Chapter 13

61 20 2
                                    

Seringkali melakukan hal buruk, sekalinya berperilaku baik, tak ada yang menganggap tulus. Ya, begitulah manusia, sulit untuk berpikir positif.
_________

Ajeng merasa bersalah karena tak memberi kabar kepada Juvita, alhasil gadis itu pun menghampirinya dan menanyakan banyak hal--sangat khawatir. Ia bahkan tak membuka ponsel sama sekali setelah kejadian itu, pikirnya akan membuat pusing kepala saja.

"Kamu jahat sama aku, Jeng ...." Juvita terisak-isak, memeluk lengan Ajeng seperti tak ingin dilepaskan.

Ajeng tak ikut menangis, melainkan terkekeh kecil. Juvita sangat berlebihan, ya Ajeng akui, gadis itu memang sangat menyayanginya bak saudara kandung sendiri.

"Udah dong, nggak usah nangis. Kan aku yang kecelakaan, malah kamu yang nangis kejer. Padahal, kemaren aku sama sekali nggak netesin air mata, loh!" Ajeng memberi tahu, bermaksud menyindir. Matanya melirik ke arah Juvita yang menyandarkan kepala ke pundaknya.

"Gimana bisa aku santai-santai kalo kamu lagi nggak baik-baik aja!" Juvita meninggikan suaranya, menatap manik mata Ajeng penuh makna.

Ajeng menipiskan bibir, tangannya merentang, hendak membawa Juvita ke dalam pelukan. "Iya-iya, maaf." Tangan Ajeng mengusap lembut punggung Juvita.

"Oh ya, kamu tau dari Bu Naumi, kan?" tanya Ajeng kemudian, setelah pelukan itu diurai.

Juvita menggeleng lemah, ia mengusap hidungnya yang sudah berair akibat isakan tadi. "Bu Naumi masuk jam ke-empat, sebelum itu aku udah tau dari si Bajingan Daniel!" berang Juvita.

Ajeng berkerut dahi. "Daniel? Dia kasih tau ke kamu kalau aku keserempet motor?" tanyanya.

Ajeng sedikit tak yakin jika Daniel yang memberitahu Juvita akan hal ini. Lagi pula, untuk apa pemuda itu membeberkannya? Daniel bukanlah sosok orang yang peduli bahkan menyangkut tentang dirinya.

Meskipun kemarin pemuda itu yang menolongnya, Ajeng yakin itu hanya bentuk kasihan semata. Daniel masih ingin disebut sebagai laki-laki normal, yang tak membiarkan seorang perempuan terkapar lemah di jalanan.

Juvita tak menjawab pertanyaan Ajeng, kini sorot matanya nampak ingin menikam. "Daniel kan yang serempet kamu?"

Bagi Juvita, ia tak membutuhkan jawaban. Karena ia yakin, kalimat yang diucapkan Daniel di kantin tadi hanyalah bualan. Pemuda itu menutupi kesalahannya saja.

"Eh, bu—"

"Kenapa kamu jadi belain dia sih, Jeng? Si bajingan itu tuh cuma pengin bales dendam sama kamu karena waktu itu kamu permaluin dia di depan banyak orang. Biadab emang." Juvita menghela napas berat, tangannya gatal ingin menghajar topik pembicaraan mereka.

"Ish, dengerin aku dulu." Ajeng menghadapkan pundak Juvita ke arahnya. "Bukan Daniel yang nyerempet aku, dia malah tolongin aku, Ju."

Tak ada raut wajah bercanda dari Ajeng, terlihat ekspresinya datar, tetapi meyakinkan. Juvita menatap dalam manik mata gadis di depannya lamat-lamat.

"Seriusan?"

Ajeng mengangguk. "Serius. Mungkin dia kasian liat aku waktu itu, makanya nolongin."

"Oh, masih punya rasa kasian juga si Daniel." Juvita bersedekap dada, bola matanya diputar dengan malas.

"Walau begitu, aku juga berterimakasih banget sama dia. Kalo nggak ada dia yang nolongin aku, gimana?" Dari kalimat Ajeng, seperti meminta agar Juvita tak terlalu sinis dengan perlakuan Daniel.

Namun, Juvita tetaplah Juvita. Gadis itu merasa sikap Daniel hanya pansos semata. Mengapa hatinya tidak digunakan sedari dulu? Ia kesal. Tiba-tiba, isi pikiran Juvita merambah ke hal yang mencurigakan.

"Jeng! Jangan-jangan, dia nolongin kamu ada maksud tertentu. Itu jebakan!" Juvita berseru.

"Kalian ngomongin apa tadi, jebakan? Jebakan betmen?" Dari arah dapur, Pramesti menghampiri mereka berdua. Membawa sebuah nampan berisi dua buah gelas teh hangat.

Percakapan yang semula serius, kini terganti dengan lawakan. Tawaan mereka pecah memenuhi ruang tamu. Namun, perasaan Juvita tetap tidak enak, memikirkan apa yang ia ucapkan sebelumnya.

"Diminum teh hangatnya," ucap Pramesti.

Gue nggak bakal biarin Daniel macem-macem sama Ajeng, batinnya.

***

Setelah 2 hari masa pemulihan, Ajeng telah kembali lagi bersekolah. Namun, lututnya masih dibalut perban karena luka dalamnya belum terlalu kering. Tidak masalah bagi Ajeng, yang terpenting ia bisa kembali pada rutinitasnya sebagai seorang siswi.

Di koridor menuju kelas, seorang pemuda melambaikan tangan ke arahnya. Ajeng mengerutkan dahi, seperti tak asing dengan wajah pemuda itu. Ia berusaha mengingat, walau sulit karena jarak mereka terlaluh jauh.

Ajeng terus melangkah, begitupun pemuda itu hingga jarak mereka semakin dekat, semakin mudah pula mengamati siapa sosok itu.

"Jeng," panggilnya, "gue denger-denger katanya lo abis kecelakaan, ya?" Pemuda itu mengeluarkan tanya.

"Kecelakaan kecil kok, keserempet motor aja." Ajeng menjawab dengan lugu. Ia ingat sekarang, pemuda itu adalah orang yang ikut dalam pihaknya kala berdebat dengan Daniel mengenai perlakuannya kepada Luna. Ya, Genta.

Genta menarik sudut bibirnya, menciptakan lengkungan tipis di sana. "Tapi sekarang lo udah ngerasa baikan?" tanyanya lagi.

"Udah kok, Kak."

"Lutut lo? Masih diperban gitu." Telunjuk Genta mengarah ke kedua lutut Ajeng yang memang dibalut oleh perban putih.

"Ah, udah nggak terlalu perih. Ini karena lukanya belum terlalu kering aja." Ajeng sedikit gugup, entah mengapa.

"Gue anter sampe kelas, ya?" tawar Genta dengan senyum manis yang ia sunggingkan.

Ajeng memberanikan menatap manik mata Genta. Iris hitam pekatnya berhasil membuat Ajeng meneguk ludah. Hidung mancung, rambut ditata rapi, tinggi semampai, bahkan cara memakai seragamnya pun disiplin sekali.

"Ayo."

Ajeng ingin menolak, tetapi pergelangan tangannya sudah dulu ditarik halus oleh kakak tingkatnya itu. Ia berjalan kaku, sebelumnya tak pernah diperlakukan seperti ini. Apalagi, Ajeng belum terlalu kenal dengan Genta.

"Oh ya, gue hampir lupa. Lo masuk seleksi." Kepala Genta ditolehkan menatap Ajeng.

Ajeng terdiam sejenak, mencerna apa yang barusan terlontar dari mulut Genta. Matanya mengerjap, lalu berucap, "M-masuk seleksi? Seriusan, Kak?" Ajeng tentu saja sangat senang, impiannya selangkah tercapai.

"Apa gue keliatan bohong? Haha, serius, dong. Kemarin pengumuman, kan lo nggak masuk," papar Genta seraya terkekeh kecil. "Selamat, ya!" imbuh Genta.

Ucapan selamat dari Genta ditanggapi senyuman oleh Ajeng. Benar juga, demi apa pun hatinya berbunga-bunga. Untuk menuju apa yang ia impikan, tinggal beberapa langkah lagi. Ada sedikit rasa ragu dalam benak Ajeng. Apakah ia bisa?

Sorot matanya menyapu sepanjang koridor, Ajeng saat ini dalam bahaya! Terlalu terlarut dalam obrolan, sampai tak sadar banyak yang memperhatikan.

Lirikan demi lirikan yang tertuju ke arahnya dan Genta membuat risau. Ia tidak mau ada kesalahpahaman, bahkan sampai ada yang menyudutkannya yang tidak-tidak. Walaupun belum kesampaian, tetapi Ajeng sudah berfirasat tidak enak.

"Kak, maaf. Bisa lepasin? Nggak enak diliat anak-anak lain." Ajeng meminta.

Genta berhenti melangkah, ia menatap tangannya juga tangan milik Ajeng yang menyatu. Setelah itu, ia melepaskannya. Genta peka, ia merasakan bahwa Ajeng memang kurang nyaman.

"Makasih, Kak," lirih Ajeng. "Aku bisa ke kelas sendiri." Ajeng bersikap begini karena tak ingin terciptanya sebuah kesalahpahaman di SMA Lentera.

Ada berita sedikit, pasti langsung tersebar ke seluruh Antero sekolah. Ya, itulah gunanya media sosial. Bulu kuduk Ajeng tiba-tiba meremang, lalu ia bergegas melenggang pergi menuju kelas tanpa memperhatikan sekelilingnya.
_________

When You Love Yourself (Tamat)Where stories live. Discover now