Little Promise ( AS 3 )

By Salwaliya

6.3M 1.1M 1M

Di mana ada Nathan, di situ ada Zia. Nathan tidak bisa melepas Zia, itulah masalahnya. Berada di samping cewe... More

Prolog ⛅️
1 🌥
2⛅️
3.⛅️
4.🌥
5⛅️
6⛅️
7⛅️
8⛅️
9🌥
10🌥
11 ⛅️
12⛅️
13⛅️
14🌥
15🌥
16🌥
17🌥
18🌥
19🌥
20🌥
21🌥
22🌥
Let's date?
23🌥
24🌥
25🌥
26🌥
27🌥
28🌥
29⛅️
30🌥
31🌥
32⛅️
33🌥
34⛅️
35🌥
36🌥
37⛅️
38🌥
39🌥
40🌥
41⛅️
42⛅️
43⛅️
44🌥
45
46⛅️
47🌥
48🌥
49🌥
50🌥
51🌥
52 🌥
53⛅️
54🌥
55🌥
56🌥
57🌥
58🌥
58🌥
60🌥
61⛅️
62⛅️
63🌥
64🌥
65🌥
SEASON 2
1 (2) ⛅️
2 (2)
3 (2) 🌥
5 (2)
6 (2) 🌥
7🌥
8🌥
9⛅️
10🌥
11🌥
12🌥
13🌥
14🌥
15⛅️
16🌥
THE END
ANAK ZIA NATHAN
212 Days
ALEGA SERIES 10 BESOK!

4 (2) 🌥

61.5K 12.9K 10.9K
By Salwaliya

yang bela nathan, sekali-kali liat sudut pandang zia ya. dan yang bela zia, coba liat dari sudut pandang nathan.

kalo kalian yang ada di posisi mereka, kira kira bakal ngapain. satunya diancem, satunya diselingkuhin <3




🌥🌥🌥🌥🌥🌥



Luna duduk di atas sofa, melengos panjang karena Zia tak kunjung membalas pesannya. Dia jadi merasa bersalah karena ulahnya cewek itu menjadi marah. Yang ada di pikiran Luna hanyalah membaiknya hubungan mereka.

"Jangan gitu lagi ya," ucap Gibran sambil duduk di samping Luna. "Walaupun sahabat, kita nggak ada hak ngatur mereka. Susah Lun susah,"

Luna mencebikan bibirnya. "Nggak tau mereka seasing ini, nggak tau Nathan bakal sedingin ini sama Zia."

"Wajar nggak sih Nathan gitu," balas Gibran.

"Tapi kan jangan cuekin Zia banget gitu loh... kasian anaknya."

"Lun, kalo pun mereka baikan tuh nggak bakal sama kayak dulu. Yakin banget Nathan keinget masa lalu mereka, jadi jangan maksaiin."

Luna menghela napas berat. "Bener sih... Mereka juga sama-sama udah move on."


"Nathan bukan cuma benci sama kata selingkuh, dia trauma berat. Aku yang rutin saranin psikiater buat dia karena depresi di London sana. Satu tahun dia minum obat,"


Luna langsung mendelik kaget. Ia kemudian memukul paha Gibran. "Kamu kenapa sih nggak pernah cerita??! Aku juga sahabatnya tau."

"Siapa sih Lun yang nggak kecewa ceweknya selingkuh? Bucin banget dia sama Zia," ucap Gibran. "Mamah tirinya juga nggak baik sama Nathan di London."

"Tapi Zia udah ngakuin kesalahannya kan..."

"Aku bukan nggak suka sama Zia, tapi lega kalo emang Nathan punya kehidupan baru. Nggak tega liat Nathan sakit-sakitan, dia tertekan sama keluarganya di sana."

Luna mengangkat bahunya. "Aku yakin Zia juga tertekan, aku kenal dia dari lama."

"Udah kita diem aja nggak usah ikut campur, mereka udah pada dewasa udah bisa mikir. Biarin Nathan yang nentuiin kapan mau maafin Zia,"

Luna langsung menahan senyum. "Aku selingkuh gimana?"

"Kain kafan motif apa?"





🌥🌥🌥🌥





Zia memarkirkan mobilnya di depan sebuah gedung, menoleh pada Verga yang sedang sibuk menggarap sesuatu di ipadnya. "Udah sampe nih, bener kan alamat kantornya."

Verga mengangkat kepala, kemudian mengangguk. "Sorry ya aku minta kamu yang bawa mobil, proyek ini nggak bisa ditinggal soalnya."

"It's okay, ayo turun." Zia membuka pintu mobil. Menyerngit saat cahaya panas menyorot kulit putihnya, ia merapikan rambut sebelum melangkah masuk.

"Zi, terjun lapangan gini lebih enak loh. Ketemu sama orang baru, ada banyak pengalaman," ucap Verga. "Kamu kan kerjanya di dalem mulu."

"Ya emang tugasnya di dalem," jawab Zia sambil terkekeh. "Ini juga gantiin Mba Tika."

"Kita dipilih perusahaan ini karena mereka masih baru, jadi negoisasi biayanya lebih gampang diatur. Lumayan loh, nambah pengalaman kamu kan."

"Di sana aku harus ngapain dong? Kalo nggak ngerti gimana??" tanya Zia panik. "Ga, serius nggak ada pengalaman."

"Ya berarti ini percobaan pertama. Udah santai aja, kamu catet di word aja pembahasan kita buat laporan ke Bu Amar."

Zia mengangguk, menyentuh jantungnya yang berdesir gugup. "Semoga lancar ya."

Verga melirik Zia sambil tertawa kecil, lalu merogoh saku celananya dan memberikan sebungkus permen. "Nih biar nggak nervous."

Zia tersenyum lebar. "Aaa thank you."

Mereka masuk ke dalam ruangan yang diarahkan oleh salah satu staf. Zia merapikan jasnya setelah Verga ke dalam. Sudah ada beberapa orang yang sedang menunggu kedatangan mereka.

Langkah Zia jadi terhenti, menyerngit untuk sesaat. "Gibran?" panggilnya melihat cowok itu berada di salah satu tempat duduk.

Gibran menoleh sambil melebarkan mata. "Lah, Zi."

"Kebetulan banget," Zia tersenyum kecil. Lalu menoleh ke meja paling depan dimana sosok Nathan duduk tanpa ekrpesi membuat senyum Zia memudar.


Apa lagi ini...


"Duduk, Zi." Gibran mempersilahkan. Melirik Nathan sambil menggedikan bahu, tidak tau Zia akan datang kemari.

"Jadi ini tim promosi dari Ratena?" sapa Nathan sambil berdiri. Menatap Zia yang sedang mengeluarkan macbooknya.

"Saya Verga, ketua tim." sapanya berjabat tangan dengan Nathan. Lalu menoleh pada Zia yang sedang menunduk, menyenggol lengan cewek itu.

Zia jadi mendongak sambil mengerjap. "Ohh," Ia kemudian berdiri dengan cepat membuat mouse di sampingnya jatuh di lantai. Otomatis beberapa orang mengalihkan perhatiannya.

"Rileks," Verga mengusap bahu Zia membuat Gibran menaikan alis. Nathan hanya menatapnya sesaat dan tetap berdiri tegap.

"Zia, tim administrasi." Cewek itu mengulurkan tangannya sehingga Nathan balas menjabat.

Mereka saling menatap. Mungkin ini pertama kalinya Zia merasakan sentuhan Nathan setelah sekian lama, aura dingin cowok itu seakan menyalur ke kulitnya. Memancarkan sesuatu yang membuat perasaannya tidak tenang.

Jadi ia buru-buru menarik tangannya, namun tersentak saat Nathan menahan genggaman mereka membuatnya terpaku. Bahkan tak bisa memahami tatapan apa yang ditujukan pria itu padanya.

"Bisa dimulai?" tanya Gibran cukup menginturepsi mereka. Jadi Zia menarik tangannya duluan dan kembali duduk.

Nathan memasukan kedua tangannya di saku celana. "Baik, karena tim spanduk sudah hadir jadi saya mulai kesepakatannya."

Sepanjang rapat Zia yang gugup makin tak fokus, tapi ia berusaha untuk profesional karena Mba Tika sudah memasrahkan tugas ini padanya.

Dia selalu gagal fokus dengan Nathan. Bagaimana pria itu menjelaskan dengan tenang, kadang sesekali diam untuk berfikir, atau caranya mendengarkan orang yang bicara.


Membuatnya sadar, orang di depannya ini sudah bukan Nathan murid sma yang ia kenal dulu. Nathan yang tingkahnya konyol, sering tertawa, kekanak-kanakan dan--

"Zi??"

Lamunan Zia terbuyar, ia terperangah sambil menatap Verga yang sudah berdiri. "Malah ngelamun, ayo."

"Oh udah??" Zia melongo bingung. Menatap kursi Nathan yang sudah kosong, membuatnya menghela napas berat.

"Udah, ayo keluar. Kayaknya bakal deal," ucap Verga sambil tersenyum lebar. "Aku kabarin Mba Tika dulu."

"Okay," Zia membereskan baranganya di meja setelah Verga keluar dari ruangan. Dia yang masih duduk menunduk sebentar menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Tenang Zi."





Sudah 6 tahun. Wajar semua berubah drastis. Hanya ada kemungkinan kecil mereka bisa seakrab dulu. Jangan berekspetasi tinggi.


Ia memutuskan untuk berdiri dan merangkul tasnya, lalu berjalan untuk keluar. Akan tetapi bertepatan dengan ia memutar handle, pintunya terbuka lebih dulu. Membuat Zia memundurkan langkah.

Nathan yang baru masuk menaikan alisnya, melihat ekspresi terkejut wanita di hadapannya. Ia kemudian membuka pintu lebih lebar, masuk tanpa menegur.

Zia jadi berbalik memandang Nathan. "Lo berubah sedingin ini ya."

Nathan yang sedang mengambil hpnya yang tertinggal hanya diam, belum mau berbalik badan. Sehingga Zia hanya mampu meratapi kekecewaannya dalam hati.

"Gue harap kerja sama perusahaan lo sama kantor gue tetep lancar."

Nathan menoleh. "Kenapa harus nggak lancar?"

"Gue nggak mau hubungan kita jadi ngaruh ke--"

"Hubungan?" Nathan menautkan alisnya tak paham. Menyimpan hpnya di saku jas sambil berjalan mendekat pada Zia. "Kita nggak ada hubungan apa-apa."

Zia jadi merapatkan bibirnya, lalu memalingkan wajah. "Terserah lo mau nganggep apa, gue cuma ngingetin aja."

"Gue profesional," balas Nathan. "Bukan tipikal orang yang curang." katanya.

Zia menatap Nathan dengan mulut terkunci. Ia pun mengangguk. "Thanks atas kerja samanya." ucap cewek itu sambil berbalik pergi.

"Gue mau ke rumah," ucap Nathan membuat langkah Zia tertahan.

"Okay, terserah lo."

"Kasih tau waktu yang pas buat dateng kesana," ucap Nathan sambil berjalan mendekat. "Kapan lo nggak ada di rumah?"

Zia menyerngit. "Ha?" tanyanya. Tapi baru mengerti apa maksud cowok itu. Nathan tidak ingin bertemu dengannya di rumah. "Oh... siang."

Nathan mengangguk. "Oke." ucapnya sambil berlalu meninggalkan Zia sendirian.




⛅️⛅️⛅️⛅️⛅️⛅️




"Pah?"

Nathan masuk ke dalam rumah, meletakkan beberapa paper bag di meja. Ia kemudian memutuskan untuk duduk dan mengeluarkan hpnya, tak sengaja melihat sebuah album di meja membuatnya meraih benda tersebut.

"Hi, Mah." sapanya mengusap album tersebut, lalu meletakannya kembali.

Nathan mengangkat kepala dan memperhatikan tiap sudut rumah ini. Tidak ada yang berubah di dalamnya. Hanya saja penempatan beberapa barang dan warna cat rumah diubah.

"Udah dateng??"

Papah tampak seperti baru bangun membuat Nathan memandangnya lama. Papah sudah tidak semuda dulu, sampai beberapa kerutan terlihat jelas. Meski jujur ketampanannya belum memudar.

"Nih, Nathan bawaiin sesuatu."

"Apanih Ya Tuhan," Arion membuka sedikit paper bagnya. "Dari kemarin bawaiin papah terus kamu tuh."

"Baju aja tadi kebetulan mampir toko, sama parfume brand Nathan."

Arion terkekeh, tak ada alasan menolak pemberian putranya. "Thanks ya, papah malah belum ngasih apa-apa."

"Apasih," Nathan berdecak. "Besok dateng makan malem aja udah cukup."

Arion jadi menatap Nathan lama, lalu menghela napas berat. "Masih diem-dieman sama Zia?" tanyanya.

Nathan menegakkan badan. "Enggak..."

"Kalian udah ketemu pasti," Arion mengangguk. "Papah minta aja jangan seasing ini, papah yang sedih ngeliat dua anak papah saling ngejauh."

Nathan diam, seakan berat mendengarkan.

"Papah nggak minta kalian jalin hubungan kayak dulu, itu hak kalian buat ambil keputusan. Tapi seenggaknya saling bicara, udah bertahun-tahun loh."

"Nathan usahaiin," ucapnya meski tak yakin dengan ucapannya.

"BANG NATHANNNN."

Nathan menoleh, langsung tersenyum lebar melihat Bulan mendatanginya. Lihat adik-adiknya sudah besar semua. "Jangan lari-lari astaga,"

"Kangennnnn!" serunya langsung naik ke gendongan Nathan.

"Tiap hari vidcall juga," katanya. "Lan, berat banget kamu serius."

"Jujur aku pangling abang ganteng banget," ucap Bulan dengan tatapan terpana. "Ke sekolah yuk aku kenalin temen-temen."

"Papah masih kurang apa??" protes Arion yang merasa karismanya belum pudar.

"Nggak ah, ganteng Bang Nathan." balas Bulan sambil turun ke gendongan abangnya. Nathan langsung meringis sambil mengusap lehernya.

"Bintang mana Bintang?"

"Lagi les musik," balas Arion.

"Les musik??" beo Nathan sambil terkekeh. Anak itu dulu berjanji padanya akan menjadi pro player karena mereka memiliki hobi yang sama di dunia game.

"Abang nggak ketemu Kak Zia??" tanya Bulan. "Aku call ya, paling jam segini lagi break di kantornya."

Nathan melirik Arion yang mengangkat bahunya, ia kemudian mengacak rambut Bulan. "Udah ketemu tadi," katanya. "Abang bentaran doang di sini."

"Yah kok gitu sih..." Bulan mencebikan bibirnya sedih.

"Ada rapat soalnya," Nathan pergi ke sofa dan mengambil hpnya. "Pah, Nathan duluan ya." katanya terlihat sekali sedang menghindari topik mengenai Zia. Arion hanya bisa menghela napas berat.

"Bagi alamat kamu Nath, kalo papah mau mampir." serunya.

"Nathan kirim di chat!"


⛅️⛅️⛅️⛅️⛅️⛅️

"Zia pulang!"

Zia meletakkn tas kerjanya, langsung duduk di sofa dan menyenderkan tubuhnya di sana. Lalu mengambil remote ac dan melepas jasnya. Ia menoleh ketika papah keluar dengan beberapa tumpuk wadah makan.

"Itu apa?"

"Papah boleh minta tolong nggak? Sebenernya papah tuh bisa nganter tapi nganter tante aura ke rumah sakit—"

"Iya iya Zia harus apa??" tanyanya tak tega melihat papah panik sendiri.

"Ke apart Nathan."

Zia menautkan alisnya, ia kemudian berdiri untuk kabur. "Zia tuh harus ketemu sama Luna deh soalnya—"

"Zi..." Papah menahan lengannya.

"Please, nggak pah. Sewa orang buat nganter aja atau apa Zia nggak mau."

"Kalo dibawa orang takut makanannya berantakan," lirih papah. "Ini beefnya harus cepet-cepet ditaroh freezer."

"Bintang aja Bintang—"

"Les."

"Bulan??"

"Serius kamu mau Bulan jauh-jauh kesana?"

Zia menghembuskan napas berat. "Nggak, Zia nggak bisa." jawabnya sambil berjalan masuk ke kamar.

"Oh yaudah, makasih."

Ia kemudian berbalik badan, melihat papah menunduk tak bisa membantahnya. Membuat rasa bersalah hinggap di dadanya. "Emang alamatnya di mana??"

Papah langsung sumringah, ia kemudian merogoh celananya. "Papah kirim lewat chat ya, makasih sayang." ucapnya hanya bisa dibalas lengosan panjang oleh wanita itu.





🌥🌥🌥🌥🌥🌥


Zia menarik napas dalam, menunduk menatap kotak makanan di tangannya. Begitu masuk lift dia melihat wajahnya di layar hp, mendengus karena lupa memakai liptint. Namun sadar sedang apa, ia segera menyimpan hpnya kembali.



"Kamar... 2177..."


2177


Dapat.

"Kalem Zi, lo cuma perlu ngasih makanan terus balik. Okay,"

Zia menekan bel apartemennya. Satu kali tak ada sahutan, sampai empat kali menekan baru pintu terbuka. Membuatnya menunduk sambil meremas wadah makanannya, berusaha menguasai diri.


"Zia?"



Zia tersentak. Jantungnya mencelos begitu saja. Kenapa suara cewek...?



Ia mengangkat kepala, bertemu tatap dengan Chara yang memandangnya sambil tersenyum. Zia mengedip lemah, menatap baju tidur pendek yang sedang dikenakan cewek itu membuatnya perasaannya makin tidak nyaman.




Zia lupa lagi, Nathan sudah punya pacar.



"Eh Zi, mau ketemu Nathan ya?" tanya Chara seraya mengancingkan bajunya.

Zia menelan ludahnya, berusaha tenang. "Enggak, ini ada titipan dari bokap gue. Nathannya mana?"

"Ada kok di dalem, lagi mandi anaknya. Masuk aja yuk," Chara hendak berbalik masuk tapi Zia menahan lengannya. "Nath-"

"Eh, jangan."

"Kenapa?" tanya Chara menoleh kembali.

Zia tersenyum sambil memberikan bekalnya. "Gue buru-buru soalnya, bilang dagingnya masukin difreezer ya. Thanks."

Chara jadi terdiam, hendak bertanya sesuatu tapi merasa ini bukan waktu yang tepat. "Oh gitu, okay nanti gue sampeiin."

Zia tersenyum tipis. "Bilang yang dateng papahnya ya jangan gue," katanya sambil memasukan kedua tangan di saku jas. Menarik napas dalam, lalu ia hembuskan dengan panjang. "Gue duluan."

Chara tersenyum ramah sambil mengangguk. "Makasih ya, take care, Zi." sapanya sambil melambaikan tangan.

Zia berbalik badan, seketika memudarkan senyumnya. Berusaha mengenyahkan pikiran buruk di kepalanya, walau tak heran jika memang prasangkanya benar.

Cewek itu masuk ke dalam mobil, menyentuh dadanya yang mulai sesak. Ia segera meraih inhaler di tasnya, segera mengunakan barang tersebut.

Kadang Zia merasa, dunia tidak pernah adil padanya.




Tbc

Continue Reading

You'll Also Like

5.4M 450K 63
"Allahuakbar! Cowok siapa itu tadi, Mar?!" "Abang gue itu." "Sumpah demi apa?!" "Demi puja kerang ajaib." "SIALAN KENAPA LO GAK BILANG-BILANG KALO PU...
746K 9.8K 31
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
1.4M 115K 27
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
562K 39.4K 61
Dokter Rony Mahendra Nainggolan tidak pernah tahu jalan hidupnya. Bisa saja hari ini ia punya kekasih kemudian besok ia menikah dengan yang lain. Set...