Ujung Tirani (Completed)

By Amaranteya

6K 1.6K 200

Berkutat dengan sejarah Islam daratan Andalus adalah hal yang tak pernah absen dari kehidupan Hijir. Mulai da... More

Prologue
1. Duality
2. Choices
3. The Piece of Bhagavadgita
4. Imperfect Islamization
5. Next Side
6. Vague Faith
7. The Part of God
8. Stigma
9. Stupidity
10. A Wrong Step
11. On Point
12. Under The Rain
13. Humanitarianism
14. An Assumption
15. Does She Say, "Easiness"?
16. Questions
17. It was A Process
18. Interaction
19. An Unpredictable Gift
20. Unwanted Proposal
21. She is Bold
22. Isn't She?
23. Doubt
25. Deadly Combination of Love
26. Drama
27. The End of The Tyrant
28. Is That The Clue?
29. A Half of Truth
30. Perfect Puzzle (Ending)
Epilogue

24. Anomaly

144 50 5
By Amaranteya

Waktu memang cepat berlalu, benar. Penghuni Tsabitul Asdaq sudah kembali menghadapi akhir pekan. Berbeda dari sebelumnya, kali ini Zaa lebih memilih berdiam di dalam pesantren, tanpa niat keluar sama sekali. Bukan malas, tetapi ia harus menyelesaikan bacaannya yang terlampau seru.

Setelah melihat kesibukan santriwati piket mingguan dan sedikit membantu tadi, di sanalah ia sekarang. Zaa duduk di pinggir telaga, di bawah pohon ketapang besar. Di pangkuannya terdapat buku tebal bersampul khas warna kertas kekuningan dengan judul berupa angka besar-besar, 1453. Kisah sejarah panjang takluknya Konstantinopel.

Satu bab lagi yang berhasil ia selesaikan. Zaa baru akan melanjutkan kegiatan membacanya pada bab sebelas. Namun, sebuah salam membuyarkannya.

"Maaf, saya mengganggu." Sambil menunduk, perempuan itu berkata. Sebelah tangannya tampak memilin kain rok sementara yang lain tersembunyi di belakang tubuh. Dilihat, jelas ekspresinya cukup canggung.

Zaa menjawab salam tanpa mau repot-repot bangkit, posisinya sudah terlampau nyaman. Setelah menutup buku sejarah bergaya novel itu, Zaa berujar, "Ada apa?"

Sebuah buku lantas terangsur pada Zaa. Bersampul hitam dengan gambar seseorang. Nietzsche Membunuh Tuhan oleh Zahma Iika.

"Saya hanya mendapat amanat ini untuk diberikan pada Miss Zaa."

Perempuan yang masih duduk di atas rumput itu menyambut buku dan mengerutkan dahi dalam. "Kamu ... santriwati yang bermasalah sama rokok waktu itu, kan?"

Gadis itu mengangguk. "Saya juga mau berterima kasih untuk yang waktu itu, Miss."

Kembali didongakkannya kepala dan kali ini sembari mengangguk. Sedikit kepala Zaa dimiringkan setelahnya. "Buku ini dari siapa?"

Bingung jelas. Lagi pula, untuk apa ia menerima buku yang sudah dikhatamkannya itu? Buku dengan judul yang sama pun sudah menjadi penghuni rak bukunya di rumah.

Tak ada jawaban yang diterima Zaa, hanya sebuah gelengan takut. Setelahnya, santriwati itu segera pamit dan pergi dari sana.

Zaa masih tidak mengerti. Ia ikut memangku buku tersebut dan meletakkannya di atas bukunya sendiri. Dibukanya halaman pertama dan Zaa menemukan sticky note di sana. Tertulis, "Mau mendiskusikan buku ini?"

Dahi Zaa berkerut semakin dalam. "Apa maksudnya ini dan ... dari siapa?"

Kembali dibuka halaman selanjutnya. Zaa pikir, tak apa jika kembali mengulas beberapa halaman dari buku yang sama.

Sampai pada halaman kesepuluh, ia menyadari sesuatu. "Membunuh Tuhan. Apa ini dari Hijir?"

Zaa bangkit seketika dan pergi dari sana. Tujuannya satu, menemui Hijir. Jika lelaki itu benar menemukan jawaban dari pertanyaannya, semua akan benar-benar kacau.

Di jalan, ia berpapasan dengan Musa. Zaa segera menghentikan anak itu.

"Maaf, Musa. Kamu lihat Ustadz Hijir?" Napas perempuan itu memburu. Entahlah, ia sungguh takut saat ini.

"Ustadz Hijir biasanya di perpus kalau Minggu begini, Miss."

Baru akan menanyakan alasan tutornya bertanya keberadaan sang ustaz, Zaa lebih dulu mengucapkan terima kasih dan kembali berlari.

Benar saja, Hijir duduk tenang dalam perpustakaan sembari mendengarkan kisah Perang Zallaqah yang semula terjeda.

Tanpa salam, Zaa langsung duduk di seberang Hijir dan mengangsurkan buku tersebut. "Apa ini darimu?"

Hijir menjeda video dan melepas headset dari telinga. Ditatapnya lama buku itu sebelum mengangkat kepala dan menemukan Zaa di sana. Ekspresi perempuan itu terkesan ... tidak ramah?

"Maksudnya?" tanya Hijir.

Jawaban itu sontak membuat Zaa bingung. Pangkal alisnya tertaut. Perempuan itu mencondongkan tubuh, mencoba mengamati ekspresi Hijir lebih dekat. Namun, tak ada ekspresi lain selain kebingungan di sana.

"Jadi, buku itu bukan dari kamu?"

Perlahan namun mantap, Hijir menggeleng.

"Lalu, dari siapa?"

Tepat setelah itu, ponsel Zaa bergetar, ia menerima sebuah pesan.

|Sudah menerima buku dariku?

Tanpa ragu, Zaa menyentuh ikon panggil pada nomor tersebut. "Kamu di mana?"

Hijir semakin tak mengerti. Apa sebenarnya ini? Zaa tiba-tiba mendatanginya dan mengira bahwa dirinyalah yanng memberikan buku pada perempuan itu. Kenapa?

Meski penasaran, Hijir tetap diam. Diamatinya perempuan yang berbicara di telepon itu. Sayang, sepertinya orang di seberang tengah berbicara, hingga membuat Zaa diam mendengarkan.

Belum usai keterkejutannya, Hijir kembali dibuat kaget setelah Zaa bangkit tiba-tiba, meraih kembali buku dan pergi tergesa dari sana. Ponsel sama sekali tak beralih dari samping telinga kanannya.

Tak mau ikut campur, Hijir memilih berdiam sambil menumpuk pertanyaan dalam kepala.

"Tirani itu mulai hancur."

-o0o-

Sampai evaluasi mingguan hampir digelar, Zaa belum juga terlihat batang hidungnya. Tak ada yang tahu ke mana perempuan itu pergi. Rita yang biasa dipamiti pun tampak tahu-menahu kali ini. Pun Zaa tidak meninggalkan pesan apa pun di ruang obrolan kali ini.

Di tempat duduknya, Hijir mulai gelisah. Siapa kira-kira yang ditelepon perempuan itu tadi, sampai-sampai ia pergi begitu saja, tidak seperti biasanya.

Tak mau menyia-nyiakan waktu dengan menunggu Zaa, akhirnya mereka melakukan rapat tanpa kehadiran perempuan itu. Beberapa merutuk dalam hati masing-masing, beberapa yang memang lama mengenal Zaa, heran jelas. Belum pernah Zaa seperti ini kecuali ada alasan jelas yang mendesak.

Sampai sore menjelang, Zaa baru kembali dengan wajah merah, terbakar sinar mentari yang bisa dibilang seharian. Perempuan itu juga tampak lelah dengan wajah kuyunya.

"Dari mana, Zaa? Kami semua mencari kamu tadi."

Zaa meraup wajah kasar. "Maaf, Mbak. Zaa pergi nggak izin, tapi tadi pagi benar-benar urgent dan Zaa baru bisa kembali sekarang." Ia menatap Rita penuh penyesalan.

Perempuan yang berdiri di depan Zaa itu berkacak pinggang. Sambil menatap Zaa tajam, ia kembali berucap, "Apa gunanya kamu punya ponsel, Zaa? Bahkan nggak satu pun dari kami yang bisa menghubungi kamu."

Zaa hanya bisa kembali meraup wajah kasar dan mengembuskan napas panjang. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan pada perempuan itu. Lagi-lagi ia hanya bisa mengucapkan maaf.

"Seminggu terakhir ini pokoknya Mbak nggak mau dengar kamu izin lagi ya, Zaa. Apa lagi tanpa bilang seperti tadi. Minggu depan kita sudah farewell party program, banyak yang perlu dipersiapkan. Jadi Mbak mohon kerja samanya kali ini." Kalimat panjang itu mengundang anggukan kepala dari Zaa.

"Iya, seminggu nanti Zaa nggak akan keluar-keluar pesantren lagi." Selain karena tak ingin menimbulkan masalah baru, Zaa juga tak merasa akan memiliki keperluan di luar pesantren selama seminggu ke depan. Toh hari ini ia keluar bukan karena sengaja, benar-benar ada hal yang tidak bisa ia hindari.

Malamnya, Zaa sengaja menghabiskan waktu dengan berbaring di rerumputan sekitar telaga. Tak peduli baju atau jilbabnya akan kotor, toh ia bisa mencucinya.

Rindang pohon di atas sana menghalangi pandangan perempuan itu dari langit malam. Namun, ia masih bisa melihat gemintang saat mengarahkan tatapan ke ruang terbuka atas telaga, pun pantulannya di permukaan air.

Embusan napas panjang lolos dari bibir Zaa. "Aku nggak tahu harus senang atau bingung sekarang."

Perempuan itu bangkit dan beranjak ke arah telaga. Dilangkahkannya kaki ke jembatan bambu yang menjorok ke perairan itu. Sampai di ujung, Zaa merentangkan tangan dan memejamkan mata. Dirasakannya embus angin malam itu.

Dersik dedaunan, riak tipis air, juga desau angin yang bergesekan dengan ranting kering memenuhi indra pedengaran Zaa. Melodi alam sukses membawa perempuan itu mulai bergerak. Semula hanya tangannya yang melambai pelan, kepala, hingga akhirnya tubuhnya ikut menari.

Abstrak, tidak ada tarian tertentu yang dilakukan Zaa. Perempuan itu hanya mengikuti irama yang diciptakan angin dalam pejaman matanya. Beberapa kali kakinya menyentuh pinggiran jembatan, tetapi semua tetap baik-baik saja. Ia bak wayang yang dikendalikan dalang tak kasat mata, terus menari dengan mata tak terbuka sama sekali.

Jauh dari sana, Hijir diam-diam memperhatikan Zaa. "Apa yang dia lakukan?"

Lelaki itu tak berniat mendekat, hanya mengamati Zaa yang mulai berputar. Entah kenapa, Zaa tampak sangat menikmati gerakannya dan Hijir jelas menangkap itu.

Sepuluh menit lamanya Zaa melakukan aktivitas yang sama dan Hijir tetap memperhatikan. Dari kejauhan, lelaki itu melihat napas Zaa semakin memburu. Perempuan tersebut tampak kelelahan. Dengan langkah cepat Hijir menghampirinya.

Tepat saat akan menginjak rangkaian bambu, Zaa berhenti. Ia menghadapkan tubuh ke arah Hijir, tetapi tak sedikit pun membuka matanya.

"Berhenti di sana, Hijir."

Lelaki itu melotot, Zaa sadar itu dia.

Perempuan itu tak jua membuka mata. Meski napasnya ngos-ngosan, tetapi senyum lebar tersungging di bibir perempuan itu. Ekspresi bingung sebelumnya seketika raib, Zaa dengan cepat menguasai diri.

"Bukankah ini hidup yang lucu, Hijir?"

Hijir semakin tak mengerti. Kenapa sebenarnya Zaa?

"Dan sayangnya, aku sangat menikmatinya. Semua hal memang perlu ditertawakan, termasuk kesedihan, perpisahan, juga kematian. Hidup ini benar-benar lucu."

Tepat setelah kata terakhir terlontar, Zaa menjatuhkan diri ke belakang, menceburkan dirinya ke dinginnya air telaga.

Suara Zaa yang menghantam air sukses membuat jantung Hijir berdetak cepat.

"Zaa!" Hijir berlari dengan mata membulat sempurna. Sampai di ujung jembatan bambu dan berlutut di sana, Hijir baru bisa bernapas lega.

Dengan mata terbuka, Zaa membiarkan tubuhnya mengambang di sana. Senyum geli perempuan itu terbit melihat Hijir dengan tampang paniknya, bahkan ada sebulir keringat di pelipis lelaki itu yang dapat Zaa tangkap.

"Aku nggak sebodoh itu, Hijir. Aku mungkin nggak bisa berenang, tapi aku bisa mengambang dengan sangat baik." Tawa perempuan itu berderai.

Hijir tak habis pikir. Ia sudah panik setengah mati, tetapi Zaa menanggapi dengan sangat santai. Apa kira-kira yang dipikirkan perempuan itu? Menceburkan diri ke air telaga yang dingin, malam-malam begini? Siapa yang akan menduga bahwa ia malah menikmatinya.

"Sebaiknya kamu menepi sekarang, Zaa. Telaga ini tidak sedangkal yang kamu kira." Perkataan itu sama sekali tak mengundang kecemasan di wajah Zaa.

"Buat apa aku takut? Ada kamu, kan?" Zaa menggerakkan kaki, menghentak air perlahan untuk bergerak. Benar, dibanding hanya mengambang, sebenarnya Zaa bisa lebih disebut tengah berenang, meski dengan gayanya sendiri.

Kembali Hijir menggelengkan kepala pelan.

Lima menit Zaa terus di posisi seperti itu sampai akhirnya mendekat ke penyangga jembatan bambu. Ia mulai mengurai posisi telentang dengan mengaitkan tangan ke pinggiran tempat Hijir duduk. Bisa ditebak, kakinya tak menapak dasar. Benar kata Hijir, telaga itu terbilang dalam.

"Minggir."

Mendengar itu, Hijir pun menurut. Ia membiarkan Zaa mengeluarkan diri dari dalam telaga dengan menumpu tangan di tempat ia duduk tadi.

Tentu saja, basah kuyub. Untungnya, ini malam hari dan Zaa mengenakan pakaian hitam. Jadi, seharusnya itu tak akan menjadi masalah, meski ada Hijir di sana.

"Kenapa kamu begitu nekat?" tanya Hijir. Ia menatap Zaa dalam.

Kembali Zaa terkekeh. Ia masih sangat santai mengatasi pertanyaan-pertanyaan Hijir. "Aku nggak nekat, aku berusaha tenang. Lagi pula, aku sudah bilang, ada kamu. Kamu nggak akan biarin aku tenggelam, kan?"

Hijir mendengus. "Jangan konyol, aku juga tidak bisa berenang."

Keduanya berakhir dengan tergelak bersama di bawah sinar luna malam itu.

Dalam hati, Hijir berbisik, "Bisakah waktu berhenti saat ini, Zaa?"

-o0o-

Guys, buat yang tahu nama semacam "jembatan" yang aku maksud, please tell me. Lupa namanya, jadi kutulis jembatan aja😭 Salah banget padahal.

6 parts left. Tiga hari lagi kelar.

Wish you enjoy.

Amaranteya

12th of September 2021

Continue Reading

You'll Also Like

1.7K 344 25
"Layaknya senja yang mengucap pamit di sore hari, perasaan ini mungkin akan hilang. Tapi jangan lupakan, esok masih ada pagi," ~~~ Arunika, sebuah ar...
708 143 12
Benarkah seseorang bisa bertukar jiwa? Namun, bagaimana jika jiwamu justru berpindah pada tubuh seseorang di zaman yang berbeda? Mahin, mahasiswi Uni...
179K 9.3K 19
#KARYA 5 Riri adalah salah satu dari spesies cewek introvert yang merasa hidup itu sangat membosankan dan waktu terasa bergerak lambat. Sampai suat...
394 105 37
Ini bukan cerita horor, cuma cerita comedy biasa. Tidak ada yang spesial, selain abang tukang bakso yang suka menyamar menjadi intel. Heran kadang, t...