Chapter 3

135 29 37
                                    

Ketika kaki ingin melangkah lebih jauh lagi, tetapi jalan itu seperti diberi pagar tinggi-tinggi agar tak dapat dilewati.
________

Tubuhnya direbahkan di atas kasurnya yang tidak empuk. Ia tengkurap, tangan kanannya memegang pulpen yang telah beraksi mencoret-coret di atas kertas putih itu. Sesekali bibirnya menguap karena jarum jam memang sudah menunjukkan waktu larut malam.

Ajeng tengah memikirkan hal-hal yang belakangan ini bergelut di otaknya. Terutama, tentang organisasi OSIS yang sebentar lagi akan ia langkahi. Apa pun yang muncul di pikiran, tangannya langsung beraksi menuliskan.

"Aku bisa kepilih nggak, ya?" Ajeng bermonolog sambil memejamkan matanya. Ia berbalik badan, posisinya menjadi terlentang menghadap genteng-genteng yang tersusun rapi di atas sana.

Ajeng sebenarnya ramah, tetapi ketika berada di sekolah berubah menjadi anti sosial. Di lingkungan rumahnya tak mempersalahkan posisi, apapun yang dipakai dan lain sebagainya. Namun, saat di sekolah, perlakuan mereka masih bersistem kasta. Itulah sebab Ajeng sukar berbaur dengan murid-murid lain.

Akhir-akhir ini pula Ajeng seringkali merasa pesimis. Ia ragu untuk melangkah, padahal sebelum ini sangat antusias. Mengenai posisi, tak banyak yang mengenal Ajeng. Kenal pun hanya sebatas menjadikannya bahan ejekan semata.

"Ah, kenapa jadi gini, sih? Aku nggak boleh pesimis. Semangat untuk diriku sendiri!" teriak Ajeng lalu mengepalkan tangannya kuat-kuat dan diangkat ke udara.

Teriakannya terlalu keras, terdengar sampai ke luar. Hingga akhirnya pintu kamar terbuka, memperlihatkan sang ibu yang berdiri di sana. Wanita itu berjalan ringkih mendekati Ajeng yang tengah berbaring.

"Udah malem, nggak baik perempuan teriak-teriak kayak begitu," kata Ibu Ajeng, Pramesti namanya.

Ajeng mengubah posisinya menjadi duduk dan tersenyum lebar memperlihatkan deretan giginya. "Maaf, Bu," ucapnya.

"Kamu lagi ngapain?" tanya Pramesti, ia menarik buku yang tergeletak di atas kasur Ajeng lalu mendekatkan ke matanya.

Tak lama setelah itu, raut wajah Pramesti berubah datar. Senyumnya memudar dan tergantikan aura menyeramkan.

"Kamu masih nggak mau dengerin Ibu?" Nada bicara Pramesti rendah, namun terdengar menikam. Bibir Ajeng kelu untuk menjawab, diam menjadi pilihan.

"Lupain keinginanmu buat jadi Ketua OSIS. Untuk apa? Udah berapa kali Ibu bilang, enggak usah ikut-ikutan. Kamu itu cukup banggain Ibu dengan cara belajar, Ajeng," tegas Pramesti. Ia meletakkan buku catatan Ajeng di atas kasur kembali.

Ajeng menunduk, matanya memanas. Buliran air hendak memaksa turun, namun Ajeng tak akan membiarkan itu terjadi. Ia menahan kuat-kuat agar air mata tak lolos menuruni pipi.

"Kita itu cuma orang biasa, orang miskin." Pramesti menjeda kalimatnya. "Kamu nggak akan bisa melakukan apa yang kamu ingin. Sebagai orang biasa, kita harus sadar diri, Nak." Pramesti mendekat ke arah Ajeng, tangannya terulur mengusap rambut halus anaknya.

Ajeng berani mengangkat kepalanya, menatap sang ibu yang wajahnya sudah mulai keriput dan menua. Ajeng dilanda bimbang, ia memiliki dua pilihan dan tidak tahu harus memihak yang mana.

Ajeng tidak berani untuk mengucapkan kata, ia hanya tersenyum sampai akhirnya dibalas pula oleh Ibunya. Wanita itu mendekatkan bibir ke dahi Ajeng, mengecupnya singkat.

"Ingat kata-kata Ibu. Sekarang tidur, udah malam. Besok, kan, harus sekolah," pesan Pramesti sambil mengacak-acak rambut Ajeng tulus.

Ajeng mengangguk. Ia kemudian membuka lipatan selimut dan menutupi tubuhnya. Memposisikan tubuh berbaring terlentang, Ajeng mulai memejamkan mata seperti pesan dari Ibunya.

When You Love Yourself (Tamat)Where stories live. Discover now