14 | Semoga

4.8K 805 70
                                    

Ody


Kamis, 29 Maret 2018.

Aku menekan bel.

Saat pintu apartemen terbuka, kusaksikan Hugo di sana, mengenakan apron warna hitam, sarung tangan kain, dan memegang sebuah capitan alumunium.

"Kenapa?" tegur Hugo lembut.

Bergegas ia lepas sarung tangan, serta capitan itu asal-asalan ia letakkan. Kedua telapak tangan itu kini ditempatkan di sisi samping wajahku.

Aku tidak ingin episode tangisku diperpanjang, tetapi perhatian Hugo melumerkan pertahanan air mataku. Sontak, aku menghambur, air mataku menghujani apron itu tanpa basa-basi.

Hugo mendekapku tanpa suara, tangannya sesekali menghadiahi tepuk mungil di kepala dan punggungku.

"Cantik, ada apa?"

Aku membuka bibirku, menarik segumpal udara dari sana karena hidungku mampat. Tahukah kamu, saat kita menangis, air mata tidak hanya jebol di mata, tapi juga bocor ke saluran ujung mata yang terhubung langsung ke hidung, yaitu duktus nasolaktimal. Begitu kata Agi setiap aku menangis hebat dan berujung kerepotan dengan lendir yang mendadak ramai di hidung. Duktus nasolaktimal, duktus nasolaktimal. Dua kosa kata asing itu membuat seduku terpental-pental.

Agi lagi, Agi lagi.

Sedihku ruah kembali. Kamu tahu, saat kita menyakiti orang lain, sebenarnya kita sedang menyakiti diri sendiri. Aku mungkin tidak terlalu merasa berdosa saat bermain api, karena aku berpikir aku hanya menyalakan api untuk menghangatkan tubuhku sendiri, menyelamatkanku dari dingin tidak bertepi yang tercipta dari hubunganku dan Agi. Namun aku tidak berpikir bahwa api yang aku sulut akan menyambar ke segala penjuru. Aku tanpa sadar melukai Tante Yohan, yang sudah lama kuanggap sebagai ibu.

"Kita gak boleh begini, kan, Go?" lirihku.

"Coba jelaskan, aku gak paham," geleng Hugo.

Napasku berat di dada. "Main di belakang Agi."

Hugo meloloskan tubuhku dari lengannya.

"Kenapa? Kamu baru sadar sekarang? Apa sekarang kamu menyesal?" ketusnya.

Aku menggigit bibirku keras-keras, berusaha untuk menjaga atmosfer kami tetap ramah. Aku tidak ingin menyambung kesedihanku dengan pertengkaran.

"Aku bertemu ibunya Agi."

Kedua alisnya naik, dagunya ia mundurkan. "Kok bisa?"

"Mampir ke tokoku, beli hampers."

Kemudian, aku memaparkan seluruh yang terjadi pada hari ini. Tante Yohan, udang saus mentega, puluhan paket hampers, serta ekspektasinya tentang hubunganku dan Agi yang sejatinya telah lama kandas.

Hugo mengulum bibir. "Lalu?"

"Aku merasa bersalah, Hugo."

Tangisku tumpah lagi, Hugo kembali membalut ragaku dengan peluk. Ia sabar mendengar isakku.

"Rhapsody, aku mengerti maksudmu, tapi, kamu juga harus mengerti, bahwa kamu tidak bisa bertanggung jawab dengan perasaan semua orang, termasuk perasan mamanya Agi," tutur Hugo setengah berbisik.

"I know."

"Meskipun kita inginnya membahagiakan seluruh manusia, kamu tahu kan, satu-satunya yang bisa kamu kendalikan, hanya dirimu sendiri?" sambung Hugo.

"Iya."

"Apa kamu berbahagia dengan hidupmu sekarang?" Hugo menatapku dengan welas asih.

Aku melekatkan pelukanku pada pinggang Hugo.

In Between In Between ✔️ | ODYSSEY vol. 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang