Everyone is special for their own live
Believe that you can find a way
***
"Kenapa hm?" Tanyaku pada perempuan dua puluh tahun ini.
Rania menghembuskan napas lelah. Sembari mengelap sisa-sisa air mata di pipinya, sosoknya berusaha tenang dengan kembali menarik napas secara perlahan. "Gue bakal cerita, tapi ini kayaknya bakal jadi deep talk Mbak." Jelasnya setelah berhasil meredam tangisnya.
Aku mengangguk mengerti. Lalu menarik kedua tangannya untuk aku satukan dengan tanganku, dengan tujuan mengalirkan rasa tenang pada jiwanya yang sedang terguncang.
"Dimas selingkuh, Mbak!" Bohong jika aku tidak merasa kaget. Bola mataku mungkin sudah hampir keluar hanya dengan satu kalimat pembuka darinya barusan.
Meski dirundung rasa penasaran, aku mencoba tenang dan tak memotong penjelasan Rania yang bahkan belum dimulai ini.
"Gue nggak tau semenjak kapan Dimas berubah jadi lebih cuek ketimbang dari biasanya. Mulai jarang kasih kabar, chat nggak dibales, dan bahkan belakangan ini story-nya di kecualiin ke gue."
Aku menepuk-nepuk telapak tangannya untuk menguatkan.
"Bodohnya Mbak, gue nggak naro curiga sama sekali sama dia." Lanjutnya dengan nada frustasi.
"Pas awal-awal emang agak khawatir, tapi gue terus denial karena terlalu takut kalau ternyata asumsi-asumsi di kepala gue semuanya jadi kenyataan."
Aku menarik selembar tisu dari dalam kotak di meja depan kami, lalu mengangsurkannya kepada perempuan yang kembali meneteskan air matanya itu. "Setelah jalan dua bulan, gue mulai mikir Mbak. Gue harus selesaikan masalah ini biar nggak berlarut-larut. Gue nggak bisa terus denial karena nyatanya cuman bikin gue makin sakit pada akhirnya." Kulihat Raina kembali menarik nafas dalam untuk menghilangkan sesak dalam dadanya.
"Dan akhirnya, tadi siang gue beraniin untuk datang ke kosannya buat minta penjelasan. And guess Mbak, gue justru dapat kejutan nggak terduga yang nggak pernah gue kira sebelumnya."
"Dimas lagi berduaan sama Cinta. Dan mereka... . " Rania sudah menangis sesenggukan kembali.
Aku menarik tubuhnya untuk kupeluk. Lalu menepuk-nepuk bahunya untuk menenangkan. "Dan mereka Mbak... mereka ciuman tepat di depan gue." Lanjutnya dengan susah payah.
Sakit. Satu kata yang pasti kini dirasakan oleh Rania. Dikhianati oleh pacar dan sahabatnya di depan matanya sendiri.
Meski aku pribadi tidak mengenal Dimas, tapi dari perjumpaan-perjumpaan ku dengannya saat menjemput Rania di kontrakan, aku tidak menduga sama sekali jika lelaki sepertinya mampu untuk mengkhianati seorang Rania.
Bukan, bukannya mengejek apa gimana. Tapi dari tampangnya yang bisa di bilang biasa, menurutku dia sungguh-sungguh beruntung karena mendapatkan pasangan secantik, sebaik dan sepintar Rania. Tapi yang namanya manusia, memang pada dasarnya cenderung terus merasa kurang dan tidak menghargai apa yang sudah dimiliki. Dan semoga, dirinya tidak akan menyesal karena telah menyia-nyiakan Rania yang notabene very potential. Rania si istriable, sebutan sederhana yang penghuni kontrakan ini sematkan padanya.
"Udah?" Tanyaku setelah kami melepaskan pelukan dan aku membiarkannya sebentar.
Meski bersepupu dengan Fayka, entah kenapa justru aku yang lebih dekat dengannya. Dia sudah seperti adikku sendiri, sehingga tidak jarang kami saling berbagi perasaan yang sedang dirasakan.
Rania mengangguk, dan sebagai seorang kakak aku akan mencoba berbagi perspektif ku dalam melihat masalah yang sedang dihadapinya.
"First of all gue mau tanya dulu. Lo kemaren langsung samperin mereka?"
Rania menggeleng.
"Terus lo langsung balik gitu?"
"Iya, Mbak." Jawabnya yang membuatku membuang nafas.
"Berarti mereka berdua belum tau kalo lo udah tau hubungan affair ini?"
Raina mengangguk. "Iya Mbak. Bahkan si Cinta masih ngajakin gue hang out entar sore."
Aku lagi-lagi kaget, tentu saja. Ingin mengumpat dengan keras mengingat betapa tidak tahu malunya perempuan itu. Bermain dengan pasangan sahabatnya sendiri tanpa merasa bersalah sama sekali. Hebat!
"Terus lo iya in?"
"Belum gue buka Mbak wa nya. Masih gue diemin."
Aku mengangguk-angguk paham. "Iyain aja Ran. Kalian perlu ngobrol berdua, face to face buat nyelesain masalah."
"Tapi kalo lo belum siap, nggak papa lo tolak dulu buat sekarang-sekarang ini." Lanjutku kemudian.
"Iya Mbak." Jawabnya sambil menerima satu gelas air putih yang aku sodorkan.
"Sekarang gue tanya serius ya. Lo masih cinta nggak sama Dimas?" Rania hanya terdiam. Bahkan untuk beberapa saat setelahnya.
Lalu tanpa menunggu jawaban darinya aku justru memilih melemparkan pertanyaan lain untuk di jawabnya. "Lo masih mau temenan sama Cinta?"
Dan kali ini pertanyaanku dibalasnya dengan cepat. Raina menggeleng tanpa ragu. "Enggak, Mbak!"
Aku menakutkan alis mendengar pernyataannya. "Kenapa?"
"Dia tahu seberapa cinta gue sama Dimas, gimana perjuangan gue buat selalu mencoba bertahan sama Dimas, dan bahkan dia tau semua yang gue rasain selama dua bulan terakhir ini."
"So?" Pancing ku untuk membuat Raina mengeluarkan semua unek-uneknya.
"Nggak ada sahabat yang ngerebut pasangan sahabatnya setelah tau seberapa besar perjuangan yang sudah dilakukannya." Jelasnya menggebu-gebu
Aku hanya tersenyum dan kembali menepuk-nepuk telapak tangannya. "Terus kalo cowok yang berani main sama sahabat pacarnya masih pantes dipertahanin?"
Raina kembali terdiam.
"Tapi gue sayang banget sama Dimas, Mbak."
"Meski dia tukang selingkuh?"
Raina mengatupkan bibirnya setelah mendengar pertanyaan yang ku lontarkan barusan.
"Bisa aja kan Mbak kalo Dimas cuma lagi khilaf." Balasnya dengan pernyataan yang sarat akan keraguan.
Aku ingin tertawa dan mengumpat, bucin yang bikin goblok nih! - Tentunya umpatan itu tetap aku layangkan tetapi di dalam hati.
"Jadi menurut lo Dimas nggak ada salah di persoalan ini?"
"Bukan gitu, Mbak... "
"Jadi Dimas salah?" Aku berusaha menekan Raina agar pikirannya terbuka.
Aku menarik nafas panjang. "Gini ya Ran. Menurut Mbak ya, lo mending putus sama Dimas. Mau bagaimana lo berpikiran kalo Dimas nggak salah, faktanya sebuah hubungan itu dijalani oleh dua orang. Dan sekali seseorang udah berkhianat, nggak menutup kemungkinan jika hal yang sama bisa terulang di masa depan!"
"Tapi tiap orang berhak dapet kesempatan kedua, Mbak."
"Jadi lo juga mau maafin Cinta?"
Raina menggeleng lesu. "Kalo gitu lo jahat Rai. Kalo lo bilang semua orang berhak punya kesempatan kedua, maka Dimas dan Cinta juga punya kesempatan yang sama dong?"
"Mbak cuma mau ngingetin, ati-ati kalo ambil keputusan biar nggak menyesal nantinya."
"Lo cukup memaafkan perbuatan mereka berdua biar hati lo tentram karena nggak nyimpen dendam. Tapi buat ngasih kesempatan kedua, bukan berarti semuanya bakal balik kaya semula ya..."
"Kalo lo tetep maksain lanjut, gue khawatir nggak ada lagi trust diantara kalian. Sedang kita tau sendiri, kalo misal pondasi sebuah hubungan ya kepercayaan. Makannya gue takut aja kalo sebenarnya keputusan yang lo ambil sebenarnya cuma menunda perpisahan aja."
"Jadi Mbak saranin, lo nenangin diri dulu deh. Jangan ngambil keputusan pas lagi kacau gini, biar enggak nyesel nantinya. Entar kalo udah tenang dan lo merasa udah bisa berpikir jernih, sok aja ambil keputusan."
"Mbak bakal selalu dukung keputusan yang lo ambil. Semangat!" Ucapku sembari menepuk bahunya, dan berpamitan keluar karena harus segera pergi ke kampus.
***
"Jadi gimana?" tanya Rio yang duduk tepat di sebelahku.
Gimana ya? Mau nolak nggak enak. Mau bilang bisa, gue takut salah. Masalahnya terakhir gue dikasih amanah gini gue malah lupa dan berakhir dengan membuat kedua orang salah paham. Lalu harus ku jawab apa?
"InsyaAllah bisa," Kontan mulutku malah memilih mengiyakan. Antara gengsi yang ketinggian, atau pure karena merasa kasihan padanya.
Kenapa juga aku mulai pake bawa nama Tuhan segala? Aku mendadak jadi alim express setelah ketemu mahluk adam yang subhanallah ini.
"Sip! Lo tinggal duduk anteng aja di samping gue. Entar semua urusan biar gue yang tangani." Ucap ketua kelasku ini dengan percaya diri.
Aku mendengus, namun pada akhirnya mau tidak mau tetap mengikutinya menuju ke ruang rapat untuk menemaninya sebagai perwakilan rapat angkatan 19.
Jurusanku memang akan mengadakan event tahunan berupa kompetisi olahraga antar angkatan. Dan karena rapat yang dadakan, anak kelas sudah pada bubar sehingga Rio terpaksa merekrut ku untuk menemaninya rapat.
Namun sebelum mencapai tempat rapat, Rio tiba-tiba berhenti yang membuatku hampir menabrak punggung tegaknya.
"Anjir! Ngapa berenti tiba-tiba, Yo? Sengaja ya biar gue tabrak?" Tanyaku pada teman sedari masa abu-abuku.
"Sembarangan. Pede amat teh." Jawabnya sembari berbalik dan menjitak keningku.
"Sakit bego!" Umpatku atas kelakuannya.
Rio hanya mencibirku dengan berkomat kamit tidak jelas. Lalu menarikku untuk berbelok, sembari mengatakan bahwa dia belum shalat sehingga mengajakku ke mushola fakultas.
Akhirnya aku iyakan ajakannya. Aku juga seolah tersadarkan bahwa aku juga belum shalat ashar. Gini-gini aku tipe orang yang tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu, ya meski tidak on time juga. Zuhur jam dua, ashar jam lima, maghrib bisa sekalian isya, dan shubuh yang kadangkala mepet waktu dhuha. Astaghfirullah