Chapter 11

66 20 12
                                    

Tak selamanya perlakuan yang buruk harus dibalas dengan konteks yang sama.
________

Ajeng dan Daniel berada di dalam taksi setelah melakukan pembayaran yang tentunya ditanggung oleh pemuda itu. Sebenarnya, memang ada rasa tak ikhlas, tetapi melihat Ajeng yang berstatus orang susah, dia tidak tega.

Keadaan hening, mereka menikmati perjalanan. Ajeng yang memandangi ke luar jendela, sedangkan Daniel bermain asik dengan ponsel pintarnya. Entah apa yang dilakukannya dengan pinda pipih itu.

Tak terasa, taksi itu berhenti berjalan--tanda mereka sudah sampai di tempat tujuan. Ajeng yang mengarahkan jalan, sopir pun mengikuti apa yang gadis itu katakan.

Daniel lebih dulu membuka pintu taksi, matanya meneliti rumah berukuran kecil di tepi jalan itu. Ia yakin, itu tempat tinggal Ajeng. Tidak terlalu mengenaskan, tetapi bisa dibilang sederhana.

Daniel menghela napas, ia lupa akan Ajeng yang kesusahan berjalan. Siapa lagi yang akan berkorban menggendongnya? Dihitung-hitung, sudah 3 kali Ajeng membuat Daniel repot dan kesusahan.

Daniel berjalan memutar, membuka pintu taksi dan membantu Ajeng keluar. Tak membantah, gadis itu ingin cepat sampai di rumah dan istirahat. Badannya sakit, terasa remuk akibat benturan dengan aspal tadi.

"Tunggu bentar ya, Pak," ucap Daniel kepada supir. Pemuda itu menitah Ajeng menuju rumahnya, nampak wanita paruh baya berada di ambang pintu dan beraut wajah panik.

"Astaghfirullah, Nak. Kenapa ini banyak perban di mana-mana?" Pramesti tentu saja kalang kabut melihat puterinya dengan kondisi yang berbeda. Tidak seperti pagi tadi.

"Kamu apain anak saya?" Nada bicara Pramesti sedikit meninggi dan menatap Daniel nyalang. Ia berprasangka bahwa pemuda itu lah yang membuat Ajeng celaka.

Ajeng menggeleng, tangannya terulur menepis lengan sang Ibu menjauh dari badan Daniel. "Dia Daniel, Bu. Dia yang nolongin aku pas kecelakaan tadi," kata Ajeng, memberi penjelasan agar tak terjadi kesalahpahaman.

Daniel memaksakan senyum, meski dirinya enggan. Pramesti masih mencurigai Daniel, raut wajah pemuda itu seperti tak niat. Ajeng meminta Daniel untuk melepaskan tangannya dari bahunya. Pemuda itu pun dengan senang hati menuruti.

"Makasih udah antar aku pulang." Kali ini, Ajeng tersenyum. Ya walau bagaimanapun, jika tak ada Daniel yang menolongnya, entah akan jadi apa Ajeng di tengah jalan seperti tadi.

"Oke."

Daniel menyerahkan sebuah plastik berisi kain kasa dan juga obat merah untuk mengganti penutup luka Ajeng. Tanpa mengatakan sepatah kata lagi, Daniel melengos pergi dari pandangan Ajeng dan Pramesti.

"Kenapa bisa kecelakaan begini? Ibu nggak dikasih firasat sama sekali. Kamu enggak hati-hati, ya?" cemas Pramesti. Wanita itu perlahan-lahan menuntun Ajeng memasuki rumah sambil terus berceloteh.

"Ajeng kurang hati-hati, Bu ...."

"Itu tadi siapa? Teman satu kelasmu? Ibu nggak suka, dia kurang sopan." Pramesti beraut masam saat mengingat sikap Daniel tadi, asal pergi tanpa berkata pamit terlebih dahulu.

Ajeng terkekeh, nyatanya sang Ibu sama dengannya. Jika saja Pramesti tahu sikapnya saat di sekolah, mungkin wanita itu akan benar-benar menghajar Daniel tadi.

"Bukan teman sekelas, cuma kenal aja."

"Udah, sekarang kamu istirahat. Kalau butuh apa-apa, bilang sama ibu," pesan Pramesti. "Loh, kenapa Juvita nggak antar kamu pulang? Dia ke mana?"

"Tadi Juvita ditelpon mamanya, katanya suruh pulang cepat. Makanya aku pulang sendiri, terus di jalan enggak sengaja ada motor nyerempet." Sedikit mengubah cerita tidak apa, itu juga demi kebaikan. Ajeng tak ingin membuat Pramesti terus berbicara. Ibu-ibu kadang memang cerewet, sudah kodratnya.

Pramesti menghela napas berat. "Ibu tinggal ke dapur, takut kuenya gosong."

Sepeninggal sang ibu dari kamarnya, Ajeng bergelut dengan pikiran. Tentang Daniel yang hari ini bak malaikat penolongnya. Setahu Ajeng, pemuda itu menaruh benci padanya. Namun, ternyata masih mempunyai hati nurani yang berfungsi.

Ajeng sedikit bergerak untuk menyamankan posisi tidurnya, tetapi badannya seperti mau remuk saja. Nyeri. Bagaimana ia bisa bersekolah besok jika keadaannya seperti ini? Pasti Pramesti tidak mengijinkannya.

Ajeng tak ingin merasakan nyeri ini, ia berusaha memejamkan mata. Tidur adalah pilihan terbaik. Siapa tahu, ketika bangun nanti, kejadian ini hanyalah sebatas bunga tidurnya. Ya ... Ajeng berharap.

***

"Eh, udah jam segini tapi Ajeng kok belom dateng, ya?" Juvita bertanya kepada teman satu kelasnya. Ya, walaupun tak ada respon, setidaknya gadis itu berusaha untuk tidak memendam rasa cemasnya sendirian.

"Lah, gue mana peduli. Ya biarin aja, sih. Sukur-sukur dia telat, dihukum siang-siang, makin gosong tuh kulit!" cibir salah satu gadis yang berada di dekat pintu masuk.

Juvita muak, niat bertanya untuk menggali info, malah cibiran yang ia dapatkan. Ingin menghajar, tetapi ia teringat akan pesan Ajeng untuk tidak gegabah. Namanya juga mulut, fungsinya ada dua. Untuk makan dan membicarakan orang lain.

"Ini udah mau bel, upacara juga mau mulai. Ajeng di mana, sih!" Gerutuan itu mulai terdengar gusar. Selama bersekolah, tak ada kamus terlambat pada sahabatnya itu.

Juvita sudah mengirimkan pesan, tetapi tak kunjung dibalas oleh Ajeng. Sepertinya, ponsel milik gadis itu mati sehingga tidak dapat dihubungi. Bel pertanda upacara dimulai dibunyikan, terpaksa Juvita memasukkan ponselnya ke dalam saku rok dan kemudian menuju lapangan untuk berbaris.

Pikirannya masih berkalut tentang Ajeng, ia berprasangka bahwa terjadi apa-apa dengan gadis itu saat menuju ke sekolah. Ah, bagaimana Juvita bisa fokus kalau seperti ini!

***

"Kamu tetap di rumah. Jangan masuk sekolah dulu." Pagi-pagi, Pramesti mengganti perban yang menutupi luka puterinya. Dibersihkannya dengan hati-hati, agar tak terlalu perih.

"Tapi aku belum ijin sama pihak sekolah, Bu," kata Ajeng dengan raut wajah cemasnya. Takut jika ia tak masuk sekolah tanpa izin, akan mempengaruhi beasiswanya.

"Waktu masuk sekolah, kan bisa dijelaskan." Selesai mengganti perban, wanita paruh baya itu keluar dari kamar Ajeng.

Ajeng menghela napas, sedari kemarin ia belum memegang ponsel. Bahkan, ia juga lupa untuk mengisi daya. Bukannya rasa sakit itu berkurang, justru badannya terasa semakin kaku dan sulit digerakkan.

"Ini kayaknya faktor aku tiduran terus. Jadi tambah linu," gerutu Ajeng. Ia mencoba merentangkan tangannya untuk merilekskan.

"Kalo rasa sakit ini nggak dilawan, gimana mau ada perkembangan!" Ajeng tetap merutuki diri sendiri yang dirasanya bodoh.

Ia mulai berdiri, walaupun tangannya merayapi dinding agar tidak limbung ke lantai. Sedikit-sedikit melangkahkan kaki keluar kamar, melawan rasa nyeri yang menyerang.

Ia berpapasan dengan Ibunya yang membawa nampan--terdapat piring berisikan nasi dan lauk juga segelas air putih. "Loh, mau ke mana? Ini dimakan dulu," pinta Pramesti.

Ajeng menggeleng lemah. "Nanti aja, Bu. Aku nggak laper, mau keluar sebentar, biar badanku nggak kaku karena kurang gerak."

_______

When You Love Yourself (Tamat)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora