Mobil yang di kendarai Kang Sofyan berbelok ke arah kanan. Tak jauh lagi aku akan sampai di pondok pesantren milik Abi. Aku menghela nafas secara kasar, mengingat percakapanku dengan Abah Kyai Malik. Meski beliau menerima keputusanku yang menolak pinangan untuk putrinya sendiri. Tetapi, tetap saja aku tidak enak hati kepada beliau. Bagaimanapun beliau adalah seseorang yang sangat banyak berjasa dalam hidupku.
Jika orang lain pasti akan merasa jatuh harga dirinya. Ketika anak perempuan yang ditawarkan, lalu ditolak mentah-mentah. Pasti seorang ayah tak akan terima, harga dirinya pasti merasa terinjak. Semoga penolakanku tidak termasuk Suul adab terhadap guruku. Sebab tanpa restu dari Abah Kyai Malik, apa pun ilmu yang aku punyai, tak akan membawa keberkahan di hidupku.
"Saya paham dengan penolakan Gus, seharusnya saya memang tidak perlu memaksakan keinginan saya," Abah Kyai tertawa membuatku semakin tertunduk malu, "Tenang mawon, tidak usah di pikir lagi, saya cuma berusaha siapa tahu dapat. Seperti orang bilang 'sebelum janur kuning melengkung', kan siapa tahu masih ada lowongan."
Abah Kyai tertawa lebih keras lagi sambil memukul bahuku beberapa kali, entah apa mungkin itu juga termasuk cara Abah untuk menghukumku. "Saya doakan semoga pernikahan Gus dengan wanita pilihan mas Lutfi bisa menjadi keluarga yang Sakinah Mawaddah Warohmah. Jadilah suami yang bertanggung jawab. Jadilah imam yang akan menjadi panutan keluargamu kelak. Dan semoga pernikahan Gus akan dikarunia anak yang Soleh dan Sholehah. Restu Abah menyertai."
"Gus!"
"Eh! Iya kang?" Aku terkejut saat tiba-tiba kang Sofyan menyentuh lenganku.
"Sudah sampai Gus,"
Aku mengedarkan pandangan ke luar kaca mobil, ternyata benar kata kang Sofyan. Mobil yang sebelumnya aku kendarai sudah berhenti di halaman rumah Abi.
"Banyak pikiran ya, Gus."
"Enggak kok kang, cuma satu saja pikirannya."
Kang Sofyan malah tertawa mendengar jawaban dariku. “Ternyata Gus, masih tidak banyak berubah ya."
"Memang harus berubah menjadi apa, kang? Masak harus jadi Power Ranggers."
Aku keluar dari mobil, meninggalkan Kang Sofyan yang masih tertawa. Bismillah, ini merupakan pertama kalinya aku menginjakkan kakiku kembali di rumah Abi, setelah delapan tahun tidak pernah pulang.
Tenang dan tenteram, memang selalu seperti itu, kesan pertama kali memasuki sebuah kawasan pesantren. Siapa pun pasti akan merasakan hal yang sama. Aku pun sama, dan baru menyadarinya sekarang. Yang aku tahu dari kecil Pesantren hanya identik dengan aturan-aturan yang mengekang bagi jiwa yang suka kebebasan. Tapi aku lupa dengan kedamaian jiwa yang bisa aku rasakan di lingkungan ini.
Aku tersenyum, saat merasakan hal yang sama dengan pondok pesantrenku tempatku mengabdi. Kedamaian.
"Ayah ...."
Belum sempat mengucapkan salam, dua anak kecil berbeda satu tahun berlari, menghampiriku yang baru melangkahkan kaki di undakan tangga teras rumah abi. Plus jangan lupakan panggilan menggelikan dari mereka untukku yang masih berstatus lajang, ayah.
Memang, di usiaku yang sudah menginjak dua puluh tujuh tahun, sudah cocok jika dipanggil ayah. Tapi kalau untuk seusia anak kelas 1aku rasa terlalu muda untuk menjadi orang tua mereka.
"Assalamualaikum," aku tersenyum sambil merentangkan tangan, untuk memeluk dua keponakan kesayanganku.
"Wa alaikumsalam, ayah."
"Afif sama Syifa mau oleh-oleh?"
Dua anak kecil berbeda jenis kelamin itu antusias mengangguk, bibir mereka tersenyum lebar. Membuatku tertular senyuman mereka. Kemudian aku memberikan dua lolypop yang lumayan berukuran besar kepada mereka.
"Afif sama Syifa kok malah malak ayah Rasyid di luar. Ayok ajak masuk sayang."
Aku menoleh ke arah pintu di mana mbak Rahma sedang berdiri sambil tersenyum menatapku.
"Aku sama adik Syifa enggak malak kok Umi. Kita kan di kasih sama ayah Rasyid. Iya kan dek?" Syifa pun mengangguk membenarkan perkataan Afif.
Aku terkekeh melihat tingkah gemas mereka, tanganku terangkat mengusap puncak kepala mereka bergantian. Kemudian perhatianku teralihkan kepada mbak Rahma yang masih berdiri di tengah pintu.
"Assalamualaikum, mbak. Bagaimana kabarnya?"
Aku mencium tangannya dan seperti biasa mbak Rahma langsung merangkulku. Memang sudah kebiasaannya dari dulu.
"Wa alaikumsalam, Alhamdulillah baik. Seharusnya mbak yang tanya kabar kamu."
Aku tersenyum sambil mengikutinya berjalan memasuki rumah Abi. "Enggak apa mbak. Siapa saja yang mau tanya kabar dulu, enggak masalah bagi aku."
Mbak Rahma berhenti melangkah, otomatis aku ikut berhenti di belakangnya. Mbak Rahma berbalik dan menatapku. Cukup lama dia menatapku, membuatku sedikit merasa gugup.
"Kamu pasti sudah dengar ya, beritanya?"
Apa yang mbak maksud, berita perjodohan. ALLAH! Jadi itu memang benar adanya.
"Ah, enggak seru kalau begitu jadinya." Keluh mbak Rahma, tampang yang sebelumnya terlihat antusias sekali sekarang berganti lesu. "Ya sudah ayo kita ke Abi sama Umi," lanjutnya sambil melanjutkan langkahnya lagi.
Aku menghembuskan nafas secara kasar, untuk membuang rasa gugup yang sempat menyelimuti perasaanku. Pemandangan yang pertama kali terlihat di ruang tengah atau bisa juga di sebut ruang keluarga, yaitu formasi lengkap anggota keluarga Kyai Lutfi. Bukan cuma ada Abi dan Umi, di sana juga sudah ada Mas Ali suami mbak Rahma. Ada juga mbak Ami atau Aminah beserta suaminya juga, mas Faiz.
Aku langsung saja menyalami tangan mereka satu persatu, setelah selesai aku baru mendudukkan bokongku di samping Umi.
"Bagaimana le, perjalanannya cukup melelahkan? Pergilah istirahat dulu sebentar di kamarmu." suara Abi terkesan datar, mengisyaratkan ketegasan seperti bawaannya. Memang sifat tegas sekali. Tapi aku tahu disifat dinginnya pasti akan terselip rasa sayangnya.
"Alhamdulillah Abi, rasa lelahnya sudah ter bayarkan, bisa melepas rindu dengan keluarga yang lengkap."
"Tumben anak Umi rindu sama Umi," Umi malah menggodaku membuat yang lainnya tertawa, menertawakanku.
"Pasti rindulah Umi, Umi kan cinta pertamaku." aku memeluk erat Umiku dari samping, melepaskan rasa rindu yang telah bersarang. Ada rasa bersalah, di usiaku yang sekarang aku belum bisa membahagiakan Umi dan juga menjadi kebanggaan Abi.
"Waduh, Abi ada saingannya nih. Kayaknya Abi harus cepat-cepat deh, menikahkan Rasyid biar Umi enggak ke tikung."
Aku tak menghiraukan perkataan mbak Ami, aku malah semakin mengeratkan pelukanku terhadap Umi. Merasakan elusan lembut tangannya di lenganku membuatku merindukan masa kecilku yang selalu di manja olehnya.
"Le."
"Umi," suaraku rasanya tercekat di dalam tenggorokan, hingga sulit untuk di keluarkan.
"Anak Umi masih cengeng ya? Padahal kemarin bersikukuh bilang kalau dia sudah dewasa. Bisa menentukan jalannya sendiri. Masak preman nangisan."
Memang benar, aku pernah berkata demikian. Tapi dulu, saat aku salah jalan. Dan masih sulit membedakan mana yang memang benar-benar baik dan buruk untukku.
"Maafkan aku Umi, aku belum bisa membahagiakan umi. Maafkan anak umi yang nakal."
"Kamu ngomong apa toh le, sudah, yang sudah wes ndak usah dibahas lagi yang penting sekarang kamu sudah berubah. Harus bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi."
"Wah, Bi. Kalau kayak begini Rahma yakin kalau Rasyid sudah matang kalau mau dinikahkan. Anak yang paling anti minta maaf akhirnya bisa minta maaf."
Aku melirik Abi sekilas yang sedang mengangguk sambil tersenyum tipis sekali. Hal yang paling langka aku lihat, Abi tersenyum di depanku meski nyaris tak terlihat. Aku pun langsung bersimpuh di depannya, memohon maaf atas kenakalan yang selalu aku lakukan dulu.
Abi memukul pundakku beberapa kali, "Abi sudah maafkan, le." Aku bisa melihat senyumnya, tapi kali ini lebih lebar dari yang sebelumnya.
"Kayaknya sudah siap ini mau nanggung anak orang."
Aku mengurungkan niatku yang ingin berdiri dari posisi dudukku. Aku mendongakkan wajah menatap wajah Abi yang sudah terlihat garis-garis keriput yang membingkai wajahnya.
"Abi, Rasyid mohon maaf. Jika maksud Abi ingin menikahkan Rasyid. Maaf, Rasyid harus menolak keinginan Abi. Rasyid rasa, Rasyid belum mampu untuk menjadi seorang suami yang akan bertanggung jawab sepenuhnya kepada istrinya. Rasyid khawatir tidak bisa membahagiakan wanita yang akan menjadi istri Rasyid."
Abi menghembuskan nafas secara kasar, membuatku menunduk takut.
Bersambung ....
Budayakan tinggalkan jejak ya!
Jangan lupa like dan komen
Follow akunku juga ya.