Chapter 8

75 23 53
                                    

Paling utama, beranikan dulu mencoba. Entah bagaimana nanti hasilnya, ya terima. Jangan lupakan dengan usaha, mengandalkan berharap saja tidak akan cukup.
_______


Aneh.

Nomor tidak dikenal tertera di ponsel Ajeng, padahal seingatnya ia tak pernah memberi nomornya ke sembarang orang. Hal lain yang membuat Ajeng bertanya-tanya, mengapa langsung dimatikan? Belum sempat diangkat, sudah lebih dulu diputuskan sambungannya.

"Apa orang iseng-iseng pencet nomor, ya?" tanya Ajeng pada dirinya sendiri.

Ajeng menguap, ia menutupi mulutnya dengan tangan kanan. Melirik ke arah jam dinding, pukul 09.18 tersemat. Rupanya, sudah malam. Ia merebahkan tubuhnya dengan pelan ke atas kasur, menarik selimut dan mulai memejamkan mata.

Menyiapkan energi untuk hari esok yang tak terduga.

***

Jam pembelajaran di kelasnya berlangsung tertib. Saat ini, Ajeng mengikuti ulangan yang sering dilaksakan setiap Minggu untuk memperoleh nilai tambahan. Matematika, ya ... cukup menguras otak.

Ajeng menatap langit-langit plafon, otaknya tak tinggal diam--sembari menghitung angka-angka di soal yang saat ini ia kerjakan. Kertas buram miliknya sudah terpenuhi coret-coretan angka, Ajeng menghela napas. Ternyata, dua buah kertas buram tak cukup untuknya.

Ia mengangkat tangan. "Bu," panggilnya kepada guru berjenis kelamin perempuan yang duduk di meja depan.

Sang guru mengangkat kepala, mencari sumber suara. "Iya, Nak. Ada apa?"

"Saya kekurangan kertas buram. Apa masih ada?" tanya Ajeng dengan sangat sopan.

Guru yang diketahui bernama Sofia itu tersenyum. Ajeng adalah murid yang pintar, jelas saja sangat teliti ketika menghitung. Tidak mungkin asal-asalan, wajar saja jika kekurangan.

Bu Sofia berjalan beranjak dari duduk, mengambil dua buah kertas buram lalu berjalan mendekati bangku Ajeng yang berada area di tengah.

"Ini. Ada kesulitan?" tanya Bu Sofia.

Ajeng menggeleng pelan. Ia rasa tidak ada, soal-soal ini sudah dipelajarinya kemarin siang. Ajeng tak akan lupa apabila ada ulangan, murid teladan. Ia juga tak ingin mengecewakan kedua orang tuanya apabila mendapat nilai yang tidak memuaskan.

Bu Sofia mengangguk lalu tersenyum. Ia kembali ke tempat duduknya, sementara jari Ajeng mulai lincah menari-nari di atas kertas buram itu.

Terdengar suara pintu diketuk, semuanya menoleh. Sosok pemuda berpakaian rapi berdiri di sana, senyumnya merekah. Bu Sofia mengerti, pasti ada maksud dan kepentingan tertentu. Wanita itu mempersilakan agar pemuda tadi masuk.

Pemuda itu meminta izin untuk memanggil Ajeng agar menuju ruang OSIS—ada pembekalan mengenai jalannnya seleksi sampai waktu tiba pemilihan nanti. Namun, Ajeng belum menyelesaikan ulangan, bu Sofia meminta waktu lebih banyak agar Ajeng dapat menyelesaikan tugas terlebih dahulu.

Ajeng menolak, ia mengatakan sanggup dalam waktu lima menit. Alhasil, bu Sofia mengalah dan menyetujui. Ia mempersilahkan pemuda itu meninggalkan kelasnya.

Ajeng segera menyelesaikan soal-soal yang belum ia kerjakan. Sebenarnya, hanya tertinggal dua soal saja. Ini tak memakan waktu yang banyak. 4 menit berlalu, Ajeng benar-benar menyelesaikan ulangannya.

Ia maju ke depan, menyerahkan hasilnya kepada Bu Sofia. "Ini ulangan saya, Bu. Saya boleh izin ke ruang OSIS?"

"Tentu saja boleh. Silahkan." Tanpa berlama-lama, Ajeng bergegas keluar kelas, membawa langkahnya ke ruang OSIS.

When You Love Yourself (Tamat)Where stories live. Discover now