Ujung Tirani (Completed)

By Amaranteya

6K 1.6K 200

Berkutat dengan sejarah Islam daratan Andalus adalah hal yang tak pernah absen dari kehidupan Hijir. Mulai da... More

Prologue
1. Duality
2. Choices
3. The Piece of Bhagavadgita
4. Imperfect Islamization
5. Next Side
6. Vague Faith
7. The Part of God
8. Stigma
9. Stupidity
10. A Wrong Step
11. On Point
13. Humanitarianism
14. An Assumption
15. Does She Say, "Easiness"?
16. Questions
17. It was A Process
18. Interaction
19. An Unpredictable Gift
20. Unwanted Proposal
21. She is Bold
22. Isn't She?
23. Doubt
24. Anomaly
25. Deadly Combination of Love
26. Drama
27. The End of The Tyrant
28. Is That The Clue?
29. A Half of Truth
30. Perfect Puzzle (Ending)
Epilogue

12. Under The Rain

157 50 5
By Amaranteya

"Katakan saja kalau kamu menggunakan internet untuk menjawab pertanyaanku." Zaa mengaduk minumannya perlahan.

Lelaki di seberang meja menghela napas panjang. Kedua tangannya yang bertumpu di atas meja mengepal, sengaja dibiarkan begitu agar Zaa melihat.

Benar saja, Zaa terkekeh. Perempuan itu lantas mengangkat kepala. Punggungnya sudah bersandar pada kursi kafe yang diduduki.

Sore yang mendung, aroma kopi, juga suasana retro yang kental menemani keduanya saat ini. Setelah Tamam berhasil menjawab pertanyaannya sebelum zuhur tadi, mau tak mau Zaa harus menepati janji untuk bertemu. Karena itu pula, Zaa harus kembali mengendap keluar pesantren.

"Kalau gue bilang nggak, lo percaya?" tanya Tamam, membuat Zaa mengedikkan bahu. "Udah gue duga. Lo pasti nggak mau ambil pusing buat percaya atau nggak sama orang lain."

Mendengar itu, Zaa terkekeh. Dilipatnya tangan di depan tubuh, matanya masih fokus menatap lelaki berkaos putih di hadapannya.

"Lo lupa kalau gue mantan anak pesantren? Kisah-kisah kayak gitu pasti pernah gue denger di pesantren, meskipun cuma sekali seumur hidup. Kuburan, paus yang nelen Nabi Yunus. Angka, 2850. Dua pertanyaan yang sama-sama berhasil dijawab Khalifah Ali bin Abi Thalib. Seengaknya gue ada effort buat coba inget jawaban itu semaleman."

Zaa semakin terkekeh dibuatnya. Benar-benar menggelikan.

Tidak seperti kemarin, kali ini Tamam lebih santai melihat Zaa tak berjilbab. Ia tidak ingin memancing perempuan itu lagi.

"Jadi, apa yang mau kamu bicarain?" tanya Zaa.

Tamam ikut menyandarkan punggung. Ia sempat mengembuskan napas panjang sebelum membalas, "Banyak. Banyak banget, Laf."

"Can you call me Zaa now? Aku nggak suka sama panggilan itu sekarang." Mata Zaa memicing.

Tentu saja Tamam mengangguk.

"Gimana lo bisa di sini sekarang? Kabar terakhir yang gue denger, lo buka les privat sendiri."

"No! Sempat memang, hanya sebentar sebelum aku sekeluarga pindah ke daerah ini. As you see, aku ngajar di lembaga tempat Tsabitul Asdaq ngadain kerja sama." Zaa meraih cangkir kopi miliknya dan menyesap cairan hitam itu perlahan. Bersamaan dengan itu, rintik mulai turun.

Jendela kaca besar di samping keduanya basah. Titik-titik air berkumpul sebelum meluncur jatuh. Beberapa lama suasana pun hening, tak ada pembicaraan. Hanya suara hujan yang menderas.

Tamam sengaja membiarkan Zaa memandangi hujan setelah perempuan itu meletakkan cangkir kopinya. Lagi-lagi, ia terbawa memori. Ia hafal betul, dulu Zaa tidak menyukai hujan. Namun tampaknya, sekarang berubah.

Seakan diperlambat, Tamam jelas melihat segurat senyum perlahan terbit di bibir pucat perempuan itu. Hal itu mau tak mau mengundang senyum pemuda itu untuk terbit jua.

"Tuhan sedang bercengkerama langsung dengan makhluk-Nya." Perkataan tiba-tiba Zaa membuyarkan Tamam.

Lelaki itu ikut memandang luar seketika, membiarkan netranya menangkap sekumpulan orang yang berteduh di emperan toko seberang jalan.

Saat Zaa kembali fokus pada Tamam, lelaki itu juga melakukan hal yang sama.

"Keberatan jika aku meminta sesuatu?" Sebelah alis Zaa terangkat. Tak ada apa pun yang bisa Tamam tebak dari sorot matanya.

-o0o-

Berulang kali Tamam merutuki dirinya sendiri karena menuruti Zaa. Bagaimana tidak? Lihat saja dua orang yang sudah basah kuyup itu. Tamam bahkan hampir menggigil dibuatnya, sementara Zaa masih tampak santai dengan senyum yang tak juga luntur.

Lelaki itu melajukan motor perlahan dan Zaa asyik merasakan titik-titik hujan di boncengan.

"Udah ya, Zaa. Ini udah mau magrib. Apa asyiknya sih, hujan-hujan sambil motoran kayak gini? Cari penyakit lo?" teriak Tamam. Meski berkendara perlahan, tetap saja suaranya teredam hujan yang masih cukup deras.

Tak merasa terganggu, Zaa masih merentangkan tangan sambil mendongakkan kepala. Di jalanan sepi itu, jelas ia tidak akan mengganggu siapa pun, bukan?

Tak lama, perempuan dengan rambut yang sudah lepek itu menjulurkan kepala tepat di samping kepala Tamam. Setelah mengetuk helm lelaki itu beberapa kali, ia berkata, "Ini bukan cerita romansa. Hujan-hujanan sekali nggak bakal bikin aku sekarat."

"Tapi gue udah kedinginan, Jauza." Tamam masih berusaha mencari penyangkalan, meskipun memang benar ia kedinginan. Bagaimanapun, mereka sudah terlalu lama berkeliling tanpa tujuan hanya untuk menikmati hujan. Permintaan Zaa benar-benar aneh.

"Ya udah, cari tempat berteduh."

Akhirnya Tamam membelokkan motornya ke deretan toko kain yang sudah tutup. Setelah memarkirkan motor, keduanya berdiam di sana. Sayup-sayup azan Magrib terdengar. Bersamaan dengan itu pula, Zaa mendekat pada ujung teras toko dan menjulurkan tangan, membiarkannya bersentuhan kembali dengan air hujan.

Tamam hanya bisa mendengkus melihat itu. Percuma, Zaa tidak akan mendengarkan meski dilarang.

Perlahan, matanya terpejam. Tiap tetes air yang mengenai permukaan tangannya seolah memberi efek kejut menenangkan bagi perempuan itu. Dingin, namun hangat dalam dada. Air itu terasa menari di jari-jari yang ia gerakkan pelan, mengundang irama dan melodi khas dalam benak dan detak jantungnya.

Senyum, semakin lebar tatkala dirasa tetes semakin deras. Sedikit demi sedikit, tetes-tetes itu mulai membelai wajah polosnya. Tanpa sadar Zaa berjalan ke pelataran toko. Masih dengan mata terpejam, ia merentangkan tangan, berputar, dan menari di bawah kilat dan guntur yang menyambar.

Sementara itu, di teras toko tak henti Tamam menggeleng. Akalnya seolah dibuat hilang akan tingkah Zaa. Apa yang sebenarnya dilakukan perempuan itu?

Ia membiarkannya untuk beberapa saat, sebelum sekali lagi guntur menggelegar bengis. Sudah cukup, ia terlalu khawatir pada perempuan itu. Dilangkahkan kaki lebar-lebar mendekati Zaa yang masih terus berputar sambil tersenyum. Tak mau mengeluarkan suara apa pun, tanpa izin pula, ia meraih tangan Zaa dan berniat menyeretnya kembali berteduh.

"Jangan mengganggu perbincangan seruku dengan Tuhan, Natiq." Zaa sudah membuka mata dan menatap Tamam tajam. Menghunus tepat di manik mata.

Seketika pegangan tangannya terhadap Zaa terlepas. "Zaa! Bibir lo udah biru kayak gitu!"

Tepat saat Tamam menghentikan teriakannya, Zaa jatuh pingsan.

-o0o-

Bisa ditebak tentu saja, pertemuannya dengan Tamam berakhir di rumah sakit. Perempuan itu sudah sadar setengah jam yang lalu. Kini di sekelilingnya sudah ada sang bos di EdgeLeaf, Ansa juga Tamam. Ada lagi Naba yang entah bagaimana bisa ikut dan sialnya, ada Hijir.

"Kamu tuh nekat banget ya, Zaa. Udah diingetin jangan keluar pesantren sering-sering. Masih ngeyel, pakai masuk rumah sakit juga lagi," omel perempuan berkepala tiga itu.

Zaa meringis dan tertawa pelan. "Salahin aja si Natiq, Bu. Dia yang ngajak ketemu."

Ingin marah jelas, tetapi Tamam menahannya. Tidak tahu saja perempuan itu bagaimana ia panik waktu Zaa pingsan. Sampai di rumah sakit tadi, ia hanya terpikir untuk menghubungi temannya, Hijir. Begitulah mereka berakhir sekarang.

Saat mendapat kabar Jauza masuk rumah sakit, para panitia program sempat kelimpungan. Bingung juga kapan perempuan itu keluar dari pesantren. Terlebih, ia adalah tutor pengajar. Mau tak mau tugasnya digantikan sementara oleh tutor lain.

Sampai di rumah sakit tadi, Naba sempat terkejut melihat Zaa tanpa jilbab. Jelas, karena rambut perempuan itu diwarnai. Namun, ia mencoba biasa saja. Ia lebih terkejut lagi saat tahu bahwa Hijir tidak terkejut, terlebih saat tahu bahwa Zaa pergi dengan seorang lelaki yang merupakan teman Hijir. Rumit.

"Jangan diulangi lagi ya, Miss. Bukan apa-apa, kami semua di pesantren khawatir." Naba bersuara dengan nada yang lembut. Di akhir kalimatnya, ia menyunggingkan senyum tulus.

Zaa tersenyum paksa. "Kalau buat nggak ngulangin, aku nggak bisa janji deh, kayaknya."

Helaan napas terdengar dari bibir Tamam. "Lagian lo kenapa minta hujan-hujan? Kayak anak kecil."

Setelah memicingkan mata, Zaa berusaha bangkit dari posisi rebah. Ansa membantunya.

"Sudah aku bilang, berkomunikasi dengan Tuhan." Ucapan itu berhasil mengambil penuh atensi orang-orang yang ada di sana. "Kamu tahu, Nat? Saat tetesan air menyentuh tanganku di teras toko tadi, aku sudah lupa semua hal. Aku lupa ada kamu, aku lupa bahwa aku harus kembali ke pesantren, bahkan aku lupa bahwa aku Jauza.

"Saat melangkah ke pelataran, saat tubuhku sepenuhnya berada di bawah hujan, aku nggak sadar. Aku melakukannya tanpa sadar. Aku kehilangan aku, Natiq. Aku hanya merasa sedang berbincang dengan Tuhan, bercengkerama dengan mesra, hanya aku dan Tuhan. Meski aku melakukannya setiap hari, bagiku hujan memberi kesan tersendiri."

Hijir mengerjapkan mata berulang kali, terhenyak akan kalimat Zaa yang di telinga terdengar begitu magis. Bagaimana bisa?

Ansa yang sudah terbiasa mendengar itu di EdgeLeaf pun hanya mengembuskan napas panjang. Sementara Naba dan Tamam tak berbeda dari Hijir. Mereka bungkam.

Beberapa menit dalam kebisuan, Hijir mulai memecah keheningan dengan bertanya, "Orang seperti apa sebenarnya kamu, Zaa?"

Jauza ... tersenyum lebar mendengar itu.

-o0o-

Pluviophile jalur inget Tuhan si Jauza ini🤣

Wish you enjoy.

Amaranteya

6th of September 2021

Continue Reading

You'll Also Like

3.3K 563 22
Seorang mantan jurnalis chanel televisi ternama, Akshita, sangat mengidolakan vloger traveler asal India bernama Althaf Khan. Ia tak pernah melewatka...
1.7K 344 25
"Layaknya senja yang mengucap pamit di sore hari, perasaan ini mungkin akan hilang. Tapi jangan lupakan, esok masih ada pagi," ~~~ Arunika, sebuah ar...
781 126 12
Dikala terjabak di situasi dimana harus mencari jalan keluar dari tempat yang di penuhi hal-hal yang tidak masuk akal, perjalanan yang harus nya untu...
837K 76.9K 30
Menikah dengan seseorang yang pernah kamu cintai dalam diam saat hatimu sedang dirundung kecewa? Bukankah itu indah? Begitulah harapan Keisya saat me...