Nirkapala

By ThrillingMysteryClub

3.7K 779 72

Polisi muda bernama Rambu Bentara bekerjasama dengan seorang gadis informan bernama Gamar Ismael. Keduanya me... More

[1] Dua Puluh Tiga
[2] Empat Puluh
[3] Tiket Kulit
[4] Kelebatan Masa Lalu
[5] 5 Itu Empat, 4 Itu Lima?
[7] Bukan Akhir Penyelidikan
[8] Sang Legenda
[9] Drama Babak Ketiga
[10] Takdir
[11] Lingkaran Merah
[12] Predator Apex
[13] Titik Temu Pertama
[14] Benang Merah
[15] The Man Who Sold the World
[16] Rahasia Masa Lalu
[17] P.I.N.K.U.
[18] Alasan
[19] Lahirnya Sang Iblis
[20] Pemburu
[21] Sepadan
[22] Cincin Emas
[23] Babak Baru
[24] Reuni Bahagia
[25] Wanita Yang Hilang
[26] Latent Fingerprint
[27] Semoga Harimu Menyenangkan
[28] Kertas Dewa
[29] Lalu Siapa?
[31] Selamat Malam
[32] The Ghost

[6] Aku, Rambu Bentara!

138 32 3
By ThrillingMysteryClub

[6] Aku, Rambu Bentara!

Oleh: Wini Afiati


"Perlukah aku melihat kepala kematian dalam lingkaran, padahal sudah melekat di wajahku?"

(John Donne, "Devotions")


Refleks tangan Rambu terkepal. Kalau saja ia tidak ingat posisi pria itu di Polda Metro, dengan senang hati satu pukulan saja cukup membuat senyum tipis di wajah sok pintar itu sirna. Diembuskannya napas pelan, dan berpura-pura tidak mendengar ejekan Pak Darius yang sudah bergegas menuju TKP.

Mata Rambu kini teralih pada gadis pengemudi Ko-Jek di dekatnya. Dia masih belum beranjak dari tempatnya berdiri.

Sebenarnya tidak ada yang aneh dengan penampilan gadis itu. Wajahnya khas wanita Indonesia Timur, dengan kulit kecokelatan yang eksotis. Rambut ikal dengan panjang sedikit di bawah kuping. Tampilannya cukup tomboi, dengan celana jins dan kaus yang dibalut jaket Ko-Jek. Namun, ada sesuatu dari gadis itu. Sorot mata yang penuh ingin tahu. Mengapa dia tidak takut melihat mayat? Terlebih ini bukan mayat biasa, tetapi ... mayat tanpa kepala.

Rambu tiba-tiba merasa sangsi, apa benar hanya karena penasaran, gadis itu meminta kode dan video sebelumnya? Siapa dia sesungguhnya?

Gadis itu merasa jika diamati, ia menatap balik dengan bibir yang tertarik ke atas. Rambu bisa melihat ada lesung tercetak di pipinya. Manis.

"Jadi bagaimana, Ndan. Setuju usulan saya?" tanyanya mendesak.

Rambu tidak tersenyum. Ia menyugar rambutnya yang jarang disisir. Lalu menggaruk cepat, hingga membuat rambut belah tengahnya menjadi makin terlihat acak-acakan. Akan tetapi, begitulah kebiasaan pria itu saat berpikir keras.

***

Bianca sedikit berlari untuk menyejajarkan tubuh mengikuti langkah kaki Rambu yang bergerak cepat. Mereka berjalan menuju mobil sedan di parkiran.

"Jadi, kita langsung balik ke markas? Batal ke tempat Alina?"

"Kita harus gerak cepat. Sebelum makin banyak korban, ulah si pembunuh berantai ini."

"Pembunuh berantai?" Bianca mengerutkan alis, lalu menggeleng. "Belum disebut serial killer kalau pembunuhannya baru dua kali, kan, Bang?'

Tanpa disangka, pertanyaan Bianca membuat Rambu menoleh, dan menatapnya, kesal.

"Come on, Bi! Dari mana lo tahu kalau korbannya baru dua! Dua itu korban yang SENGAJA dia mau kita temuin! Artinya, data kita ini masih mentah. Dia sengaja mempermainkan kita. Masalahnya, nyawa orang yang jadi taruhan." Terdengar umpatan terlontar dari bibir pria muda itu.

Polisi berpangkat inspektur dua itu membuka pintu mobil sedan, dan membantingnya kasar. Suasana hatinya terlihat tidak baik. Bianca duduk di sebelahnya, tanpa bicara. Dengan cepat, sedan yang dikemudikan Rambu melaju membelah jalan.

"Pembunuh itu kesal karena kita dianggap nggak serius merespons ulahnya. Lihat saja, dia pikir dia yang ngendaliin permainan ini. Dia salah orang. Gue, Rambu Bentara yang akan menangkap dia, hidup-hidup!" Polisi muda itu memukul setir mobilnya karena geram.

Bianca hanya terdiam. Percuma menyahut orang yang sedang emosional. Ia memilih membuka ponselnya, sekadar mencari berita mana yang memuat tentang kasus mayat tanpa kepala ini. Sedan yang dikemudikan Rambu terus melaju menuju Polres Metro Jakarta Utara.

"Maaf!"

Suara Rambu akhirnya keluar, memecahkan keheningan yang sempat tercipta.

"Ho. Biasa aja, Bang. Woles. Gue tahu Abang lagi tertekan." Bianca menyandarkan kepalanya ke jok mobil. "Polda kayaknya tertarik ambil kasus ini."

Terdengar helaan napas Rambu, sambil menyetir, ia mencuri pandang pada wanita yang duduk di sampingnya. "Yup. Jika kasus ini belum jua terungkap. Korban makin banyak berjatuhan, kasus ini pasti ditarik mereka. Lo lihat kan, ngapain Pak Darius dan timnya datang ke TKP."

Rambu mendengkus kasar. Bianca kini menoleh, dan menatapnya lekat.

"Kita sebut apa kasus ini? Nirkapala?"

Rambu tidak menjawab. Bianca mengangkat bahu, lalu kembali menyibukkan diri dengan ponsel di tangannya. Ia tidak akan memaksa rekannya itu membahas kasus, terlihat sekali suasana hati Rambu terlihat buruk sejak bertemu Pak Darius, entah apa yang terjadi di antara mereka. Gadis itu tidak mau bersikap lancang, dengan turut campur urusan orang lain. Namun, sesaat kemudian, telinganya mendengar ucapan pria di sebelahnya.

"Kesamaan pada dua pembunuhan dengan mayat tanpa kepala ini adalah kode 23 03 Nirkapala. Yang pertama ada tambahan kata 'Pintu', sedangkan yang kedua adalah 'Sunter'. Belum diketahui maksud dari angka 23 dan 03 ini untuk menunjukkan informasi apa. Bisa jadi 23 itu menunjukkan usia korban, bisa juga menunjukkan tanggal ditemukannya mayat. Angka 03 bisa diasumsikan waktu ditemukan mayat, atau bisa jadi bukan. Kita masih perlu banyak data pendukung."

"Tapi Pintu dan Sunter sudah jelas menunjukkan lokasi ditemukannya mayat, kan, Bang."

Pernyataan Bianca itu dijawab anggukan Rambu. "Ya. Masalahnya di video terakhir, pembunuh itu memberi petunjuk yang berbeda dengan sebelumnya. Sepertinya dia sengaja mengubah pola. Apa tujuannya?" Rambu menarik napas dan mengembuskannya lambat-lambat. Sebelah tangannya yang tak memegang setir, menyugar helai rambut yang menutupi dahi.

"Iya, gue lihat videonya. Kode kali ini, 5 itu empat, 4 itu lima, dan 9 itu delapan. Hm, apa maksudnya? Lalu, apa maksud kata-kata dengan bahasa Inggris di akhir video? Yang ada, gue jadi gatel pengin betulin grammar-nya yang berantakan itu."

Tanpa sadar, Bianca mengulang-ulang kode itu. Mungkin dengan sering diucapkan, dia menemukan maksud tersembunyi dari kode tersebut. Tiba-tiba saja, tanpa pemberitahuan, Rambu meminggirkan mobil ke bahu jalan. Tubuh Bianca refleks terdorong ke depan. Untunglah ada seat belt yang menjaga tubuhnya terhempas.

"Eh, kenapa tiba-tiba berhenti di sini, Bang?"

Rambu menatap wanita yang bekerja sebagai resmob itu.

"Gue ngerti maksud kode itu, Bi. Wait!"

Tergesa, Rambu mengambil buku saku dari laci dashboard mobil yang berada di depan Bianca. Sepintas hidungnya menghidu aroma parfum yang menguar dari tubuh rekannya itu. Namun, ia berusaha fokus, dan dengan cepat membuka lembaran kertas yang kosong. Tangannya yang memegang pulpen mulai menulis kode terakhir. Dimulai dari huruf L, I, M, A. Bianca memperhatikan aksi Rambu dengan heran. Alisnya berkerut.

"Lihat! Kode ini sebenarnya simple, Bi." Jari telunjuk Rambu menunjuk huruf L-I-M-A yang tertulis dalam kertas. "Kita hitung berapa jumlah hurufnya. Satu, dua, tiga, empat! Ada empat, kan? Begitu juga ini ...." Rambu kembali menulis huruf E, M, P, A, T di kertas itu.

"Oh my God, gue paham!" Bianca mulai mengerti apa yang dimaksud Rambu. "Jumlah huruf itu ada lima."

Rambu mengangguk. Ia kembali melanjutkan menulis huruf S, E, M, B, I, L, A, N. "Bingo, ada delapan huruf."

Mata Bianca membulat. "Lalu maksud bahasa Inggrisnya?" Ia melihat apa yang ditulis oleh Rambu berikutnya, susunan kalimat berbahasa Inggris itu, mulutnya bahkan ikut menghitung huruf dari masing-masing kata.

Tulisan pertama tertulis, 'SHOULD I REVENGE AGAIN'. Jumlah huruf dari kata 'should' ada 6, selanjutnya huruf 'I' ada 1, selanjutnya kata 'revenge' ada 7, dan terakhir kata 'again' berjumlah 5 huruf.

"6175."

Bianca terus memperhatikan goresan tangan Rambu. Selanjutnya dari kalimat 'A EMPHTY HEAVEN TOMORROW DAMNING ME' didapatkan angka 1068272, dengan 'emphty' berarti nol. Gadis itu menelan ludah, antara antusias dan penasaran. Adrenalinnya berpacu kencang.

"Apa maksud dari susunan angka ini? Kita tahu kode angka ini untuk menunjukkan lokasi tempat ditemukan korban berikutnya. 6175 dan 1068272. Tapi maksudnya apa? Gue masih bingung, Bang," ujar Bianca jujur.

Rambu terdiam. Dari sakunya, ia mengeluarkan ponsel dan kembali menayangkan video terakhir kiriman sang pembunuh.

"Sepintar, dan serapi apa pun TKP, tetap akan meninggalkan jejak. Karena sesuatu yang terlihat nyata belum tentu fakta. Begitu pula sebaliknya, yang tidak terlihat, bisa jadi fakta sesungguhnya."

Rambu berbicara tanpa menoleh. Matanya tetap terpaku ke layar monitor yang menampilkan adegan sadis sang pembunuh. Ia mempelajari reaksi pria di dalam video, yang marah. Jarinya memencet tombol 'pause'.

"Apa yang lo lihat? Apa yang membedakan mayat satu dan dua?"

Bianca mengangguk. Dia suka melihat nyala api di mata Rambu. Mata yang cerdas itu sepertinya telah menemukan suatu petunjuk.

"Mayat pertama ditemukan dengan gaun berwarna merah. Gue pikir korban kedua juga memakai gaun warna merah juga. Tapi, nyatanya beda, walau serupa, sih, jika kita nggak teliti. Ternyata, korban kedua memakai gaun putih, dengan warna merah didapat dari darah sang korban itu sendiri. Lalu tentang sidik jari. Korban pertama jarinya sengaja dibakar oleh semburan gas api, seakan untuk membuat sidik jari sulit diidentifikasi. Sedangkan korban kedua, sidik jari nggak dirusak. Gitu, kan?"

Rambu mengangguk.

"Apa yang bisa lo tarik dari data sementara yang kita dapatkan saat ini? Ingat selalu, pembunuh ini merencanakan tindakannya. Kita tidak boleh tertipu jebakan yang dia buat. Bisa jadi barang bukti di lokasi yang kita temukan, berikut kode yang diberikannya hanya rekayasa sang pembunuh. Kode-kode yang terlihat berbeda ini, bisa jadi saling terkait atau sebaliknya, mengaburkan fakta."

Bianca tersenyum tipis. Lalu mengangguk. "Iyup, gue ngerti. Satu petunjuk yang jelas di antara kedua kasus ini adalah si pembunuh sengaja mengubah polanya beda 180 derajat."

Kata-kata Bianca sontak membuat Rambu terpekur. Mata itu menyipit sedikit, lalu dengan cepat wajah itu kembali dengan ekspresinya datarnya.

"Itu dia! Susunan angka-angka itu adalah titik koordinat tempatnya."

Bianca tersentak. Ia masih belum paham apa yang dimaksud Rambu. Alisnya bertaut. Namun, ia bisa melihat rekannya itu membuka Google Maps dari ponselnya, dan mengetik susunan angka yang tadi mereka temukan ke kotak pencari lokasi.

6.175 S, 106.8272 E

Gadis itu seketika sadar, jika penentuan posisi berdasarkan jarak di suatu titik referensi itulah yang disebut sistem koordinat. Pada koordinat geografi permukaan bumi yang bundar dibagi oleh garis lintang dan garis bujur. Posisi 6.175 S menunjukkan lintang selatan (South), dan 106.8272 E menunjukkan bujur timur (East).

Benar saja, dalam sekejap, sebuah lokasi terlihat di peta.

"Monas!" pekik Bianca. Rambu mengangguk. Satu petunjuk penting telah ditemukan.

***

"Kalau sudah besar, Rambu mau jadi apa?"

Anak laki-laki usia sepuluh tahun itu terdiam. Entah kenapa suaranya seakan tersangkut di tenggorokan. Pertanyaan Kakek tidak bisa langsung ia jawab. Ada desir yang merayap, apakah Kakek akan marah seperti Papa jika ia mengatakan ingin menjadi seorang pelukis?

Anak laki-laki itu masih termangu, menimbang-nimbang, lalu perlahan menoleh ke arah laki-laki tua yang bermata teduh itu.

"Aku mau jadi ...."

Ia kembali menunduk, dan menggesek ujung kaki ke lantai marmer yang dingin.

"Iya ...?"

"Pelukis," jawabnya cepat, hampir seperti bisikan angin. Tanpa mampu ditahan, bulir-bulir bening berhamburan ke luar begitu saja. Pengakuan itu tak ayal membuatnya teringat teriakan Papa yang marah jika ia lebih sibuk menggambar daripada bersiap berlatih karate.

"Rambu! Mengapa kamu selalu saja lambat! Lihat kakakmu. Tak bisakah kamu sedikit saja meniru sikapnya!"

Sebuah toyoran mendarat di kepala. Pukulan itu tidak keras, juga tidak sakit, hanya saja menimbulkan perih di dada.

Di balik punggung Papa, sang kakak yang berbadan tegap menatap dalam diam, matanya menyipit dengan pandangan mengejek. Detik selanjutnya, Papa mengambil paksa kertas yang ada di hadapan anak laki-laki itu. Sejenak, Papa menatap hasil gambar yang tergores. Tapi, tidak ada kekaguman yang terbaca, selain kemarahan. Dengan cepat, ia meremas kertas itu dan membuangnya kasar ke tong sampah di pojok kamar.

"Ram, Rambu ...!"

Suara panggilan Kakek membuatnya tersadar dari lamunan. Refleks ia menoleh ke sumber suara, dan mendapati wajah dengan kerut-kerutan itu tersenyum.

"Anak laki-laki nggak boleh cengeng, Rambu."

Sama, sama persis. Kata-kata Kakek sama seperti yang selalu diucapkan Papa, tetapi sorot mata mereka berbeda. Kakek menatapnya dengan mata teduh, sedang Papa menatapnya marah. Sungguh, ia bukan anak cengeng, tapi bulir-bulir bening ini mengapa terus saja bergulir tanpa mampu dicegah?

Sebuah tepukan di punggung dapat ia rasakan. Tangan Kakek sekasar serat kayu, tetapi sentuhannya sehangat matahari.

"Kita ini keluarga polisi, Rambu. Kamu harus kuat, nggak boleh cengeng." Suara bariton Kakek terdengar tenang. "Nggak cengeng itu bukan nggak boleh nangis, tapi punya mental yang kuat dan tangguh. Tangguh dalam menghadapi situasi seberat apa pun."

Rambu terdiam. Air matanya sudah berhenti mengalir.

"Bukan, bukan nggak boleh jadi pelukis. Hanya saja ...." Kakek terdiam, mata itu seperti paham kesedihan cucunya. Ada kebijaksanaan di balik sorot matanya. "Dalam darah keluarga kita ini mengalir jiwa ksatria, para pembela kebenaran."

Seperti biasa Kakek akan mengulang kembali kisah patriotik yang turun temurun terjadi di keluarga mereka. Rambu bahkan sudah hafal alur ceritanya hingga di luar kepala. Kisah ini selalu diceritakan Kakek setiap kali mereka bertemu. Pria tua itu menuntaskan ceritanya dengan tersenyum, dan kembali menepuk-nepuk lembut kepala cucunya.

"Hanya karena hidup gak bisa berjalan sesuai keinginan kita, bukan berarti kita gak bisa bahagia." Kakek menghentikan bicara, dan berdeham untuk menjernihkan suaranya.

"Rambu, kalau kita memiliki hati yang lapang, maka mata air kebahagiaan akan mengucur deras. Karena ... hakikat kebahagiaan berasal dari dalam hati kita sendiri." Pria tua itu menunjuk dadanya. "Di sini, dari dasar hati kita yang terdalam." Lalu ia menepuk punggung cucunya.

"Rambu, kamu punya kecerdasan di atas rata-rata. Pergunakan dengan baik. Kakek selalu percaya kamu bisa meraih kebahagiaanmu sendiri."

Mata Kakek menatap dalam. Lalu Rambu kecil mengangguk pelan, hanya agar bisa membuat kakeknya senang. Walau sejujurnya, ia belum benar-benar yakin, apakah kelak ia akan bahagia.

Continue Reading

You'll Also Like

273 156 28
Banyak hal yang berubah dalam hidup Janis setelah kematian sang ibu. Hidupnya yang semula bak putri kerajaan berubah seratus delapan puluh derajat de...
156K 4.4K 47
[Wajib Follow Sebelum Membaca] The Billionaire Prison [Love is Difficult] Sungai Thames, London. 📌 "Bersihkan semua, jangan sampai ada yang tertingg...
2.1K 1.1K 34
Dalam dunia Ayarikha, imajinasi dan kenyataan berbaur sedih. Ayarikha dikuasai dongeng dan terus bergantung pada seorang anak laki-laki yang sama sej...
301K 38.2K 24
Ayah Alexandra tewas dalam kebakaran tragis yang terjadi di kantornya. Alex pun jadi yatim piatu karena ibunya juga sudah meninggal setahun yang lalu...