10 | Itulah

6.5K 1K 112
                                    

Ody

Sabtu, 3 Maret 2018

Interior dominan sentuhan travertine classico dengan aksen sequoia brown marble kini resmi menjadi pemandangan sehari-hari. Adalah apartemen Hugo, tempat aku menghabiskan nyaris seluruh waktu istirahatku. Unit ini sangat luas, ditambah kepiawaian Hugo dalam meracik komposisi ruang, bentuk, material, dan pencahayaan; unit ini memancarkan aura megah sekaligus kesan homy.

Sudah satu jam aku menghabiskan waktuku di depan cermin bundar raksasa berbingkai warna emas. Aku menata rambutku yang mulai memanjang dengan teliti. Tak lupa memulas wajahku dengan riasan yang rapi. Feathery brows? Cek. Subtle contour? Cek. Glitter all over the eyelid? Cek. Sharp eye liner? Cek. Natural falsies? Cek. Coral blush? Cek. Champagne-coloured highlighter? Cek. Glossy lips? Cek. Aku mengatupkan mata dan mulut, membiarkan partikel halus setting spray mengunci seluruh riasanku. Selesai.

***

Aku mendekat pada Hugo. Pria itu tidak membagi pandangannya dari bentangan kertas floor plan di atas drafting table, pulpen di tangannya menggores-gores beberapa bagian di atas kertas. Sesekali ia menggeser kursinya dan memindahkan fokusnya pada iMac yang terletak pada meja kayu jati di sudut ruangan.

"Kenapa, Go?" Tanganku menopang pada bahunya.

"Biasa. Kita butuh tambahan lima puluh senti dari perimeter ujung lantai dua. Tapi secara struktur tidak memungkinkan, terlalu berat. Jadi ya aku harus rombak lagi," keluh Hugo. Kepalanya ia miringkan sedikit, bibirnya saling menekan rapat ke dalam.

Aku mengangguk saja meskipun tidak paham.

"Ribet ya, Go?" Aku mencondongkan tubuhku, memeluk lehernya dari belakang. Daguku kudaratkan di puncak kepalanya, sementara mataku meninjau pekerjaannya. Terlalu banyak garis dan simbol yang saling bertumpang tindih, belum lagi angka-angka yang menandai setiap elemen dalam floor plan dengan teliti.

"Iya nih." Telapak tangan kirinya mengusap pergelangan tanganku, sementara tangan kanannya ia gunakan untuk membereskan gulungan-gulungan kertas yang berserakan.

"Masih lama gak?"

Hugo memutar posisi duduknya. "Nggak sih." Bibirnya memajang senyum mungil begitu mata kami bertemu.

"Go, bajunya terlalu casual gak sih?" Aku mematut-matut diriku di hadapannya, meminta pendapat. "Aku lupa bawa baju yang agak formal. Malas kalau harus balik lagi."

Hugo menatapku tanpa berkedip. Kuperhatikan ia sedikit menjatuhkan rahang bawahnya.

"Kamu selalu cantik pakai apapun," komentarnya.

"Bener nih?" Aku memastikan.

"Apalagi kalau gak pakai apapun," sambungnya sambil menaik turunkan kedua alis.

Hugo bersiul. Aku melempar satu set suit yang aku pilihkan dari walk in closet-nya. Nyaris mengenai wajahnya, untungnya ia berkelit.

***

Hari ini adalah weekend yang tipikal, di mana aku akan menghadiri kondangan (lagi-lagi), hanya dengan gandengan yang berbeda. Aku merias wajahku dengan jauh lebih teliti hari ini, dan mengenakan jumpsuit warna mint dengan aksen sheer cape. Di sebelahku, tubuh Hugo menjulang. Aku mensyukuri jarak tinggi badan yang cukup di antara kami, sehingga aku tidak perlu ragu-ragu lagi mengenakan sepatu hak tinggi seperti setiap kali aku jalan di sebelah Agi.

Ah, things I did to brush his motherfuckin ego.

Tidak hanya pura-pura mendesah sebagai bentuk respon terhadap skill eksplorasi kenikmatan seksual yang tidak ada nikmat-nikmatnya sama sekali, aku juga harus menahan hasrat untuk tidak mengenakan sepatu tinggi demi menjaga rasa minder Agi. Biasanya setiap menghadiri acara wedding, aku akan menggunakan sepatu flat. Absurd, memang. Padahal high heels adalah salah satu komponen penting dalam formal fashion bagi wanita.

In Between In Between ✔️ | ODYSSEY vol. 1Where stories live. Discover now