Chapter 9

65 22 23
                                    

Terkadang, sahabat memang paling mengerti tentang keadaan. Bukan masalah seberapa lama mengenal, tetapi seberapa pandai memahami satu sama lain.
_____

"Minggu main, yuk!" Juvita tiba-tiba berceletuk saat mereka sibuk mengemas buku-buku ke dalam tas.

Ajeng menoleh ke samping kanannya, di mana Juvita berada. "Ke mana?" tanyanya, raut wajah Ajeng menunjukkan arti keingintahuan.

Juvita tersenyum menyeringai, selesai memasukkan semua barang-barangnya, gadis itu kini duduk di bangku dengan kaki yang disilangkan.

"Ada, deh. Pokoknya, kamu harus mau. Nggak ada penolakan!" tegas Juvita sambil menunjuk Ajeng didukung raut wajahnya yang tak menunjuk ke arah serius.

"Ih, maksa," cibir Ajeng. Sebenarnya, ia juga tak akan menolak jika diajak. Namun, Juvita memang selalu saja begitu. Ajeng sering tak enak hati, gadis itu terlalu baik.

"Biarin, pokoknya besok aku jemput kamu di rumah jam 8 pagi, ya. Enggak boleh telat, nunggu itu nggak enak," kata Juvita seraya terkekeh geli di ujung kalimatnya.

Ajeng pun menghela napas dan mengangguki perkataan Juvita yang nyeleneh baginya. Ia menempatkan tasnya ke punggung, setelah itu berdiri hendak keluar dari kelas.

Jam pelajaran sekolah telah usai, waktunya kembali ke rumah. Karena mereka berdua mendapat jadwal piket, alhasil pulang lebih akhir dari pada yang lain.

Juvita pun sama, gadis itu bangkit dari duduk dan menyusul Ajeng. Namun, saat hendak melewati pintu kelas, sesosok pemuda lebih dulu menerobos masuk.

Sosok pemuda itu berhasil membuat Juvita mesem-mesem dan salah tingkah. Siapa lagi kalau bukan kekasihnya--Agil? Pasti pemuda itu sengaja menjemput Juvita ke kelasnya.

"Pulang sekarang, kan?" tanya Agil kepada Juvita. Pemuda itu mendekat ke arah pacarnya, lalu menggandeng tangan mungil gadis itu.

Juvita mengangguk. Kejadian itu tak luput dari pandangan Ajeng yang saat ini ikut mengulas senyumnya. Agil dan Juvita memang sudah berpacaran beberapa bulan, wajar saja jika sedekat itu.

"Eh, Jeng, lo balik bareng kita aja," sambar Juvita seraya melirik Ajeng yang berdiri tak jauh darinya. Pengajuan dari Juvita pun diangguki dengan antusias oleh Agil.

Namun, Ajeng menggeleng tanda menolak ajakan sahabatnya. Lagipula, ia sudah biasa pulang menaiki kendaraan umum. Tak enak juga jika mengganggu mereka berdua.

"Males, deh. Nanti aku jadi nyamuk," kekeh Ajeng.

Jawaban Ajeng tentunya membuat mereka malu-malu. Tak ingin memaksa, akhirnya mereka menghormati keputusan dari Ajeng.

"Ya udah, kita duluan ya, Jeng." Agil kini mewakili, pemuda itu mulai menarik tangan Juvita agar berjalan beriringan dengannya. Di tengah-tengah langkahnya yang menjauh, Juvita melambaikan tangan ke arah Ajeng.

Ajeng pun sama, mengangkat tangannya ke udara dan melambaikan ke arah Juvita. Gadis itu kemudian bergerak mengunci pintu kelas, lalu berjalan menuju gerbang sekolah menunggu kendaraan umum yang lewat dan mengantarkan ke tempatnya bermula.

***

Ajeng tengah bersiap-siap di depan cermin, mengamati apakah cocok atau tidak mengenakan baju yang dipilih. Sebuah celana panjang sampai betis berwarna coklat dan melebar di bawahnya menjadi pilihan ditambah kaos bermotif hitam putih dengan lengan sepanjang siku. Tidak lupa, Ajeng memakai bedak bayi yang ia punya--wangi baunya, Ajeng suka.

Deringan ponsel mengalihkan atensi Ajeng. Diliriknya sekilas, nama 'Kak Genta' tertera di sana. Ia sudah menyimpan nomor itu kemarin, sesaat setelah pemuda itu memperingatkan. Alih-alih membahas tentang OSIS, obrolan mereka berdua hari lalu justru membahas tentang kegiatan pribadi dan apa yang dilakukan sehari-hari—seperti basa-basi.

Kali ini, entah apa lagi maksud dari Genta menelponnya. Ajeng memiliki rasa tidak enak hati yang tinggi, mustahil jika ia akan menolak panggilan dari Genta. Alhasil, gadis itu menggeser tombol hijau ke atas lalu suara serak langsung terdengar menyapa.

Genta menanyakan keberadaannya dan ia menjawab seadanya; bahwa akan pergi bersama Juvita dan juga Agil ke sebuah cafe terbaru di daerah Jakarta. Genta mengiyakan, tidak banyak tanya. Lalu, pemuda itu sendiri yang mematikan sambungan setelah mengucapkan salam perpisahan obrolan. Ajeng mengedikkan bahu, kurang paham dan tidak ingin memikirkan tingkah dan sikap Genta padanya. Ajeng memang tidak peka.

Berselang sebentar, suara klakson mobil terdengar dari luar. Ajeng menyambar Sling bag miliknya kemudian mengenakan converse hitam putih. Mereka berdua langsung melesat ke cafe yang dimaksud—dengan tidak sabar dan penuh duga-duga. Juvita terutama, gadis itu bersenandung ceria pagi ini, seperti tidak memiliki beban apapun. Ajeng pun ikut terbuai, menikmati alunan musik yang mengiring.

***

Sampai di tempat yang dimaksud, Juvita sangat antusias. Ternyata, cafe itu di-design sangat indah. Di langit-langit atas diberi lampion yang menyala indah, lalu di dinding-dinding juga diberi lampu kelap-kelip. Hal itu menambah kesan aesthetic di mata Juvita.

"Bener-bener keren! Pantesan viral di media sosial," kata Juvita.

Ajeng mengangguki saja, ia mana paham tentang hal yang trending di media sosial. Ponsel yang ia miliki hanya digunakan sebatas komunikasi penting saja, atau mencari sumber informasi yang Ajeng butuhkan. Cuma itu.

Namun, sepertinya juga ia tak perlu repot-repot mencari tahu apa yang sedang menjadi perbincangan banyak orang. Melalui Juvita, Ajeng sudah bisa mengetahuinya dengan mudah.

"Kak Agil!" Juvita melambaikan tangan ke arah pintu masuk, Agil berdiri di sana, matanya mencari-cari sesuatu.

Setelah mendengar panggilan dari seseorang yang terasa familiar, senyum Agil merekah. Ia berjalan ke arah meja yang ditempati dua gadis itu.

"Kalian udah lama?" tanya Agil.

Ajeng dan Juvita serempak menggeleng bersamaan. "Belum, kok. Barusan aja." Juvita menjawab.

Agil mengangguk. Ia melihat ke arah meja yang kosong, artinya dua gadis itu belum memesan makanan apa-apa. Tangannya kemudian terangkat dan berucap, "Mbak!"

Seseorang yang dipanggil menoleh, lalu menghampiri mereka. Ajeng yang semula diam, kini mulai menatap seorang yang berpenampilan Waitrees itu lamat-lamat.

Ajeng merasa tidak asing--merasa familiar dengan wajah itu. Namun, ada sesuatu yang mengganjal. Riasan yang dipakai perempuan itu sangat tebal.

"Ah, aku mau nasi goreng khas cafe ini," ucap Juvita  sambil membaca daftar menu makanan yang dihidangkan. "Kamu mau apa?" tanyanya kepada Agil.

"Samain aja," balas Agil santai. Ia membuka ponselnya, menggeser beranda.

"Ajeng, kamu mau apa?" Juvita bertanya kepada Ajeng, tetapi gadis itu nampak melamun.

"Ajeng?" Juvita memetikkan jarinya di depan wajah Ajeng, alhasil gadis itu terkejut.

"Eh, apa?" Ia sadar akan lamunannya.

"Kamu mau pesan apa?" Juvita bertanya sekali lagi.

"Anu ... samain aja." Mendengar jawaban dari Ajeng, Juvita mengangguk.

"Nasi goreng khas cafe ini 3, ya, Mbak." Juvita menunjukkan 3 jarinya kepada waiter itu.

Si Waitrees mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata lalu melenggang pergi meninggalkan mereka bertiga.

Berbeda dengan Juvita dan Agil yang nampak berbincang ria, Ajeng malah sibuk dengan pikirannya sendiri. Bahkan, panggilan dari Juvita pun tak dihiraukannya.

Mengapa Ajeng merasa tidak asing dengan waitrees tadi? Seperti mirip seseorang, Ajeng sudah menyimpulkan siapa orangnya. Namun, ia ragu.

"Lo mikirin apa, Jeng?" Mendengar pertanyaan dari Agil, Ajeng sontak menggeleng. Kesadarannya masih ia kuasai--masih bisa merespon
_______

When You Love Yourself (Tamat)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora