Chapter 24

91 20 7
                                    

Semuanya akan berubah seketika jika keberhasilan itu benar-benar diraih seutuhnya. Rasa kecewa yang semula ada, tergantikan bahagia yang luar biasa.

---

"Bu, mau ke mana rapi-rapi sekali?" Pria paruh baya itu menyesap nikmat kopi yang berada di atas meja, sembari melirik wanita—isterinya yang berpakaian rapi, tidak seperti hari-hari biasa ketika berada di rumah.

Namun, sang isteri urung menjawab. Wanita itu terlihat gelisah dan mondar-mandir tidak tentu arah. Tangan yang mulai berkeriput itu memegangi dagu, semakin memperlihatkan bahwa memang terselip pikiran yang Kirman saja tidak tahu apa itu.

"Ibu harus ke sekolah Ajeng hari ini."

Tentu saja penuturan itu membuat Kirman tersedak kopi hitam yang tidak bergula. Takut diabetes kumat, katanya. Kirman teringat, kala puteri semata wayangnya itu pagi-pagi sekali berangkat meninggalkan rumah dan itu adalah berkat dirinya.

Kirman bekerja sama dengan Ajeng, agar Pramesti tidak mengetahui mengenai hari ini adalah hari di mana Ajeng menunjukkan keseriusannya terhadap apa yang selalu gadis itu impi-impikan. Namun, waktu pagi menuju siang ini, Pramesti mengatakan hal yang tidak terduga. Bagaimana wanita paruh baya itu mengetahui?

"Mas keterlaluan!" berangnya penuh sungut.

Kirman kemudian beranjak dari duduk, mengajak isterinya untuk berbicara dengan kepala dingin. Sekaligus mencoba mengurungkan niat Pramesti agar tidak membulatkan tekad untuk menuju sekolah Ajeng.

"Mas pengen, liat Ajeng terus dihina dan diolok-olok terus?" Pertanyaan yang keluar dari mulut Pramesti terkesan membentak, tidak memberi nada halus sedikit pun.

Kirman tahu, ke mana arah pembicaraan isterinya. Sejak kemarin-kemarin, hal itu terus saja dibahas oleh wanita yang berumur tepat 40 tahun. Bukan bagaimana, Kirman sudah menjelaskan apa pun untuk membuat Pramesti tidak terus berburuk sangka. Apalagi, tentang impian sang anak.

"Ucapan mas kemarin-kemarin masuk kuping kanan keluar kuping kiri? Impian Ajeng itu bagus, impian anak kita beda dari kebanyakan remaja lain. Harusnya bangga, Bu," tegas Kirman. Pria itu sejenak diam—mengatur napas agar tidak terbawa emosi dan akhirnya memulai peperangan yang kembali memanas.

Pramesti melengoskan pandangan ke jendela, menatap luar rumah dan sorot mata bertemu dengan jalanan yang tidak beraspal.

"Tentang kenapa Ajeng enggak menuruti omongan Ibu. Itu karena dia mau memberi pembuktian, dia enggak menyerah begitu aja sampai benar-benar berhasil dan memberi keberhasilan itu kepada ibunya."

Didengar dari nada bicara Kirman, sedikit naik oktaf. Mau bagaimana pun, Kirman adalah manusia biasa yang sulit untuk mengendalikan diri. Apalagi, pria itu berada pada situasi di tengah-tengah. Antara anak dan isterinya sendiri.

"Jangan terlalu mengendalikan Ajeng seperti robot. Ajeng bisa saja tertekan karena ibu selalu menuntut agar dia bisa mendapat juara kelas, bahkan olimpiade sekalipun. Apa ibu enggak berpikir sampai ke sana? Ajeng cuma ingin menjelajahi sesuatu yang baru, dia berani melangkah." Kirman memijat pelipisnya setelah itu, kembali menyesap kopi yang belum ditegak hingga tandas.

Pramesti masih bungkam, pandangannya kosong ke luar jendela. Namun, kedua telinga masih terbuka lebar—mendengarkan segala kalimat demi kalimat dari suaminya. Hingga tersadar, begitu egois dan tidak pengertian dirinya sebagai orangtua.

Tanpa didasari, bulir air mata menetes melewati pipi. Tidak ingin menyeka, melainkan dibiarkan memudar oleh angin yang menerpa wajahnya—berasal dadi fentilasi jendela yang terbuka.

When You Love Yourself (Tamat)Where stories live. Discover now