Chapter 22

60 18 6
                                    

Seseorang akan terlihat menawan jika sisi istimewanya nampak. Namun, ketika itu hilang—semua runtuh—tak meninggalkan jejak apapun.
———————


"Ngapain sih nyuruh aku buat ke rumahmu dulu?" Ajeng berkacak pinggang kesal, pasalnya ia harus berangkat lebih pagi dari hari-hari biasanya.

Juvita menyunggingkan senyum miring, dahi Ajeng berkerut dalam. Entah, ia tidak tahu apa maksud dari sahabatnya itu. Juvita meletakkan kedua tangan ke pundak Ajeng, lalu menyeretnya paksa ke depan cermin di kamarnya dan mendudukkan Ajeng di kursi.

Di sana juga terletak meja yang cukup besar, tampak bermacam-macam jenis skincare yang Ajeng tidak tahu bagaimana cara membedakannya. Yang ia tahu, hanya sebatas bedak bayi yang sering digunakan. Baginya—wangi.

"Mau apa sih, Ju? Kamu jangan aneh-aneh, ya." Ajeng sudah curiga, Juvita pasti akan melakukan hal yang tidak-tidak. Dari gelagatnya, sudah sangat terlihat, apalagi senyuman mematikan itu.

"Ih. Hari ini kamu kampanye plus voting, kan? Berdiri dan bicara di depan semua warga sekolah, kan? Aku punya rencana bagus, nih!" ucap Juvita dengan begitu lugas.

Gadis dengan rambut diikat kuda itu mulai mengambil sebuah benda dari meja di depannya. Seperti krim—atau apalah, intinya mirip-mirip semacam itu. Diikatnya rambut Ajeng menggunakan karet yang berada di pergelangan tangannya, agar tak menghalangi misi-misinya.

"Aku mau sedikit make up-in kamu. Biar agak fresh nanti pas di atas panggung," ungkapnya.

Ajeng terbelalak, ia langsung bangkit dari duduk dan membalikkan badan menghadap Juvita. "Make up? Dandanin aku maksudnya? Ih, enggak mau! Memangnya aku mau kondangan apa? Nggak usah aneh-aneh ya, Ju!" murka Ajeng, bola matanya masih membesar tajam ke arah iris milik Juvita.

Yang membuat Ajeng kesal, Juvita sama sekali tidak terpengaruh dengan penolakannya. Malahan, gadis itu kembali mendudukkan Ajeng dengan sedikit paksaan. Seolah, meminta Ajeng untuk tidak bergerak dan menurut saja.

"Ajeng ..., ini nggak akan berlebihan, kok. Aku cuma sedikit kasih bumbu-bumbu make up di wajah kamu. Sedikit aja. Serius." Juvita mengangkat kedua jarinya, jari tengah dan jari manis—seakan berjanji.

"Nggak, pokoknya nggak. Aku nggak pede, Ju." Ajeng tetap memberi penolakan atas tawaran Juvita kepadanya.

Juvita mendesah pelan sekaligus berdecak. Mengerucutkan bibir, ia jongkok di hadapan Ajeng. "Aku ngelakuin ini, biar nanti pas saatnya kamu maju ke depan, kamu nggak diejek bahkan diketawain, Jeng," papar Juvita dengan binar yang redup.

"Jadi, maksud kamu, aku malu-maluin? Kayak apa yang diucapin Renata ke aku kemarin-kemarin?" Ajeng memudarkan senyuman, pikirannya sejenak beradu.

Juvita menggeleng perlahan, ditatapnya Ajeng dengan penuh keseriusan. Ia juga menangkup kedua pipi Ajeng menggunakan tangannya. "Bukan gitu maksud aku. Justru, aku mau bikin mereka sadar, bahwa kamu itu emang pantes di posisi ini." Juvita meyakinkan, tidak ada aura kebohongan di matanya. Meski Ajeng bukan psikolog—tanpa mempelajari hal itu pun sudah bisa paham secara otodidak.

Setelah dipikir terlalu lama, sepertinya hal itu bukanlah pilihan yang salah. Ia tahu, niat dari Juvita memang baik—meskipun gadis itu memang selalu baik kepadanya. Remang-remang, Ajeng mengangguk yang berarti menyetujui permintaan dari Juvita.

"Nah, gitu dong! Tenang aja, aku bakal natural-in wajah kamu. Enggak bakal kayak tante-tante, kok." Juvita terkekeh pelan, lalu dibalas pula oleh Ajeng.

Penuh kecekatan, Juvita memoles wajah Ajeng dengan perlahan-lahan—agar tidak melakukan kesalahan. Ia memberikan sentuhan pada kulit gelap Ajeng, tidak berlebihan, justru terlihat begitu natural. Setidaknya, ini dapat membuat wajah Ajeng terlihat segar dan lebih mempesona.

When You Love Yourself (Tamat)Where stories live. Discover now