Chapter 20

81 19 17
                                    

Note : Sejauh ini saya ngetik, chapter 20 adalah favorit saya.
Jangan lupa tabur bintang, ya!⭐

Semua manusia akan merasakan bahagia. Entah itu sekarang, besok atau lusa.

---

Suasana kelas nampak ricuh, tak ada guru yang berdiri guna mengajarkan materi. Semua jam pelajaran dikosongkan, para guru juga komite sekolah tengah mengadakan rapat dadakan.

Kondisi seperti ini sangat disukai siswa maupun siswi, terlihat semua tampak sibuk dengan urusannya. Rombongan gadis-gadis duduk melingkar di sudut kelas, tetapi tidak dengan Ajeng dan juga Juvita. Mereka memisahkan diri, duduk di tempat yang sudah biasa ditempati.

Juvita memakan camilan yang sengaja ia bawa dari rumah, memang sering seperti itu. Mulutnya penuh, tetapi tak membuat Juvita berhenti memasukan makanan ke dalamnya. Ajeng yang melihat hal itu geleng-geleng kepala, bahkan Juvita pun sudah kesusahan dalam mengunyah.

"Pelan-pelan kali, Ju, makannya." Ajeng mencibir.

Bersamaan setelah Ajeng mengakhiri cibirannya, Juvita tersedak. Gadis itu memegangi lehernya, lalu meminta kepada Ajeng untuk mengambilkan minum untuknya.

"Kubilang juga apa, pelan-pelan. Ngeyel, sih." Ajeng menyodorkan sebuah botol minum yang ia ambil dari dalam tasnya.

Juvita menyerobot botol minum itu, membuka tutup lalu menegaknya hingga tandas. Ia masih terbatuk-batuk, segala umpatan pun keluar dari mulutnya.

"Makanan sialan," umpat Juvita, ia mengelap bibir menggunakan lengannya.

"Makanannya nggak salah, ya. Kamu aja yang nggak kira-kira." Ajeng tetap menyalahkan Juvita, karena memang gadis itulah yang menyebabkan dirinya sendiri tersedak.

"Iya, iya." Juvita menjauhkan bungkus makanan tadi, lalu ia menyandarkan tubuh di pembatas kursi.

Juvita melirik gadis-gadis yang berkerumun di sudut pojok jelas, tertawa entah apa yang dibicarakan. Lalu, ia beralih ke kumpulan pemuda yang memainkan kartu-kartu yang Juvita pun tidak paham.

"Oh, ya, gimana persiapanmu sama Dhafi?" tanya Juvita dengan antusias. "Ngomong-ngomong, Dhafi ganteng juga, Jeng." Juvita terkekeh kecil.

Ajeng mencebikkan bibir, kesal dengan ucapan yang dilontarkan Juvita. "Aku aduin ke kak Agil mampus kamu." Ajeng mengancam dengan senyuman nakal.

"Eh, enggak-enggak. Pertanyaanku serius ini, udah mateng persiapannya? Tinggal tiga hari lagi, loh," ungkap Juvita, suaranya menunjukkan tanda-tanda keseriusan.

Ajeng mengangguk mantap. Ia bersama Dhafi telah menyiapkan rancangan-rancangan yang akan dibahas untuk kampanye beberapa hari yang akan datang.

"Wah, baguslah. Tapi, tentang ibu kamu? Ibu kamu tau kalau kamu masih nekat ikut OSIS?" tanyanya, kedua manik mata mereka bertemu, sehingga Juvita dapat sedikit membaca bagaimana perasaan Ajeng saat ini.

"Beberapa hari lalu ibuku marah, karena masalah ini. Tapi, Ju, aku nggak boleh nyerah gitu aja, kan?" katanya. Ajeng meninggikan suara di akhir kalimatnya, pun menegaskan.

Baru saja Juvita ingin membalas ucapan Ajeng, sosok gadis yang sudah jelas satu kelas dengan mereka menghampiri. Kedua tangannya dilipat dan disilangkan di depan dada, sudut bibirnya tertarik, sorot mata gadis itu memincing.

"Udah lah, Jeng. Lo itu sama sekali enggak pantes jadi Ketua OSIS. Lo bisa apa, sih? Lagipula, siapa yang mau pilih lo kalo lo pun ditidak sukai sama anak-anak SMA Lentera," tegasnya.

Mendengar itu, Juvita merapalkan sumpahan dalam hati. Tangannya pun mengepal keras, siap membuat pencipta cibiran itu tumbang dengan sekali pukulannya. Juvita memundurkan kursi yang ia duduki dengan kasar, lalu beranjak.

When You Love Yourself (Tamat)Where stories live. Discover now