Bulan Terbelah Dendam

By sundayshoes

803K 98.6K 6.9K

Dara pernah punya segalanya, lalu dia bertemu Panca. Panca pernah tak punya apa-apa, lalu dia bertemu Dara. S... More

Prolog
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
25
26
27
28
29
BTD Ext : Dua Nama di Asmaul Husna

24

22.6K 2.9K 371
By sundayshoes


Farah menyandarkan tubuh di kap mobil, kedua tangannya sidekap di depan dada. Kukunya yang termanikur rapi mengetuk-ngetuk lengannya dengan gugup.

Dia menatap Fadlan, yang berdiri di depan gerbang rumah Verro, dikelilingi setidaknya selusin anggota Hellraisers yang tidak ditangkap oleh polisi bari ini. Mereka bicara dengan nada pelan, penuh perhitungan.

Kalau boleh memilih, Farah ingin pulang saja. Kembali ke kehangatan dan keamanan rumah Panca. Kembali pada perlindungan Panca... tapi untuk untuk itu, dia harus melindungi Fadlan terlebih dahulu.

Karena sepanjang yang Farah ingat, untuk pertama kalinya, Panca tidak terlihat berminat melindungi Fadlan dan Farah merasa terpanggil untuk menggantikan Panca.

Hari ini terasa amat panjang, tapi masih tersisa 3 jam sebelum hari ini sungguh-sungguh berakhir...

Masih banyak hal yang bisa terjadi.

Fadlan dan teman-temannya yang tersisa masih bisa masuk penjara.

Itulah mengapa Farah ada di sini; untuk memastikannya tidak terjadi.

"Fadlan!" seru Farah, memanggilnya sekali lagi.

Fadlan hanya menoleh sejenak, menatap Farah sekilas, lalu kembali mengobrol dengan teman-temannya.

Farah mendengus.

Padahal dia bermaksud mengajak Fadlan pergi dari sini.

Masih ada waktu.

Sebelum penghuni rumah Verro atau malah Verro sendiri keluar menemui mereka. Kalau terjadi konfrontasi, bisa-bisa mereka memanggil polisi.

Tak berapa lama, gerbang pintu rumah Verro dibuka dan pria itu keluar, disusul enam orang berbadan tegap yang mengenakan jaket penerbang. Menyusul terakhir di belakang, Hanan keluar dan berdiri di belakang para polisi itu.

Farah merasa hatinya anjlok.

Kalau Farah saja tahu mereka adalah polisi, Fadlan pasti lebih paham lagi. Kalau Farah tahu betapa pentingnya posisi Hanan, Fadlan juga pasti tahu.

Polisi ada di sini... sudah dipastikan mereka tidak akan tianggal diam kalau Verro kenapa-kenapa.

Hanan ada di sini... sudah bisa dipastikan bahwa Panca juga tidak akan tinggal diam kalau Hellraisers macam-macam pada Hanan.

Fadlan menoleh ke arah Farah. Mereka bertukar pandang. Bagi Farah, tatapan Fadlan hanya bisa berarti satu hal; aku tak akan gegabah.

Tak punya pilihan lain, Fara hanya bisa mengangguk pelan sembari menggiti bagian dalam bibirnya.

Fadlan berjalan mendekati rombongan Verro yang baru keluar, angggiota Hellraisers yang lainnya menyusul di belakang fadlan, dua langkah di belakangnya.

"Pak Alverro Dian Susilo? Perkenalkan saya Fadlan Ansari." Fadlan tidak repot-repot mengulurkan tangan, tahu persis Verro tidak akan menerimanya. Dia berdiri menghadap Verro seementara itu, di belakang Verro, para anggota polisi dan Hanan tak mengatakan apa-apa. "Saya ingin bertemu Dara."

"Dara?" tanya Verro, menelengkan kepala.

"Sasadara Sakinah, jangan pura-pura pikun."

Farah memejamkan matanya kuat-kuat. Aku tidak akan gegabah? Jelas hanya khayalan Farah belaka.

Verro hanya menyunggingkan senyum mendengar ucapan Fadlan. "Saya tahu, saya hanya heran apa yang membuat kamu mengira boleh-boleh saja memanggil nama Dara seenaknya. Kalau kamu mau, kamu bolejh memamnggilnya dengan sebutan Bu Dara. Hormat sedikit."

Fadlan tertawa. "Apanya yang perlu dihormati?"

Kepala Farah mendadak pusing seketika. Bodoh sekali Farah mengira Fadlan akan bisa berdiplomasi dengan baik. Tidak bisa dibiarkan.

"Fadlan," tegur Farah singkat.

Karena satu ucapan itu, mata semua orang bergeser memandang ke arah Farah, baik Fadlan maupun Verro, anggota Hellraisers maupun anggota polisi.

Hanan juga.

"Bu Dokter Farah," kata Verro, dia tersenyum mengangguk dan menatap Farah. "Saya sampai lupa menyapa Ibu."

Farah menelan ludah.

Hanan segera meninggalkan barisannya dan mendekati Farah. "Bu—"

Tapi Farah mengangkat satu tangan, pertanda dia ingin diberi kesempatan bicara.

Semua orang, termasuk Hanan, terdiam.

Farah berjalan maju dan ketika dia sudah sampai di samping Fadlan, perempuan itu tersenyum kaku pada Verro dan mengangguk. "Pak Verro, maaf menganggu, Fadlan hanya ingin menemui Bu Dara untuk memastikan beberapa hal, tapi kalau Bu Dara memang tidak ada—"

Fadlan memotong. "Dia belum menjawab," sergahnya.

Farah menggertakkan gigi. "Kalaupun memang ada, memangnya Bu Dara mau menemui kita?" cetus Farah sembari melotot.

Dia menatap Fadlan lekat-lekat. Berharap Fadlan menyadari posisi mereka.

Saat Fadlan dan Farah datang ke sini tadi, bersama anggota Hellraisers yang tersisa, tak satupun dari mereka yang mengira bakal ada polisi di rumah Verro.

Jumlahnya pun tak hanya satu atau dua, tapi sekaligus lima.

Dan meski para polisi itu berdiri diam, berdiri tanpa suara di belakang belakang Verro, apakah mereka akan diam saja kalau pertemuan ini berubah jadi pertikaian???

Satu-satunya alasan Fadlan masih menghirup udara bebas sekarang hanyalah karena polisi tidak punya alasan untuk menangkap Fadlan.

Apakah Fadlan bakal membiarkan mereka menangkapnya semudah itu?

Farah masih melotot menatap Fadlan yang membalasnya dengan tak kalah tajam.

Kini Fadlan sudah terbiasa mendapatkan segala yang dia inginkan, tapi Fadlan juga pernah jadi anak yang hanya mendapatkan sepatu lungsuran dari Farid, kakak sulung mereka, yang kemudian harus bolak balik dilem dikarena solnya selalu menganga tiap terkena hujan. Meski begitu, Fadlan tidak pernah protes.

Fadlan tidak pernah mengeluh meski sering diledek teman-teman sekolahnya.

Sebelum Fadlan jadi brengsek, bebal, dan keras kepala begini, ada masa ketika Fadlan adalah anak yang penurut, manis dan pendiam.

Orang-orang ini tidak tahu, tapi Farah tahu.

Seburuk apa pun Fadlan, dia tetap adiknya. Bagaimana pun keluarga kita melakukan kesalahan, kita selalu akan berusaha memaafkan kesalahan mereka. Kita akan melakukan segalanya untuk membereskan kekacauan yang mereka tinggalkan.

"Fadlan..." kata Farah lagi, suaranya penuh peringatan. "Kamu baru pulang liburan tadi siang... kamu belum bisa berpikir jernih. Ada baiknya kita semua pulang malam ini."

Farah terdiam sebentar lalu kembali menekankan, "Ada baiknya kita semua pulang baik-baik malam ini. Betul kan Pak Verro?" tanya Farah, mendadak menoleh ke arah Verro.

Verro menatap Farah.Pria itu hanya menyunggingkan senyum lebar, tapi senyuman Verro tak sampai ke matanya.

Sorot mata Verro masih sama sejak tadi, menatap Farah dan Fadlan dengan sorot mata penuh ledekan.

Seolah Verro mengetahui sesuatu yang tidak diketahui Farah. Seolah Verro memiliki senjata pamungkas yang bisa sewaktu-waktu dia keluarkan.

Tatapan Verro merupakan jenis tatapan yang paling Farah benci, yang membuat hidup Farah tak tenang—bahwa tak peduli berapapun pencapaian yang sudah dia dapatkan, orang akan selalu ingat bahwa mereka pernah jadi orang susah.

Meski nasib Panca juga sama—malah Panca jauh lebih susah darinya, Farah merasa Panca tidak pernah dihakimi seperti yang dirasakan Farah dan keluarganya.

Mungkin karena Panca sendiri yang membangun Rezeki Pandansari. Orang merasa apa yang didapat oleh Panca merupakan hak dia.

Sementara itu, Hashim dan anak-anaknya dianggap benalu yang mengisap sari-sari kekayaan Panca, mereka hanya dianggap beruntung, dianggap bertemu Panca di saat yang tepat saja.

Mungkin  karenanya Farid selalu rugi bermiliar-miliar, tidak pernah kapok ikut investasi bodong. Farah selalu membeli aneka tas desainer dan setelan mahal. Sementara Fadlan sibuk meneror orang dengan gengnya.

Mereka tiga bersaudara selalu punya lubang menganga dalam hati, mereka bertiga seperti harus membuktikan sesuatu. Farid selalu berpura-pura tidak punya hubungan dengan Panca dan Rezeki Pandansari sementara Fadlan bersikap seolah Rezeki Pandansari adalah urusannya.

Tinggal Farah yang berada di tengah-tengah, berusaha bersikap sewajarnya, meski makin lama rasanya makin sulit karena sikap Panca, Fadlan maupun semua orang membuat Farah seperti ingin menjambak rambutnya keras-keras.

Verro mengalihkan tatapannya yang menyebalkan itu dan menatap ke arah Fadlan. "Kurasa kakakmu benar, Fadlan. Ada baiknya kamu dan teman-temanmu pulang sekarang juga. Dara tidak ada di sini. Kalaupun kamu memang segitu tak sabarnya ingin masuk penjara, aku yakin Dara bisa mengaturnya..." Verro tersenyum miring. "Aku yakin tak ada yang mau kamu masuk penjara hanya karena hal sepele, seperti menerobos masuk rumahku..."

Fadlan sudah merangsek maju, dan teriakan Farah sudah hampir meluncur ke tenggorokannya. Polisi di belakang Verro sudah maju. Untungnya, anggota Hellraisers di kanan, kiri dan belakang Fadlan sigap menahan, hingga posisi kedua pihak yang saling berhadapan ini kini makin dekat, tapi kembali mematung.

Verro sama sekali tak terlihat takut melihat geraman dan sikap tubuh Fadlan yang penuh kemarahan. Lelaki itu malah tertawa.

"Kurasa temperamen kita sama, Fadlan. Kita bisa saja jadi teman, kalau ada kesempatan. Dan andai saja aku temanmu, aku punya satu nasihat bagus buatmu: you come at the Queen, you better not miss." Senyum Verro menghilang dan bibirnya menipis kejam. "Kalau kamu berusaha membunuh Ratu, kamu harus memastikannya berhasil dalam percobaan pertama... karena kalau gagal, kamu hanya akan membuatnya kesal. Dan saat dia kesal, saat itulah kamu akan menyesali pilihan-pilihan bodohmu selama ini..."

Selesai Verro berkata begitu, gemuruh petir lembut terdengar dari kejauhan. Pertanda hujan sebentar lagi datang.

***

Farah sudah terlalu kesal untuk bicara dengan Fadlan. Sesampainya dia di rumah Panca, Farah langsung masuk dari pintu yang menghubungkan garasi dengan ruang tengah, sementara Fadlan menyusul beberapa langkah di belakangnya.

Panca sedang di dapur, berdiri di depan dispenser. Ketika Farah mendekati Panca, lelaki itu terlihat sedang mengisi botol air kaca yang tinggi dan lansing sembari setengah melamun. Panca sampai tidak menyadari kehadiran Farah dan Fadlan dalam ruangan.

"Mas Panca?" panggil Farah.

Panca mengangkat kepala, sekaligus mematikan keran dispenser. Tatapannya yang tadinya kosong terlihat terfokus saat dia menatap Farah. Tatapan itu berubah jadi pandangan penuh curiga saat melihat Fadlan berjalan perlahan di belakang Farah.

Panca sudah terlihat ingin menyapa Farah, tapi sapaannya itu tertelan kembali dan Panca malah bertanya pada Fadlan, "Kamu tidak kembali ke Semarang, Fadlan?"

Mungkin semua orang sedang lelah, tapi Farah hampir membayangkan  nada suara yang tak bersahabat dari panca.

Yang mana, tentu saja, tidak mungkin.

Ynag dilakukan Fadlan memang keterlaluan, tapi tidak mungkin kan Panca sampai tidak membiarkan Fadlan beristirahat di rumahnya malam ini. Memangnya apa yang harus Fadlan dan  Farah lakukan? Kembali ke Semarang?

Fadlan jelas tidak akan mau, Farah sendiri sudah tidak punya tenaga untuk bertengkar.

"Ada yang perlu dibereskan Fadlan di Pandanlegi," kata Farah, mewakili Fadlan. Fadlan hanya diam saja, dia hanya menatap Panca dengan tatapan penuh bermusuhan, kedua tangannya dijejalkan di kantung jaket.

Panca menggeleng. "Aku sedang tidak bisa menerima tamu," katanya. "Farah dan Fadlan, aku akan memanggil sekuriti.. aku akan meminta mereka mengantar kalian menginap ke hotel malam ini, atau kembali ke Semarang. terserah kalian mau bagaimana. Tapi aku tidak menerima tamu malam ini..."

Setelah berkata begitu, Panca meletakkan botol di tangannya ke konter dapur dan mengambil ponsel dari kantong celana dan membuat panggilan. "Halo, Pak Ali? Bisa ajak Pak Deny juga? Ke rumah ya? Sekarang."

Farah dan Fadlan bertatapan sebelum Farah tertawa terbahak-bahak.

Tak mengindahkan ucapan Panca, Farah menggeleng. "Mas Panca, sejak kapan Mas Panca tidak bisa menerima tamu? Fadlan, mau minum apa?" tanya Farah, memasuki dapur melewati panca, dengan segala menyenggol bahu pria itu keras-keras.

Panca bergeming di tempatnya. Rahanngnya mengeras. 

"Kopi saja," kata Fadlan, suaranya sedikit berteriak karena kini Farah sudah berada beberapa belas meter darinya, mengambil gelas dari rak.

"Jangan keras-keras," kata Panca, nada suaranya tetap tenang, meski terdengar penuh penekanan. "Ada yang sedang beristirahat di kamarku."

"Siapa?"

Pertanyaan itu diucapkan berbarengan.

Fadlan, sembari mengernyitkan alis.

Farah, sembari membanting kedua gelas di tangannya ke permukaan meja.

Farah bisa mengira siapa yang kini sedang beritirahat di kamar Panca... yang meski pemandangannya membosankan, tapi adalah kamar Panca. Ruangan yang hampir sakral, satu-satunya ruangan di rumah ini yang hampir tidak pernah Farah masuki.

Farh bisa mengira, tapi dia tidak akan benar-benar percaya kalau bukan Panca sendiri yang mengatakannya.

Panca diam saja.

"Siapa?" bentak Fadlan lagi, sementara Farah hanya bisa mematung di tempatnya, keringat dingin terasa mengaliri punggungnya.

Panca menatap ke arah Fadlan lurus.

Di belakang Fadlan, Ali dan Deny berjalan perlahan.

Setelah Panca yakin bahwa mereka sudah berada cukup dekat untuk bisa menanggulangi Fadlan kalau pria muda itu bertindak bodoh, barulah Panca menjawab.

"Dara."

Fadlan gelap mata. Dia berusaha lari ke arah kamar Panca sembari berteriak, "Dicari kemana-mana ternyata ada di sini.... Anjing! Perempuan setan!"

Ali dan Deny sudah bersiap menangkap Fadlan, tapi mereka kalah cepat.

Panca sudah keburu melayangkan tinju ke rahang Fadlan. Suara tinju yang beradu dan rahang yang berderak terdengar begitu keras, sampai Farah menjerit sekencang-kencangnya.

Fadlan tersungkur ke lantai, sementara Panca hanya berdiri, menatap Fadlan dengan tatapan berkilat dingin.

***

Mata Dara membuka perlahan. Kepalanya berdenyut, perasaan sakit timbul tenggelam, sesekali hanya sakit sedikit, beberapa saat berikutnya nyeri tak tertahan.

Setelah hampir setengah jam menangis dalam pelukan Panca, campuran antara kelelahan dan stres membuatnya mendadak terserang demam.

Terakhir yang Dara ingat, Panca memberikannya tablet parasetamol dan menyuruhnya tidur di ranjangnya, lalu pria itu menyelimuti Dara hingga dagu. Samar-samar, Dara masih mendengar ketika Panca bilang dia akan mengambil air minum untuknya.

Dara tidak tahu berapa lama dia tertidur, tapi dia terbangun oleh suara berisik dari luar. Ketika Dara melihat ke arah jendela lebar di dinding kamar Panca, tetesan air hujan berkejaran turun.

Dara duduk di tepi ranjang beberapa saat, sebelum kemudian berdiri dan melangkah terhuyung menuju pintu kamar.

Rupanya keadaan di dalam kamar Panca nyaris kedap suara, karena ketika Dara membuka pintu, kericuhan terdengar begitu mengganggu. Suara alarm terdengar rendah, belasan sekuriti memasuki ruang tengah.

Dara berjalan keluar dan memanggil nama Panca. "Mas Panca? Jadi ambil airnya? Kenapa lama sekali?"

Panca berlari kecil menyusul Dara. "Jangan keluar dulu, Dara... ada yang harus aku urus, sebentar lagi aku masuk," kata Panca. Dara tidak bisa melihat apa yang terjadi di ruang tengah karena Panca menghalangi pandangannya. Lelaki itu tak mengizinkan Dara melihat terlalu banyak, jadi Dara hanya bisa melihat dari samping tubuh Panca.

Dara hanya mendengar suara erangam suara tangisan, dan suara belasan orang bertukar instruksi.

Tapi semua suara itu terdengar lamat-lamat di kepanya, karena yang bisa dia dengar dengan jelas hanya suara Panca.

Dan Panca bilang, Dara harus masuk kamar, maka Dara akan masuk kamar.

Dara menghela napas dan mengangguk. "Jangan lama-lama."

Panca tersenyum. "Iya," katanya, sembari mendorong lembut bagian sempit punggung Dara.

Sekali lagi, Dara melemparkan pandangannya ke ruang tengah.

Kali ini Dara bisa melihat Farah berjongkok, sembari menangis dan membelalakkan mata saat melihat Dara di ambang pintu kamar Panca, sementara tangan Panca setengah melingkari pinnggang Dara.

Di samping Farah, Fadlan sedang mengamuk di lantai, dipegangi setidaknya empat orang sekuriti. Begitu melihat Dara, Fadlan hampir seperti orang kesurupan, meracau dan memaki. Sayup-sayup, Dara bisa mendengar Fadlan menyebut-nyebut namanya.

Tapi kepala Dara sakit sekali, perasaan sakitnya datang timbul tenggelam. Jadi dia tidak tertarik mendengar dengan jelas apa yang hendak dikatakan Fadlan, Dara tidak tertarik menampakkan diri lebih lama lagi.  Dara membuang wajah dan melengos, membiarkan Panca membimbingnya masuk kamar.

Membiarkan Panca menutup pintu saat Dara sudah melangkah memasuki kamar, Dara bisa mendengar suara langkah kaki Panca menjauhi pintu....

Panca bilang sebentar lagi urusannya selesai, dan Dara percaya.

Panca bilang sebentar lagi dia akan kembali pada Dara.

Dan Dara percaya.

Continue Reading

You'll Also Like

657K 62.1K 44
D'Abang Seri 3 (bisa dibaca terpisah) PDF, buku, dan Karyakarsa sudah tersedia. Info lebih lanjut, baca di bab PDF Mas Bara ready dan Pre Order. Icha...
859 146 9
Pacar atau Sahabat? Awalnya, Sola berpikir bahwa ia tak lagi membutuhkan seorang kekasih karena kedua sahabat laki-laki Sola selalu setia menjaga da...
841 64 42
Pada malam pesta ulang tahunnya yang ke sembilan belas, Cindy mendapatkan sebuah cincin misterius bermata biru. Cindy meminta managernya, Evi untuk m...
5.6K 947 35
Peddie High School Series #2 Dikejar-kejar cowok urakan yang mengira dirinya bisu! Itulah yang dialami Mahda. Saat pertama kali bertemu dengan Bing...