30 | Karena

4.5K 696 353
                                    

Hugo


Sabtu, 1 September 2018

Dokter Andra meninggal dunia kemarin. Begitu aku menerima kabar tersebut, aku langsung mengemudi ratusan kilometer jauhnya--karena jasadnya akan disemayamkan di Bandung, tanah kelahirannya.

Hari ini adalah misa rekuiem--misa pemakaman Dokter Andra.

Dan di sinilah aku.

Namaku Hugo--pria dewasa berusia 27 tahun, berdiri tegak di tengah katedral, di sela jemaat. Dalam ragaku, aku merasa aku masih Hugo delapan tahun yang lalu, saat menerima kabar itu. Suatu hari di tahun 2010, saat aku sedang sibuk dengan studiku.

Sebuah telepon menginterupsi waktu senggangku. "Hugo, lagi di mana?"

"Di kampus, Yah. Lagi nunggu lecture selanjutnya." Aku mengepit ponsel di telinga dan bahu. Australia sedang dingin-dinginnya saat itu. Hembusan anginnya sanggup membuat indera perabaku beku.

"Pulang, Hugo." Suara ayah parau "Ibumu meninggal."

***

Aku benci ibuku. Masih hingga saat ini.

Bagiku, ibuku diciptakan untuk menyusahkan. Semasa napasnya masih berhembus, hidupku dibuatnya berantakan. Masa kecilku tak karuan. Aku jadi korban dua orang dewasa yang saling melempar amukan. Ketakutan yang nyaring dalam kepala--ialah satu-satunya teman.

Aku sungguh kesepian. Jika bukan karena Anis sepupuku, aku tidak akan mencicipi namanya pertemanan. Aku sendirian dan selalu menyendiri di berbagai kesempatan.

Memasuki SMA, ayah dan ibu rujuk. Katanya, mereka berniat memperbaiki yang telah buruk. Memugar yang telah lapuk. Menyegarkan yang telah busuk. Bukankah itu muluk-muluk?

Aku mual menyaksikan ayah dan ibu menikah lagi. Secara katolik, sekali terikat, mereka selamanya suami istri. Pernikahan adalah persekutuan seumur hidup--secara harfiah, selama jantung masih berdegup, selama itulah dua insan dihitung satu--sanggup maupun tidak sanggup.

Maka, sah saja aku berdoa supaya salah satu dari mereka mati. Karena sungguh, aku jijik. Buat apa mereka bersatu kembali? Tiada guna, karena jiwaku sudah menyerpih tak terkendali. Begitu muaknya sampai aku memutuskan untuk pergi--angkat kaki dari negeri yang menjadi saksi semilyar histori.

***

Aku benci ibuku. Kubilang, aku benci ibuku.

Aku menyumpahi ia supaya cepat mati. Bagiku, ibu adalah nomor satu penyebab sakit hati. Luka-lukaku tidak akan selesai terurai meski ibu sujud bertahun-tahun di kaki.

Namun mengapa begitu Tuhan mengambilnya, mengapa yang aku rasakan hanya hampa?

Ibu--semasa hidupnya membuatku kesal, sepeninggalnya menyisakan sesal.

Semasa hidup, yang kuingat hanya bagaimana ibu pergi menemui laki-laki lain--melepas bajunya, dan bercinta dengan siapa saja. Ibu hanya wanita licin yang tidak pernah kehabisan akal untuk memuaskan hasratnya yang dangkal. Ibu hanya sosok hina yang cuma peduli egonya, tidak pernah peduli darah dagingnya.

Ibu hanya bedebah yang membuat ayah marah. Sebut aku berat sebelah, tapi yang aku katakan tidak salah. Ayah tidak akan memukuli ibu, andai perbuatan ibu tidak parah. Ayah dan ibu tidak akan bercerai, andai ibu tidak serakah.

Nahas. Begitu mati, sayap ibu tumbuh pada arwahnya. Begitu aku melihat tubuhnya terbujur kaku, yang kuingat hanya yang baik-baik saja dari ibuku--hal-hal bejat yang dilakukannya, entah menguap ke mana.

Aku jadi ingat bagaimana ibu selalu membelaku supaya tidak kena marah ayah--saat aku memakan cokelat berkali-kali meski sudah dilarang karena aku selalu mengeluh sakit gigi. Aku terkenang bagaimana ibu bermain piano dan aku duduk di sampingnya, menatap wajah memukau itu tanpa kedip.

In Between In Between ✔️ | ODYSSEY vol. 1Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu