Bulan Terbelah Dendam

By sundayshoes

802K 98.5K 6.9K

Dara pernah punya segalanya, lalu dia bertemu Panca. Panca pernah tak punya apa-apa, lalu dia bertemu Dara. S... More

Prolog
1
2
3
4
5
6
7
8
9
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
BTD Ext : Dua Nama di Asmaul Husna

10

22.3K 3.1K 158
By sundayshoes

"Kayaknya ini bukan ide bagus, deh."

"Kenapa?"

Dara berada di dalam mobil, di kursi penumpang sementara Verro menyetir. Makin dekat mereka menuju restoran tempat janjian makan siang, makin kuat perasaan takut yang menyesakkan hati Dara. Seperti perban yang dibebatkan terlalu kencang. Seperti korset yang kini menyangga tubuhnya agar tulangnya yang setengah sembuh tak bekerja telalu keras.

Verro bolak balik meyakinkan bahwa acara makan siang mereka akan aman. Fadlan sedang pergi keluar kota, katanya. Panca sudah menghubungi Verro sejak enam hari yang lalu.

Tapi sejak Dara memasuki mobil yang mobil yang mereka tumpangi meninggalkan garasi rumah Verro, Dara tak henti-hentinya melirik ke trotoar. Dia takut melihat lagi rombongan motor menderum-derum gahar, memekakkan telinga, lalu mulai melemparinya dengan batu.

Mungkin memang begitulah jahatnya teror.

Saat seseorang mencuri dompetmu, kamu hanya sekali kena curi.

Saat kamu jadi korban kejahatan brutal yang sengaja dilakukan untuk menghancurkan mentalmu, kamu jadi korban berkali-kali.

Tiap kamu memejamkan mata, tiap kamu kembali ke tempatmu diserang, kamu kembali ingat bahwa hidupmu begitu rapuh dan penuh ketidakberdayaan...

Tapi Dara diserang di jalan utama Pandanlegi. Riuh rendah Pandanlegi berpusat di sana, tak seperti rumah Verro yang terpencil di lembah.... Dan kecuali dia ingin menghabiskan waktunya selama di Pandanlegi bersembunyi di rumah Verro, Dara tahu dia tidak mungkin menghindari lokasi dia diserang selamanya.

"Tidak apa-apa. Lupakan saja, tadi aku agak—"

"Takut?" tebak Verro, melirik sejenak ke arah Dara.

Dara tersenyum kaku dan mengangguk.

Verro menghela napas. "Mungkin ini memang bukan ide bagus. Mungkin seharusnya kita janjian makan siang di tempat lain saja."

Dara menggeleng sekali. Dia masih berusaha keras untuk tidak membuat banyak gerakan karena dadanya masih sering terasa nyeri. "Aku juga pengen makan di Mbah Jengket," kata Dara, menyebutkan nama restoran yang akan jadi tempat tujuan mereka makan siang. "Lagi pula, yang mau ikut makan siang ada lima belas orang lho, setengah jam lagi pas waktu janjian. Nggak mungkin kita hubungin satu-satu, kan?"

Bertepatan dengan lampu merah, Verro menghentikan mobilnya dan menatap ke arah Dara. "Kalau kamu berubah pikiran, katakan saja. Kelima belas orang itu adalah orang-orang yang pernah berkerja dengan ayah dan ibumu. Mereka, sama sepertiku, juga sudah menganggapmu sebagai keluarga sendiri. Kalau kamu mau batalkan, kita bisa putar balik dan kembali ke rumah, lalu kita hubungi mereka begitu sudah sampai rumah."

Dara tersenyum dan menggeleng. "Nggak apa-apa, beneran. Aku lagi pengen makan di luar juga, bosen banget... Udah kangen sama ayam bakar sama pecel turi di Mbah Jengket. Inget banget itu dulu kesukaan Ibu," kata Dara. Sesuatu dalam hatinya seperti tersayat bilahan bambu. Perih, tapi tidak berdarah. Sedih, namun tidak ada airmata yang bisa keluar.

Bukan hanya Ibu, Ayah dan Kak Lintang juga suka.

Satu hal soal perasaan duka adalah mereka tidak datang sekaligus. Mereka seperti ombak saat kamu berdiri di pinggir pantai, bergulung kecil dan berdebur di mata kakimu.

Kesedihan datang sebentar lalu bergi, dan kamu tidak bisa melakukan apa-apa selain berdiri termangu, setengah takut setengah pasrah...

***

Dara bersyukur dia cukup berani untuk datang ke acara makan siang yang sudah diatur Verro segera setelah pria itu mendapat kabar bahwa fadlan tidak ada di Pandanlegi. Keterbatasan waktu dan fisik tidak memungkinkan bagi Dara untuk mendatangi satu-satu kenalannya di Pandanlagi. Dara sempat kaget melihat Mbah Jengket kini punya ruangan VVIP yang ber-AC dan menghadap ke kolam koi besar, tapi kemudian salah satu pelayan yang mengantar mereka ke saung yang sudah mereka pesan menjelaskan, bahwa Mbah Jengket sering jadi tempat pengadaan rapat sekaligus makan siang. Baru saat itu Dara menyadari ada setidaknya lima perusahaan besar di Pandanlegi, tiga diantaranya mirip Panca dan satu lagi mirip Verro.

Agak aneh menyadari bahwa pengaruh Panca Rahman itu ada di tiap sudut Pandanlegi. Bahkan Dara bisa makan dengan tenang siang ini, orang-orang mau menemuinya di sini, semata-mata karena perlindungan Panca Rahman. Verro memastikan semua orang tahu bahwa Fadlan sedang tidak ada di Pandanlegi hingga dua minggu ke depan dan teman-teman Dara sejak SD hingga SMA bergantian menengok Dara di rumah Verro.

Ipda Heri juga sempat datang ke rumah Verro, kali ini bukan untuk urusan resmi kepolisian melainkan silaturahmi saja, tak lupa membawa sekeranjang buah-buahan. Tentu saja, tidak lupa Heri bertanya, apakah Bu Dara tahu mengapa tiba-tiba Fadlan menghilang dua minggu?

Saat Dara berkata bahwa dia tak tahu jawabannya, Heri melanjutkan pertanyaannya, "Siapa yang ingin Pak Panca lindungi? Bu Dara atau Fadlan?"

Kalau bukan karena takut tulang rusuknya nyeri, Dara ingin tertawa terbahak-bahak. "Kenapa Pak Heri masih perlu bertanya? Saya rasa jawabannya jelas," kata Dara.

Tapi Ipda Heri hanya tersenyum misterius dan menggeleng bahwa mungkin belum sejelas itu.

Meski pelan berjalan, Dara sudah duluan sampai ke saung sementara Verro, yang memarkirkan mobil di belakang restoran baru sampai setelah Dara selesai menyalami semua orang yang diundang makan siang. Semua orang memeluk Dara dalam pelukannya. Pak Imran yang pernah menjadi penanggungjawab toko bangunan milik orang tuannya. Bu Restu yang pernah memegang usaha gergaji kayu. Pak Gofar yang sempat jadi supir dan tangan kanan ayahnya. Husna, yang datang menggantikan mendiang Pak Faisal. Dian, yang ibunya pernah bekerja di rumah. Mira. Lita. Dodi.

Dara bertukar kabar dengan mereka semua, hampir semua mata berkaca-kaca.

Dara beruntung dia memberanikan diri datang ke sini.

Masa lalu memang tidak akan kembali. Seperti busur yang sudah dilepaskan, sekali melesat, tidak akan bisa kembali pulang.

Pandanlegi tidak akan pernah jadi rumahnya, tapi orang-orang ini akan selalu jadi saudaranya, ayahnya, ibunya, kakaknya, adiknya.

Ayah, Ibu dan Kak Lintang mungkin sudah meninggal, namun kebaikan hati mereka semasa hidup mendekap dan melindungi Dara hingga kini.

Mendadak, Dara merasa sedih sekaligus bahagia.

***

Acara makan siang yang tadinya hanya direncanakan akan berlangsung satu jam, molor menjadi dua jam. Dengan wajah-wajah kemerahan dan mata sembap karena banyak tertawa dan banyak menangis, Dara, Verro dan yang lain berjalan berdua-bertiga menyusuri jalan kecil yang menghubungkan antara saung dan bangunan restoran utama. Agar tidak menghalangi yang ingin buru-buru pulang dan kembali ke kantornya, Dara berjalan sendirian paling belakang.

"Aku ambil mobil dulu ya Ra," kata Verro, sembari setengah menunduk di telinga Dara, kemudian bergegas keluar lebih dahulu, melewati orang-orang yang masih berjalan di depannya.

Begitu sampai di rangan luas dekat kasir, satu per satu yang tadi ikut makan siang berpamitan pada Dara. Mencium, menjabat tangan, dan memeluk gadis itu. Memar di pelipisnya sudah menghilang dan luka di dekat alisnya juga sudah mengering, suasana kebahagiaan yang menyelimuti membuat beberapa memeluk Dara sedikit terlalu erat sampai gadis itu harus menggertakkan rahangnya.

"Lho... Pak Panca?"

Ketika hanya tinggal satu orang, Dodi, yang tersisa, Dodi melongokkan leher dan menyapa seseorang yang sedang duduk menyesap kopi di salah satu meja tunggu. Meja yang biasanya digunakan hanya saat saung-saung atau ruang-ruang pertemuan masih penuh. Tapi hari ini restoran sepi jadi rasanya aneh ada yang makan dan minum di meja tunggu.

Panca sebenarnya duduk membelakangi Dodi dan Dara. Ketika Dodi memanggilnya, pria itu terlihat menegakkan kepala dan menghela napas panjang.

Dara menatap Panca mengeluarkan uang dari dompet dan meletakkannya di meja, lalu pria itu berjalan menuju tempat Dodi dan Dara berdiri.

"Dodi," sapa Panca.

"Tuh kan bener Pak Panca," kata Dodi sembari tersenyum lebar.

"Dara," kata Panca, sembari menoleh ke arah gadis itu.

Dara bisa merasakan jemari kakinya mengerut dalam sepatu. "Pak Panca... kebetulan sekali."

"Pak Panca makan di sini juga?" tanya Dodi, seolah tidak melihat bekas piring, satu gelas sisa jus, satu botol air mineral dan setidaknya tiga cangkir bekas kopi di meja yang tadi ditempati Panca dan kini sedang dibereskan pegawai restoran.

Dengan sisa piring dan gelas sebanyak itu, hampir seolah Panca sudah duduk lama di sana. Mungkin karena memang ini restoran favoritnya. Yang jelas, tidak mungkin Panca menunggui Dara seperti yang sering terjadi di masa lampau, ketika Dara masih SMA dan Panca diminta menunggui di restoran yang sama kalau gadis itu diundang ke ulang tahun temannya.

"Ya..." kata Panca pendek, sekaligus menjawab  pertanyaan Dara dan Dodi. Ya, dia kebetulan ada di sini. Ya, dia makan di sini juga. Panca menatap ke arah Dara dan tatapannya berhenti lebih lama di luka gadis itu, sebelum menoleh ke arah Dodi. "Rame ya.... habis ada acara apa?"

"Oh, biasa. Makan siang bareng sama yang dulu pernah kerja atau yang orangtuanya pernah kerja sama almarhum Pak Bayu atau Bu Ika. Mumpung Mbak Dara sedang ada di sini," kata Dodi ceria.

Dara hanya diam di samping Dodi.

"Kompak banget," komentar Panca.

"Iya, soalnya masih sering silaturahmi. Kan ada WA grup jadi lebih gampang. Alhamdulillah banget jadi pas ada Mbak Dara dateng koordinasinya tidak terlalu ribet."

"Oh, jadi ada WA grupnya?" Dahi Panca beerkerut.

"Iya Pak, pokoknya semua yang pernah kerja atau orangtuanya pernah kerja..."

"Semua?" tanya Panca, suaranya berat dan diucapkan pelan.

Dara hanya menatap Panca sembari meringis lalu melirik ke arah Dodi. Sementara Dara sudah sadar sedari tadi, Dodi sepertinya baru menyadari kalau secara tidak langsung, dia baru saja berkata pada Panca bahwa kami punya grup WA yang nggak ada kamunya lho.

Dara sendiri tidak memahami mengapa Panca harus 'mengejar' Dodi. Ada kalimat "Kamu yakin?" yang tersirat di balik kata "Semua?" yang dilontarkan Panca. Mengapa itu jadi masalah bagi Panca?

Toh semua orang tahu dulu Panca bekerja pada keluarya Bayu Wiyono dan semua orang tahu bagaimana itu berakhir. Panca dianiaya, diusir dan uang gaji yang ditabungnya tak pernah dibayarkan. Tentu saja mengingat sejarahnya, tidak ada yang bakal repot-repot mengajak Panca bergabung.

Semua orang segan, tahu persis ala yang bakal jadi jawabannya.

Setelah Dodi menyadari bahwa dia sudah bicara terlalu banyak, dia tertawa garing dan menoleh ke arah Dara." Uh... Mbak Dara, maaf saya duluan ya, nggak enak sama atasan."

"Iya mas Dodi, nggak apa-apa..." kata Dara sembari mengangguk. "Sebentar lagi juga saya pulang, tinggal nunggu Mas Verro."

Kini giliran Panca yang dipamiti,  "Pak Panca, duluan Pak."

Panca mengangguk, "Ya."

Dodi bergegas keluar restoran, setelah dia mendorong pintu dan pintu kaca kembali tertutup, Panca dan Dara masih berdiri di dekat jendela jalusi yang menggeblak terbuka.

"Kenapa Verro meninggalkanmu sendirian di sini?"

Dara menoleh ke arah Panca, tapi Panca hanya menatap ke luar jendela, tak sekalipun menoleh ke arah Dara.

"Tadi parkiran penuh jadi Mas Verro parkir di belakang. Aku diturunin di depan biar jalannya tidak terlalu jauh."

Panca menghela napas. "Kurang perhitungan," komentar Panca.

Dara menoleh kembali ke arah Panca. Lelaki itu masih menatap keluar jendela, kedua tangannya dijejalkan ke saku celana.

Dara tersenyum kecil. "Memang selalu begitu. Mbak Lintang juga selalu pusing dulu tiap pacaran sama Mas Verro, ada aja, karcis parkir hilang, lupa bawa ktp, lupa cek jam buka resto..." Dara menatap ke luar jendela, tatapannya penuh nostalgia.

Karena Dara menatap ke luar jendela, dia jadi tidak bisa melihat kalau kini Panca menatap ke arahnya. Pandangan Panca terlihat penuh teka-teki.

Saat Dara menoleh ke arah Panca, tatapan pria itu sudah kembali menatap ke luar jendela.

"Kapan kamu kembali ke Lampung?" tanya Panca.

"Secepatnya," kata Dara. "Mungkin minggu depan. Kasian Bu Sunar sendirian di rumah."

Kali ini, Panca menatap Dara dengan terbelalak. "Bu Sunar?"

Dara tertawa. "Kenapa sih?" Tapi kemudian Dara ingat kalau Panca amat menyayangi Bu Sunar, sama seperti Bu Sunar juga selalu menganggap Panca sebagai anaknya sendiri.

Panca menelengkan kepala.
Dia mengeluarkan tangannya dari kantong dan menautkannya di belakang punggung. "Tidak kenapa-kenapa. Mungkin karena selama ini aku sering bertanya-tanya kenapa aku tidak pernah berhasil menemui Bu Sunar. Kini aku tahu mengapa."

"Yah, Bu Sunar bilang dia di  sini tak punya anak dan suami, lebih enak dia ikut... pindah."

"Dara!"

Baik Dara maupun Panca menoleh ke arah sumber suara. Verro berdiri di ambang pintu resto dan dia tidak terlihat berniat masuk, jadi Dara berpamitan singkat pada Panca lalu berjalan meninggalkan lelaki itu menuju Verro.

Verro bergegas menyongsong Dara. "Kok ada Panca?" tanya Verro, cukup keras bahkan untuk di dengar satpan dan kaSir yang menoleh ke arah mereka.

"Iya, kebetulan," kata Dara, mengulangi yang disampaikan Panca tadi.

"Ngomongin apa?" tanya Verro.

"Cuma tanya kapan aku pulang ke Lampung."

"Terus?"

"Ya aku bilang, minggu depan kan aku juga nggak mungkin ninggalin Bu Sunar sendirian terlalu lama di rumah."

Dara tidak tahu apa yang salah dari ucapannua tapi wajah Verro memucat. Sembari Verro merangkul bahunya dan mereka berjalan ke tempat mobil Verro terparkir, Verro berbisik dengan suara rendah. "Ra, kamu lupa ya... kan kamu ga boleh bahas Bu Sunar sama siapa-siapa."

Dara menekap tangannya. Dara terbawa suasana dan melupakan hal yang berkali-kali ditekankan oleh mendiang kak Lintang dan ibunya. "Ya ampun, iya lupa..."

Masih berada dalam rangkulan Verro, Dara berusaha menoleh ke belakang. Melihat Panca masih berdiri di tempat yang sama, kedua tangannya terjejal di kantong celana, matanya menatap tajam ke arah Dara dan Verro.

Continue Reading

You'll Also Like

158K 5.5K 57
cover by : @.cholat.art Zidanne axellion adelard atau kerap biasa disebut Axel. Axel adalah ketua dari geng xavargas yang bisa dikenal kejam dalam me...
6.3K 3.4K 42
Keluarga Bulan yang terdiri dari Ayah bernama Agus, Ibu bernama Septi, Kakak bernama Januar, Adik bernama Okta, dan aku bernama Juni. Tinggal di sebu...
112K 15.7K 36
Kesalahan terbesar Kallenya Sashmita Wangsa (Alena) di masa lalu adalah, membuang anaknya sendiri. Tahun-tahun berlalu, Alena pikir bisa melupakannya...
2.9K 452 41
[REVISI] Anne seorang pengacara yang keras kepala dan egois. Sudah cukup sulit baginya menutupi kehidupannya yang tak mulus, ditambah lagi kejadian t...