Chapter 1

265 45 31
                                    

Kualitas diri, ada pada kata-kata yang diucapkan. Baik itu disengaja, ataupun sebaliknya. Perbaiki, sebelum akhirnya tak memiliki kesempatan dua kali.
___________

"Bisa nggak sih, kamu belajar menghargai perempuan?!" Gadis dengan rambut dikepang satu ke belakang itu berujar tegas. Rahangnya mengeras dan kedua tangan yang terkepal sempurna sampai menampakkan urat-uratnya.

Pemuda yang berada di depannya tak bergeming. Duduk dengan kaki diangkat satu—menyombongkan diri. Sikapnya terlalu angkuh, penegasan gadis itu sama sekali tidak dihiraukan.

Ia mengeluarkan permen yang berada di dalam mulutnya, berdiri dan menghadap gadis yang masih mengharap ia angkat bicara. Padahal, sangat percuma. Semua akan sama saja, tidak ada hasilnya.

"Kenapa?" tanya pemuda itu tanpa minat.

Ajeng berdecih. Tampang pemuda di depannya itu diakui tampan, tapi baginya percuma jika kelakuannya slengean. Apa maksudnya mempermainkan perempuan bak boneka yang tak berdosa?!

"Kamu kira, perempuan itu mainan, hah?!" bentak Ajeng, nadanya meninggi. Kakinya pun maju satu langkah, mengartikan bahwa keberaniannya kian bertambah.

Pemuda itu bertepuk tangan dan tertawa ringan. Bukan untuk memuji, namun bentuk sebuah ejekan. Mana mungkin seorang pemuda sepertinya memuji gadis biasa semacam Ajeng? Suatu keajaiban dunia jika memang benar terjadi.

"Lah, siapa elo? Oh ... lo iri karena gue nggak minat jadiin lo pacar gue?" terka pemuda itu sambil menaik-turunkan alisnya—menggoda.

Ajeng menghela napas sembari memejamkan mata sejenak. Berbicara dengan pemuda di depannya cukup menguras tenaga, tetapi anehnya Ajeng tak pernah berhenti untuk berusaha.

"Iri? Mimpi! Aku masih waras buat dijadiin mainan sama cowok bajingan kayak kamu!" Telunjuk Ajeng diarahkan dengan ke dada bidang pemuda itu.

"Ajeng ... Ajeng. Punya kaca, kan, di rumah? Sekali-kali ngaca, biar sadar diri. Sekolah jalur beasiswa itu tugasnya belajar aja, biar nggak dicabut beasiswanya. Apalagi penampilan lo yang cupu gitu ...." Pemuda itu menggantungkan ucapannya, ia menunduk guna menyamakan tingginya agar setara dengan Ajeng. "Norak tau, nggak?" Daniel mengimbuhkan dengan tampang bergidik jijik.

Ajeng tidak pernah mempermasalahkan penampilannya yang memang selalu menjadi bahan ejekan. Sekarang yang terpenting adalah sikap pemuda di depannya yang sudah sangat membuat hati tertekan.

Ajeng benar-benar kehilangan kesabaran. Bagaimana ia bisa terima kala sesama kaumnya dijadikan bahan taruhan bahkan dianggap bak boneka mainan? Di mana letak hati pemuda di depannya ini?

Ia pernah memilih diam, tetapi kelakuan pemuda itu semakin hari semakin kelewatan. Ajeng mulai berani menentang, tidak peduli siapa posisinya sekarang. Bahkan, ia juga tidak menganggap tinggi derajat orang yang saat ini ia hadapi.

"Terserah kamu mau ngomong apa. Setidaknya, aku masih punya hati dan perasaan. Nggak kayak kamu, bisanya cuma nyakitin para perempuan. Mendingan, hatimu itu didonorin aja ke orang yang membutuhkan. Daripada nggak dimanfaatkan dengan benar," kata Ajeng dengan bersungut-sungut. Matanya membulat tajam, menelusup ke manik pemuda itu.

Pemuda itu lantas ikut maju selangkah, tangan kanannya mencekal lengan kiri Ajeng dengan kuat. "Gue tegasin lagi, lo siapa berani ngatur-ngatur hidup gue? Cuma cewek kampung yang masuk SMA Lentera jalur beasiswa, right?" Cekalannya semakin kuat, Ajeng meringis sakit. Sungguh, pemuda di depannya tak memiliki rasa belas kasihan sama sekali.

"Tapi kamu itu kelewatan!" bentak Ajeng. Ia masih tidak menyerah, mempertahankan opininya bahwa pemuda itu memang bersalah. Sakit itu berusaha tak dirasa, walaupun pada kenyataannya meninggalkan bekas kemerahan di sana.

When You Love Yourself (Tamat)Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin