Bulan Terbelah Dendam

By sundayshoes

803K 98.5K 6.9K

Dara pernah punya segalanya, lalu dia bertemu Panca. Panca pernah tak punya apa-apa, lalu dia bertemu Dara. S... More

Prolog
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
28
29
BTD Ext : Dua Nama di Asmaul Husna

27

22.3K 3.1K 214
By sundayshoes

Maybe some moments weren't so perfect
Maybe some memories not so sweet
But we have to know some bad times
Or our lives are incomplete
Then when the shadows overtake us
Just when we feel all hope is gone
We'll hear our song and know once more
Our love lives on
-

How Does A Moment Last Forever - Celine Dion

***

Dara mengeratkan jaket yang dia kenakan, angin lembah yang berembus terasa menggigit. Dia mengambil cangkir teh di meja di dhadapannya. Tehnya sudah dingin, tapi Dara tetap menyesapnya.

Restoran itu memiliki ciri-ciri khas restoran outdoor yang dibangun untuk menarik wisatawan, dibangun di sisi bukit yang dikeruk, dipasangi tiang-tiang beton dan dicor.. Tidak seperti menu-menu Restoran Mbak Jengket yang super sedap dan berbumbu medhok, orang datang ke sini untuk pemandangannya.Menu makanannya sendiri tak jauh-jauh dari roti bakar, mie instan, kentang goreng, teh hangat dan minuman serbuk rasa jeruk. 

Dari tempat Dara duduk, terlihat ladang terhampar sejauh mata memandang, keliuk jalan dan genting rumah-rumah aneka warna terlihat kecil.

Restoran ini luar biasa penuh kala akhir pekan, namun senyap pada hari Selasa seperti sekarang. Ideal untuk membuat janji temu dengan Fadlan.

Dara menolehkan kepala ke arah salah satu meja, mengecek kehadiran Hanan di sana. Kebetulan sekali, Fadlan baru melangkah masuk melewati meja kasir. Lelaki itu mengangguk pada Hanan yang berdiri sembari membalas anggukan Fadlan. Melewati meja Hanan, Fadlan lalu berjalan lurus menuju meja Dara.

Angin lembah yang dingin berembus sekali lagi. Dara kembali memeluk dirinya sendiri. Tangannya baru dilepaskan saat Fadlan sudah berdiri di hadapannya.  Dara berdiri sejenak, mempersilakan Fadlan duduk. Setelah Fadlan duduk, barulah Dara duduk.

Dara mengamati sejenak wajah Fadlan. Meski sudah merasakan aneka kesulitan hidup karena lelaki muda ini, Dara tidak pernah benar-benar berhadapan dengannya.

Mata Fadlan bening kecoklatan. Hidungnya bangir, rambutnya sedikit bergelombang dan kulitnya bersih. 

Kalau sedang terlihat kesetanan seperti yang dialami Fadlan beberapa hari yang lalu, ketampanannya sama sekali tak terlihat. Tapi di siang hari yang sedikit mendung seperti ini, ketika ekspresinya terlihat beradab, Dara bisa melihat kesamaan Fadlan dengan Farah. Keduanya memiliki paras yang sungguh rupawan. 

"Mau pesan sesuatu?" tanya Dara, setelah Fadlan duduk.

"Tidak perlu. Katakan apa yang ingin kamu katakan, lalu aku bisa pulang. Aku masih punya banyak urusan." Suara Fadlan ketus, tapi Dara sudah memperhitungannya. Dara hanya mengangguk mendengar jawaban itu.

"Aku ingin menawarkan perdamaian, untuk kebaikan Hellraisers dan Pandanlegi."

Dahi Fadlan berkerut. "Menawarkan? Kamu pikir kamu siapa? Kamu cuma tamu di sini. Penduduk sini juga bukan."

Dara hanya tersenyum tipis. Tak perlu ngegas Bung, memang siapa juga yang mau jadi penduduk Pandanlegi...

Dara menunduk sedikit, mengambil kantung kertas coklat yang sudah dia siapkan di dekat kakinya.

Dara minta dijemput Hanan sejak pukul enam pagi ini demi isi kantong coklat ini. Sejam lalu setelah Dara yakin yang dia perlukan sudah lengkap, barulah dia berani mengajak Fadlan bertemu.

Dara meletakkan kantong itu di meja. "Kamu harus berjanji untuk mengendalikan Hellraisers. Terserah kalian mau tetap jadi klub motor atau membubarkan diri dan membentuk klub berkebun, aku tak peduli. Tapi tidak ada lagi kejahatan seperti yang selama ini sudah kalian lakukan."

Fadlan tertawa terkekeh. "Dan kamu bisa menyuruh-nyuruhku karena?"

Dara memiringkan kantung kertas itu dan membiarkan isinya keluar terhampar di meja, sebelum menyusunnya dengan rapi satu per satu, sembari menyebutkan benda-benda itu. "Ini semua bukti penyeranganku. Keterangan visum, fotoku saat baru masuk RS, hasil rontgen, tapi ini..." Dara mengambilkan stik USB dan mengacungkannya. "Kamu kenal lelaki bernama Hanan itu kan?" tanya Dara, menggunakan matanya dia menunjukkan ke arah Hanan yang kini sedang melihat ke arah mereka sembari tersenyum kecil .

Fadlan sudah memucat saat melihat isi kantung kertas itu. Dia tahu ancaman tersirat Dara. Kalau dia tidak menerima tawaran Dara, gadis itu akan membawa semua bukti-bukti ini ke kantor polisi. Anggota Hellraiser yang kini ditahan akan mendaopat ancaman huhuman yang jauh lebih berat karena terlibat penganiayaan.

Tapi Fadlan berpura-pura tak terpengaruh pada ancaman Dara dan melirik juga ke arah Hanan. "Ya, aku kenal Hanan. Memangnya kenapa?"

"Hanan jauh lebih memahami seluk beluk Rezeki Pandansari dan usaha-usaha Panca. Panca mungkin lupa kalau dia punya sebaris toko di jalan utama kecamatan tapi Hanan tidak lupa." Dara meletakkan stik USB itu ke meja, sementara dia menjejalkan tangan ke kantung jaket dan bersandar ke kursi. "Pagi ini aku meminta tolong Hanan untuk mencari bukti video penyeranganku. Hanan berhasil mendapatkannya dari salah satu CCTV dari bangungan toko yang dimiliki Panca. Dalam waktu satu jam saja, Hanan sudah menggandakan videonya dan memberi satu kopi untukku."

Dara menegakkan tubuh, menatap mata Fadlan lekat. "Satu kopi lainnya dipegang salah satu karyawan Pandansari yang sekarang sedang bersiap di halaman kantor polisi. Hanya butuh satu telepon dariku atau dari Hanan, dan karyawan itu akan langsung masuk ke dalam kantor, menyerahkan barang bukti ini ke polisi yang berjaga."

Fadlan merasa tenggorokannya mendadak kering. Tadinya dia tidak peduli dengan isi stik USB itu, mengira isinya hanya kopi dokumen visum atau hasil ronsen.

Tapi saat Dara mengatakan stik USB itu berisi video penyerangan, segalanya jadi berubah.

Sama seperti video yang diambil Dara membuat anggota Hellraisers terserok polisi dengan mudah, video penganiayaan Dara akan menjadi bukti tak terbantahkan akan keterlibatan Hellraiser. 

Bukti visum masih bisa dihindari tapi bukti video lebih sulit untuk ditangkis.

Belum lagi, Fadlan yakin, dalam video yang dimiliki oleh Dara sekarang, ada wajahnya terpampang di sana.

Fadlan tahu, dia sudah tersudut, tapi dia terlalu keras kepala untuk mengakuinya.

Dia hanya menatap Dara dengan pandangan penuh kebencian tanpa mengatakan apa-apa.

Dara mengecek arlojinya sekilas. Sudah pukul sebelas lebih sepuluh. Padahal dia berencana untuk kembali ke rumah Panca sebelum makan siang. Proses mengumpulkan bukti waktu yang lebih lama dari yang dia kira. Dan kini, melihat Fadlan begitu keras kepala untuk menyanggupi permintaannya.

Kalau boleh memilih, Dara tak ingin berada lebih lama lagi di sini... Dia ingin segera pergi dari Pandanlagi. Secepatnya kalau bisa. Di sini, perasannya berantakan, telinganya sering berdenging, suasana hatinya naik turun. Segala kekacauan itu selalu mereda setiap kali Dara berada dekat Panca.

Bersama Panca, kesunyian terasa menyelimuti, dunia mendadak kembali tenang, kecemasan menguap begitu saja.

Tapi dia tidak bisa menggantungkan ketenangan hidup dari orang lain. Kedamaian seharusnya harus bersumber dari diri sendiri. Dia harus seceparnya pergi dari Pandanlegi, entah kapan dia akan kembali lagi. Tapi sebelum itu, Dara untuk memastikan agar Hellraisers berhenti meneror Pandanlegi, meneror orang-orang yang dekat dengannya dan keluarganya.

Dara harus menyelesaikan urusan ini secepatnya, lalu pulang secepatnya. 

Panca bilang dia akan kembali sebelum makan siang, dan Dara juga bermaksud untuk berada di rumah sebelum Panca datang.

Dia tidak mau Panca khawatir kalau pria itu pulang dari Semarang dan mendapati Dara belum ada di rumah.

Dara menghela napas. "Sejak kapan kamu tahu?" tanya Dara, akhirnya memutuskan untuk mempercepat negosiasinya dengan Fadlan memakai satu-satunya cara yang dia tahu.

Wajah Fadlan yang sebelumnya terlihat bengis terlihat kebingungan sejenak. "Sejak kapan apanya?"

"Sejak kapan kamu tahu bahwa modal awal Rezeki Pandansari berasal dari keluarga aku?

Wajah Fadlan menggelap. Perubahan itu begitu kentara, sampai Dara tidak merasa harus bertanya ulang.

Firasat Dara benar. Fadlan memang tahu. 

"Jadi memang benar..." kata Dara pelan.

Dara selalu tak habis pikir mengapa Hellraisers dan Fadlan seolah membangun tembok tinggi di sekeliling Panca dan Rezeki Pandansari. Mengapa lelaki itu sampai begitu membencinya sampai tanpa provokasi apa-apa, dia menganiaya Dara di hari pertama Dara menginjakkan kaki di Pandanlegi.

Kini, semua jadi terasa masuk akal... orang-orang lemah selalu takut akan apa yang mereka pikirkan, dan menggunakannya sebagai alasan untuk menjahati orang lain.

Fadlan menggertakkan gigi. "Iya, aku tahu uang itu dari keluargamu...Lalu bagaimana perasaan kamu sekarang? Bangga? Merasa seperti malaikat? Merasa bahwa kamu dan keluargamu lebih baik dari keluargaku dan keluarga orang lain?" semprot Fadlan tanpa ampun. Lelaki itu mendengus dan tersenyum sinis. "Aku tahu siapa kamu, Dara."

Emosi sudah membuat pelipis Dara berdenyut. "Oh ya? Memangnya siapa aku, Fadlan?"

"Waktu aku masih SMP, keluargaku sangat miskin... Aku pernah injak-injak dan dibully oleh teman-temanku. Waktu itu ada satu orang kakak kelas yang membantuku. Semua orang tidak ada yang berani. Hanya satu kakak kelas itu yang berani menegur anak-anak yang mengangguku," kata Fadlan. "Kakak kelas itu kamu."

Dara tidak ingat kejadian itu, tapi melihat mata Fadlan yang melotot merah, dia tidak mengatakan apa-apa.

"Tapi kamu berani menegur mereka karena mereka kenalanmu, dan kamu putri orang terkaya di Pandanlegi. Kamu menyelamatkan aku bukan karena itu adalah hal yang benar, tapi karena kamu ingin dibilang sebagai orang baik."

"Orang seperti aku dan keluargaku hanya alat agar kalian jadi seperti pahlawan... Ayahku dibayar tiga juta untuk menampung Panca di rumah kami yang sempit dan menyedihkan. Aku melihat ayahku memeluk kaki ibumu karena uang tiga juta itu akan digunakan ayah untuk menebus ijazah Mas Farid yang tertahan," kata Fadlan, suaranya gemetaran penuh amarah. "Kamu tahu apa rasanya melihat ayah kandungmu mennyurukkan wajah di kaki orang lain, hanya karena kami miskin? Aku yakin ibumu pasti merasa bahagia disembah begitu..."

Dara memejamkan mata, tapi Dara tahu, segala kemarahan dalam diri Fadlan bukanlah urusannya. 

Dan meski dia tak berutang penjelasan apa-apa pada Fadlan, Dara berkata, "Kamu tahu Fadlan? Ada yang namanya amal jariah, jenis amal yang akan selalu mengalir meski seseorang sudah tiada. Ada yang mengatakan amal jariah terdiri dari tiga perkara, ada yang mengatakan amal jariah terdiri dari sepuluh perkara. Ilmu bermanfaat yang disebarkan, anak shaleh, menanam pohon kurma atau pohon kelapa, mewariskan Al-Quran, menjaga perbatasan wilayah, mengalirkan air sungai, menggali sumur, membangun rumah untuk musafir..." 

Setelah itu, Dara bertanya, "Kamu tahu apa kesamaan amal-amal tersebut, Fadlan?"

Fadlan menatap Dara dengan tatapan sengit. "Aku tidak jauh-jauh datang ke sini untuk kamu ceramahi."

"Percayalah, aku juga tidak mau menceramahimu, tapi seseorang harus melakukannya. Kalau keluargamu tidak bisa, biar aku yang melakukannya," kata Dara tajam.

Fadlan terlihat kaget melihat Dara melawan balik. Tapi kemudian Fadlan ingan perempuan di hadapannya ini menjebloskan hampir seluruh Hellraisers ke penjara. 

Tak memberi kesempatan bagi fadalan untuk menjawab, Dara meneruskan. "Kesamaan amal-amal tersebut, semuanya adalah hal yang mendatangkan manfaat bukan buat kita, tapi buat orang lain... Bayangkan kalo amal jariah ditentukan dari jumlah hadist yang dihapalkan atau jumlah rakaat sholat yang dikerjakan dalam sehari? Semua orang akan sibuk beribadah di masjid, sibuk menghapal di rumah masing-masing. Tidak ada yang keluar rumah untuk membantu orang lain, untuk bahu-membahu memastikan kedamaian, keselamatan dan kelestarian kaum-kaum di muka bumi."

Air mata sudah meleleh di pipi Dara, tapi suaranya masih jernih dan tenang. "Fadlan, aku tidak sepertimu yang masih diberi rezeki untuk bersama orangtua mereka. Aku sudah yatim piatu... Aku juga sebatangkara. Kakakku satu-satunya sudah meninggal. Kalau kamu mengira semua langkah yang aku ambil, semua kesabaranku, hanya karena aku ingin dipandang sebagai orang baik oleh orang lain, sungguh kamu tidak kenal aku."

"Dalam hidupku yang entah sampai berapa lama lagi ini, aku hanya ingin menjadi orang yang mendatangkan manfaat, atau minimal, tidak membuat hidup orang lain susah..." 

"Aku tidak peduli pandangan oranglain, aku tidak peduli apakah aku dipermalukan atau dielu-elukan. Aku hanya peduli pada satu hal; aku hanya ingin menjadi anak solehah. Demi Bapak dan Ibu. Karena hanya dengan cara itu aku bisa membalas kasih sayang mereka. Bapak dan ibuku sangat mencintaiku. Mereka selalu memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Dalam keleluasaan harta maupun dalam kesempitan dunia, aku selalu merasakan kasih sayang mereka."

Fadlan mematung di kursinya mendengar ucapan Dara.

"Jadi, Fadlan... sungguh kamu tidak kenal siapa aku." 

***

A/N:

Take care everyone, sehat selalu ya semuanya. 

Jumpa lagi Panca Dara di bab selanjutnya yaa~

Continue Reading

You'll Also Like

1.3M 95.6K 52
COMPLETEšŸ”„ [Bag. 1-51] Sejak ditinggal kekasih ke luar negeri, Ola jadi sering menghabiskan waktu bersama Raza, sahabatnya sejak masa SMA. Meskipun t...
67.6K 10.5K 35
MAUVE Diawali dengan jatuh cinta pada pandangan pertama. Di atas bus pada suatu sore sepulang latihan tari. Aneh rasanya, gue yang suka nge-cover dan...
113K 15.8K 36
Kesalahan terbesar Kallenya Sashmita Wangsa (Alena) di masa lalu adalah, membuang anaknya sendiri. Tahun-tahun berlalu, Alena pikir bisa melupakannya...
4.6K 748 42
Bintang adalah gadis yang terisolir dari pergaulan. Banyak yang salah kaprah dan menyebutnya "ansos". Akibat sebuah foto seorang cowok yang ia ambil...