Little Promise ( AS 3 )

By Salwaliya

6.3M 1.1M 1M

Di mana ada Nathan, di situ ada Zia. Nathan tidak bisa melepas Zia, itulah masalahnya. Berada di samping cewe... More

Prolog ⛅️
1 🌥
2⛅️
3.⛅️
4.🌥
5⛅️
6⛅️
7⛅️
8⛅️
9🌥
10🌥
11 ⛅️
12⛅️
13⛅️
14🌥
15🌥
16🌥
17🌥
18🌥
19🌥
20🌥
21🌥
22🌥
Let's date?
23🌥
25🌥
26🌥
27🌥
28🌥
29⛅️
30🌥
31🌥
32⛅️
33🌥
34⛅️
35🌥
36🌥
37⛅️
38🌥
39🌥
40🌥
41⛅️
42⛅️
43⛅️
44🌥
45
46⛅️
47🌥
48🌥
49🌥
50🌥
51🌥
52 🌥
53⛅️
54🌥
55🌥
56🌥
57🌥
58🌥
58🌥
60🌥
61⛅️
62⛅️
63🌥
64🌥
65🌥
SEASON 2
1 (2) ⛅️
2 (2)
3 (2) 🌥
4 (2) 🌥
5 (2)
6 (2) 🌥
7🌥
8🌥
9⛅️
10🌥
11🌥
12🌥
13🌥
14🌥
15⛅️
16🌥
THE END
ANAK ZIA NATHAN
212 Days
ALEGA SERIES 10 BESOK!

24🌥

67K 13K 9K
By Salwaliya

jam 7 dateng lagi kesini yaaa, mom kasih double

24. Papah










Zia mengambil handuk di atas mesin cuci, menunduk membawa rambutnya ke depan lalu membalut kepalanya yang masih basah setelah dia keramas. Sambil keluar dari kamar mandi gadis itu bersenandung menuju sofa, duduk di sana dan menanyakan televisi.

Lalu meraih hpnya sebentar untuk melihat-lihat beranda Instagram atau Twitter. Biasanya ada banyak berita yang seru untuk dibahas bersama Luna di telfon.

"Nathan lagi apa ya..." gumamnya sambil menahan senyum. Ia kemudian duduk bersila untuk membuka room chat mereka.

Zia : nath

Zia : nathannnnn

Zia : burung gagak ketemu penyu

Zia : nath gua kangen eluuu

Zia : cielahhhhhh

Zia : nath

Zia : main rumahhhh siniiii




"Kita terlalu asik nanyaiin kabar pacar tapi lupa nanyaiin kabar orang tua,"

Zia mengangkat kepala, memandang layar televisinya yang otomatis konek dengan youtube yang telah dinyalakan beberapa saat lalu.

"Lupa nanyaiin secapek apa ayah kalian, secapek apa ibu kalian cuma buat nyari nafkah sehari-hari. Pas pulang masih aja kamu repotin, masih kamu keluhin macem-macem."


Zia tertegun, meletakkan hpnya dengan ekpresi sendu. Meraih bantal dan memeluknya.



"Di saat kamu nangis karena pacar, ayahmu lagi nangis karena mikirin masa depan anaknya. Sampe lupa makan, lupa tidur teratur, lupa mikirin dirinya sendiri. Cuma buat kamu."

Zia menekuk bawah bibirnya, langsung berkaca-kaca dengan dada sesak. "Ini siapa yang nonton video gini sih..."


"Pernah nanya? Ayah sehat? Ibu sehat? Nggak liat keriput di wajah mereka, kantung mata mereka yang besar, bibir mereka yang kering, tubuh mereka yang makin kurus."

Zia mulai terisak kecil, langsung teringat oleh sang papah yang mungkin sekarang sedang bekerja keras untuk menghidupi empat anak sekaligus.

"Papah..."

Zia menunduk, mencari kontak sang papah. Berusaha menghubungi nomornya, namun tidak diangkat. Sampai beberapa kali mencoba tetap tidak ada balasan. Menelfon Om Andra pun tidak diangkat.

Zia mengangkat kepala, melihat jam yang sudah menunjukan pukul 9 malam. "Harusnya papah udah pulang..."

Zia jadi makin menangis sakit, mendadak merasa bersalah dengan papah. Ingin memeluknya, minta maaf, dan bicara lama.

"Papah..." Zia makin menangis, menekuk kedua lututnya dan menyembunyikan kepalanya di sana.

Bersamaan dengan itu pintu terbuka membuat Zia menoleh, masuklah Arion dengan pakaian basah. Wajahnya terlihat lelah, dan Zia baru sadar papahnya semakin kurus dan pucat.

"Zi, belum tidur?" Papah menghampiri putrinya sambil melepas jaket.

Zia makin menangis kejar dan berdiri dari sofa membuat papah menyerngit bingung. "Hei kenapa?? Kok nangis? Ada yang jahat sama kamu hah???"

Zia menggeleng saat papah meraih bahunya. "Enggak..." jawabnya masih menangis kejar. Mulai sesenggukan dan hidungnya tidak bisa dibuat untuk bernafas.

"Terus kenapa nangis hah? Papah bikin salah lagi?" tanya Arion dengan wajah khawatir.

"Bukannn," Zia mengusap air matanya dengan lengan. "Papah kenapa nggak angka telfon? Tadi Zia udah call berkali-kali kannn, harusnya udah pulang."

"Ohh," Arion diam sejenak. "Hpnya di mobil, tadi papah mampir ke minimarket beliin chimory buat kamu." katanya sambil terkekeh.

Zia memandang papahnya dengan tatapan getir, makin terpukul karena melihat wajah sang papah. Bahkan papah tak mengeluh karena bajunya basah terkena hujan. "Pah, capek ya punya anak kayak Zia?"

"Hah?"

"Zia marah-marah terus, nyalahin papah kalo ada masalah, susah nurut, ngambekan, padahal papah lagi capek," lirih gadis itu.

Arion jadi terkekeh. "Heh apasih enggak..." katanya. Meski sedikit tersentuh dengan kalimat sang putri.

"Zia tau papah suka begadang karena nunggu lampu kamar Zia mati, papah suka dateng jauh-jauh dari kafe buat mastiin Zia udah sampe rumah, papah juga bangun pagi buat beliin makanan kita."

Arion jadi terdiam lama, tak tau putrinya memperhatikan. "Ya nggak papa kan tugas papah," katanya pelan.

"Tapi Zia belum bisa menuhin tugas sebagai anak, kenapa papah harus seberusaha ini?" tanya gadis itu dengan isak panjang.


Arion jadi tersenyum kecil dengan mata berkaca-kaca, menarik sang putri ke dalam pelukan. "Maafin papah ya nggak bisa kayak papah temen-temen kamu, papah juga lagi berusaha kasih yang terbaik buat kamu."

"Aaaa enggak...." Zia memeluk sang papah erat. "Udah cukup, papah lebih dari cukup buat Zia."

"Kamu pasti pengen punya papah kayak papahnya Luna, atau Ale." ucap Arion berusaha menahan tangis.

Zia menggeleng. "Nggak ada papah kayak papah Arion, cuma satu." katanya tak mau didebat.

Di belakang mereka rupanya ada sosok putra yang sedang berdiri dengan tatapan tenang, meski perasaannya ikut terharu dan ingin bergabung bersama mereka seperti saat kecil dulu.

Nathan menunduk, kemudian berbalik hendak pergi. Namun terurungkan saat mendengar panggilan sang papah membuatnya menoleh.

"Itu kenapa berdiri di sana??"

Nathan mengerjap. "Hm?"

"Sini," Papah merentangkan tangannya, meminta Nathan untuk mendekat.

"Enggak, Nathan—"

"Sini papah pengen peluk anak papah," katanya membuat Nathan tertegun.

Nathan melangkah mendekat, menyeringai kecil saat papah memeluknya dengan erat membuat dadanya jadi mencelos sakit. Rindu sekali momen seperti ini.

Ia menunduk melihat wajah mungil di sampingnya yang sedang memeluk papah dari samping dengan hidung merah. Membuat Nathan menahan senyum, menyentil dahi Zia pelan membuat gadis itu berhenti menangis.

"Pahhhh, Nathannya nakal," adu Zia makin menangis. Menjauhkan tangan Nathan dengan wajah sebal.

"Nath ah!"

"Enggak apasih." balas Nathan, sekali lagi menarik helaian rambut Zia dengan jahil.

"Aaaaaa papahhhhh."

"Lebay." cibir Nathan. Baru sadar adik kecilnya yang dulu suka menangis di depan kamar sekarang sudah dewasa, meski kekanak-kanakannya belum hilang.





Membuat Nathan semakin takut, bagaimana jika gadis ini tau soal kenyataan pahit itu.







🌥🌥🌥🌥🌥










"Heh gini aja deh, gue kan cuma ada satu motor, Ical ama yang lain aja biar bisa bawa motor juga. Lewat jalan raya soalnya," usul Ale sore itu pulang sekolah.

Mereka berniat pergi ke dufan karena kemarin Nayya ulang tahun. Biasanya anak kelas ada yang bawa mobil entah itu Ale, Gibran atau Dilla. Ini malah kebetulan pada naik motor juga.

"Yang tadi berangkat berdua siapa aja?" tanya Ical pada mereka.

"Gue sendiri!" sahut Luna di depan grobak Mang Udin.

"Gue sama Dilla bareng," sahut Nayya.

"Oke, berarti yang berangkat bareng gue Ical sama bunda Dilla ya, Nathan sendiri, Gibran juga sendiri," jelas Ale karena harus membagi peran agar kendaraan pas.

"Gini tukeran, Ical lo sama bunda, gue sama Dilla," pinta Ale. "Cewek jangan bawa motor sendiri." katanya membuat yang lain mengangguk saja.

"Terus gue sama siapa???" tanya Zia karena tadi pagi berangkat dengan Pak Ghani. Cewek berwajah bulat itu menatap melas teman-temannya.

"Lompat aja Zi," balas Ale. "Lo kan kelinci." katanya membuat mereka tertawa.

"Ya kan ada si Nathan sama Gibran," balas Nayya. "Bareng sama mereka aja. Pada naik motor sendiri-sendiri juga."

"Eh motornya bakal sisa apa enggak?" tanya Luna. "Gue juga bawa motor sendiri nggak papa sih sebenernya."

"Nggak jangan," sahut Dilla sambil berdecak.

"Jangan anjirt lu serem kalo bawa motor di jalan raya," balas Ical. "Udah nebeng aja, kalo motornya sisa ya nanti tinggal sini tar ambil lagi." ucapnya membuat Luna mencibir.

"Gue ambil motor dulu aja," sahut Nayya meminta kunci motornya dari Dilla. Lalu pergi masuk lagi menuju parkiran.

Bersamaan dengan itu muncul Nathan dan Gibran dari dalam sekolah, memang paling lama kalau urusa keluar. Gibran langsung menepikan motornya di pinggir grobak, sementara Nathan masih tepat di depan gerbang.

"Lah ini anaknya baru nongolll,"

Nathan membuka helmnya. "Gue nggak ikut," ucapnya membuat anak kelas langsung berseru kecewa. "Mau anter tante ke rumah sakit."

"Loh?? Tante Aura kenapa?" tanya Zia mendekat. "Ikut lahh."

"Lo main aja sama mereka, cuma tes rutin doang." kata Nathan.

"Iya Zi ikut aja lahhh yakali nggak ada elo," balas Luna tak setuju. "Ikut ah nggak mau tau!"

Ical langsung merangkul leher Zia. "Ikut lah anjir janji nraktir gue," katanya membuat Zia berseru protes. "Cal ahh!"

"Tapi Zia bareng siapa??" tanya Ale jadi bingung. "Cowoknya sisa satu aja."

Gibran yang baru turun dari motor memandang mereka. "Gue nebengin siapa?" tanyanya membuat anak kelas langsung menatap Luna serempak.

Luna yang sedang mengunyah cilok jadi tersedak bingung. "Hah? Apaan?"

"Oke." balas si kalem itu membuat anak kelas bersiul menggoda Luna.

Kabar hebohnya, kemarin Luna putus sama cowoknya karena diselingkuhan. Jelas heboh satu kelas menjodoh-jodohkan mereka berdua lagi.

"Padahal kan jadi orang peka nggak susah ya," sindir Ale dengan decihan.

"Terlalu peka nggak baik," sahut Dilla membuat Ical tersedak kuah cilok. "Jatohnya kegeeran." lanjutnya membuat Luna dan Zia mengerjap cengo.

Ale sukses melongo, memandang Dilla dengan wajah sok terluka. "Dill, nyindir mah nyebut namanya langsung. Ini sakitnya ngalahin ditimpuk Pak Aji pake sapu lidi..."

"Lebay," cibir Dilla memalingkan wajahnya jutek.

"Ihhhh ya gue bareng siapa??? Nathan aja nggak ikut," dumel Zia sebal. "Dah lah gue bonceng tiga sama Ale apa Ical."

"Ditangkep bapak polisi dong dek," kata Ale dengan senyum masam. "Ktp gue aja belom dicetak."

"Udah gue bawa motor sendiri aja," sahut Luna. "Itu Zia biar bareng sama si Gibran." katanya membuat si kalem itu menghela napas.

"Gue anter dulu aja," ucap Nathan.

Zia langsung menggeleng. "Arahnya aja lawanan, tar tante Aura nunggu. Perjalanan setengah jam lebih,"

"Cielahhh," Ale tertawa meledek. "Biasanya gimana juga segala ngitungin arah, Cal." katanya seraya mendorong lengan Zia.

"Zia beneran jadi mandiri nih," kata Ical membuat Nathan melirik cewek mungil itu. "Padahal biasanya gini, 'yakalo Nathan bisa nganterin kenapa enggak'??" ledeknya membuat mereka tertawa.

Luna menggeleng. "Nggak nggak, biasanya tuh gini, 'gue tuh tanpa Nathan kayak pak ustad lagi pake baju koko tapi nggak pake sarung."

"NGGAK LENGKAPPPP." balas mereka serempak. Kecuali Dilla dan Gibran yang hanya mendengus geli. Sudah hafal dengan skenario Zia untuk Nathan.

"Nggak mau tau pokoknya sabtu minggu salah satu dari kalian ajarin gue naik motor!" pinta Zia membuat mereka mengiyakan dengan pasrah.

"Tar gue ijinin papah," ucap Nathan membuat Zia diam-diam merasa kecewa. Padahal kalau Nathan nawarin sekali lagi Zia mungkin bisa mengiyakan.

"Hehhhh ituuu," Ale yang kebetulan melihat sosok Keno keluar dari sekolah. Membuat semua menatap ke arah yang sama termasuk Nathan.

"Lah iya Keno," ucap Ical. "Searah tuh. Eh tapi jangan Le anjir ngrepotin,"

"Halah nggak papa," balas Ale. "Gunanya punya temen apa kalo disia-siaiin."

"Nggak gitu konsepnya bambang," balas Luna heran.

"No Keno!!" panggil Ale melambaikan tangannya. Membuat sosok berhelm hitam itu menoleh dan mematikan mesin motornya.

"Le jangan lahhh udah berapa kali anjir lo gitu," kata Zia merasa tidak enak. Meski dia sudah cukup akrab dengan senioranya itu tapi tetap saja merepotkan.

"Ohhh itu Keno," gumam Luna sambil melirik ke arah Nathan yang diam-diam cuek saja. "Ganteng ya."

"Apa, Le?" tanya Keno datang. Melirik Nathan yang berada di sampingnya.

"Mau ikut ke dufan nggak sama kita??" tanya Ale. "Bareng temen-temen gue nih sekalian kenalan juga, mau kaga??"

"Duh," Keno jadi tertawa canggung. Menatap mereka bingung karena hanya kenal Ical, Ale dan Zia saja.

"Tuhh kan jangan Le," bisik Zia. "Lo tuh ahh."

"Gimana ya," gumam Keno yang kebetulan menatap Zia yang sedang berdiri di belakang Ale. "Ke dufan ya?"

"Enggak Ken, kuburan." balas Ale sarkas.

"Maen doang bentaran, ngerayaiin ulang tahunnya temen gue. Mayan Ken dapet taktriran, ayo lahhh." bujuk Ical.

"Ikut aja ikut," sahut Luna genit. "Lumayan buat cuci mata." katanya membuat anak kelas berseru meledek.

"Zia soalnya nggak ada yang mau nebengin kasian," kata Ale membuat Zia mengumpat dalam hati. Padahal dia nggak sengenes itu.

"Bukan nggak ada yang mau tapi nggak ada," balas Ical membela. Membuat Zia tersenyum sambil mengangguk.

"Gimana ya," Keno tertawa sambil melirik Nathan yang sedang bermain hp di atas motor. "Gue bisa sih, tapi sampe jam berapa?"

"Jam 7 an kelar paling, ya kan?" sahut Luna padahal niat mereka mau sampe jam 9.

"Nahhh iyaa," Ale mengangguk sambil tertawa. "Nggak lama dah asli sambel terasi."

"Zi ngomong lahh," Luna mencubit pinggang Zia. Greget sendiri karena cuman diem doang padahal kesempatan ditebengin cogan.

"Kak Keno bisa nggak??" tanya Zia pelan, menatap Keno tidak enak.

"Hm?" Keno jadi menahan senyum. Malah salah fokus sama suara Zia. Luna diam-diam memperhatikan mereka gemas.

"Kenn nohh liat mintanya sampe gemes gituuu!" seru Ale heboh. "Ya kalo gue sih nggak tega ya sampe ditolak."

"Dah lah Ken gas aja," tambah Ical. "Kapan lagi ye nggak."

Keno jadi terkekeh. "Yaudah bisa sih, ayok lah." katanya membuat mereka berseru senang. Luna malah mesam-mesem sendiri sambil mendorong lengan Zia.

Gibran jadi memandang mereka tak puas, lalu melirik Nathan sengit. "Nath, rumah sakit kan searah sama dufan."


Anak kelas langsung melongo menatap Gibran. Emang susah diajak kompromi.


"Beda arah," Kebetulan Nathan sudah mengirim tante Aura pesan, ia kemudian menoleh pada Zia. "Dah gue duluan." katanya karena anak ini sepertinya sudah dapat tebengan.

"Ijinin papah ya?" pinta Zia berusaha menyembunyikan ekspresi kecewanya.

Nathan mengangguk. "Nggak usah maen aneh-aneh," pintanya sambil memberikan helmnya pada Zia. Lantas menyalakan mesin motornya.

Nathan kemudian menoleh pada Keno yang masih berdiri di sampingnya. "Langsung anterin balik anaknya." pintanya.


Keno mengerjap, kemudian mengangguk seadanya. Belum mau menebak-nebak sesuatu soal cowok ini. "Oke..." jawabnya.

Nathan kemudian menutup helmnya, membawa motornya hitam besarnya pergi dari mereka dengan tenang. Membuat anak kelas hanya bisa melongo saja karena respon cowok itu.

"Yah yah ditinggal beneran," kata Ale memandang kepergian Nathan. "Emang dasar gelo."

"Biasalah." balas Ical tak kaget.

"Ege," Dilla menggelengkan kepalanya sambil berdecak heran.

Zia yang sudah biasa hanya menggedikan bahunya, tak berharap apa-apa sama Nathan. "Dah yok berangkat."

Luna jadi menepuk bahu sahabatnya prihatin. "Nathan tuh ibarat ngasih lampu merah Zi, percuma lo terobos malah kecelakaan."






Tbc

dah lah nath capek sama lo..

Continue Reading

You'll Also Like

872K 81.4K 21
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
247K 21.5K 75
Cinta hanya untuk manusia lemah, dan aku tidak butuh cinta ~ Ellian Cinta itu sebuah perasaan yang ikhlas dari hati, kita tidak bisa menyangkalnya a...
345K 18.1K 31
Galla pratama seorang badboy cadell yang baru saja masuk sekolah barunya,dan dia sudah membuat masalah di sekolah barunya itu. * * * Ravindra adipta...
749K 34.5K 64
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...