pada saya waktu di dalam bus. Malam sebelumnya, saya melihatnya menulis ini dengan ekspresi bingung. Mungkin karena dia tidak tahu caranya menyampaikan sesuatu pada Ustadz Hijir, makanya dia memilih menulisnya."

Hijir menerima uluran amplop itu dan membuka isinya. Dua lembar kertas dengan tulisan tegak bersambung di atasnya. Perlahan, disusuri kata demi kata yang ada. Sesak, dada Hijir sesak, tak tahu harus merespons apa dan bagaimana.

"Terakhir saya memohon, boleh saya melihat kondisi Zaa? Saya mohon."

Sungguh, Rita tak tega. Setelah mengangguk, perempuan itu sebisa mungkin membujuk keluarga Hijir agar memperbolehkan lelaki itu. Berhasil.

Didorong Hikam yang juga ada di sana, ia menyambangi ruang di mana Zaa dirawat. Dari balik jendela ICU, Hijir dapat dengan jelas melihat Zaa. Selang-selang terhubung pada tubuh perempuan itu.

"Sadar, Zaa. Aku perlu penjelasan langsung dari kamu, bukan melalui surat. Aku akan terima apa pun itu, tapi aku mohon, bangun."

Tak lama, remaja lelaki menghampiri keduanya. "Maaf, Mas berdua ini temannya Mbak Zaa?"

Hikam dan Hijir mengangguk bersamaan.

"Kenalin, saya Laith, adiknya Mbak Zaa." Laith lantas beralih fokus pada Hijir. "Mas ini ... Mas Hijir, bukan?"

Kembali Hijir mengangguk. Bagaimana anak itu tahu?

Senyum lebar terbit di bibir Laith, memperlihatkan gingsul rema itu. "Mbak Zaa pernah cerita soal Mas Hijir soalnya, makanya Laith tahu. Mbak Zaa bilang, suatu saat pengen ngenalin Mas Hijir ke Laith karena Mas Hijir suka sejarah. Kebetulan, Laith juga suka sejarah, Mas. Terutama Islam Eropa."

Senyuman tak bisa ditahan Hijir. Meski kenyataan yang baru saja ia tahu cukup menghantamnya telak, tetapi setidaknya perempuan itu cukup memperhitungkan keberadaannya.

Hikam pun memperkenalkan diri setelahnya.

"Kita bisa diskusi kapan-kapan," jawab Hijir, membuat Laith tersenyum.

"Oh iya, Laith. Bisa kita bicara sebentar? Ada yang mau saya tanyakan." Hijir tidak bisa menahan rasa pesarannya saat ini.

Remaja lelaki itu mengangguk dan mereka duduk di bangku selasar ruangan. Hikam juga bergabung.

"Maaf kalau pertanyaannya sensitif. Sebenarnya, apa agama Zaa? Saya tidak pernah melihat dia salat atau katakanlah ibadah, meski kata terakhir yang saya dengar sebelum pingsan waktu itu adalah 'Allah'. Namun, beberapa kali dia membaca Weda, memberi saya buku bergaya Injil, dia juga sedikit banyak tahu tentang konsep ajaran masing-masing agama. Bahkan, dia mengajak saya ke gereja."

Bukannya tersinggung, Laith justru tertawa cukup keras. Jika tidak ingat sedang berada di rumah sakit, mungkin Laith akan terus tertawa.

"Mbak Zaa kayaknya berhasil badutin banyak orang, ya?" Sisa tawa Laith masih mengudara. "Dia Islam kok, Mas. Cuma, Mbak Zaa memang nggak pernah mau ngaku Islam. Malu katanya, kalau misal dia bilang Islam, ternyata dalam hatinya nggak benar-benar Islam.

"Mbak Zaa memang tertarik dengan segala konsep ketuhanan. Kalau Mas Hijir sama Mas Hikam punya kesempatan main-main ke rumah, nanti aku tunjukin koleksi bukunya Mbak Zaa. Selain buku dengan judul-judul kontroversial itu, Mbak Zaa juga koleksi kitab berbagai agama soalnya."

Baik Hikam maupun Hijir sama-sama terhenyak. Begitu rupanya, ini hanya perihal ketertarikan.

"Masalah main ke gereja atau tempat ibadah lain, Mbak Zaa memang udah biasa. Temen-temennya multi, Mas. Gitu Laith nyebutnya. Ada yang ateis sama agnostik, ada juga yang dualistik, kayak muridnya di tempat kursus. Kebetulan juga, Ayah membebaskan kami belajar apa pun dari siapa pun. Jadi, ya gitu, deh."

Hikam dan Hijir saling pandang. Masih ada poin penting yang ingin mereka dengar.

"Masalah ibadah?" tanya Hikam pada akhirnya.

Kembali tawa Laith berderai. "Mbak Zaa salat, tapi mungkin nggak pernah dilihatin ke orang lain. Cuma karena Mas nggak pernah lihat Mbak Zaa jamaah, bukan berarti dia nggak salat beneran. Mbak Zaa selalu sengaja cari tempat sepi buat salat. Tiap ditanya, katanya nggak mau pertemuannya dengan Allah terganggu.

"Ditambah, Ayah itu dari dulu dalamin ilmu hakikat dan Mbak Zaa juga ikut tertarik. Jadi, kalau buat orang-orang yang nggak tahu dan masih berkutat sepenuhnya di syariat, Mbak Zaa nggak bakal lebih dari sekedar orang aneh. Gila, perempuan yang kelewat bebas. Padahal, nggak gitu aslinya."

Kedua lelaki di samping Laith semakin terhenyak. Pantas saja. Pikiran Zaa selama ini lebih dalam dari mereka semua. Pantas saja.

"Assalamu'alaikum, Ith," sapa laki-laki yang baru datang.

Laith segera berdiri dan mencium punggung tangan lelaki itu. "Wa'alaikumussalam, Mas. Baru sampai?"

Lelaki itu mengangguk dan berganti memandang Hijir juga Hikam penuh tanya. "Em ... mereka siapa, Ith?"

"Oh iya, kenalin. Ini Mas Hijir dan Mas Hikam, temennya Mbak Zaa." Laith beralih pada dua lelaki yang baru ia sebut namanya itu. "Dan ... ini calonnya Mbak Zaa, Mas."

Allah ... kejutan macam apa ini?

-o0o-

Gimana rasanya jadi Hijir coba?😌 Sakeeeeettttttt! Btw, hope you can guess it right.

Em ... part depan ending, beneran ending dan langsung aku post setelah ini.

Kecewanya pembaca sama alur itu, bukan suatu masalah buat penulis, harusnya. Because we type what we want to type, not what you want to read. So, I can just say, wish you enjoy.

Amaranteya

15th of September 2021

Continue Reading

You'll Also Like

2K 296 46
[DILARANG SHARE, COPAS TANPA IZIN. APALAGI MEMPLAGIAT. SIAPA SAJA YANG MELIHAT CERITA INI DENGAN PENULIS NAMA LAIN, TOLONG HUBUNGI SAYA. TERIMA KASIH...
1.8K 345 25
"Layaknya senja yang mengucap pamit di sore hari, perasaan ini mungkin akan hilang. Tapi jangan lupakan, esok masih ada pagi," ~~~ Arunika, sebuah ar...
1.5K 95 41
Kisah seorang perempuan berasal dari keluarga kaya raya. Dia bernama Sarah. Sejak kecil hingga remaja hidupnya selalu glamor dengan harta. Namun semu...
2.5M 82.1K 52
Rank #2 in Romance on March, 12th 2016 Aku menyukainya sejak lama. Kami berteman dan bersahabat sejak kami masih di bangku sekolah pertama. Kali itu...