🅳🅴🅰🆃🅷 🅰🅻🅱🆄🅼 ( 🅾🅽...

By SriWahyuni369717

4.9K 1K 678

# 1 novelmisteri (08 Agusrus 2021) # 1 tarbiyah (08 Agustus 2021) # 1 hikma (08 Agustus 2... More

PART 2. KETUKAN MISTERIUS
PART 3. CILUK...BAA!!
PART 4. PERKAMPUNGAN JIN?
PART 5. DIRASUKI (1)
PART 6. DIRASUKI (2)
PART 7. DIRASUKI (3)
PART 8.TARIAN MISTERIUS
PART 9. RUDIRA, BONEKA ARWAH?
PART 10. DIARY BERTINTA MERAH
PART 11. KUBUR 1
PART 12. KUBUR 2
PART 13. KUBUR 3
PART 14. DIBURU DENDAM 1
PART 15. DIBURU DENDAM 2
PART 16. DIBURU DENDAM 3
PART 17. KALI ARUM DHALU 1
PART 18. KALI ARUM DHALU 2
PART 19. TIPU DAYA IBLIS
PART 20. ENIGMA SI KEMBAR
PART.21. RUMAH BATU DI HULU
PART 22. DI ATAS ALTAR BATU
PART 23. MENJELANG PURNAMA
PART 24. MENJELANG PURNAMA 2
PART. 25 HEXAGRAM
PART 26.HEXAGRAM 2
PART 27.HEXAGRAM 3
PART 28. HEXAGRAM 4
PART 29. TANPA BAYANGAN
PART 30. RUQYAH
PART 31. SEPASANG JENAZAH
PART 32. BISIKAN GAIB
PART 33. MANEKEN ( 1 )
PART 34. MANEKEN ( 2 )

PART 1. KEMBANG KANTHIL

445 38 18
By SriWahyuni369717

*1.

(A/n. Berdoalah sesuai dengan keyakinan masing-masing sebelum membaca, karena seluruh penampakan real dari narasumber yang mengalami)

🍁
🍁

Malam terseok-seok menjelajahi kepekatannya. Kabut tebal yang mengelimuti seolah menjadi selubung misteri yang menutupi.

Rumah tua etnis Belanda itu berdiri pongah. Seperti mencuat dari dasar bumi. Berdiri diantara kabut tebal. Atapnya seperti berusaha mengoyak kaki langit yang kelam.

Lampu-lampu taman tampak pasi.Temaram. Tak kuasa lepas dari rengkuhan tebalnya sang kabut.

"THAG! THAG! THAG ...!!"

Sepasang mata Zaheen terbelalak lebar. Suara itu lagi? Seperti benda yang di ketuk-ketuk di lantai.

"Kak ... Kak!"

Bocah berusia 6 tahun itu berlari ke arah ranjang kakaknya yang bersebelahan dengan ranjangnya. Mengguncang tubuh kakaknya yang tenggelam dalam selimut dan hanya terlihat kepalanya.

"Heem ..." Amira berguman malas. Zaheen berbisik panik.

"Suara itu lagi, Kak," bisiknya dengan ekspresi ngeri. Angin mengalir giris dari kisi-kisi jendela. Membawa aroma khas kembang kanthil yang tumbuh di halaman.

Lolong anjing di kejauhan menguar garing. Menggidikkan bulu roma. Menguak image akan hal-hal berbau magis.

"Itu Jenny, Za, yang turun untuk minum." jawab Amira malas, gadis kecil usia 8 tahun itu lebih erat merangkul Lefi boneka lebah yang di belikan papanya, Azzam.

"Bukan, Kak. Suara tongkat Jenny nggak gitu," bantah Zaheen. Memekik histeris saat tiba-tiba lampu padam. Di luar sana, di kejauhan suara sirine meraung-raung. Entah itu suara ambulance yang berburu tiap detik berharga demi nyawa pasien. Atau suara sirine polisi yang memburu penjahat.

"Listrik padam lagi, Kaak !" pekik Zaheen. Buru-buru menyusup-nyusup masuk selimut kakaknya. Amira membuka mata, gelap gulita. Dan ada bau anyir darah. Menyeruak masuk hidungnya. Hanya sepersekian detik. Lalu lebih mendominasi aroma kembang kanthil.

"Bu Sindu, Listrik padam. Tolong lampu untuk anak-anak!" Terdengar suara mama mereka, dan terdengar suara bu Sindu pembantu mereka mengiyakan.

Masih pekat menghitam, gelap gulita menyelimuti bentala.

"Maaa! Mamaa ...!" teriak Zaheen. Wina mengiyakan dari luar. Ia tahu putra bungsunya itu phobia gelap. Terdengar langkah-langkah kaki mendekat. Zaheen berharap itu mama.

"Kakk!" cekat Zaheen tiba-tiba. Mencengkram bahu Amira dalam kegelapan.

"Apaa?" bisik Amira sambil meraba-raba tangan adiknya. Tapi ...
Tangan ini dingin, kurus. Amira coba raba-raba lagi, iya jemari ini kurus,dan lancip.

Napas Amira kembang-kempis, berusaha melafalkan apa saja yang ia bisa. Tegang. Tidak berani bergerak, saat tangan itu kian erat mencengkram.

"Kakk! Ada yang memegang belakang leherku! Dingin. Seperti di tempeli es batu!" cekat Zaheen tegang. Makin mengeratkan cengkramannya bahu kakaknya.

"Bukan, Za. Itu hanya perasaanmu saja.' bisik Amira, tak ingin membuat takut adiknya. Meski ia merasakan cengkraman tangan runcing itu kian membelenggunya.

"Ngeeekk ...!!"

Deritan pintu kamar mereka terdengar ganjil dan menyayat. Ada suara langkah-langkah kaki masuk.

"Maaa ...!!" teriak Zaheen, merasa tengkuknya kian dingin. Seperti di tekan dengan es batu.

Tak ada jawaban,
Glek!!
Mereka menelan ludah. Jika mama atau bu Sindu, pasti bawa lampu. Lalu ini siapa yang masuk?

"Ihiii ... Hii ... Hahaha ...!!"

Suara tawa riang yang menggema dan merindingkan bulu kuduk. Dua bocah itu berteriak histeris.

"Mamaaa ...!!"

Mereka berangkulan erat saat cahaya lampu kekuningan memancar dari lampu semprong berkaki tinggi yang di bawa mama mereka.

"Allohu Akbar! Masak anak-anak mama takut gelap," ucap Wina usai menempelkan lampu di dinding. Amira dan Zaheen berebut memeluknya.

"Mama tidur sini aja," pinta Zaheen dengan sorot mata memohon. Makin mengeratkan pelukan saat tiba-tiba bu Sindu muncul di depan mereka. Wajahnya tampak putih dan menyeramkan saat terkena sorot lampu semprong yang ia bawa.

"Cukup satu lampu saja, Bu, taruh saja di lantai atas," ucap Wina, bu Shindu mengiyakan. Berlalu dari kamar, nyaris tanpa suara. Dan dimata Zaheen perempuan tua itu seperti melayang tidak menapak lantai. Buru-buru ia membenamkan kepalanya ke perut mamanya. Tentram saat mama mengelus-elus kepalanya. Mengajaknya untuk tidur.

Amira menutup pintu, sempat melihat seperti ada bayangan naik tangga. Tapi ia coba abai.

"Papa belum pulang, Ma?" Amira bertanya sambil naik ke atas ranjang. Ikut menyusup masuk selimut memeluk mama.

"Masih di jalan sayang," jawab Wina sambil memeluk kedua anaknya, dengan posisi dirinya di tengah.

"Kenapa kita tidak pake lampu emergency, Ma. Kenapa pake lampu semprong?" Amira bertanya lagi, sambil mengamati ruangan yang temaram. Tampak suram. Ia tidak suka cahaya kekuningannya. Ia lebih cahaya putih lampu emergency.

"Karena lebih hemat lampu semprong, Sayang. tidurlah." Amira mengiyakan. Listrik di sini sering padam. Amira menghela napas. Seperti apapun tempat tinggalnya sekarang adalah jauh lebih baik dari rumah eyang. Eyang yang selalu marah-marah gak jelas. Terutama sama mama. Entah karena apa.

🍁
🍁

Sebuah jeep compass warna hitam berusaha menerobos tebalnya kabut tebal. Terseok-seok menaiki jalanan menanjak. Melewati pemakaman kuno yang sudah tak terpakai, melewati area penimbunan mobil penyok, sebelum melewati jembatan arum dhalu.

Azzam istiqfar sambil memukul stir saat tiba-tiba mobilnya macet di tengah-tengah jembatan. Ada masalah apa lagi?

Azzam turun dari mobilnya. Gerimis tipis menampar wajahnya. Membuat rambut gondrongnya berantakan.

"Kenapa lagi, Mas?" Adela, adiknya bertanya. Melongok keluar. Nyaris tidak dapat melihat apa-apa selain kabut tebal.

"Nggak tahu," jawab Azzam sambil membuka kap mobil. Adela menghela napas berat.

"Lagian ngapain mas beli rumah jauh dari keramain gini. Serem lagi," guman Adela, nyata suara desiran angin dan gemericik air sungai. Adela membuka pintu mobil. Ikut turun. Andai Adela punya tempat kabur lebih baik dari dinasti diktator mama selain rumah mas Azzam. Andai Adela bersedia menikah dengan pria pilihan mama.

Adela menatap jembatan yang temaram dan diselimuti kabut.
Adela terkesiap, merasakan ada sisiran angin dingin yang melewati kakinya.

Semilirnya yang aneh seperti sebuah belaian halus. Adela melongok ke bawah. Tidak ada apa-apa.

Lagi, Adela mendongak ke atas. Jantungnya seperti copot saat mendapati sesosok perempuan berdiri kurang lebih tiga meter di hadapannya. Seolah muncul bersamaan dengan angin tadi.

"M ... Mas Azzam!" pekik Adela gemetar. Sepasang kakinya seperti terpaku di bumi. Dan sepasang matanya dipaksa melotot tanpa alih fokus. Untuk menatap sosok yang membelakanginya. Rambutnya panjang tergerai nyaris menyentuh jembatan.

Keringat dingin Adela mulai berlelehan saat terdengar kikikan riang. Menggema. kencang. Dari kejauhan. Seolah dari dasar Kali Arum dhalu.

Tapi Adela tahu pasti bahwa kikikan riang itu berasal dari perempuan misterius di hadapannya. Karena semakin jauh suara itu sejatinya semakin dekat.

"M --- Mas Azzam!!" pekik Adela lagi, susah payah. Nafasnya turun naik tidak teratur karena ketakutan. Ketika sosok itu berbalik, rambut panjangnya yang tergerai itu menurupi separoh wajah. Jemarinya yang seputih kapas dan sangat kurus bergerak perlahan mencengkram pembatas jembatan.

Lalu,
Dengan gerakan amat perlahan mendekati Adela. Gerakannya limbung, rambutnya bergoyang ke kiri ke kanan seperti jalannya orang pincang. Padahal Adela tidak melihat kakinya. Kikikan riangnya semakin menjauh, yang justru menandakan kian mendekat.

Adela membuka mulutnya lebar-lebar berusaha bersuara tapi tidak bisa. Berusaha bergerak tapi tubuhya seperti dijerat tali tak kasat mata.

"A ... A ... Allohu akbaarr!!" pekik Adela susah payah, di susul sebuah lengkingan tawa menggema, memecah kesunyian.

"Kenapa, Dee. Ada apa?" Azzam bertanya panik, mendekati adiknya yang gemetaran menunjuk-nunjuk suatu arah.

Azzam tidak melihat apa-apa. Padahal Adela melihat sosok perempuan itu terjun bebas dari arah jembatan. Ada bunyi air kacau. Seperti habis di hempas benda berat jatuh.

"BYYUUURRR!!"

🍁
🍁

"Ngeeeekk ...!!"

Deritan pintu gerbang tua yang karatan terdengar menyayat. Jeep compass hitam itu tersuruk-suruk memasuki halaman.

Susah payah pak Ramzi berusaha menutup kembali gerbang yang mobat-mabit tertiup angin.

Lagi,
Adela merasa seperti memasuki dimensi lain. Ia pernah ikut mas Azzam pindahan rumah. Tapi tidak menginap. Ternyata rumah ini nyata lebih horor di malam hari.

"Listrik padam, Mas? Gelap gulita gini." bisik Adela, mengusap tengkuknya yang terasa dingin. Sebelum membuka pintu mobil.

Jantungnya nyaris copot saat di hadapannya muncul seraut wajah yang temaram dalam cahaya kekuningan dari lampu semprong yang di bawanya.

"Bu Shindu, kaget aku!" pekik Adela spontan. Perempuan tua dengan sanggul lebar diselipi kembang kanthil itu tersenyum. Membawakan koper Adela.

"Anak-anak sudah tidur, Bu?" Azzam bertanya sambil menutup pintu mobil.

"Sudah, Mas." jawab bu Shindu takzim. Mempersilakan Adela mengikutinya.

Adela menapaki lantai berbentuk papan catur itu dengan bulu-bulu meremang. Ia tatapi ruang tengah besar dengan tungku perapian yang menyala. Menjadi cahaya ruangan dengan interior klasik itu.

Seperangkat sofa berwarna coklat tua dengan karpet motif kulit harimau sebagai alasnya.

Ada LED TV ukuran 32 inci di sana. Yang kanan kirinya dihiasi guci antik dengan bunga segar.
Entah bunga apa tidak begitu jelas, berwarna putih. Mungkin lili.

Adela tatap tangga menuju lantai dua. Tampak mencekam hanya dengan cahaya dari perapian. Dengan aneka lukisan abstak di dindingnya semakin memberi kesan magis. Entah benar entah tidak Adela seperti melihat ada bayangan tangan yang menggapai-gapai dinding.

"Hai, Dee!" sapa Wina saat keluar kamar. Mematahkan ketegangan Adela.

Andai Adela tidak mengenali suara Wina, pasti ia mengira sosok Wina adalah hantu entah dari anta beranta mana. Memakai  gaun tidur panjang warna putih, berkibaran ditiup angin yang meluruk masuk dari kisi-kisi jendela.

Adela menerima peluk cium kakak iparnya. Basa-basi sebentar seputar dari rumah jam berapa, sampai stasiun jam berapa.

Sebelum Adela mengikuti bu Shindu,menuju kamarnya.

"Ngeeekk ...!'

Pintu kupu tarung itu terkuak perlahan. Sebuah kamar yang besar dan temaram. Aroma khas kembang kanthil menyeruak tajam.

Glek!

Adela menelan ludah. Seperti ada asap putih tipis mengepul dari kamarnya. Atau cuma perasaannya?

Deg!!

Jantung Adela berdetak lebih cepat saat matanya terpuruk pada taburan kembang kanthil kuncup di atas seprei putih.

"Silakan masuk, Mbak. Jika butuh apa-apa, bunyikan lonceng saja. Atau panggil saya." ucap bu Shindu dengan senyum ramah, undur diri dengan takzim.

Buru-buru Adela masuk dan menutup pintu. Aneh, mengapa langkah kaki bu Shindu yang menjauh tidak terdengar?

Adela tidak sempat berpikir panjang. Segera ia bereskan taburan kembang kanthil kuncup  di atas ranjang berseprei putih yang bertebaran. Terserak. Menguatkan aura magis yang kian membelukar.

Adela campakkan ke dalam tempat sampah yang dilapisi plastik putih di sudut ruangan.

"Adelaa ..."

Terdengar bisikan lirih dan panjang. Adela menoleh kebelakang. Merasakan ada sisiran angin dingin. Dan gema dari namanya yang di sebut masih tersisa. Siapa? Atau hanya perasaannya saja?

Glek!

Adela menelan ludah, pintu terbuka? bukankah tadi pintu ia tutup?

"Thag! Thag! Thag!"

Keringat dingin Adela mulai menitik. Suara apa itu? Seperti lantai yang di ketuk-ketuk. Hati-hati Adela melongok pintu.

Lorong yang temaram dan sepi. Hampir Adela berbalik saat ...

"Thag! Thag! Thag!"

Sebuah bola bekel mungil menggelinding tak jauh dari kaki Adela. Setelah sempat memantul berkali-kali di lantai.

Milik siapa? Amira? Bermain dengan mainan tradisional? Malam-malam begini? Di lampu mati?

"Tantee ..."

Hampir jantung Adela amblas. Terdengar sebuah suara, lebih mirip bisikan.

"Jenny? Bikin kaget aja!" omel Adela, saat melihat Jenny di hadapannya. Gadis cilik seusia Amira itu tersenyum. Tangan kanannya menyodorkan termos air panas lengkap dengan gelasnya. Tangan kirinya memegang tongkat.

"Isinya wedang jahe. Tante minum ya, di sini dingin." ucap Jenny lagi. Adela mengangguk. Walau ia yakin Jenny tak tahu karena Jenny tak bisa melihat. Cucu bu Shindu itu buta.

"Makasih, Jen. Hati-hati."

Jenny tersenyum. Kembali berjalan menyusuri lorong temaram. Suara ketukan tongkatnya terdengar jelas.

Adela tutup pintu dengan sebelah tangan. Berkerut heran saat melihat bola bekel mungil tadi kembali menggelinding. Menjauhi ruangan Adela. Ah, mungkin tadi tersandung kaki Jenny hingga menggelinding.

Saat pintu tertutup, Adela tidak tahu bahwa bola bekel itu memantul-mantul di lantai. Seolah ada yang  memainkannya.

🍁
🍁

"Emang kamu yakin Adela betah di sini, Zam?" Wina bertanya saat suaminya masuk kamar. Azzam menyulut rokoknya yang mati, baru menjawab.

"Betah gak betah, Win. Sama seperti kamu. Mending di sini dari pada di rumah mama."

"Karena Mama lebih menyeramkan dari hantu," ucap Wina dengan tawa. Azzam hanya tersenyum. Wina memang bukan menantu idaman mama. Nasib Azzam sama seperti Adela, akan di jodohkan. Tapi Azzam menolak dan memilih Wina.

Resikonya, saat serumah dengan mama konflik terus terjadi. Ada saja yang tidak beres di mata mama. Apa lagi Azzam kerja di kota ini, jarang pulang.

Puncaknya Azzam melihat sendiri perlakuan mama pada Wina. Dan Azzam boyong keluarganya ke tempat ini.

Hanya mas Arfan yang menurut dan menikahi mbak Sindy hingga kini. Dan hanya mas Arfan yang bekerja dengan papa. Azzam lebih suka berdiri sendiri. Meski hanya bertani. Tapi ia cukup mumpuni, terbukti mampu membeli rumah dan mobil. Dari jerih payah sendiri.

Sirine di kejauhan sana meraung-raung. Timbul tenggelam terbawa angin. Entah patroli polisi atau ambulace.

Sudah sangat terbiasa di tempat ini. Jadi mereka tak ambil pusing.

"Kapan kamu berhenti merokok, Zam ... Zam, udara di sini bersih, Sayang kalau kamu kotori jadi polusi," ucap Wina, beranjak ke tempat tidur. Azzam terkekeh.

"Kan aku udah bilang, kalau Zaheen punya adik lagi."

Wina menghantam suaminya dengan guling. Azzam cuma tertawa. Mematikan rokoknya.

"Tambah anak tambah biaya, Zam," ucap Wina saat Azzam sudah rebah di sisinya. Azzam menatap langit-langit. Lampu utama kamar yang selalu mati meski berkali di ganti. Ada warna hitam di sekitar tempat bola lampunya. Entah karena rembesan air atau karena apa.Rumah yang aneh. Tapi Azzam tak peduli. Yang penting ia punya tempat yang layak untuk bernaung.

"Kenapa bu Shindu tidak mau kita bayar ya, Zam? Apa karena seperti katamu? Karena butuh tempat tinggal dan makan?"

Tiba-tiba Wina bertanya. Bu Shindu sudah melayani Azzam sebelum Wina di boyong ke rumah ini.

"Tapi tiap bulan aku transfer gaji beliau, aku tidak mau dhzolim. Tentang sekolah Jenny, aku niatkan sebagai amal," jawab Azzam mantap dan yakin. Masih tak bisa hilang dari ingatannya saat mendapati bu Shindu dan Jenny yang basah kuyup kehujanan.

"Ibun kenapa ibu di sini? Mari masuk rumah saya, Bu."

Ajak Azzam saat itu. Ia baru pulang kerja dan mengendarahi motornya. Ia melihat bu Shindu menggigil kedinginan sanbil memeluk Jenny. Tidak membawa apa-apa, hanya sebuah tas plastik hitam entah berisi apa.

Hati Azzam tersayat saat mengetahui Jenny yang ternyata buta. Tangan kurus dan putihnya gemetaran saat meraba-raba.

"Ma..maaf, Pak. Cucu saya buta." ucap bu Shindu saat itu. Azzam langsung teringat Amira putrinya. Dengan segera ia menggendongnya masuk rumah. Diikuti bu Shindu.

Entah apa yang membuat perempuan tua dan bocah kecil itu harus terlunta-lunta di tengah malam di tengah hujan badai.

Azzam menampung mereka, hingga kini. Tanpa bertanya masa lalu mereka. Ia hanya menolong tanpa pandang bulu. Tanpa pamrih.

Malam semakin tua, di luar sana timbul tenggelam suara gamelan terdengar. Sayup-sayup. Bersama angin. Sarat akan aura magis. Sudah biasa bagi mereka.

Wina merebahkan kepalanya di dada Azzam. Berusaha terpejam. Aroma kembang kanthil semerbak harum. Mewangi memenuhi tiap inci ruangan ini. Wina berusaha tak peduli. Saat lagi, ia dengar seperti ada yang menyayat-nyayat permukaan jendela kaca kamarnya. Dan suara napas panjang. Seolah tak putus-putus.

"Khaaaaaaahh ...!!"

Wina mengeratkan dekapan. Azzam merapatkan selimut hingga sebatas leher. Mengira istrinya itu kediginan. Ia rengkuh lebih erat.

Wina tak pernah lagi curhat aneh-aneh. Karena Azzam tak pernah percaya. Dari pada ribut. Wina pendam saja. Toh keluarganya baik-baik saja.

"Khaaaaaahh ...!!"

Lagi,
Suara napas panjang. Seolah tak putus-putus. Seperti tepat di kuping Wina. Wina lafalkan apa saja yang ia bisa. Meski seperti biasa, ada suara lain yang menirukan bacaannya. Lirih dan serak suara lain itu. Lebih mirip sebuah bisikan yang menggema. Menirukan apa yang Wina baca.

"Zaam ..!!" cekat Wina, mengeratkan dekapan.

"Kamu tidak dengar apa-apa?" bisik Wina penasaran. Azzam hanya berguman, mengeratkan dekapan.

"Itu suara bu Shindu yang menidurkan Jenny." jawab Azzam malas, Wina menelan ludah. Sayup-sayup terdegar lagu nina bobo. Timbul tenggelam. Di bawa angin.

Nina bobo'
Oh nina bobo'
Kalau tidak bobo'
Di gigit nyamuk

Nina bobo'oh nina bobo'
Hari sudah malam

🍁
🍁

Suara air jatuh dari kran terdengar jelas saat Adela mengambil air wudhu untuk menunaikan sholat isya'.

Entah mengapa bulu-bulu halus di tangan Adela meremang. Mungkin karena hawa dingin.

Suasana kamar mandi temaram hanya dengan cahaya dari lampu semprong dari kamar.

Lagi,
Adela mencium semerbak kembang kanthil. Di antara lagu Nina bobo'. Timbul tenggelam. Turun naik.

Adela jadi ingat kisah lagu itu. Berasal dari noni-noni cilik Belanda bernama Nina.

Yang setelah kesurupan ia minta dinyanyikan lagu tidur oleh ibunya karena ia mengantuk.

Dan diiringi lagu Nina bobo'Nina tidur selamanya dan tak pernah bangun lagi.

"Hem!!"

Adela berdehem saat sudah di kamar dan menggelar sajadahnya.

"Ngeekk!"

Entah pintunya yang rusak atau bagaimana. Tiap kali Adela tutup selalu terbuka lagi. Kini hanya terkuak sedikit.

Adela coba abai, ia memakai mukenahnya. Mulai menunaikan kewajibannya. Seiring dengan pintu yang terkuak lebih lebar, bersama angin dingin yang meluruk masuk.

Allohu akbar

Allohu Akbar

Deg!!

Jantung Adela seperti copot.Ada yang menirukannya? Adela berusaha tak peduli. Meski dadanya berdegup kencang tidak karuan.

Entah benar atau hanya perasaannya saja. Seperti ada makmum yang terus mengikutinya.

Sami'allohu liman hamida

Sami'allohu liman hamida

Lagi,
Ditirukan. Lirih. Seperti sebuah bisikan. Menggema. Ini pasti ulah jin khanzab yang mengganggunya. Jin yang memang khusus mengganggu orang sholat.

Assalamu'alaikum warohmatulloh.

Assalamu'akaikum warohmatulloh.

Ada yang menirukan lagi. Keringat dingin Adela menetes satu-satu. Lihat ke belakang tidak ya? Lihat? Tidak?

Dengan cepat Adela menoleh ke belakang. Kosong. Adela mengelus dadanya sendiri dengan tahmid berkali-kali.

"Tante ..!"

Astaqfirlloh!!
Adela menoleh kaget. Saat tiba-tiba saja Jenny muncul dengan menyodorkan rantang stenlees steel isi tiga.

"Makan malam."

Adela terima dengan ucapan terimakasih. Berdiri mengambil rantang, masih bermukenah. Mungkin bu Shindu tahu ia malas untuk ke ruang makan. Lagian siapa juga mikir makanan di tengah lampu mati dengan rumah seram begini. Mungkin di taruh rantang agar Jenny gampang membawanya.

"Thag! Thag! Thag!"

Adela menoleh kaget ke arah lorong. Suara tongkat Jenny?

DEGG!!

BENAR-BENAR jantungan Adela. Matanya melotot hebat, nyaris keluar. Mulutnya menganga. Di lorong yang temaram tampak Jenny berjalan dengan tongkatnya. Memakai baju tidur panjang polkadot.

Dan di hadapannya, berdiri Jenny yang sama. Dengan rambut panjang tergerai, dengan poni menutupi dahi. Memakai baju tidur polkadot. Berkali-kali ia tatap ganti-ganti. Tidak berubah. Dua-duanya tetap ada.

Adela mundur dengan teratur. Menggeleng-geleng dengan raut kisruh. Histeris memanggil Azzam.

"Mas Azzaaamm ..!!"

🍁
🍁

Tbc

🍁

(KAMIS,  29 JULI 2021)

Continue Reading

You'll Also Like

4.1K 726 18
Seri Cerita SETAN Bagian 2 Waktu libur kali itu tidak terisi dengan kegiatan bersantai bagi Karel dan seluruh anggota timnya. Mereka mendapatkan peke...
35.5K 222 9
(FIKSI) Flora,seorang Mahasiswi bertubuh molek penasaran dengan kamar Sebelah di tempat Kos-an ny.Ada misteri yg menunggu...
46.5K 4.7K 39
¡! BACA DESKRIPSI TERLEBIH DAHULU!¡ Berhati-hatilah kalian. Jika belum pulang ketika jam menunjukkan pukul lima sore. Maka kalian akan hilang. Mencer...
6.9K 400 18
tentang desa tempat mereka melakukan KKN