Bulan Terbelah Dendam

By sundayshoes

803K 98.6K 6.9K

Dara pernah punya segalanya, lalu dia bertemu Panca. Panca pernah tak punya apa-apa, lalu dia bertemu Dara. S... More

Prolog
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
23
24
25
26
27
28
29
BTD Ext : Dua Nama di Asmaul Husna

22

20.9K 2.8K 339
By sundayshoes

A/N:
Halo semua,
Maaf banget author notes-nya di permulaan cerita, semoga ga mengganggu ya...
Karena banyak yang tanya sekalian aku jawab di sini, ok. Sebenarnya update BTD ga punya jadwal update tetap, cuma emang yang dulunya seminggu bisa 2-3 kali, kini rada melambat, alasannya karena aku kudu meriksa bolak-balik apakah ada plot yang kelewatan, apakah ada subplot yang belum 'terikat' sama konsistensi hint, belum lagi karena banyak flashback, aku juga kudu bolak-balik cek bab sebelumnya. Semoga menjawab yaa soal waktu update... tapi percayalah begitu satu bab selesai kutulis langsung kutayangkan di wp 🏋🏻‍♂️

Aku paham banget emang terlalu 'menggemaskan' (alias nyebelin🤣) kalau update lama, aku paham banget hampir semua tulisanku lebih cocok dibaca sekali duduk (karena sebagai pembaca aku anaknya gampang bosen jadi maunya ada yang 'mencengkeramku' untuk membuka halaman selanjutnya😂👍)

Tapi aku yakin kalian kuat.

Please baca pas ongoing karena, full disclosure, aku sedang mengirimkan naskah ini ke editor. Aku akan menamatkan naskah ini di wp tapi biasanya kalau dalam proses penerbitan, penerbit akan meminta beberapa bab untuk dihapus.

Semangat, okk!!! Jangan lupa untuk selalu jaga kesehatan... Sampai jumpa di update selanjutnya!!!

***

Sebelum mereka berdua memasuki dapur rumah Verro, Hanan berdiri sebentar di ambang pintu dapur.

Dari situ, dia bisa melihat ke arah ruang tamu rumah Verro. Terdapat setidaknya lima orang bertubuh tegap, bercelana coklat dan mengenakan jaket penerbang sedang mengobrol membentuk lingkaran. Wajah mereka terlihat cerah dan santai, pembicaraan mereka diselingi tawa, tapi sorot mata mereka terlihat tajam dan waspada.

Baik Hanan dan Verro slaing berpandangan.

"Sedang banyak tamu ya, Pak?" tanya Hanan basa-basi.

Verro mengedik. Polisi," katanya sembari memasuki dapur duluan. "Diminta bersiap di sini."

"Ditugaskan Pak Heri?" tanya Hanan, menyusul masuk dapur.

"Ya, katanya sih siapa tahu Fadlan atau Hellraisers, atau malah keduanya datang ke rumahku malam ini." kata Verro. Dia mempersilakan Hanan duduk sembetara dia berjalan menuju rak gelas dan mengambil dua cangkir keramik. "Padahal kalau menurutku, buang-buang waktu."

"Kenapa, Pak? Kan malah bagus untuk menjaga Pak Verro dan kantor Pak Verro. Rumah Pak Verro memang dikelilingi pagar tinggi, tapi ingat mereka menggunakan bom molotov untuk menyerang restoran."

Verro menyalakan dan menghangatkan mesin espresso, kemudian menggiling biji kopi yang akan dia gunakan. "Kalau mereka mau melakukan penyerangan pada kantorku atau padaku, aku yakin mereka bisa melakukannya dengan mudah..." kata Verro setengah berteriak, di sela berisik mesin penggiling.

"Tapi?" tanya Hanan, ikutan berteriak.

Mesin penggiling berhenti dan Verro menimbang sejumlah bubuk kopi untuk dimasukkan ke portafilter.

Mesin espresso sudah hangat dan Verro meletakkan portafilter ke kepala mesin yang menyemburkan air panas bertekanan tinggi. Saat air panas bertekanan tinggi itu melewati bubuk kopi yang padat di dalam portafilter, terbentuklah espresso yang kental, panas, berbusa dan dengan konsentrasi kafein yang lebih tinggi dari kopi yang dibuat menggunakan cara lain.

Hanan hanya memperhatikan tindak-tanduk Verro dengan tatapan jenaka. Segala keribetan ini hanya untuk segelas kopi? Terima kasih tapi tidak, dia lebih memilih menjerang air, menyeduh Kapal Api, Coffeemix atau Luwak White Coffe dengan air panas, lalu melipat-lipat bungkus kopi sasetnya menggunakannya untuk mengaduk kopi dalam gelas.

Praktik, simpel dan tidak perlu repot mencuci sendok, hanya gelas saja.

Meski tetap saja, saat Verro kemudian menyerahkan segelas latte padanya, Hanan mencoba seteguk dan dalam hati memuji rasa gurih dan pahit yang seimbang dari kopinya, merasakan kesegaran kafein di sekujur tubuhnya.

"Tetap saja menurutku menempatkan polisi di sini hanya buang-buang waktu dan tenaga," kata Verro, sembari ikut meneguk kopinya.

"'Memangnya kenapa Pak?" tanya Hanan lagi.

"Tentu saja karena tidak mungkin, tidak mungkin, Fadlan dan Hellraisers sebodoh itu. Hanya orang-orang bodoh untuk mencari masalah di hari yang sama dengan tertangkapnya sebagian besar teman-teman mereka."

Hanan kembali meneguk kopi dalam gelas dan menekuri ucapan Verro.
Hanan selalu bisa menebak arah pikiran Panca, mungkin karena dia sudah lama bekerja pada Panca.
Tapi dia tidak ingat Panca, sebagai atasan, sebagai pemimpin perusahaan, begitu gegabah mengambil asumsi. Panca selalu mengumpulkan fakta, menimbangnya dengan kepala dingin dan ketika dia mengambil keputusan, biasanya selalu memuaskan untuk semua orang.

Tapi Verro berjalan di muka bumi dengan begitu percaya diri. Sungguh pria yang unik. Sedari tadi, Verro sudah mengambil aneka asumsi liar hanya berdasar perasaan, berdasar bodoh atau tidaknya keputusan orang lain menurut logika Verro...

Mungkin karena perusahaan Panca selalu terimbas harga komoditi yang pergerakannya di luar kuasa mereka, sementara firma desain Verro mengendalikan harga jasa mereka sendiri, sehingga pembawaan Panca dan Verro jauh berbeda dalam menyikapi masalah. Atau... Mungkin memang pembawaan Verro memang sudah seperti ini, bidang pekerjaan yang ditekuni Verro tak ada hubungannya dengan sikap dia dalam menghadapi hidup...

"Kalau aku jadi mereka, aku akan menunggu situasi dingin dan mereda. Mungkin 3-4 hari, baru aku akan menyatroni rumah musuhku. Hanya orang-orang bodoh—"

Verro tidak menyelesaikan ucapannya itu karena mendadak terdengar panggilan dari arah pintu dapur.

"Pak Verro..."

Baik Hanan dan Verro menoleh bersamaan ke arah sumber suara.

"Pak Verro, di gerbang depan ada Fadlan, kakak Fadlan... dan sepuluh anggota Hellraisers ingin menemui Bapak," kata salah satu dari mereka.

Baik Verro maupun Hanan berpandangan.

"Tidak ada kejahatan yang mereka lalukan sejauh ini, tidak ada surat penangkapan atas nama, tapi kalau Pak Verro memutuskan untuk menemui mereka, kami akan mengawal dan memastikan keselamatan Pak Verro."

***

Panca hanya bisa termangu menatap Dara.

Tapi selain itu, aku juga ingin memberi tahu Pak Panca, mengapa sepuluh tahun lalu ayahku memukuli Pak Panca, dan mengusir Pak Panca dari rumah kami...

Saat dia melihat Dara ada di rumahnya tadi, kelegaan luar biasa membuat Panca rasanya ini duduk bersimpuh dan tertawa.

Dara kembali...

Panca sempat berjanji kali ini, dia akan lebih berhati-hati. Dia lebih baik menggigit lidah daripada mengatakan hal-hal yang akan membuat Dara marah.

Panca akan mengabulkan semua Dara minta, meninggalkan hal-hal yang tidak disukai Dara, melakukan apa saja untuk Dara...

Tapi belum satu jam berlalu, tekadnya sudah diuji.

Apa penyebab diusirnya Panca dari rumah Bayu, sepuluh tahun yang lalu?

Kalau pertanyaan itu diajukan bulan lalu, Panca rela kehilangan seluruh hartanya untuk mendengar penjelasan itu.

Apa, yang membuatnya dianiaya dan diusir dari rumah Bayu?
Ditunggalkan dan dibiarkan sendirian di Pandanlegi seperti anjing ternak yang sudah tua dan buta, tak lagi berguna.

Tapi itu bulan lalu.
Bulan ini, banyak yang terjadi. Kedatangan kembali Dara ke Pandanlegi, misalnya...

Panca sudah tidak peduli lagi apa yang terjadi sepuluh tahun lalu, karena toh hidupnya baik-baik saja tanpa tahu apa-apa.

Yang penting ada Dara di sini.

Yang penting Dara kembali...

Maka Panca berusaha mengalihkan pembicaraan. "Kamu sudah makan?"

Dara mengangguk. "Aku disuguhi nasi uduk. Asisten rumahmu mengeluarkan nasi uduknya dari kulkas tapi mereka menghangatkannya untukku menggunakan microwave. Enak sekali."

Panca akan meminta Hanan untuk memberi mereka bonus karena sudah mengurus Dara dengan baik.

Panca lalu berjalan maju dan menggenggam tangan Dara, lalu menarik gadis itu untuk mengikutinya.

"Besok lagi kita bicaranya, sekarang tidurlah... istirahat... ini hari yang berat buat kita semua."

"Pak Panca—"

Panca bisa merasakan telapak tangan Dara yang kasar dan kapalan dalam genggamannya dan hati Panca terasa berdarah.

Seperti bumi langit dengan tangan Farah yang lembut dan selalu harum.

Panca tak menghiraukan panggilan Dara. Dia tetap menggenggam tangan Dara dan mengajak gadis itu melintasi ruangan tengah.

Kini mereka sudah tiba di depan kamar Panca dan menggunakan tangannya yang bebas, pria itu membuka pintu. "Biar aku yang tidur di sofa di luar. Kamu di sini saja..."

"Mas Panca!" Dara mengentakkan tangan dengan kasar. Mereka berdua kini berdiri di tengah ruangan kamar. Panca hanya berdiri bergeming, memunggungi Dara.

Setengah memekik, Dara bertanya dengan penuh emosi. "Kenapa tidak mau mendengar yang ingin aku katakan???"

Panca mengangkat kepala, menatap langit-langit kamarnya.... berusaha menelan kembali air mata yang kini menggenang. Setelah menghela napas dan yakin emosinya stabil, barulah Panca memutar badan perlahan menghadap Dara.

Gadis itu sedang menatapnya dengan mata memerah dan napas memburu. Sorot matanya penuh kemarahan.

"Karena itu akan menyakitimu..." kata Panca pelan. "Untuk apa membuka luka lama yang kita semua tahu betapa sulit untuk disembuhkan...

"Sulit disembuhkan karena kita tidak tahu penyebabnya. Jadi selalu menyakitkan karena tidak pernah sembuh secara sempurna.. mengetahui apa yang terjadi mungkin memang menyakitkan, tapi setidaknya itu akan jadi sakit yang terakhir—"

"Aku tidak ingin ini jadi yang terakhir...." sergah Panca dengan suara tinggi. Hampir seketika itu juga, Panca menyesalinya.

Panca menghela napas dan menggeleng, kedua tangannya berkacak di pinggang, kepalanya menunduk memperhatikan lantai.

"Aku tidak ingin ini jadi alasan untukmu melepaskanku..." kata Panca lagi.

Panca menghela napas dan mengangkat kepala, menatap Dara

"Lima tahun lalu, ibu Hanan meninggal... Ketika itu Hanan masih menganggur... menurut Hanan perasaan paling menyedihkan adalah ketika kita punya uang dan ingin mengurus, menjaga, orang tua kita, tapi mereka sudah tidak ada di sisi kita.... "

"Aku tidak punya orangtua, aku tidak punya keluarga... tapi aku punya kamu."

"Kekayaan dan kesuksesan terasa seperti pasir di mulutku... apa gunanya semua ini, kalau kamu tidak ada di sampingku?"

"Bertahun-tahun, selain mengurus perusahaan, yang aku bisa pedulikan hanya mencari tahu apakah keluargamu sedang menjual rumah, gudang atau toko lagi... Setiap kali aku membeli rumah keluargamu, tanah keluargamu, aku selalu bertanya-tanya apakah kamu yang membutuhkannya... apakah kamu sedang ingin membayar uang kuliah? Apakah uang ini untuk membiayai kuliahmu? Apakah kamu ingin menikah? Apakah uang ini untuk membiayai resepsi pernikahanmu..." Panca menatap ke luar jendela, menolak melihat ke arah Dara. Tatapan pria itu kosong penuh nostalgia. "Sepuluh tahun adalah waktu yang lama untuk merindukan seseorang, untuk ditinggalkan dalam kegelapan... tapi kalau aku bisa bertahan, dan tetap mencintaimu, apa perlunya kebenaran?"

"Mas Panca..." kata Dara, dia terlihat kesulitan mengucapkan dua kata itu, seolah ada duri menyakitkan menyangkut di tenggorokannya.

Panca menoleh dan tersenyum sedih pada Dara. "Semua orang boleh melindungimu. Verro, Heri, Surya, Rosa, orangtuamu, teman-temanmu... semua orang kamu beri kesempatan untuk melindungimu, kenapa aku tidak boleh?"

"Kenapa kamu selalu membuatku jadi satu-satunya orang yang menyakitimu?"

Dara menatap Panca dengan sorot penuh tekad, dan mulai berkata, "Sepuluh tahun yang lalu, Mbak Lintang dan Mas Verro bercita-cita membangun kantor desain di Pandanlegi...."

Panca memejamkan mata kuat-kuat dan menghela napas pasrah. Dia tidak bisa menghalangi Dara.

Gadis itu tetap berkeras mengungkit masa lalu.

***

Lintang dan Verro berencana membuat kantor desain di Pandanlegi. Kala itu, Verro bahkan sudah jadi desainer website menggunakan Wordpress sedikit-sedikit melakukan desain grafis dan desain logo.

Lintang sendiri lebih condong memilih jalan menjadi ilustrator.

Lintang sudah memiliki bakat seni dan menggambar, tapi setelah pacaran dengan mas Verro, dia makin sering berlatih menggambar, dan gambarnya amat realistis...

Ketika dia pergi ke Semarang untuk membelikan hadiah ulang tahun Verro, lintang juga membeli buku sketsa untuknya sendiri.

Dari internet, Lintang sering dapat komisi untuk menggambar. Di waktu senggangnya, Lintang latihan menggambar, kadang dia bahkan membawa kertas sketsa ke sekolahan, untuk diselesaikan kala istirahat.

Objek latihan kesukaan Lintang adalah gambar tubuh berpose sensual di internet, sementara untuk wajah, Lintang lebi suka menggambarkan wajah Dara.

"Coba ya kalau aku lagi bikin muka Dara tapi pose badannya begini, terus di bawah gambarnya di tulis nama Panca, biar kayak di Titanic gitu lho..." kata Lintang, terkikik geli di suatu istirahat siang sekolah. Dia menunjukkan hasil gambarnya pada Verro. Gambar tubuh perempuan sintal hampir tanpa busana, dan berlapis selimut sutra tipis.

Wajahnya jelas wajah Dara, tapi tatapan matanya sensual, mulutnya setengah terbuka, rambut orang digambar itu tergerai berantakan di bantal... seolah sedang menatap orang yang menggambarnya dengan penuh birahi.

"Yaudah. Tulis aja nama Panca, emang napa..." kata Verro.

"Tapi gimana kalau ada orang yang nyangka ini beneran Dara berpose setengah bugil, beneran Panca yang gambar Dara?" tanya Lintang khawatir, Lintang memang suka bercanda dan candanya kadang keterlaluan. Tapi bahkan Lintang bisa merasakan bahwa mungkin itu bukan ide yang bagus-bagus amat.

"Semua orang juga tahu yang bisa gambar tuh kamu." Verro hanya tertawa terbahak-bahak. "Nggak mungkin ada orang yang sebodoh itu..."

***

Tapi Verro salah.

Tidak semua orang tahu kalau itu gambar Lintang.

Karena nyatanya, Bayu tidak tahu.

Nyatanya, ketika malam itu Bayu memasuki kamar lintang untuk menandatangani surat izin orangtua, Bayu menemukan lembar demi lembar gambar di kertas sketsa.

Gambar yang amat realistis, seolah modelnya berada di depan orang yang menggambar...

Ini jelas Dara. Dara tanpa busana, Dara hanya di bawah selimut tipis, Dara.... Dara... Dara...

Ketika mata Bayu melihat ke arah pojok kanan bawah, mencari nama pelukisnya. Dia hanya menemukan satu nama, dituliskan dengan pensil.

Panca.

Bayu merasa seperti nyawanya tercerabut.

Dia tidak menyangka putri bungsunya yang pendiam dan penurut bisa melakukan ini. Dia tidak menyangka, Panca, yang sudah dianggap anaknya sendiri, bisa melakukan ini.

Dia tak mengerti mengapa Lintang yang seharusnya menjaga Dara, malah memfasilitasi mereka. Malah menyimpan gambar-gambar laknat ini di kamarnya.

Kalau memang Dara dan Panca saling mencintai, kalau memang mereka saling memperlakukan satu sama lain dengan baik dan sopan, saat semuanya sudah memungkinkan... Bayu tidak akan segan-segan membiarkan mereka bersama.

Tapi tidak begini.

Tidak begini.

"Bapak?"

Telinga Bayu mendenging saat mendengar suara Dara dari ambang pintu kamar. Pria paruh baya itu  meraup setumpuk kertas yanga baru dia temukan dan mengguncangnya. "Apa ini?"

Dara berjalan mundur keluar kamar, ketakutan melihat wajah ayahnya.

Tapi baru beberapa langkah dan dia terpeleset ujung karpet Persia di ruangan tengah.

Suara Dara gemetaran. "Pak, bukan begitu, nggak Pak..."

Tapi Bayu sudah kadung gelap mata. Dia mengempaskan kertas-kertas itu ke wajah Dara.

Bayu sudah kadung mengambil payung dari salah satu guci keramik di ruang tengah dan menggunakannya untuk memukuli Dara.

Tega-teganya....

Berani-beraninya...

Pengkhianatan memang tidak pernah dilakukan oleh orang asing, dan Bayu merasakan perihnya dikhianati malam itu.

Ketika kemudian Panca datang dan merengkuh Dara yang sudah babak belur ke dalam pelukannya, Bayu makin kesetanan. Dia mengganti alat pemukulnya menggunakan gagang besi yang lebih berat dan menyakitkan.

Tega-teganya...

Berani-beraninya...

Continue Reading

You'll Also Like

6.9M 341K 74
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
24.6K 2.9K 25
Liburan ke Puncak: check. Sobat cewek yang asik: check. Cowok-cowok yang baru dikenal: ...check? Mika sempat yakin liburannya dan teman-temannya baka...
521K 31.3K 77
[COMPLETED] Nagita terbangun di sebuah kamar yang terlihat asing, ia yakin ini bukan kamar nya. Kepala nya pusing, rambut panjang nya awut-awutan dan...
859 146 9
Pacar atau Sahabat? Awalnya, Sola berpikir bahwa ia tak lagi membutuhkan seorang kekasih karena kedua sahabat laki-laki Sola selalu setia menjaga da...