8 | Lega

7.3K 1.1K 95
                                    

Agi


Senin, 29 Januari 2018

"Kita putus saja, Gi." Suaranya parau.

Kalimat Ody barusan adalah anak panah yang membelah jantungku tepat di tengah.

"Apa?" Aku gagal mengontrol reaksiku.

"Kenapa, Dy? Kenapa tiba-tiba?" Aku menggenggam erat kotak cincin di tanganku.

"Tiba-tiba? Apanya yang tiba-tiba?" Suara Ody meninggi.

"Ya-"

"Kamu sadar, hubungan kita sudah tidak sehat selama setahun belakangan? Terus kita berantem besar empat bulan yang lalu, dan nyaris tidak ada komunikasi sejak itu. Sudah empat bulan lebih kita tidak ketemu, Agi. Jadi seharusnya, kamu ganti pertanyaanmu itu. Bukan kenapa tiba-tiba, seharusnya kenapa baru sekarang? Kenapa gak dari dulu?" sambung Ody tanpa mengizinkan aku berbicara.

Air mata menghujani pipinya.

"Kenapa gak dari dulu bagaimana maksudnya? Kenapa tidak dari dulu putusnya? Ya karena aku tidak mau putus, Ody." Aku berargumentasi.

"Kalau kamu gak mau putus, kamu seharusnya tunjukkan effort untuk mempertahankan ini semua. Jangan kebiasaan rely ke aku saja. Aku capek merasa aku berjuang sendiri. Aku capek kita ini kalau gak bertengkar, ya saling diam. Kalau sudah begini, buat apa lagi dipertahankan?"

Aku tergugu. Apa yang dikatakan Ody memang benar. Hubungan ini tumbuh menuju kekacauan dan sepertinya sudah tidak ada yang bisa diselamatkan, hanya aku masih ingin mempertahankan.

Tidak semua orang paham, tapi saat kamu sudah bersama seseorang dalam waktu yang sangat lama; sekalipun kamu belum punya visi yang jelas bersama orang tersebut, kamu tahu, kelak jika kamu akhirnya merancang visi hidup, kamu akan membubuhkan seseorang itu sebagai prioritas nomor satu.

Begitu pula aku dan Ody. Prioritas kami mungkin berlawanan arah, tapi yang harus kami lakukan hanya menyelaraskan isi pikiran, karena aku yakin aku dan Ody masih ada harapan. Beda pendapat dengan pasangan itu biasa. Bukan pertanda hubungan tidak punya masa depan. Semua bisa dibicarakan.

Lamat-lamat aku menarik napas supaya tenang, kemudian diikuti satu hembusan panjang. Saat situasi sulit menyerang, menarik napas panjang sering digadang sebagai solusi manjur padahal ini kurang tepat.

Menarik napas dalam-dalam sesungguhnya terkait dengan sistem saraf simpatik, yang mengontrol respon aktif dinamis pada manusia dalam mengakali rasa cemasnya. Dalam situasi di mana saraf simpatik terlalu mendominasi, kita harus menyeimbangkannya dengan turut melibatkan saraf parasimpatik guna meningkatkan kesadaran serta ketenangan. Maka dari itu, menghembuskan napas panjang adalah salah satu metode yang sederhana namun signifikan dalam memberi efek relaksasi.

Namun, di situasi ini, rasanya seberapa panjang aku menghembuskan napas, aku tidak akan mencapai tenang yang aku ekspektasikan. Aku terlalu kalang kabut bahkan untuk sekadar bernapas normal.

"Bagaimana kalau kita bicarakan dulu, kita cari jalan tengahnya? Kita sudah bersama sejak sangat lama, Dy. Apa tidak sayang-"

Gadis itu menggeleng muram. "Kenapa harus menunggu sampai benar-benar berantakan kalau bisa dibereskan dari awal? Sekarang semuanya sudah telanjur."

"Oke, kita salah karena tidak membereskannya dari awal. Tapi at least sekarang kita sadar kalau ada banyak yang harus kita luruskan. So, mari kita perbaiki semuanya. Tidak ada kata telanjur, kan?"

"Ada alasan kenapa kata telanjur itu diciptakan," imbuh Ody. "Ya untuk menjelaskan keadaan kita sekarang. Sudah terlambat. Terlalu rumit untuk diperbaiki."

In Between In Between ✔️ | ODYSSEY vol. 1Where stories live. Discover now