Siapa dari kalian yang udah baca LEVANTER?
Tulis di sini
Aku ga pernah bilang tapi aku bilang sekarang, aku suka kasih novel yang baru terbit secara random ke beberapa orang. Dan itu aku lakukan sampai sekarang dan semoga seterusnya.
Jadi, ya gitu.
Semoga kalian sehat semua. Jaga kesehatan masing-masing. Situasi seperti ini kita ga bisa saling jaga. Jadi, andalkan diri kalian masing-masing.
Happy reading.
*
Manusia adalah perencana segala sesuatu dalam hidupnya. Namun sekali lagi mereka harus takluk dengan suratan takdir. Kalimat itu sangat klise karena banyak manusia mengalami hal serupa.
Gemintang menatap ibunya lekat. Wanita itu terlihat sangat khawatir.
"Mom aku harus pulang."
"Tapi..."
"Tidak ada tapi Mom. Bapak sakit. Aku akan melakukan hal yang sama ketika kau yang mengalaminya."
Hening. Gemintang melirik Angger yang terdiam dan berdiri mengamati jendela.
"Mom akan membantumu berkemas."
Langkah kaki Gemintang dan ibunya tidak mengusik Angger yang tetap berdiri dan menatap keluar dari jendela. Benaknya berpikir, pulang atau tidak memang opsi pulang tidak perlu membuat Gemintang berpikir lagi. Bapaknya membutuhkan Gemintang sekarang. Walau kekhawatiran ibunya tentang Galih mencuat, toh dimana pun mereka berada, Galih harus dihadapi. Tidak perduli itu di Indonesia atau di Perancis atau di belahan dunia manapun. Mau tidak mau mereka harus menghadapi pria itu.
Angger berbalik dan menuju kamar tidur tamu yang disediakan untuknya. Dia tidak perlu mengemasi apapun karena memang hanya membawa sedikit baju. Angger menghela napas panjang dan mencoba untuk tenang.
"Penerbangan jam berapa Mas?"
Angger mendongak. Gemintang melongok dari pintu. Angger meraih ponselnya dan memeriksa jadwal penerbangan mereka sekali lagi.
"Terakhir Mi. Jam 9."
Gemintang mengangguk. "Sebaiknya kita pergi sekarang Mas. Takut macet."
Angger mengangguk dan beranjak. Dia menatap sekelilingnya walaupun kenyataannya dia belum memiliki ikatan apapun dengan kamar itu karena belum seminggu dia menempatinya. Angger berjalan keluar ke ruang tamu dan mendapati ayah tiri Gemintang yang baru saja menyiapkan mobil untuk mengantarkan mereka ke bandara. Mereka berbincang sambil keluar dari rumah.
Sangat cepat walaupun tidak terburu-buru. Gemintang akhirnya keluar diantar ibunya yang merapatkan jaket dengan wajah khawatir. Mereka berbicara sejenak dan saling peluk sebelum Gemintang menyusul Angger dan ayah tirinya masuk ke mobil.
Meninggalkan Versailles yang sejatinya sudah menjadi kebiasaan untuk Gemintang. Dia sudah mulai terbiasa dengan jalanan di sana. Atmosfer dan ritme hidup orang-orangnya dan juga terbiasa dengan benturan kebudayaan dalam berbagai macam bentuk. Tapi, seorang Bapak adalah pengecualian. Demi pria itu Gemintang harus meninggalkan kebiasaan itu tanpa harus berpikir panjang lagi.
Gemintang menatap jalanan dan mencoba memikirkan hal lain. Kromosom X dan Y dari penciptaan manusia. Yang mana yang dominan dimilikinya? Kromosom X dari ayahnya atau Y dari ibunya?
Gemintang berdeham kecil menepis lamunan tak pentingnya. Mobil berhenti di perempatan dengan jalanan yang lumayan penuh. Gemintang mendongak ketika Angger yang berada di jok depan menoleh menatapnya. Gemintang mengangguk agar Angger tahu dia baik-baik saja.
Mobil terus melaju dan meninggalkan Versailles yang tidak terlalu riuh. Membawa Gemintang dan Angger yang menyalami bapak tiri Gemintang yang akan kembali ke rumah.
Terhempas di ruang tunggu Bandara Udara Internasional Charles de Gaulle. Angger memeriksa sekali lagi paspor dan tiket mereka dan meletakkannya di pangkuan Gemintang yang mendongak ke arahnya. Masih menyisakan 1 jam 20 menit lagi sebelum mereka terbang.
"Aku cari kopi dulu Mi. Mau ikut?'
Gemintang menggeleng saat Angger mengulurkan tangannya. Tangan mereka bertaut ketika Gemintang menyambut uluran tangan Angger walaupun dia tidak ingin ikut. Angger tertawa pelan.
"Tunggu sebentar."
"Huum." Gemintang kembali mengangguk. Tautan tangan mereka terlepas dan Angger berbalik. Gemintang menatap punggung Angger dan terus mengamati hingga pria itu menghilang dari pandangannya. Tangan Gemintang bertaut dan dia menunduk menekuni tangannya yang sangat dingin. Pikirannya kembali dipenuhi dengan kekhawatiran tentang keadaan bapaknya. Pasti bapaknya itu tidak makan teratur, terlalu lelah dan sering begadang sampai pada akhirnya dia ambruk. Gemintang memang berbalas pesan dengan Putri yang meluangkan waktu untuk secara khusus memeriksa keadaan bapaknya namun dia tetap saja tidak tenang. Apalagi ketika Putri mengatakan bahwa bapaknya sedikit bandel dan terus mengatakan dia baik-baik saja. Bapaknya menolak tidur di rumah sakit.
Gemintang kembali mendongak ketika Angger datang dan mengulurkan satu cup kopi ke arahnya.
"Nuwun Mas."
"Minum Mi." Angger melesakkan bokongnya ke kursi dan mereka mulai menyesap kopi masing-masing.
"Mas...ada yang salah sama mataku. Kamu lihat? Pria itu...terus itu...dan itu...aku pikir itu Mas Galih." Gemintang menunjuk tiga orang pria yang memiliki perawakan sama dengan Galih yang duduk cukup jauh dari mereka.
"Kamu masih sering kaget Mi?"
Gemintang mengangguk. "Susah Mas. Aku perlu ketemu psikolog kayaknya."
"Nanti aku yang atur Mi."
"Huum."
Mereka berdiam diri dan sesekali berbicara dengan berbisik. Sampai akhirnya pemberitahuan penerbangan mereka berkumandang memenuhi lounge bandara itu. Mereka beranjak cepat dan berdiri mengikuti antrian yang mengular.
Penerbangan yang sangat panjang dan menyesakkan terlebih pikiran Gemintang yang dipenuhi rasa khawatir. Dia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi dan mengabaikan genggaman tangan Angger yang menenangkan.
Dan
Menginjakkan kaki kembali setelah stransit di Jakarta dan meneruskan penerbangan ke Yogyakarta. Matahari sudah meninggi saat Gemintang turun dari taksi dan memasuki halaman rumahnya. Gemintang menatap sekelilingnya dan melihat tidak ada yang berubah. Taman depan rumah terlihat terawat rapi dengan kembang kertas yang sudah berganti. Studio lukis bapaknya juga terlihat dibuka dan sudah berganti warna cat tembok dan pintu.
"Mi."
Gemintang menoleh dan mendapati Putri yang berjalan cepat menghampirinya.
"Put. Bapak gimana?"
"Mendingan. Lagi makan. Gimana kabarmu? Sama Mas Angger?"
"Iya Put."
Mereka berjalan masuk ke ruang makan sementara Angger membayar taksi dan menyempatkan diri menyapa tetangga depan rumah Gemintang. Mereka terlihat mengobrol sesaat sebelum Angger masuk ke halaman rumah.
Angger terhenyak ketika mendapati Hilmawan Desembriarto berdiri di depan pintu rumahnya dengan Gemintang dan Putri yang mencoba membuat pria itu tenang.
"Kamu pulang. Tidak usah basa basi mampir. Sudah cukup."
"Pak. Sudah...sudah. Mas Angger itu ngenterin aku Pak. Wis sudah...bapak sedang sakit. Jangan bertengkar. Mas Ngger juga butuh istirahat."
"Bapak merasa tidak enak. Firasat Bapak kenceng banget. Pasti akan terjadi sesuatu kalau kamu ketemu anak ini."
"Pak..."
"Aku pulang Mi. Besok aku ke sini lagi."
Angger menyela pembicaraan bapak dan anak itu. Dia merunduk dan melangkah menuju pagar rumah diikuti oleh Putri yang mengantarnya sampai jalan.
"Lelakon apa ini? Bapak mu ini sampai sakit mikirin kamu nduk. Sudah...kalau kalian ketemu seperti itu...perasaan bapak ga enak."
"Makanya cepet sehat Pak. Jangan sakit seperti ini biar bisa jagain aku."
Gemintang menuntun bapaknya masuk ke dalam rumah lagi. Makan siang bapaknya tertunda ketika Gemintang mengatakan dia pulang bersama Angger. Bapaknya itu bahkan tersedak saat mendengar hal itu.
Mereka kembali ke ruang makan dan Gemintang berjalan ke arah kamar mandi luar. Dia membawa handuk dan baju yang dia ambil dari koper. Gemintang membersihkan tubuhnya dengan cepat. Air sejuk seakan merontokkan lelah yang mendera hingga ke tulang-belulang nya.
Gemintang terpaku di depan pintu ruang makan dan menatap Putri yang telaten menemani bapaknya makan. Gadis itu bahkan tersenyum dan terlihat tulus. Mereka seperti...suami istri yang makan bersama. Gemintang mengamati Putri yang terlihat dewasa. Mungkin karena terlalu banyak bersama bapaknya yang sudah tua dan itu membuat Gemintang merasa berhutang budi sangat banyak.
Gemintang melesakkan bokongnya di kursi ruang makan membuat Putri mendongak dan segera mengambil piring dan mengulurkannya pada Gemintang.
"Makan dulu Mi. Aku yang masak ini."
"Nggih Bu."
Hilmawan mendongak namun segera menunduk kembali menekuni makan siangnya sementara Putri tertawa renyah. Mereka tidak banyak bercakap mengingat suasana hati Hilmawan yang tidak baik.
"Saya siapkan obatnya dulu, Pak. Nanti terus istirahat sampai jam 4." Putri berjalan ke arah sebuah lemari dan mengambil obat.
"Aku itu ada pesenan lukisan yang belum dibingkai."
"Sudah ga udh ngeyel.
Gemintang mengamati interaksi Bapaknya dan Putri sembari mengunyah makan siangnya. Tak dipungkiri, mereka terlihat sangat akrab.
"Berat badan bapak turun?"
"Makan ga teratur Mi." Putri menyahut.
"Ke rumah sakit ya Pak, biar diperiksa menyeluruh."
Gemintang melihat bapaknya terdiam dan menunggu obat yang disiapkan oleh Putri. Terlihat keengganan di raut wajah bapaknya.
"Bapak itu cuma banyak pikiran. Mikirin kamu terus. Was-was. Gimana mau doyan makan?"
"Pak..."
"Wong edan itu dibiarkan berkeliaran kemana-mana. Dimana pikiran orangtuanya. Terus Angger itu apa tidak bisa bicara sama bapaknya? Bahaya nduk kalau...Galih itu dibiarkan tak tentu arah."
Gemintang terpaku. Bapaknya jelas tidak salah. Keadaan memang seperti itu dan bisa jadi bahaya benar-benar bisa terjadi kapan saja.
"Dia nyusul ke Perancis, Pak. Dan kemungkinan dia masih ada di sana."
"Heh?" Terdengar suara Putri yang mendesis tak percaya.
"Orang seperti itu pinter Gemintang. Pinter lebih dari orang waras sekalipun. Galih itu wong edan yang keblinger."
"Dia tidak bisa mengendalikan pikirannya Pak. Dia sakit."
"Lah iya. Sakit jiwa. Dan sekarang bapak tanya sama kamu. Apa bijak orangtuanya itu membiarkan dia di luar sana?"
Gemintang menghela napas. Dia meletakkan sendok di ke atas piring bekas makannya dan Putri segera mengangkat piring itu lalu mencucinya. Gemintang menatap bapaknya yang meminum obatnya. Resep yang sangat banyak dan Putri sempat berbisik kalau asam lambung bapaknya itu naik pada level yang cukup mengkhawatirkan. Dan Gemintang tidak ingin mendebat bapaknya. Prioritasnya sekarang adalah bapaknya membaik.
"Ga usah balik ke Perancis. Kalau ibumu kangen biar dia kemari. Kamu itu nyawanya bapak Gemintang. Nyawa. Kalau kamu pergi itu seperti nyawa bapak udah sampai ubun-ubun dan tinggal keluar saja."
Hilmawan beranjak dan berjalan ke depan meninggalkan Gemintang yang terdiam seribu bahasa. Bapaknya jelas menolak istirahat dan berjalan ke arah studionya. Meninggalkan Gemintang yang terpaku dan merenungi kalimat yang dilontarkan oleh bapaknya itu.
"Bapakmu kacau kalau ga ada kamu Mi. Aku bukan mau gimana-gimana. Tapi ibumu punya suami dan anak-anaknya. Tapi Mi. Bapakmu itu cuma punya kamu."
Gemintang rebah meletakkan kepalanya ke atas meja makan.
"Aku pengangguran."
"Kamu bisa cari kerjaan Mi. Aku bantu nanti temani kamu ketemu dokter Wicak. Dia nanyain kamu terus loh Mi. Mau ga ngisi klinik di Gondomanan."
Gemintang segera menegakkan tubuhnya.
"Kapan Put? Ke dokter Wicak?"
"Tunggu dulu. Aku tak nelpon dia. Kamu coba suruh bapak istirahat Mi. Mulutku udah pegel ngasih tahu dia."
Putri beranjak dengan membawa ponselnya menuju halaman belakang rumah. Gemintang juga beranjak dan berjalan ke arah studio. Dia melihat bapaknya sudah sibuk dengan sebuah lukisan dan bingkai. Gemintang menatap sekelilingnya dan mendapati semakin banyak lukisan yang dibuat oleh bapaknya. Juga banyak lukisan yang sudah dibungkus sebagai pesanan beberapa orang.
Gemintang berjalan ke teras depan studio dan menatap halaman depan. Dia melamun menatap kembang kertas berwarna-warni di halaman itu.
Mungkin naluri bapak itu setajam naluri ibu.
Mungkin teori tentang keberadaan seseorang bisa jadi salah.
Nyatanya, dari balik sebuah pohon gayam di kebun tetangga, sepasang mata nyalang menatap ke arah studio lukis itu. Wajah sang penatap terlihat dingin dan tak terbaca hal lain selain wajah penuh dendam tersembunyi.
Seorang bapak mungkin tidak memiliki banyak waktu untuk putrinya karena dia harus mencari uang untuk menghidupi keluarganya. Tapi seorang bapak bisa jadi orang yang paling bisa merasakan bahwa putrinya dalam keadaan bahaya.
Dan ketika hubungan ibu dan anak terputus karena jarak maka bapak adalah tumpuan bagi putrinya selama bertahun-tahun. Ikatan yang mereka jalin menjadi sangat kuat.
Hilmawan benar. Orang gila itu pintar melebihi orang waras sekalipun. Apalagi ketika jiwanya memiliki bibit gangguan psikosomatik. Jiwanya penuh emosi namun kepintaran membuatnya begitu sabar mengintai.
Angger Arianto Pananggalih
Berdiri dengan satu tangan bertumpu pada pohon gayam yang berbatang sangat besar dan menjulang tinggi. Mengamati Gemintang yang melamun memandangi kembang kertas warna warni. Perempuan yang mengganggu pikirannya selama ini. Yang harus dia hancurkan bagaimanapun caranya.
Jelas sekali. Semua belum usai.
*
ANGGER ITU FIRASAT KEJADIAN BURUK. BAPAKNYA GEMI MUNGKIN BENAR.
Yang ga bener penulisnya karena besok akan lebih parah dari sekedar diamati.
Aku aja merinding bayanginnya.
Kalian? Sehat dong?
👑🐺
MRS BANG