9 | Saat

6.7K 1K 50
                                    

Agi

Rabu, 14 Februari 2018.

Aku mempelajari; bahwa sudah biasa intensi tersesat dalam makna.

Seberapa baik niatnya, belum tentu ditafsirkan sama.

***

Usiaku sudah menyentuh kepala tiga. Bukan waktu yang tepat untuk meromantisisasi berjuang dari nol. Jika kamu naif, itu beda cerita.

Apa romantisnya berjuang banting tulang siang dan malam demi rupiah yang tidak seberapa? Apa romantisnya tidur tidak nyenyak karena terpikirkan besok harus putar otak lagi, harus memenuhi kebutuhan dengan cara apa?

Bukankah hidup tenang itu jauh lebih menentramkan?

Hidup yang stabil, bersama keluarga mungil yang berbahagia. Ada rumah untuk beristirahat, juga kendaraan sebagai sarana gerak. Penghasilan cukup untuk kebutuhan primer, sekunder, maupun tersier. Cicilan terbayar sesuai tenggat waktu. Dana pendidikan anak dianggarkan dengan cermat. Tabungan dikalkulasi dengan teliti. Punya beberapa akun asuransi untuk perlindungan dari kemungkinan terburuk. Menikmati hari tua dengan damai, dikelilingi anak dan cucu di beranda rumah.

Seolah-olah manis, hidup bersama sejak sama-sama tidak punya apa-apa.

Tapi aku sudah dewasa, berpikir logis sudahlah sepatutnya.

Buat apa mengincar hidup yang manis? Lebih baik menerapkan langkah konkret yang lebih realistis.

***

Hanya saja, baru aku sadari bahwa selama ini aku lalai memisahkan dimensi idealisme dari visi hidupku yang aku klaim paling rasional se-Indonesia.

Aku inginnya aku mapan dulu. Aku inginnya dia menungguku.

Aku maunya masa-masa ini aku fokus meraih mimpi. Aku maunya dia memaklumi.

Perlu bertahun-tahun bagiku untuk menyadari betapa egoisnya aku selama ini.

Gadis itu paling paham betapa panjang dan melelahkannya proses untuk mencapai posisiku yang sekarang.

Sekolah kedokteran sekitar empat tahun, untuk mendapat gelar Sarjana Kedokteran. Selepas itu aku melanjutkan ke jenjang profesi; menjadi koas-berpindah-pindah dari stase satu ke stase lain dua tahun lamanya.

Selepas koas, aku harus berjuang di UKMPPD alias Uji Kompetensi Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter. Kalau lulus, barulah aku resmi bergelar dokter. Meski sudah bergelar dokter, apa aku sudah legal untuk menangani pasien? Sayangnya belum.

Aku masih harus menjalani masa internship selama satu tahun, sebagai syarat mendapatkan STR atau Surat Tanda Registrasi. STR ini kelak menjadi satu dokumen penting untuk memperoleh Surat Izin Praktek. Bisa dibilang, pada titik inilah aku akhirnya betul-betul sah disebut sebagai dokter umum.

Bagaimana, panjang sekali bukan?

Tapi bukan itu ujung ambisiku. Aku masih akan melanjutkan pendidikan. Untuk mengambil program spesialis pun, aku diharuskan memiliki pengalaman bekerja terlebih dahulu.

Inginnya aku fokus pada hal yang menurutku prioritas nomor satu, supaya lebih mudah untuk mengoptimalkan hasilnya. Kalau aku settle down sebelum aku menggenggam kehidupan ideal yang aku dambakan, aku takut aku kelabakan. Antara pendidikan, pekerjaan, dan keluargaku, apa aku sanggup membagi tanggung jawabku? Bagaimana kalau pada satu titik aku gagal menelan konsekuensi atas pilihanku?

Gadis itu meyakinkanku berkali-kali, bahwa; manusia didesain oleh Tuhan untuk bisa melakukan banyak hal bersamaan. Ada banyak hal yang tidak bisa menunggu. Tidak apa-apa kita melaksanakan beragam ihwal dalam satu waktu.

Dulu aku tidak percaya. Gadis itu berkata; aku hanya perlu berhenti meragukan kemampuanku. Ada yang bersedia menunggu, ada yang tidak bisa ditunggu.

Daripada terus menerus bertanya apakah aku bisa, mengapa tidak aku coba?

Aku baru sadar, selama ini aku memaksa dunia untuk berotasi di sekitar kepentinganku.

Aku terlambat sadar, egoku telah melukainya dengan keji. Aku adalah pengecut yang gagal menghantarkan kata pasti. Aku adalah pecundang yang hanya peduli diri sendiri. Aku adalah bajingan yang tidak mau ambil pusing dengan mereka yang telah susah payah mendampingi.

***

Mataku mengamati papan menu dengan saksama, mengamati setiap pilihan. Sebuah kewajiban sekaligus kebiasaan meski aku tahu apa yang akan aku pesan.

"Pesan apa?" tanya perempuan dengan rambut ikal sebahu.

Dengan cepat, telunjukku menunjuk papan menu bagian kanan bawah, seperti biasa. Gadis itu adalah segelas sari buah dingin yang mengaliri kerongkongan di hari yang terik.

"Srawberry and canteloupe."

"Okay. Mau berapa?"

"Enam botol ya. Bisa pakai debit, gak?"

Perempuan itu mengangguk singkat. Sementara tangannya cekatan memindahkan setengah lusin botol berembun berisi cairan tidak pekat warna merah pucat.

***

Aku minta maaf.

Mari kita perbaiki semuanya.

Pesan terkirim.

---

Terima kasih sudah membaca! Jangan lupa vote, comment, dan share cerita ini supaya bisa ditemukan jauh lebih banyak pembaca! :)

In Between In Between ✔️ | ODYSSEY vol. 1Where stories live. Discover now