Extra Chapter 1

79 18 4
                                    

Selama satu bulan terakhir, Ajeng begitu sibuk mengurusi hal-hal yang tentunya berkaitan dengan organisasi OSIS. Sebagai ketua, ia sangat memiliki tanggung jawab yang begitu besar, ya meskipun selalu ada Dhafi di sampingnya. Seperti sekarang ini, mereka tengah rapat di ruangan bersama yang lain juga.

Karena posisi mereka mengambil jam pelajaran, jadi tidak bising—tetap bisa fokus. Ajeng duduk di depan-memimpin jalannya rapat-menyampaikan hal-hal yang perlu disampaikan. Sembari spidol berada di tangannya, sesekali ia menuliskan poin-poin penting di papan tulis putih itu.

"Kita udah sebulan dilantik. Jadi, aku kepikiran untuk mulai diadain seminar motivasi di Minggu depan. Gimana menurut kalian?" tanya Ajeng.

Empat orang anggota OSIS yang berperan sebagai inti mengangguk-angguk menyetujui. Sebenarnya—ada enam—tetapi Vivi dan Natasya tidak bisa hadir karena mendapat jam ulangan dan tidak bisa ditinggal.

"Setuju gue mah, lebih cepat lebih baik toh." Dinda menyanggupi.

Namun, semua mengalihkan fokus ke arah Satria yang tiba-tiba menggebrak meja dengan keras. Lelaki itu memandang satu persatu orang-orang yang tengah memperhatikannya pula.

"Ngomong-ngomong nih. Siapa yang bakal jadi pemateri? Nyari motivator enggak gampang, loh," ujar Satria yang membuat anggota lain berkerut dahi juga.

"Ah, bener. Siapa? Jeng, lo udah nyari pematerinya?" tanya Dinda.

Ajeng tersenyum jahil menanggapi pertanyaan itu. "Aku. Aku yang bakal jadi pemateri di seminar perdana kita."

Pengakuan Ajeng membuat anggota lain saling tukar pandang, bibir mereka pun terbuka lebar-lebar. Seperti tidak percaya, namun Ajeng benar yakin. Ia sudah menyiapkan apa-apa saja yang akan disampaikan. Menurutnya, hal ini sangat penting dan belum sempat diutarakan kala pelantikan waktu itu.

"Heh! Tatapan lo semua seakan nggak yakin banget kalo Ajeng bakal jadi pemateri," sindir Dhafi, ia mendengkus.

Perlakuannya yang membela Ajeng justru malah disalahpahamkan oleh semua. Mereka meriuhkan kata 'cie' yang bernada. Tentu Ajeng dan Dhafi menampik, tidak terima. Mereka berdua berteman, tidak seperti yang dituduhkan.

"Apaan sih. Lebay kalian." Ajeng mengelak. "Tapi serius, aku bakal jadi pematerinya." Ia mengimbuhkan dengan iris mata membola, menandakan keseriusan.

"Gue mah seratus persen yakin sama lo, Jeng," aku Dinda sembari mengangkat kedua ibu jarinya ke udara tinggi-tinggi.

Selang beberapa detik kemudian, Dinda mengikuti jejak Satria-menggebrak meja-membuat yang lain geram sendiri akan tingkahnya.

"Gini deh. Kenapa nggak kita tawarin aja ke murid SMA Lentera untuk jadi pemateri? Ah, gue yakin sih ada yang minat." Dinda mengusulkan.

"Boleh tuh," kata Dhafi.

"Aku juga setuju. Berarti, Dinda yang bertugas untuk menawarkan ke murid lain. Ya? Dinda kan sekretaris." Sembari menahan tawa, Ajeng menyerukan pendapat yang menciptakan dengkusan dari sang empu.

Dinda menghela napas. "Walau sebenernya gue orangnya mageran. Tapi demi OSIS deh, gue rela." Perkataan Dinda barusan diapresiasi lewat tepukan dari Ajeng, Satria dan juga Dhafi. Lalu tawa bahagia samar-samar mulai memudar.

***

Sesuai janji yang Ajeng buat dan juga sudah mendapat kesepakatan bersama setelah melakukan musyawarah, Ajeng benar-benar menjadi pemateri di seminar perdana anggota OSIS. Tentu ia sudah mempersiapkan semuanya dan juga berharap tidak ada halangan apa-apa selagi acara berlangsung.

Semua murid SMA Lentera sudah berkumpul di aula, Ajeng dan anggota OSIS lain pun turut andil. Bedanya, mereka berada di depan murid, duduk di kursi yang telah disediakan. Dinda di area sudut pojok, dengan map yang dibawa-karena gadis itu bertugas sebagai moderator.

"Selamat pagi semuanya." Dinda memulai dengan sapaan ringan juga senyum yang tidak ia pudarkan.

"Pagi!" Riuh-riuh menjawab.

"Seperti program yang pernah Ketua OSIS kita janjikan, Alhamdulillah bisa terlaksana di hari ini-Sabtu, 14 Februari 2021. Daan, yang paling membuat terkejut, pemateri perdana kita adalah Ketua OSIS kita sendiri, loh! Tepuk tangan dong."

Gaya bicara Dinda yang begitu komunikatif tentu membuat semua murid bersemangat, menurut mereka acara ini memang sangat ditunggu-tunggu. Terutama, bagi seseorang atau golongan yang merasa kurang motivasi atau memerlukan motivasi.

"Silahkan Kakak Ketua OSIS untuk menuju tempat." Dinda tertawa kecil, karena Ajeng tersipu dan malu-malu.

"Hai semuanya. Bersyukur banget akhirnya seminar ini bisa dimulai juga. Tentu atas kerjasama guru-guru dan anggota OSIS lain yang memberi apresiasi acara ini," ucap Ajeng. Gadis itu sudah mulai terbiasa berbicara di depan banyak orang, tidak perlu merasa canggung lagi. Lagipula, rasa percaya diri sudah benar-benar melekat pada dirinya.

"Untuk seminar kali ini, saya mengusung tema love yourself. Ngomong-ngomong, kalian udah bisa mencintai diri sendiri? Saya akui, memang sulit. Banyaaak banget alasan yang selalu membuat diri merasa rendah, tidak bisa melakukan apa-apa bahkan sampai mencaci diri sendiri tidak berguna.

"Di situasi seperti itu, jika tidak ada pergerakan yang dilakukan, bagaimana semuanya bisa berubah? Akan tetap sama jika diri sendiri pasrah akan keadaan," ungkap Ajeng. Ditatapnya seluruh murid yang berada di aula, mereka manggut-manggut menyimak.

Ajeng menghela napas sebelum melanjutkan kata-katanya. "Ada banyak cara agar kita bisa mencintai diri sendiri. Dalam diri manusia, tentu terdapat kekurangan juga kelebihan. Bagaimana kamu tidak selalu insecure jika terlalu memikirkan kekurangan yang kamu punya? Pikirkan, satu kelebihan itu sudah lebih dari cukup. Namun, jangan berpatokan dengan kalimat itu, kamu bisa jauh lebih dan lebih hebat lagi jika mau berusaha." Ajeng menekankan setiap kata yang diucapkan, sudut bibirnya terangkat menciptakan lengkungan senyuman. Manis.

Ia membawa langkahnya maju, hanya dua langkah lalu kembali berhenti. Sepatu yang sudah koyak ia tatap sejenak, kemudian mengangkat pandangan dan melanjutkan yang belum selesai.

"Kamu pasti punya kelebihan yang tidak orang lain punya. Jadi, untuk apa membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain? Kamu ya kamu. Kamu punya sisi istemewa yang luar biasa." Tidak jarang, ada riuh-riuh tepuk tangan meski tak ramai.

Guru-guru pun tidak segan saling pandang dan menyunggingkan senyuman. Tidak salah. Ajeng memang sangat layak menjadi pemimpin siswa di SMA Lentera. Bagaimana bisa diragukan? Kata-kata yang dilontarkan gadis itu menyentuh dan pasti membuat banyak orang tersadar.

"Maka dari itu, kami pihak OSIS menghidupkan kembali ekstrakurikuler yang sempat mati karena tidak ada penghuni. Saya yakin bahwa kita semua memiliki bakat, tidak ada salahnya disalurkan, kan? Itu sudah menjadi bukti, bahwa kita berani melangkah dan mematahkan 'perkataan' orang lain yang mengatakan bahwa kamu tidak berguna."

Ada jeda yang diciptakan oleh Ajeng. "Satu lagi. Yang menurut saya poin penting. Untuk kamu-kamu, jangan menjadikan 'fisik' sebagai alasan untuk tidak percaya diri. Karena, manusia diciptakan berbeda-beda oleh Tuhan. Bukankah itu istimewa? Lalu, apa yang disesali? Apa yang perlu diproteskan?" tanya Ajeng dengan nada penekanan.

"Apalagi, untuk yang merasa sebagai 'pembuli'. Saya dan segenap anggota OSIS, juga para guru serta murid-murid yang menjadi korban tentunya, meminta tolong berhenti. Bullying bukan beresiko pada fisik saja, tetapi mental juga. Mental seseorang itu akan terus terganggu dan dibayang-bayangi oleh rasa takut. Dan, masa penyembuhannya juga tidak bisa dalam waktu sebentar." Ajeng merendahkan suaranya, memelan dan melembut. Mencoba untuk berbicara dari hati ke hati, agar apa yang ia sampaikan bisa dicerna oleh semuanya.

"Jadi, mulai sekarang; mari cintai diri sendiri. Kamu bisa, kamu hebat, kamu kuat, kamu istimewa. Lakukan apa yang ingin kamu lakukan, demi dirimu sendiri ke depannya. Hilangkan kata 'insecure' yang sempat singgah pada diri kamu. Jangan takut gagal, jika belum mencoba. Kegagalan bukan berarti putusnya harapan, tetapi dunia sedang menguji agar kita semua lebih memiliki tekad yang besar untuk menuju keberhasilan."

When You Love Yourself (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang