Bulan Terbelah Dendam

Per sundayshoes

803K 98.5K 6.9K

Dara pernah punya segalanya, lalu dia bertemu Panca. Panca pernah tak punya apa-apa, lalu dia bertemu Dara. S... Més

Prolog
1
2
3
4
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
BTD Ext : Dua Nama di Asmaul Husna

5

27.2K 3.5K 186
Per sundayshoes

Ketika Dara membuka mata, yang pertama kali dia lihat adalah gorden biru pembatas antar ranjang UGD. Aroma Betadine dan bau obat menyeruak hidung. Sekujur badannya nyeri dan kesakitan, tapi denyut yang berasal dari pelipis kirinya yang terasa paling menganggu.

Kepala Dara miring ke sebelah kanan. Kelopak mata kirinya juga terasa sulit dibuka sehingga Dara hanya bisa melihat normal dengan mata kanan saja.

"Bu, bagaimana perasaannya?"

Dara menggeser sedikit kepalanya, mendapati wajah seorang perawat yang berdiri di samping ranjang menunduk menatapnya.

Dara menarik tangannya dari bawah selimut yang hangat dan berat, berusaha menyentuh bagian belakang kepalanya yang sakit. Tapi perasaan nyeri berpendar dari bagian kiri dadanya, nyaris membuat penglihatannya memutih. Dara seketika berhenti bergerak, dan meski kini memudah, perasaan nyeri itu masih berdenyut menyakitkan

"Bu Dara? Ada rasa mual? Ingin muntah?" tanya perawat itu.

Dara menggeleng sekali. "Sakit," kata Dara, suaranya parau. "Dingin."

Perawat itu membantunya menaikkan selimut tebal rumah sakit hingga ke dagu.

Baru saat itu, Dara menyadari bahwa selimut rumah sakit sebenarnya tipis-tipis saja, selembar katun halus bersalur hijau muda.

Kain hangat tebal yang menyelimuti tubuhnya adalah jaket wol panjang hitam.

Jenis jaket panjang yang terlihat mahal, yang biasanya dikenakan di negara-negara bersalju.

Dara menatap kerah jaket itu, mendekatkannya ke hidungnya sembari memejamkan mata.

Aroma bersih matahari, sedikit vanili, sedikit bau embun, sedikit aroma rempah memenuhi penciuman Dara. Mungkin begini rasanya berada di dekat pemilik jaket ini.

"Jangan terlalu banyak bergerak, salah satu ruas tulang rusuk Bu Dara retak...."

Perawat itu pasti bisa langsung melihat wajah Dara yang mulanya pucat, makin memutuih, karena kemudian dia buru-buru bicara. "Dokter jaga akan datang sebentar lagi untuk menjelaskan... karena yang retak di bagian rusuk, tidak ada yang bisa banyak dilakukan selain bedrest total dan minum obat pereda sakit, sebisa mungkin Bu Dara tidak perlu bergerak..."

Pikiran Dara melayang, tidak bisa memproses perkataan selanjutnya perawat itu.

Mungkin benar yang dikatakan semua orang.

Mungkin sebaiknya dia datang seperlunya saja ke Pandanlegi, lalu pergi sejauh-jauhnya dari sini.

***

Selain keseleo, rupanya betis Panca juga terluka--sepertinya oleh paku atau ujung besi. Hanan membantu Panca membebat mata kakinya dan mengobati luka di betis Panca.

"Pak? Jaket Bapak di mana? Mau saya cuci sekalian," kata Hanan, sembari mengambil kemeja yang sudah Panca masukkan ke keranjang rotan.

Panca sudah duduk kursi dekat jendela, hanya mengenakan kaus dalam dan celana panjang hitam yang tadi dia kenakan ke  kantor, satu bagian celananya dilipat hingga ke lutut.

"Tidak ada."

"Tidak ada? Kan tadi dipake, Pak?"

Panca hanya menatap Hanan sekilas, menolak menjawab lebih lanjut.

Hanan akhirnya salah tingkah. Sebenarnya Panca sendiri punya asisten rumah tangga yang bekerja dari pagi sampai sore. Membereskan baju kotor Panca dan membawanya ke ruang cuci bukan tanggung jawab Hanan, tapi dia merasa itu bukan pekerjaan besar dan tidak keberatan melakukannya.

Panca bangkit dari tempar duduk dan berjalan tertatih ke ranjang. "Taruh saja bajuku di keranjang di kamar mandi. Sekarang kamu pulang saja. Jam kantor sudah berakhir berjam-jam yang lalu."

Otomatis, Hanan melirik ke arah luar kamar Panca. Malam sudah sepenuhnya tiba, padahal sinar matahari masih ada saat mereka pulang tadi. Panca benar, tanpa terasa Hanan sudah terlalu lama menghabiskan waktu di sini.

Hanan lalu melipat kemeja Panca lalu menaruhnya di keranjang di, membereskan perban dan kapas penuh darah, membuangnya ke tempat sampah di dapur. Saat dia ke kamar Panca, bosnya itu sedang berdiri di depan lemari yang terbuka, mengancingkan piamanya.

"Pak, saya pulang dulu..."

"Oke," kata Panca, pelan, dia tidak menoleh, kepalanya menunduk sembari tetap meneruskan mengancingkan piama."

"Bagaimana dengan Sasadara Sakinah?"

Tangan Panca berhenti bergerak. Kepalanya terangkat perlahan dan menatap ke cermin di hadapannya, melirik Hanan tajam melalui cermin.

"Ada apa dengan dia?"

Panca menolak menyebutkan namanya dan menggunakan kata ganti orang ketiga, harusnya sudah jadi isyarat bagi Hanan untuk berhenti. Tapi Hanan tidak pernah mendapati Panca seperti ini sebelumnya, jadi dia tetap menguatkan hati untuk mengonfrontasi bosnya. "Apa kita harus mengirim bunga atau buah? Apakah saya harus menengoknya?"

Panca menyelesaikan mengancingkan piamanya, lalu dengan langkah tertatih, dia berjalan menuju tengah ruangan kamar, mempersempit jaraknya dengan Hanan menjadi lima meter saja. "Ada alasan mengapa kita harus mengirim bunga dan buah? Ada alasan mengapa kamu harus menengoknya?"

Hanan menggaruk bagian belakang kepalanya. Menjenguk 'korban' Hellraisers selalu jatuh ke pangkuan Hanan. Malah, salah satu point pekerjaan Hanan adalah memastikan bahwa semua korban Hellraisers 'tersantuni'.

Panca dan perusaahaan selalu memiliki plausible deniability bahwa dia dan Hellraisers tidak memiliki hubungan. Tapi kenyataannya?

Saat Panca ingin menawarkan kerjasama dengan salah satu katering lokal untuk penyedia jasa makan siang karyawan dan merasa bahwa harganya masih bisa diturunkan, salah satu pegawai katering hilang beberapa jam dan kembali dengan wajah memar, berujung pada pemilik katering tergopoh-gopoh menurunkan harga dengan amat murah, namun Panca tetap membayarnya dengan harga sesuai perjanjian tanpa menawar.

Saat Panca ingin membeli tanah punggung bukit dan pemiliknya menolak, Hellraisiser melewati rumah si pemilik tanah sembari meraung-rangkan knalpotnya sepanjang siang dan malam, sampai akhirnya pemilik tanah tidak tahan dan menjual tanahnya pada Panca, bersamaan dengan itu, teror yang dialaminya ikut berhenti.

Panca selalu mengingatkan Hanan untuk mengecek apakah Hellraiser membuat masalah, dan siapa orang yang dirugikan. Hanan selalu menduga, itu merupakan bentuk perlindungan Panca pada calon adik iparnya, dan Hanan yakin dalam keadaan normal, Panca tidak akan bertanya, ada alasan mengapa kamu harus menengoknya?

"Sasadara terluka karena Hellraiser," kata Hanan, mencoba mengingatkan.

Panca terdiam, dia lalu balik badan sembari mengibaskan tangan, lalu berjalan menuju ranjang. "Tidak perlu..." kata Panca. "Kamu besok mulai sibuk dengan koordinasi PLPP, biarkan saja?"

"Setidaknya, seseorang harus menengoknya. Lukanya terlihat parah dan kita tak tahu apakah Hellraisers..."

Panca berhenti berjalan. Tanpa menoleh, dia berkata, "Memangnya kamu tidak lihat tadi? Ada teman-teman keluarganya di sini... Mereka akan menjaga Dara, kehadiran kita tidak dibutuhkan," kata Panca. "Lebih baik kita tidak usah berurusan lagi dengan mereka."

Meski masih belum puas dengan jawaban Panca, Hanan tahu sudah waktunya dia mundur.

"Baik Pak, kalau begitu... saya pulang dulu."

***

Seminggu berikutnya, meski sering masih memikirkan Dara, mengingat bagaimana gadis itu terkulai di trotoar dengan pelipis penuh darah, Hanan sudah tidak terlalu mempertanyakan sikap bosnya. Kesibukannya dengan PLPP atau Pekan LokakartaPandalegi hampir menyita seluruh perhatian Hanan.

Panca, yang berinisiatif mengadakan PLPP sebagai bagian dari CSR perusahaan. Niatnya, pengusaha-pengusaha di sekitaran Pandanlegi akan didaftarkan untuk dibuatkan kelas lokakarnya yang akan dilakukan bulan Februari tahun depan. Dengan maksud transfer ilmu sekaligus memperkuat dasar kewirausahaan, pemberi materi terdiri dari pengusaha sementara pesertanya merupakan masyarakat Pandanlegi yang berminat.

Salah satu yang mereka dekati untuk pemateri Alverro Dian Susilo, pemilik firma desain yang meski kantornya di Pandanlegi, namun menerima proyek dari seluruh dunia. Alverro Dian Susilo memiliki kepopuleran yang nyaris setara dengan Panca, salah satu yang berhasil menguatkan nama Pandanlegi sebagai daerah yang tidak perlu meninggalkan kampung halaman untuk hidup sukses dan sejahtera.

Begitu pentingnya Vero bagi PLPP, Panca sendiri yang memutuskan untuk menemui beliau siang ini.

Padahal biasanya, Hanan sendiri yang menemui calon-calon pemateri.

Pada jam yang dijanjikan, pukul setengah empat sore, Land Cruiser yang dikemudikan Zaki sudah terparkir di halaman depan rumah Vero yang bertaman luas. Oleh salah satu pegawai, Hanan dan Panca diminta menunggu di gazebo di atas kolam lotus yang luas dan tenang. Sesekali, ikan koi terlihat muncul ke permukaan.

Begitu Hanan dan Panca duduk, dua orang langsung mengisi meja di hadapan mereka dengan dua cangkir teh, satu teko yang seragam dan elegan, serta tiga tingkat piring berisi kue-kue ringan. Setelah makanan selesai dihidangkan, pegawai yang tadi mengantar mereka dari parkiran maju dan berkata, "Pak Verro minta maaf, tapi beliau baru akan datang ke sini lima belas menit lagi. Ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggal. Silakan dinikmati dulu," kata pegawai itu lalu keluar dari gazebo dan meninggalkan mereka berdua.

Panca mengambil cangkir teh dan menyeruput isinya. Hanan melakukan hal yang sama. Saat Hanan menawari panca kue-kue kecil, Panca menolak.

Seperti yang dijanjikan, Verro datang lima belas menit kemudian, dengan seorang pegawai mengikuti di belakangnya. Kue-kue disingirkan dan Verro mendengarkan pemaparan Panca soal PLPP.

Di akhir pemaparannya, Panca berkata, "Mulai banyak pemuda Pandanlegi yang tertarik dengan ekonomi kreatif semacam ini. Akan sangat membantu kalau Pak Verro bisa mengisi materi lokakarya selama dua hari, kami akan menyediakan hotel untuk Pak Verro dan peserta."

Verro mengangguk lalu menatap Panca, "Aku hanya mengira, perusahaan Pak Panca sudah bisa menopang seluruh Pandanlegi. Saya tersanjung karena Pak Panca mengingat kehadiran pekerja kecil macam saya," kata Verro, tersenyum, namun matanya terlihat datar.

Panca menggeleng. "Pertanian butuh kesabaran dan waktu. Kadang dalam satu keluarga, ada yang tidak memiliki tanah, atau punya tanah tapi tidak terlalu banyak, atau malah sama sekali tidak punya tanah--"

"Atau punya tanah tapi Hellraisers memaksa mereka menjualnya?" kata Verro sembari tersenyum.

Jantung Hanan terasa sedingin es. Dengan takut, dia melirik ke arah Panca. Tapi seperti yang sudah diduga, wajah Panca tak menunjukkan apa pun.

"Atau itu," jawab Panca, pendek.

Verro mengangguk, terlihat puas dengan jawaban Panca. "Tentu saja, demi masa lalu, saya tidak mungkin menolak ajakan Pak Panca." Verro menekankan kalimat masa lalu. Hanan tidak ingat bosnya atau perusahaan mereka pernah berurusan dengan firma desain Verro.

Vero melanjutkan, "Beri saya waktu satu bulan, saya akan menyusun waktu satu bulan untuk menyusun materi dan kurikulum untuk dua hari lokakarya. Bulan depan, akan saya kirimkan ke email panitia PLPP, bagaimana?"

Ketegangan di wajah Panca terlihat memudar dan meski senyumnya masih kaku, dia tersenyum. "Saya akan menunggu," kata Panca. Dia bersiap berdiri, Hanan mengikuti, namun Verro masih duduk sembari tersenyum dan kini mereka bertiga jadi terkunci dalam suasana canggung.

"Angga?" panggil Verro.

Pegawai Verro yang tadi datang bersama Verro, mendekat. "Ya, Pak?"

"Keluarkan barang di tas yang kamu bawa... tolong serahkan pada pak Panca."

Bahkan sebelum Angga mengelurkan barang dari tasnya, Hanan bisa menebak. Benar saja, Angga mengangsurkan jaket wol kelabu panjang milik Panca, yang menurut pengakuan Panca, tidak tahu dia letakkan di mana.

Rahang Panca mengeras saat menerimajaket itu di tangannya. "Terima kasih," jawab Panca singkat, tidak pada siapa pun.

Verro menelengkan kepala, lalu berdiri. " Kami semua sibuk di sini jadi belum sempat dicuci... tapi terima kasih sudah meminjamkannya." kata Verro.

Panca menatap jaket di tangannya, melihat bercak darah kering yang lumayan banyak di bagian bahu jaket dan merasakan dadanya seperti kena hantam. Darah sebanyak ini....

Panca ingat ketika dia meninggalkan Dara, gadis itu baru mulai terluka, sehingga belum banyak yang terlihat darah mengalir. Blus Dara putih bersih dan sisa air hujan di trotoar mulai mengotorinya, satu-satunya yang bisa Panca lakukan saat itu hanyalah membuka jaketnya sendiri dan menutupi tubuh Dara.

Terlarut dengan pikirannya sendiri, Panca tidak menyadari kalau Verro sudah mengulurkan tangan di hadapannya. Hanan duluan yang akhirnya menjabat tangan Vero, disusul Panca.

Selesai mereka berjabat tangan, bagaikan diberi isyarat, pegawai yang tadi mengantar mereka dari gerbang kembali muncul entah dari mana, membimbing mereka keluar dari gazebo, meninggalkan Verro dan Angga.

Baru lima langkah, Panca berhenti berjalan. Hatinya penuh dengan pertentangan, tapi akhirnya Panca memilih untuk melakukan hal yang sama saat dia sedang merasa ragu; dia akan memilih untuk melakukan yang menurutnya lebih mendatangkankan kebaikan.

Maka Panca membalikkan badan dan menatap Verro, "Apakah Dara sudah kembali ke Lampung?"

Verro tersenyum tipis. "Sialan," katanya pelan. "Kupikir kamu tidak akan pernah bertanya."

Panca mengabaikan ucapan Verro itu. "Kalau belum... kalau dia masih di sini... minta dia pergi segera dari Pandanlegi. Kalian dekat, kamu pasti bisa membujuknya."

Senyum Verro memudar dan matanya terlihat berapi-api. "Tidakkah menurutmu hukuman untuk Dara sudah memadai? Sepuluh tahun ini, apakah penderitaannya belum cukup, hingga dia tidak boleh menginjakkan kaki ke Pandanlegi? Sampai kamu harus menggunakan anjing-anjing Hellraiser-mu untuk menyerang Dara. Sepuluh tahun yang lalu, Dara berumur 16 tahun! Apakah adil melukai Dara hanya karena dia melukaimu... sepuluh tahun lalu?"

Panca tidak terpancing. "Jangan mengada-ada... apa yang terjadi sepuluh tahun lalu, aku sudah tidak peduli. Aku sudah memaafkan Bayu Wiyono dan keluarganya... meski tak ada satu pun dari mereka yang minta maaf."

"Semua orang tahu kamu dendam pada keluarga almarhum Bayu Wiyono, kamu ingin menghabiskan mereka sampai ke akar-akarnya, tapi kamu tidak perlu menggunakan tangamu sendiri! Takdir terlalu baik untukmu, kini keadaan jadi terbalik... Dara yang membuat kamu yang sebatangkara, terusir, kini Dara yang jadi sebatangkara dan terusir di mana-mana."

Kini Hanan yakin bahwa Verro sampa pintarnya dengan Panca untuk urusan menyembunyikan emosi, karena selama obrolan mereka tadi Verro amat beradab, berbeda dengan kepribadian meletup-letup yang kini dia tunjukkan.

Panca hanya bisa mengela napas. "Lupakan aku pernah bertanya... lupakan. Terserah kalian saja," kata Panca membalikkan badan dan berjalan menjauh.

Panca bisa mendengar Hanan tetap tinggal dan meminta maaf. "Sekaligus. saya harap, kesediaan Pak Verro untuk menghadiri PLPP tidak terganggu karena kejadian ini."

"Tidak. Saya akan tetap ikut. Kalau semua orang mencampuradukkan pribadi dan kerjaan, kapan selesainya urusan," kata Vero, tertawa.

Hanan kembali berkata, "Pak Panca hanya menginginkan yang terbaik untuk semua orang... Pak Panca benar. Kalau bisa, sebaiknya Bu Dara tidak tinggal terlalu lama di sini."

Meski sudah berjalan cukup jauh, Panca bisa mendengar jelas ucapan Verro. "Tulang rusuk Dara retak. Jangankan pulang ke Lampung... Dia harus bedrest total, salah bergerak sedikit saja airmatanya sampai meleleh. Tapi kasih tahu Pak Panca, tak perlu repot-repot bertanya soal keadaannya. Dara sudah memaafkan Fadlan, sudah memaafkan Hellraiser, dan sudah memaafkan Pak Panca... meski tak ada satu pun di antara kalian yang meminta maaf padanya."*

______________________________________________

A/N:

*Apa tuh katanya.... kita adalah antagonis di cerita orang lain? :))))))

Continua llegint

You'll Also Like

Taoreru Per sf

Literatura romàntica

19.5K 2.9K 48
Edwin, mahasiswa kedokteran gigi yang memiliki mimpi menjadi musisi. Luna, mahasiswa kedokteran gigi yang memiliki mimpi sesuai prodi yang dia ambil...
Naughty Nanny Per 23

Literatura romàntica

6.8M 339K 74
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
The Love Script Per ASH

Novel·la juvenil

24.6K 2.9K 25
Liburan ke Puncak: check. Sobat cewek yang asik: check. Cowok-cowok yang baru dikenal: ...check? Mika sempat yakin liburannya dan teman-temannya baka...
[Not] Fellowship Per Eka Pertiwi

Literatura romàntica

1.3M 95.6K 52
COMPLETE🔥 [Bag. 1-51] Sejak ditinggal kekasih ke luar negeri, Ola jadi sering menghabiskan waktu bersama Raza, sahabatnya sejak masa SMA. Meskipun t...