Bulan Terbelah Dendam

By sundayshoes

803K 98.5K 6.9K

Dara pernah punya segalanya, lalu dia bertemu Panca. Panca pernah tak punya apa-apa, lalu dia bertemu Dara. S... More

Prolog
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
27
28
29
BTD Ext : Dua Nama di Asmaul Husna

26

21.7K 3K 243
By sundayshoes

Agak ngantuk pas ngetik bab ini, kalau ada typo mohon petunjuknya~

***

Seperti Dara, Panca tahu Farah sudah kembali ke Semarang. Tak seperi Dara, informasi itu tidak didapatnya dari Heri. Farah sendiri yang langsung mengatakannya.

Sejak kericuhan di rumahnya beberapa malam lalu, Farah hanya sekali mengirim pesan pada Panca.

Aku sudah di Semarang. Kita harus bicara, Mas...  

Tapi Panca tidak ke Semarang untuk menemui Farah atau untuk bicara dengannya.

Panca datang ke Semarang untuk menemui Hashim. 

Pukul sembilan pagi itu, Panca sudah berada di depan rumah mewah keluarga Hashim. Salah satu asisten rumah membukakan pintu dan mempersilakan Panca masuk. Saat Panca mengutarakan niatnya untuk menemui Hashim, sang asisten mengernyitkan alisnya dan memastikan sekali lagi, "Bukan untuk menemui Mbak Farah?" tanyanya.

Panca menggeleng. "Mau ketemu Pak Hashim," kata Panca dengan tegas.

"Oh, soalnya mbak Farah sudah wanti-wanti kalau..." Asisten itu berhenti sejenak lalu mengangguk. "Kalau mau ketemu Pak Hashim, sebelah sini Pak... jam segini beliau masih berjemur di pinggir kolam renang."

"Kalau begitu, biar saya ke sana sendiri."

Asisten rumah tangga itu setuju akan usul Panca, lalu pamut pergi. Panca mengela napas panjang sebelum melangkah membuka pintu kaca ganda yang menghubungkan bangunan rumah utama dengan area kolam renang.

*** 

Hashim sudah melihat Panca saat pria itu keluar rumah, lalu mlambaikan tangan. Hashim sedang duduk selonjoran di kursi rotan.

Mereka bertukar kabar ringan sesaat--kesibukan Panca, liburan Hashim--sebisa mungkin menghindari topik berat seperti penggerebekan Hellraisers.

"Mau serbat? Sekalian habis ini Ayah mau nambah," kata Hashim sembari menyeruput minuman dari cangkir keramik di samping kursi malasnya. 

Panca menggeleng. Dia tidak ke sini untuk bicara dengan Farah. Dia jelas tidak ke sini untuk minum serbat. 

"Ayah?"

Hashim baru hendak memanjangkan leher, berusaha mencari asisten rumah untuk dimintai tolong. 

Begitu mendengar Panca bicara, pria paruh baya berbadan gempal itu mengurungkan niatnya dan berkonstrasi sepenuhnya pada Panca. "Ya?"

Panca menggertakkan gerahamnya. Panca sudah mengulang-ulang apa yang hendak dia tanyakan. Pertanyaa itu sudah dia ingat jauh di luar kepala. Tapi melontarkannya tak semudah itu.

Ini jauh lebih menakutkan dari yang dia kira.

Apa pun yang terjadi, Hashim adalah satu-satunya pria di dunia ini yang dia panggil Ayah. Meski keluarga ini tak sempurna, tapi inilah satu-satunya keluarga yang Panca ketahui... yang Panca miliki.

Di tengah kalutnya pikiran, Panca meletakkan ujung jemari di bibirnya... dan mendadak kebimbanganya sirna. 

Dia masih bisa merasakan manis dan ranumnya bibir Dara bertemu dengan bibirnya, lembutnya tubuh gadis itu dalam rengkuhannya. 

Apa yang akan Panca lakukan mungkin akan menyakitkan semua orang, membongkar duri lama yang sudah dilapis daging, mengkoreknya, berusaha mengeluarkannya, membuatnya kembali berdarah. 

Tapi Panca tidak punya pilihan. Dia harus melakukan ini demi Dara.

Semua demi Dara. 

"Ayah..." kata Panca. "Ayah sering kepingin diberitahu kalau ada keluarga Pak Bayu atau Bu Siska datang ke Pandanlegi. Kenapa?"

Hashim mengangguk. "Ya memang begitu? Tapi bukannya mereka sudah meninggal?"

"Ya."

"Kedua putrinya juga sudah meninggal kan?"

Jantung Panca nyaris copot. Kalau ada meja kayu dekat sini, rasanya dia ingin mengetuknya tiga kali. Panca bukan orang yang percaya tahayul tapi apalah artinya mengetuk kayu tiga kali kalau memang itu bisa menghalau nasib buruk.

  "Tidak, tidak, bukan begitu. Putri sulungnya sudah tiada, tapi putri bungsunya masih hidup," kata Panca. Berusaha menyetir pembicaraan ke jalur yang dia inginkan, Panca kembali bertanya, "Apakah ada alasan mengapa Ayah menemui mereka?"

"Uh... itu..."

"Apakah Ayah dan keluarga Bayu punya rahasia?"

Hashim tertegun. Pertanyaan Panca terlalu tajam untuk disebut sebagai meraba-raba. "Rahasia apa?" tanya Hashim pelan.

"Soal siapa yang memberiku modal untuk memulai Rezeki Pandansari?" tanya Panca. Suaranya gemetaran, tenggororkannya tercekat. 

Mata Hashim membelalak lebar, lalu kepalanya menunduk.

Panca memejamkan matanya kuat-kuat melihat reaksi Hashim. Bahkan tanpa jawaban verbal, Panca sudah bisa memahami maksud Hashim dan ini jauh lebih sulit yang dikira Panca.

Karena saat kebenaran terungkap, bagaimana Panca harus hidup dengan dirinya sendiri? 

Memang dia tidak pernah terang-terangan menjelekkan nama keluarga Bayu, tapi dia juga tidak mengatakan  apa-apa saat semua orang mencerca Bayu dan Ika. Dia tidak melakukan apa-apa saat Ika datang ke Pandanlegi dan dihina orang-orang. Dia tidak melakukan apa-apa saat Lintang datang dan harus pergi terbirit-birit dari Pandanlegi karena diancam Hellraisers...

Dia tidak melakukan apa-apa saat Hellraisers mengejar Dara, melemparinya dengan batu, membiarkan gadis itu tergeletak di trotoar berlumur darah dan lumpur sisa hujan...

Dia bahkan dengan angkuhnya menghalangi Dara untuk melaporkan Hellraisers. 

Berapa pun yang diminta, berapa pun yang dibutuhkan, akan aku keluarkan...

Sejak kapan Pak Panca mengira semua bisa diselesaikan dengan uang?"

Anggota Hellraisers adalah teman-teman Fadlan... umur mereka paling baru 20 tahun, kehidupan mereka masih panjang...

Pak Panca tahu apa yang sudah aku lakukan waktu umurku 20 tahun?

Kini, tiap kilas balik terasa seperti silet yang mengiris hati. Tiap percakapan mereka, ketika dipandang dari sisi berbeda, terasa seperti tamparan.

Dara, apa yang sudah kamu lakukan saat umurmu baru 20 tahun?

Dicerabut dari akar, berpisah dari kampung halaman dan teman, memulai kehidupan baru di tanah seberang, menguburkan orang-orang yang jadi tumpuan hati pengharapannya, merelakan masa mudanya hilang...

Meski sudah tahu apa jawaban Hashim dari gesturnya, Panca tetap menguatkan diri untuk kembali bertanya. Sesuatu sepenting ini, Panca harus mendengarnya dari mulut Hashim sendiri.

"Uang sebesar delapan juta itu? Apakah Ayah dapat dari keluarga Bayu Wiyono?"

 Hashim menatap Panca, lalu menggelengkan kepala perlahan. "Harusnya kamu tidak boleh tau..."

"Kenapa?" tanya Panca, suaranya nyaris tak terdengar.

"Mereka tidak mau dianggap berusaha membeli harga dirimu dengan uang," kata Hashim.  "Apa yang terjadi padamu, tidak bisa dibeli dengan delapan juta... uang itu sepenuhnya hakmu, bekal untuk menjalani hidup baru. Semua yang bekerja di Pak Bayu dan Bu Ika juga selalu mendapat pesangon setelah mereka keluar kerja, meski jumlah dan bentuknya berbeda..."

"Aku tahu," kata Panca pelan. "Justru karena itu aku curiga..."

Hashim mengangkat kepalanya. "Jadi memang tidak ada yang memberitahumu? Memang kamu hanya menebaknya saja?" tanya Hashim. 

Panca mengangguk. "Tapi kenapa bisa sampai sejauh ini?"  tanya Panca, masih sulit menerima. Mendadak dia ingin kembali ke Pandanlegi. Dia akan menelepon Hanan dan menyusul mereka. Dia ingin memeluk Dara erat-erat, menyusupkan wajahnya ke leher gadis itu, merapalkan pengampunan dalam hati, melakukan segalanya untuk menebus dosanya pada Dara, pada Pak Bayu, pada Bu Ika....  

Seakan bisa membaca pikiran Panca, Hashim berkata, "Tapi InsyaAllah mereka ikhlas. Beberapa kali Ayah sempat menelepon Bu Ika. Apa yang menjadi kesalahan sesama manusia, harus dimintakan ampun di dunia. Menurut Bu Ika, derita dunia hanya sementara, yang penting kamu mau memaafkan mereka karena sudah menganiayamu..." kata Hashim. "Apa kamu memaafkan mereka, Panca?"

Panca mengangguk, air mata meleleh di pipinya. "Aku sudah memaafkan mereka, Ayah... semoga mereka juga mengampuniku."


Hashim menghela napas. "Kalau begitu, insyaAllah mereka kini sudah tenang. Semoga keikhlasanmu memaafkan jadi pemberat amal mereka sekeluarga di alam kubur...."

Perasaan itu datang lagi. Perasaan ingin mengetuk meja kayu tiga kali.

"Bukan mereka sekeluarga, Ayah..." sergah Panca gemas. "Putri bungsunya masih hidup."

"Ah... Betul, anak bungsunya ya..." kata Hashim.  "Kasihan juga, sebatangkara, dan harus menjaga rahasia begitu beratnya. Mungkin menang sudah nasib anak bungsu."

Kini Panca mengernyitkan dahi. "Maksud Ayah?"

"Di keluarga kita juga tidak ada yang tahu soal asal muasal uang delapan juta itu.... kecuali Fadlan." 

Rasanya seperti disiram air es dari kepala hingga kaki. Bagaimana mungkin itu luput dari perhitungan Panca?

Tidak heran Fadlan secara spesifik selalu melindungi Panca dan Rezeki Pandansari. Tidak heran Fadlan selalu berusaha mengusir keluarga Bayu dan Ika, selalu menekan orang-orang yang simpati terhadap keluarga Bayu dan Ika.

Mengira diamnya Panca adalah kode untuk bercerita lebih lanjut, Hasim melanjutkan, "Bukan kesengajaan, lebih karena dia yang membuka pintu rumah saat Bu Ika dan Bu Sunar datang mengantarkan uang," kata Hashim. 

"Mungkin karena itu Fadlan selalu terlibat masalah dan kenakalan, dari anak baik-baik sampai mendirikan Hellraisers..." jelas Hashim lagi. 

Panca mengangkat wajahnya, shock karena Hellraisers, hal yang selama ini dia dan Farah mati-matian berusaha tutupi dari Hashim malah dengan gamblang disebutkan pria itu.

Hashim menyadari keterkejutan di wajah Panca, karena kemudian dia tersenyum lemah. "Ayah tahu soal Hellraisers, Panca... Sulit untuk menutup rahasia hal sebesar itu. Tapi ayah tidak tega mengatakannya terang-terangan karena kalian sungguh berusaha keras menutupinya dari Ayah...." katanya sembari menghela napas berat. Hashim lalu meneruskan, "Fadlan selalu tahu, bahwa segala kenyamanan yang kami sekeluarga rasakan, bukan benar-benar milik kami... "

"Fadlan selalu tahu, bahwa segala kenyamanan yang kami sekeluarga rasakan, bukan benar-benar milik kami...  "

Continue Reading

You'll Also Like

3K 593 35
Sana Aria Mahendra adalah tipe anak ayah. Ketika nama ayahnya dinyatakan sebagai salah satu penumpang pesawat yang menghilang. Dalam lubuk hati Sana...
113K 15.8K 36
Kesalahan terbesar Kallenya Sashmita Wangsa (Alena) di masa lalu adalah, membuang anaknya sendiri. Tahun-tahun berlalu, Alena pikir bisa melupakannya...
67.6K 10.5K 35
MAUVE Diawali dengan jatuh cinta pada pandangan pertama. Di atas bus pada suatu sore sepulang latihan tari. Aneh rasanya, gue yang suka nge-cover dan...
1.3M 95.6K 52
COMPLETEšŸ”„ [Bag. 1-51] Sejak ditinggal kekasih ke luar negeri, Ola jadi sering menghabiskan waktu bersama Raza, sahabatnya sejak masa SMA. Meskipun t...