Chapter 15

67 21 6
                                    

Berbohong paling hebat adalah menyembunyikan duka dari ribuan bahkan jutaan manusia yang ada. Salah satu alasan tidak ingin membagikan, yaitu tidak ingin kembali jatuh lebih dalam lagi ke curamnya jurang kepedihan.

---

Tangan kanannya benar-benar melayang menampar pipi pemuda di depannya. Tidak terduga sebelumnya, ia memiliki keberanian yang nyata, bukan angan semata. Setelah ini, tidak tahu apa yang akan terjad menimpanya.

Daniel menggertakan gigi, pandangannya melengos ke samping kanan dan tangannya memegangi pipi bekas tamparan. Teman-teman Daniel pun membulatkan bibir terheran-heran dengan apa yang barusan ditangkap oleh mata mereka.

Daniel menyeringai. "Oh, udah berani lo?"

Luna menatap tangan kanannya, memikirkan apa yang telah ia lakukan. Ia seperti setengah sadar, mungkin ini akibat dari emosi yang mengendalikan. Sekarang, Daniel murka. Luna tahu, hal pertama yang harus ia lakukan.

"M-maaf, Da-Daniel." Luna terbata-bata.

Daniel mendorong tubuh Luna sampai gadis itu terhuyung. Luna jatuh terkapar di rerumputan. Walaupun tergolong empuk, tetapi Daniel mendorong amat keras, rasanya tetap nyeri. Apalagi, pada bagian tulang belakang. Luna menangis.

"Daniel!" Teriakan itu berhasil membuat Daniel menoleh. Ia benci situasi seperti ini, ketika datang malaikat penyelamat, yang nantinya akan menyudutkan dan menyalahkannya.

"Lo keterlaluan, ya!" Gadis itu terlebih dahulu membantu Luna berdiri, membersihkan kotoran yang menempel di roknya.

"Lo emang nggak punya hati, nggak punya otak. Baj*ng*n!" Gadis itu--Juvita--mengumpati Daniel. Menurutnya, sangat cocok tersemat pada diri pemuda itu.

Luna masih terisak-isak, ia berlindung di belakang Juvita. Kondisinya saat ini sungguh menyedihkan, entah siapa yang harus disalahkan dalam kasus ini.

"Ju, kamu antar Luna pulang. Aku mau bicara sama Daniel." Ajeng sedari tadi menahan agar amarahnya tidak mencuat. Juvita mengangguk, ia memapah Luna untuk masuk ke mobilnya.

Sedangkan Ajeng, gadis itu menarik tangan Daniel--entah menuju ke mana. Ia harus berbicara kali ini, pemuda itu tidak bisa dibiarkan semena-mena. Kejadian tadi, sudah sangat keterlaluan, apakah pantas seorang laki-laki melukai fisik perempuan? Di mana letak kejantanannya?

Sedangkan kedua teman Daniel saling tatap, mereka lalu menggeleng bersamaan. Langit menggaruk tengkuk, merasa takjub. Sedangkan Afgar melongo tak percaya.

"Daniel beneran diseret sama Ajeng?" Langit bertanya. "Fan, pukul gue. Ini pasti mimpi."

Arfan langsung memukul kepala Langit dengan keras. Tentu saja pemuda itu meringis kesakitan, ini bukanlah mimpi. "Ya nggak usah kenceng-kenceng juga, Bedul!"

***

"Lepas!" erang Daniel, ia tak suka kala pergelangan tangannya ditarik paksa dan dicekal kuat.

Namun, Ajeng tak akan mendengarkan erangan Daniel. Ia memberhentikan angkot yang melewatinya, lalu memaksa Daniel untuk masuk ke dalam sana. Kebetulan, tidak ada penumpang--sepi, hanya mereka berdua.

Daniel awalnya menolak, tetapi Ajeng dengan kasar mendorongnya masuk. Lututnya sedikit nyeri karena terbentur ujung tempat duduk, Ajeng benar-benar beringas kali ini.

"Buruan jalan, Pak!"

"Lo mau culik gue ke mana, hah?" Daniel menghembuskan napas gusar, ia menutup hidung--tak betah dengan aroma khas angkot yang menyusup ke lubang hidungnya.

"Motor gue! Motor gue masih di parkiran, lo pengin motor gue ilang lagi? Asal lo tau, motor gue ilang kemaren waktu nolongin lo!" berang Daniel. Wajahnya memerah, ia seratus persen marah.

Ajeng menutup telinganya, meskipun ocehan Daniel yang beruntun masih bisa terdengar oleh telinganya. Ada rasa bersalah yang menjalar, tetapi konteks yang akan dibicarakan bukan itu. Nanti Ajeng akan membahasnya, tidak sekarang.

"Woi, Anjeng!" Daniel memelototkan mata, menyorot manik Ajeng tak teralihkan.

"Ajeng! Namaku Ajeng!" Ia kesal, karena mendengar Daniel sengaja memplesetkan namanya.

"Bodo, gue mau turun!" seru Daniel lantang.

"Silahkan kalo berani. Paling meninggal, kalo beruntung sih, cuma masuk rumah sakit aja," kata Ajeng, sembari bersedekap dada. Tak sedikitpun ia menatap ke arah Daniel, pandangannya menyorot perjalanan.

"Haduh ... kalian jangan berisik, deh. Ini lagu dangdut kesukaan saya jadi nggak kedengeran." Sopir angkot memprotes, melirik Daniel dan Ajeng dengan ketidaksukaan.

Akhirnya, keduanya memilih diam, tidak lagi bersuara. Daniel yang berkomat-kamit tidak jelas, sedangkan Ajeng yang bergelut dengan pikirannya sendiri.

***

Ajeng membawa Daniel ke sebuah tempat yang tak terlalu ramai. Pemandangan hijau menghiasai penglihatan, juga danau yang luas semakin menambah keasrian.

Daniel bergumam pelan, ia berpikir mengapa gadis itu membawanya sampai ke sini. Bukan tanpa sebab ia menurut, itu karena dompet dan ponselnya berada di dalam tas, dan tas itu tertinggal di parkiran bersama motornya. Bagaimana caranya ia pulang? Apakah ini akan menjadi musibah baru bagi Daniel?

Namun, terbersit pikiran aneh yang singgah di otak Daniel. Apa Ajeng menyukainya dan membawanya ke tempat ini untuk mengungkapkan perasaan? Ah, sangat konyol!

"Aku cuma mau ngeruqiyah kamu!"

Daniel membulatkan pupil matanya. "Lo pikir gue setan?"

"Iya," jawab Ajeng dengan ketus.

Daniel tak perduli, ia berjalan mendekat ke danau. Sorot matanya menatap pergelangan tangan yang sempat dicekal oleh Ajeng tadi, sial! Di sini tidak ada air bersih, seharusnya Daniel mencuci tangannya.

"Sampai kapan kelakuanmu terus semena-mena? Kenapa kamu dorong Luna? Waktu nolong aku, kamu bilang kalo kamu juga manusia dan masih punya hati. Terus, tadi apa?" Rentetan pertanyaan mulai mencuat dari bibir Ajeng, gadis itu melangkah pelan menyusul Daniel di tepian danau.

"Berisik lo." Daniel berkata ketus.

"Tinggal jawab, apa susahnya? Selagi kamu masih bisa ngomong, enggak ada yang tau takdir, siapa tau besok kamu mendadak bisu." Ajeng benar-benar membuat Daniel kalah telak dengan kalimatnya.

Daniel bergidik ngeri, membayangkan jika kalimat gadis itu menjadi kenyataan yang pahit. Ia menghela napas. "Gue harus jawab yang mana dulu?"

"Kapan kamu berhenti semena-mena?"

"Nggak tau."

Ajeng berdecak sebal. "Kenapa kamu dorong Luna?"

"Dia duluan yang tampar gue." Daniel menjawab yang sebenarnya, tidak melebih-lebihkan atau mengurangi.

"Luna nggak akan nampar kamu kalo nggak ada sebabnya! Pasti kamu duluan yang pertama mulai kericuhan, kan?" Ajeng menerka, tetapi ia pun sudah tahu jawaban yang sebenarnya.

Daniel menoleh ke belakang, di mana Ajeng berdiri. Baru aja ia ingin angkat bicara, tetapi sudah disela lebih dulu oleh Ajeng.

"Kamu tau? Luna udah hampir berhasil buat enggak suka lagi sama cowok kayak kamu. Dia baru aja mau sembuhin luka yang belum lama kamu ciptain, tapi tadi, kamu kasih luka baru lagi. Apa kamu nggak mikir, gimana rapuhnya Luna?"

"Orang tua pun menjaga anaknya, nggak pernah melukai hati anaknya. Sedangkan kamu? Kamu siapanya Luna? Sampai berani buat Luna nangis kayak tadi." Ajeng meluapkan kalimat yang sedari tadi mengisi otaknya, ia ingin Daniel sadar akan kelakuannya yang sudah kelewatan.

Daniel terdiam sebentar, mencerna rentetan kalimat yang diucapkan gadis itu padanya. Setelah itu, ia kembali angkat suara, "Lo pengen tau, kenapa gue bersikap semena-mena sama perempuan?"

_________

When You Love Yourself (Tamat)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora