Little Promise ( AS 3 )

By Salwaliya

6.3M 1.1M 1M

Di mana ada Nathan, di situ ada Zia. Nathan tidak bisa melepas Zia, itulah masalahnya. Berada di samping cewe... More

Prolog ⛅️
1 🌥
2⛅️
3.⛅️
4.🌥
5⛅️
6⛅️
7⛅️
8⛅️
9🌥
10🌥
11 ⛅️
12⛅️
13⛅️
14🌥
15🌥
16🌥
17🌥
18🌥
19🌥
20🌥
21🌥
22🌥
Let's date?
23🌥
24🌥
25🌥
26🌥
27🌥
28🌥
29⛅️
30🌥
31🌥
32⛅️
33🌥
34⛅️
35🌥
36🌥
37⛅️
38🌥
39🌥
40🌥
41⛅️
42⛅️
43⛅️
44🌥
45
46⛅️
47🌥
48🌥
49🌥
50🌥
51🌥
52 🌥
53⛅️
54🌥
55🌥
56🌥
57🌥
58🌥
58🌥
60🌥
61⛅️
62⛅️
63🌥
64🌥
65🌥
SEASON 2
1 (2) ⛅️
2 (2)
3 (2) 🌥
4 (2) 🌥
5 (2)
6 (2) 🌥
7🌥
9⛅️
10🌥
11🌥
12🌥
13🌥
14🌥
15⛅️
16🌥
THE END
ANAK ZIA NATHAN
212 Days
ALEGA SERIES 10 BESOK!

8🌥

70.7K 13.8K 10.1K
By Salwaliya

8. Fighting











Zia masuk ke dalam kamar, melepas semua pakaiannya hingga tersisa tanktop saja. Malas ke kamar mandi untuk cuci muka karena terlalu lelah. Ia memutuskan langsung naik ke kasur, membaringkan tubuhnya di sana. Melepas sejenak penat yang melanda.

Ia tadinya melamun, kemudian tertawa sendiri. "Anjir, lucu banget idup gue."

"Yang laen udah pada nikah, punya anak, lah gue 6 tahun kayak orang bego mikirin masa lalu yang udah punya masa depan."

Zia kemudian duduk, memutar bola matanya karena mengingat wajah Bima. "Puas lo Bim ngerusak kisah cinta gue? Hah? Om om gila, nggak tau diri, kurang ajar!" serunya sambil memukul bantal berulang kali.

"Dikira demen apa ngedrama kayak gini? Hah? Pura-pura selingkuh lah, alay tau nggak najis jijik geli!" teriaknya sambil meremas guling di depannya.

"Pengen kayak orang normal gue tuh, nggak ada berkorban korban kayak gini. Nggak ada bisnis-bisnis tai yang ngerugiin papah!!"

Zia kembang kempis, berdiri dari kasur dan menginjak guling di kasur. Membayangkan wajah orang yang terus mengancamnya bertahun-tahun. "Lo kira gue mau pasrah? Lo kira gue sebaik itu mau relaiin cowok gue?! Hah? Gue bucin banget anjir dulu!"

"Kalo lo nggak ngancem kita masih bisa pacaran! Nathan nggak bakal benci sama gue, nggak bakal pisah, nggak bakal punya pacar baru! Kita bisa nikah kayak bunda sama Luna!"

Zia terus mengeluarkan unek-uneknya, toh tidak ada yang bisa mendengar. Tapi karena lelah dia jadi diam, menutup kedua matanya dengan lengan. Detik berikurnya menangis dengan kencang sampai bahunya bergetar. "Capek tau nggak... sakit dada gue kayak dipukul-pukul."

Zia duduk lagi di kasur, mengambil guling dan menutup wajahnya. "Gue nggak rela, semua nggak adil buat gue yang udah berkorban sampe kayak gini...."

Seperti malam-malam sebelumnya, dia akan menangis sendirian.




Lalu tersenyum seolah tidak punya masalah di pagi hari.



"Sarapan, Zi." Papah datang meletakkan pancake dengan semangkuk madu kecil. "Papah nyoba buat nggak tau enak apa enggak." katanya sambil cengengesan.

Zia yang sedang bermain hp melirik, lalu tersenyum. "Nggak mungkin nggak enak," ucapnya sambil menaruh hp di meja. Lalu menarik piring pancakenya.

Ia menoleh pada papahnya yang masuk ke dapur lagi, lalu muncul Bintang dan Bulan yang menganggu papah di dapur. Membuat matanya tiba-tiba berair, ia menunduk dengan perasaan terharu. Mengunyah pancakenya begitu lambat. Menahan tangis saat makan benar-benar menyesakkan.


Kadang Zia jahat menyesal telah melepas Nathan, tapi di saat bersamaan dia bersyukur berhasil menyelamatkan papahnya dan melihat keharmonisan hari ini.

Kayak, tolong lah, kasih hal yang setimpal dari pengorbanannya... siapa sih yang betah disakitin terus?

"Pah?"

Pintu rumah terbuka, mereka semua langsung melihat ke sana termasuk Zia. Cewek itu langsung tersedak, menghapus air matanya dan cepat-cepat mengunyah makan. Nathan melirik cewek itu sesaat, lalu masuk dan meletakkan box cake di meja.

"Eh, Nath!" Papah tersenyum sangat lebar, senang sekali kedatangan sang putra. "Tumbenan pagi, sini ikut sarapan!"

"Bang," Bintang langsung menghampiri Nathan, memeluknya dengan erat.

Nathan terkekeh. "Lo kemana aja baru nongol? Lupa sama gue??"

Bintang tertawa sambil mengusap hidungnya. "Agak sibuk," jawabnya membuat Bulan mencibir di sampingnya.

"Sarapan Nath, papah buat pancake." tawar papah.

"Bang, kata papah abang beli mobil baru ya? Boleh Bintang pinjem??"

"Boleh ya bang??" tanya Bulan.

"Heh heh," Papah melotot. "Baru bocah udah mau bawa mobil mahal."

"Pinjem aja," Nathan tertawa kecil sambil memberikan kunci mobilnya. Menarik kursi dan duduk dengan tenang. Bintang dan Bulan langsung ber tos ria, mereka berdua segera pergi sebelum papah mengomel.

"Nath, adekmu masih bocah udah diijinin kayak gitu. Mobil rusak papah nggak mau nanggung ya,"

"Tinggal beli lagi." balas Nathan.

"Dih," Arion tertawa. "Sombong bener lu."

Zia sudah selesai menghabiskan pancakenya, dengan tau diri ia lebih baik pergi. "Pah, Zia berangkat," pamitnya sambil berdiri.


Namun tiba-tiba sebuah tangan mencekalnya dari bawah meja membuat ia tersentak, menoleh pada Nathan yang sedang makan dengan tenang. Apa lagi mau pria ini?



"Bukan libur ya hari ini?" tanya papah belum menyadari keterkejutan Zia.

"Ha?" Zia menarik tangannya berusaha lepas dari cekalan Nathan, tapi cowok itu tak mau. "Mau ke rumah Gina sih ngurus proposal." jawabnya terus menatap tangan mereka.

"Itu belum diabisin," ucap Nathan dengan santai menarik Zia lagi sampai cewek itu terduduk. Zia langsung mendelik dan menatap Nathan seolah bertanya ada apa dengan cowok itu.

Papah menatap keduanya, lalu mengulum senyum dan beranjak. "Papah mau ke kamar dulu, ambil kunci mobil." ucapnya sebelum pergi dari meja makan.

Zia memandang kepergian papah, lalu menoleh pada Nathan. "Lepas nggak?"

Nathan dengan santai melepas cekalannya, masih fokus makan dengan santai seolah tidak terjadi apa-apa. Zia jadi memicing kesal. "Kenapa lo nahan gue?" tanyanya.

"Biar papah percaya kita udah baikan," jawab Nathan.

"Kenapa harus gitu??"

"Kenapa nggak bisa gitu?" balas Nathan lagi, kini menatap lurus Zia.

"Papah juga paham kenapa kita nggak bisa baikan."

"Gue nggak tega liatnya," jawab Nathan langsung membungkam Zia. Setelah selesai makan ia mengusap bibirnya dengan tisu. Lalu menoleh pada Zia yang masih duduk. "Kenapa masih di sini?"

Zia jadi terdiam, lalu berdeham dan segera pergi. "Serah lah, rumah rumah gue." jawabnya segera pergi. Namun kembali lagi untuk mengambil hpnya di meja, membuat Nathan melirik.

"Nggak usah salah paham." ucap pria itu.

"Sok tau." ketus Zia segera pergi. Mencoba menguasai diri dari jantung yang berdegup tidak normal.




🌥🌥🌥🌥🌥🌥




"Jadi untuk spanduk jalan akan disebar di beberapa tempat strategis yang kita saranin, semua tempat sudah ada di proposal yang sata tulis. Untuk setuju atau tidaknya, akan dibahas sekalian di rapat hari ini. Terima kasih."

Zia duduk setelah berhasil bicara dengan lancar, ia kemudian menarik sudut bibirnya ketika Verga mengacungkan jempol ke arahnya.

"Keren," bisik pria itu.

"Thanks." balas Zia pelan.

"Saya mulai sekarang aja," Nathan bicara dari kursi paling depan. Ia menerima proposal yang dibuat oleh Zia, membuka lembarnya sesaat untuk memeriksa. "Jadi yang berpatisipasi untuk bisnis ini ada dua perusahaan."

Nathan mulai banyak bicara dan menjelaskan secara detail mengenai kerja sama mereka. Karena perusahaan Nathan terbilang baru jadi mereka butuh promosi besar untuk produk agar tersebar luaskan.

"Semua design untuk spanduk sudah kami atur," balas Virgo. "Berarti dari pihak kami hanya perlu konfirmasi tempat pemasangan dan design saja."

"Untuk biaya dan yang lain berarti sudah deal." balas Zia dibalas anggukan oleh semua yang ada di dalam ruangan. Cewek itu berusaha bersikap profesional meski berada satu ruangan dengan Nathan sedikit menyulitkannya.

"Baik, saya akhiri." Begitu Nathan berdiri semua langsung mengikuti. Ia saling berjabat tangan dengan Verga dan tim lainnya sebagai bentuk terima kasih.

Sementara Zia yang sedang merapikan kertas mengangkat kepala saat Gibran mendatanginya. "Congrats."

Zia tersenyum lebar, menyenggol lengan Gibran. "Siapa sangka kita kerja sama gini."

Gibran mendengus geli. "Kalo ada waktu ikut makan malem, Luna ulang tahun."

"Yakali gue nggak ikut," balas Zia sambil mendelik. "Udah siapin kado nih."

"Sip, ditunggu." Gibran menepuk bahunya sebelum beranjak bersama sekertarisnya. Zia ikutan keluar, berpapasan dengan Nathan yang sedang mengobrol bersama rekan kerjanya.

"Baik saya kabari nanti," Nathan mengangguk. Melirik Zia yang hendak pergi. "Makasih atas kerja samanya, saya pamit." rekan tadi saling bersalaman dengannya sebelum pergi dari sana. Nathan balas dengan anggukan.

Ia kemudian melangkah menghampiri Zia yang sedang berjalan menuju lift. Cewek itu sempat menatapnya saat ia melangkah maju untuk menekan tombol lift. "Baca chat dari papah."

Zia menautkan alisnya. "Apaan?"

Nathan berdiri tegap tanpa menatap cewek itu, ia kemudian memeriksa jam tangannya. Jika papah tidah memaksanya untuk mengantar Zia pulang harusnya hari ini dia datang ke acara makan malam bersama rekan kerja.

Zia menatap Nathan sesaat sebelum merogoh tasnya untuk membuka hp. Agak menyerngit membaca pesan papah, wanita itu spontan berdecak.


Papah : baru tau kamu kerja sama sama kantornya nathan hari ini

Papah : pulang bareng ya jangan naik taxi

Papah : kalo naik ojek lagi mobil kamu papah sita

"Papah mulai deh," decaknya secara spontan. Nathan meliriknya. "Biasanya gimana juga."

"Gue ada urusan," ucap Nathan membuat Zia menoleh padanya. "Turutin aja biar kelar."

"Nggak usah nggak papa, gue bisa naik taxi." tolak Zia tak ingin menambah masalah. Dia yakin papah hanya mengancamnya saja karea tau tujuan pria itu semenjak kedatangan Nathan.

"Terserah," Nathan menaikan bahunya, tak berniat memaksa. Jika nanti papah marah pun pasti cewek itu yang menanggung.

Pintu lift terbuka.

Nathan berjalan duluan untuk keluar, lalu diikuti Zia di belakangnya. Namun bersamaan dengan itu Nathan memundurkan langkahnya membuat Zia ikutan mundur. Cewek itu memiringkan wajahnya karena terhalangi oleh tubuh tinggi Nathan.

"Kenapa?"

"Hujan."

Zia melengos panjang, mengangkat kepala untuk melihat langit. Sebenarnya bukan masalah besar. Ia kemudian menunduk untuk meraih hpnya, berniat memesan ojek. Tapi layar hpnya mati membuat wanita itu mengumpat dalam hati.

Ia menoleh pada Nathan yang sedang menelfon seseorang. "Bilang papah kita pulang bareng." katanya sebelum melangkah untuk menerobos hujan.

Nathan memandang kepergian Zia, entah mau kemana cewek itu karena hujan deras dan tidak ada taxi yang bisa dipesan. Tapi sadar sudah tak ada gunanya memperdulikan Zia, ia memilih masuk ke mobil yang baru saja datang untuk menjemputnya.

"Bos," Sekretaris Nathan keluar dan membukakan payung.

"Saya mau pulang, kamu pesen taxi." ucap Nathan.

"Baik, Bos." jawabnya sambil menyerahkan kunci mobil. Usai menerimanya Nathan segera berlari kecil masuk ke dalam.


🌥🌥🌥🌥🌥🌥




"Sial," seru Zia sambil mengibas-ibaskan roknya yang basah. Wanita itu sudah berteduh di halte bis yang jaraknya sudah ia prediksi tidak terlalu jauh. Ia duduk, merogoh tas untuk mengambil tisu. Lalu mengusap wajahnya yang basah, bahkah besar kemungkinan make upnya luntur.

"Ini juga pada nggak bisa dihubungin," decak Zia yang sedari tadi berusaha menghubungi nomor teman-teman.

"Belum pulang ya, Mba?"

Zia terlonjak kaget saat ada mas-mas berjenggot tebal dengan jaket tebal dan kupluk duduk di sampingnya. Zia agak bergeser sedikit dan memandang objek lain. Meski panik tiba-tiba menyerang, sekaligus menyadari sudah sepuluh menit tidak ada bis yang muncul.

"Malem gini di Jakarta minim bis, saya tuh biasanya kalo pulang kerja sore masih rame bis." ucap mas tersebut sambil tertawa. "Mba nya rumah daerah mana emang?"

"Mau ke rumah temen," balas Zia sambil tersenyum paksa.

"Ohh, rumahnya mana? Temennya,"

"Itu... lupa nama jalannya sih," Zia pura-pura menunduk dan meraih hpnya. Ia pun berdiri. "Halo? Eh iya nih gue udah nunggu di halte bis, lo di mana?"

Zia menggigit bawah bibirnya, agak menoleh pada mas tadi yang masih memperhatikannya sambil tersenyum. "Iya nih lo mau nyampe ya?? Iya, gue tunggu deh ujan soalnya, Nath. Iya iya, heem."

"Mba?"

Zia menoleh dengan wajah kaget. "Ya??"

Mas tadi berdiri sambil mengusap perutnya. "Kaget gitu responnya, takut sama saya ya??"

"Ha?" Zia mengerjap dan melangkah mundur. Ia segera membuang muka karena takut melihat ekspresi misterius itu.

"Kalo masih lama saya anter aja mau?"

Tin!!

Mereka berdua menoleh, Zia menyerngit melihat cahaya mobil yang menyorot ke wajahnya dan mas tadi. Sejurus kemudian pintu mobil terbuka, muncul sosok Nathan yang berjalan dengan tenang menghampirinya.

"Nunggu lama?" Nathan melepas kaca mata hitamnya. Zia langsung berdiri di samping pria itu, tak mau bertanya-tanya dulu kenapa Nathan mau menolongnya.

Nathan melirik mas-mas tadi yang tampak terbungkam, lantas menoleh pada Zia dan mengisyaratkan untuk masuk mobil. Jadi dia menurutinya dan berlari kecil untuk masuk ke dalam.

Zia tidak tau apa yang sedang Nathan bicarakan dengan mas-mas tadi sampai orangnya langsung pergi. Zia memilih menyibukan diri bermain hp ketika Nathan membuka pintu mobil.

"Orangnya udah pergi." ucap Nathan sambil menutup pintu mobil.

"Oke, thanks." Zia segera membuka pintu mobil untuk keluar.

"Mau kemana?" tahan Nathan.

Zia menoleh, lalu mengerjap. "Keluar...•

Nathan memandang Zia sebentar, lalu segera menyalakan mesin mobilnya membuat Zia refleks menutup pintu. "Gue anter."

"Lah nggak usah."

"Biar digodaiin orang lagi?" tanyanya sarkas.

Zia mengatupkan bibirnya, lalu memandang jalanan ketika mobil Nathan sudah berangkat. Ia sesekali curi pandang ke arah Nathan yang sedang fokus menyetir.

"Gue kira lo nggak sudi nolong gue," ucap Zia.

"Kalo cewek lain yang di posisi lo, tetep gue tolong." balas Nathan.

Zia mengangguk seadanya. Sudah tak berekspetasi berlebihan lagi, alias sudah terbiasa dengan sikap dingin Nathan.

"Btw sorry."


Zia tertegun, barusan berfikir untuk tidak berekspetasi tinggi, tapi pria itu malah berkata demikian. "Buat... apa?"

"Pas gue mabuk, malem itu." katanya. "Gue harap nggak ngelakuiin sesuatu."

Garis wajah Zia langsung menurun. Ia menegakkan tubuhnya. "Gue juga nggak bakal biarin lo ngelakuiin sesuatu." jawabnya.

"Thanks udah hargaiin hubungan gue."

"Lebih tepatnya gue punya harga diri." balas Zia tak mau menatap wajah Nathan. "Santai aja, Nath."

Nathan spontan terkekeh. "Gue kira lo yang nggak bisa nyantai," balasnya. "Dari awal kita ketemu."

"Ya karena ketemunya bukan kemauan gue," balas Zia.

"Maksud lo gue yang berharap bisa ketemu sama lo?" tanya Nathan sambil menaikan alis. Melihat Zia diam, Nathan jadi berdecih. "Kayaknya beban banget ketemu gue."

"Gue nggak bilang gitu." bantah Zia.

"Lo barusan bilang ketemunya bukan kemauan lo."

"Emang kebetulan kan??"

Nathan mengangguk. "Kebetulan pun at least gue tau lo yang nggak sudi ketemu sama gue," ucapnya.

Zia jadi menyerngit sambil terkekeh heran. "Lo lupa yang suka ngomong ketus siapa? Lo kan?"

"Salah gue gitu?" tanya Nathan membuat Zia mengatupkan bibirnya. "Lo kan yang bikin gue kayak gitu."

Zia langsung memejamkan matanya, sudah tau ke arah mana pembicaraan mereka. "Dah Nath gue nggak mau debat," katanya. Karena posisinya dia sedang menumpang mobil pria itu.

"Lo yang mulai."

"Udah 6 tahun Nath astaga—"

"Terus lo berharap seolah nggak terjadi apa-apa?"

"Gue bukan bilang gitu—"

"Iya itu maksud lo."

"Astaga," Zia memalingkan wajah dengan rahang mengeras. "Bisa nggak sikap lo tuh jangan seolah-olah lo tersakiti banget padahal lo udah punya cewek, udah jelas kan siapa yang bisa mulai kehidupan baru??"

Nathan memicingkan matanya, meremas kuat stir mobil. Mencelos dadanya mendengar kalimat cewek itu. "Kalo pun lo nggak lebih tersakiti, gue nggak bakal adu nasib."

"Gue bukan adu nasib, gue cuma capek aja sama sikap lo akhir-akhir ini—"

"Yang buat gue gitu kira-kira siapa sih, Zi??"

"Haruskah lo bahas lagi after 6 tahun?? Sedendam itu lo sama gue? Punya cewek baru masih belum cukup—"

"Lo nggak terima gue punya cewek baru?? Bahas itu terus."

"Iya." balas Zia langsung membuat Nathan tak. "Gue nggak terima karena sikap lo ke gue seakan lo masih dendam soal masa lalu, padahal dengan punya cewek baru lo—"

"Dengan punya cewek baru berarti gue udah bahagia? Iya?" balas Nathan membuat Zia terdiam. "Kenapa lo nggak bilang aja takut berharap lebih karena sikap gue?"

Zia memalingkan wajah dengan mata berkaca-kaca. "Turunin gue di sini aja."

"Ujan."

"Turunin aja, Nath."

"Gue males papah marah."

"Turunin!" bentak Zia dengan air mata menetes. Nathan memejamkan matanya sesaat, hingga pasrah dan menepikan mobilnya di trotoar.

"Gue bahkan nggak yakin lo sakit hati habis selingkuh dari gue, dengan cara lo ngomong barusan."

"Jangan sok tau," sentak Zia dengan tatapan tajam.

"Gue benci sama lo." hardik Nathan membuat Zia mengurungkan niat untuk membuka pintu.

"Tau gue," Zia berusaha mati-matian menahan tangis. "Nggak usah lo perjelas gue tau Nath, thanks."

"Lo nggak malu berhadapan sama gue?" tanya Nathan yang sejak tadi berusaha untuk tidak emosi karena kalimat-kalimat menyebalkan Zia.

Jika Nathan lebih tersakiti pun dia tidak pernah berniat mengatakan langsung jika Zia tidak berhak bersedih. Bahkan rasa kecewanya tidak dianggap cewek itu, sementara 6 tahun ini dia harus berperang dengan dirinya sendiri.

"Kenapa gue harus malu?"

"Seriously?" Nathan tertawa sumbang. "After selingkuh, pacaran lagi sama selingkuhan, lo nggak malu? Bangga lo gitu?"

"Gue bukan bangga," balas Zia. "Lo intropeksi aja kenapa gue sampe selingkuh. Nggak usah maksaiin seolah-olah lo nggak pantes gue giniin karena—"

"Jadi gue pantes diselingkuhin?" tanya Nathan tak habis fikir. Zia langsung hilang kata, sadar sudah kelewat batas.

Lihat, untuk apa Nathan setahunan berusaha membuktikan jika Zia tidak melakukan itu, barusan sudah diperjelas sejelas-jelasnya.

Nathan mengepalkan tangannya sampai ujung kukunya memutih, lalu terkekeh. "Gue nggak tau lo bisa sejahat ini," katanya. "Keluar aja, Zi."

"Gue seling—

"Keluar." suruh Nathan sambil memalingkan wajahnya. "Nggak usah nyebut kata itu!"

Zia jadi melengos panjang, mengambil tasnya dan turun dari mobil Nathan. Melindungi kepalanya yang terkena air hujan. Ia memandang mobil Nathan yang baru saja melaju kencang.

Membuat cewek itu menangis di bawah air hujan. Lagi-lagi melakukan kebodohan dengan mengatakan kalimat barusan padahal dia tidak berharap mereka bertengkar.

Atau Zia berusaha mengelak jika dia kecewa karena Nathan sudah memiliki kehidupan baru sementara dia harus menderita bertahun-tahun memikirkan cowok itu. Tapi lagi-lagi ini bukan salah Nathan untuk bahagia, dan bukan hak Zia merasa paling tersakiti.



Tbc


capek ya baca? sama kok, aku juga capek nulisnya 😭

Continue Reading

You'll Also Like

16.3M 592K 34
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
928K 45.7K 47
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
721K 9.4K 31
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
2.3M 253K 45
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...