Chapter 18

64 19 30
                                    

Manusia akan berhasil pula jika konsisten dengan tujuan utamanya. Seberapa banyak rintangan yang menerpa, asalkan telah dibangun benteng kuat-kuat pasti akan bisa melewatinya.

———————


"Ajeng, ke warung sebentar, Nak. Beli garem sama gula, ya."

Suara sang ibu dari dapur terdengar jelas oleh telinga Ajeng, gadis itu langsung beranjak dari duduknya. Menata rambut sebentar, lalu bergegas menghampiri ibunya.

"Uangnya?" Ajeng mengadahkan tangan di depan Pramesti.

Pramesti berjalan ke arah lemari kaca, lalu berjinjit mengambil sesuatu di atas sana. "Ini." Selembar uang duapuluh ribuan diserahkan kepada Ajeng. "Gulanya beli setengah kilo aja, garemnya dua bungkus."

Gadis itu mengulurkan tangan--menerima uang dari sang ibu, setelahnya memasukan lembar uang itu ke dalam saku celananya. Lantas, Ajeng berlalu dari pandangan Pramesti.

Warung yang akan dituju Ajeng letaknya tak terlalu jauh, kisaran sepuluh meter dari rumahnya. Suasana sore hari didominasi mendung, awan kian berwarna hitam, seolah bersiap menumpahkan tangisan.

Sorot mata Ajeng menyapu sekeliling, mendapati sebuah rumah yang sudah beberapa kali ia kunjungi. Di sana pun ; seorang gadis kecil duduk di kursi rodanya, tidak sendiri, melainkan bersama wanita paruh baya yang Ajeng ketahui sebagai nenek gadis bernama Sisi itu.

"Kak Ajeng!" Sisi dari arah sana berseru.

Ajeng membalas dengan senyuman juga lambaian tangan. "Hai," sahutnya.

"Kak Ajeng mau ke mana?" tanya Sisi.

Ajeng sedikit mendekati ke arah rumah yang menjadi tempat keberadaan Sisi. "Mau ke warung."

"Besok main ke sini lagi ya, Kak!" pinta Sisi, senyum di wajahnya terpatri.

Ajeng langsung mengangguk. "Oke, cantik!" Ajeng menyatukan jari manis dan ibu jarinya, sehingga membentuk bulatan. Sedangkan tiga jari lainnya dibiarkan menjulang ke atas.

Bersamaan dengan Ajeng melangkah menjauh, ia pun kembali melambaikan tangan guna salam perpisahan. Nampak Sisi pun membalasnya, wanita tua yang berada di samping Sisi sembari memegang mangkuk pun hanya tersenyum menanggapi.

***

Pramesti yang tengah mengiris sayuran yang akan dimasaknya sedikit terganggu akibat ponsel Ajeng yang berdering kencang. Ia berhenti sejenak dari aktivitasnya, lalu beranjak menuju kamar puterinya.

Ponsel Ajeng tengah di-charge, pada layarnya muncul sebuah nama yang jelas saja tak Pramesti kenal. Namun, wanita itu berpikir, bahwa nama yang tertera itu pasti adalah teman sekolah anaknya.

Tanpa ragu, Pramesti mengambil ponsel Ajeng lalu menggeser ikon berwarna hijau ke atas.

"Halo, Jeng. Besok pagi, kita jadi bahas buat kampanye OSIS Minggu depan, kan? Ketemu di tempat yang kemarin udah fix, ya."

Pramesti terdiam, bahkan ia pun menunda napasnya sebentar. Tangannya melemas, menurunkan dengan pelan ponsel yang semula berada di dekat telinga, kini telah sejajar dengan pinggangnya.

"Ajeng? Halo?"

Pramesti cepat-cepat menutup panggilan itu, terbersit rasa kecewa dalam hatinya. Ia kira, Ajeng benar-benar menuruti perintahnya, tenyata justru malah bertolak belakang dengan apa yang diharapkannya.

Pramesti menaruh ponsel Ajeng kembali di tempat semula, ia membawa langkahnya menuju dapur, melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda.

"Ibuk, ini garem sama gulanya, sisa uangnya ada di dalam plastik. Tapi minta seribu, buat beli permen," ucap Ajeng sembari menyengir kuda. Ia baru tiba, langsung menaruhkan plastik berisi apa yang ia beli tadi ke atas meja.

Baru saja Ajeng ingin melangkah pergi, tetapi Pramesti menyerukan namanya. Terpaksa, ia berbalik badan, menunggu sang ibu melanjutkan ucapan.

"Besok mau ke mana?" tanya Pramesti.

Ajeng berdiam sejenak sembari mengingat-ingat. "Oh, besok ada kerja kelompok sama Juvita di rumahnya," jawab Ajeng.

Pramesti menghentakkan pisaunya ke talenan yang berbahan dasar kayu itu dengan keras. Ajeng tersentak, ia memejamkan matanya.

"Sejak kapan kamu pintar berbohong, Ajeng?"

Mendengar ucapan dari sang ibu, Ajeng memberanikan diri mendongakkan kepala. Manik mata ibu dan anak itu beradu, sangat kentara jelas bahwa Pramesti benar-benar tengah bergelora.

"Kenapa kamu enggak dengerin pesan ibu? Berapa kali lagi ibu bilang sama kamu, Jeng, berhenti ikut-ikut kegiatan OSIS itu. Berapa kali juga ibu bilang, tugasmu itu hanya belajar." Nada bicara Pramesti mulai meninggi, Ajeng meneguk ludah sekaligus merasa gamang.

Degup jantung Ajeng berpacu lebih cepat, ia hanya bisa terpejam sembari menerima lontaran demi lontaran kata dari ibunya. Sungguh demi apa pun, Ajeng terkejut, dari mana ibunya tahu? Begitulah isi dalam benak hati Ajeng.

"Apa mengikuti kemauan ibu itu sulit? Bahkan tindakanmu itu lebih mempersulit hidupmu." Pramesti menegaskan setiap kata yang ia lontarkan.

Ajeng mati-matian menahan agar air matanya tak lolos dari tempat persembunyian, tetapi usahanya gagal juga. Buliran bening mulai mengalir melewati pipinya.

"Ini ada apa ini?"

"Bu, kok marah-marah begitu, lho, sama anaknya," ujar Kirman. Pria paruh baya itu baru saja keluar dari kamar tempat ibadah, langsung menghampiri keduanya.

"Liat anakmu itu, sudah mulai pintar berbohong dan nggak nurut apa ucapan ibunya," tegas Pramesti.

Helaan napas berat diciptakan oleh Kirman, pria itu pun geleng-geleng kepala. Ia mendekati Pramesti, mengusap pelan punggung wanita yang menyandang status sebagai istrinya itu.

"Dibicarakan baik-baik kan bisa to, Buk," ucapnya di sela-sela keheningan.

Kirman melirik Ajeng, lalu memberi kode lewat kedua bola matanya yang bergerak-gerak. Ajeng sepertinya paham, ia berlalu dengan langkah pelan meninggalkan area dapur.

"Ibuk itu udah sering nasihatin Ajeng buat enggak usah ikut-ikutan kayak gitu, tapi enggak mau nurut," ujar Pramesti bersungut-sungut.

Kirman mengambil sebuah gelas yang berada di atas meja, lalu menuangkan air putih ke dalamnya. "Diminum dulu, enggak perlu marah-marah."

***

Memasuki kamarnya, ponsel lah barang pertama yang dilirik oleh Ajeng. Layarnya menyala, dilihat ada beberapa notifikasi chat beruntun tertera di sana. Dahi Ajeng berkerut dalam, setelahnya ia merutuki diri sendiri.

Ajeng baru menyadari setelah membaca pesan dari si pengirim itu, Dhafi. Ia berpikiran, bahwa ibunya telah membuka ponsel miliknya. Ada log panggilan dari Dhafi yang terjawab sore tadi, pasti ibunya yang telah mengangkatnya.

Jari-jemarinya menari-nari di atas layar ponsel, mengetikkan balasan untuk pesan beruntun yang ia dapatkan. Ajeng memikirkan tentang esok hari, apakah ia akan benar-benar pergi? Bimbang melanda dirinya.

"Ibu kan udah tau kalau besok aku ke rumah Dhafi buat bahas tentang OSIS. Terus, aku harus gimana?" Ajeng bermonolog.

"Duh, aku ngerasa bersalah banget karena udah beberapa kali bohong sama ibu ...," imbuh Ajeng di sela-sela isakannya.

Ajeng membawa langkahnya, ia menutup pintu kamar. Lalu, tubuhnya merosot ke bawah, kedua lututnya ia ditekuk. Sorot mata Ajeng menatap ke langit-langit rumahnya, memikirkan kejadian yang tengah membuat dirinya kembali dilanda bimbang.

"Kenapa ibu nggak bisa ngerti apa maksud dan tujuan aku? Aku cuma pengin membuat perubahan yang lebih baik. Apa itu salah?"

When You Love Yourself (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang