33 | Bahwa

4.4K 694 217
                                    

Agi


Selasa, 7 April 2015

Konsentrasiku menelaah American Journal of Ophtamology--diinterupsi oleh kehadiran serangga menjijikkan bertubuh oval, pipih, warna cokelat tua.

"Shoo!" usirku pelan. Aku takut sekali kecoak. Setiap bertemu kecoak, rasanya aku ingin kencing di celana.

"Shoo! Shoo!" Berkali-kali aku usir, kecoak itu tetap diam di sana--bahkan mulai membentangkan sayapnya.

Aku yakin wajahku sudah sepucat mayat. Dengan hati-hati, aku bangunkan Ody. "Dy, Ody. Bangun, Dy."

"Apaan sih bangunin tiba-tiba. Aku kan lagi enak tidur." Ody sayup-sayup meracau.

"Ada kecoak, Dy. Tolongin ... "

Mendengar kata kecoak disebut, Ody dengan sigap bangun. Melompat, meraih sandal indoor. Pletak. Getokan Ody menggepengkan tubuh kecoak tersebut dalam sekali hantam, kemudian ia mengambil tisu guna membungkus jasad serangga.

Sebelum ia buang ke tempat sampah, tentu saja Ody sempat menggodaku, "Nih, buat camilan!" Ody pura-pura menyodorkan gumpalan tisu di tangannya. Aku bergidik jijik.

***

Ody bersiap-siap kembali berlayar ke alam mimpi. Aku tersenyum. "Thank you, Rhapsody."

"Ya," jawab Ody sembari memejamkan mata. "Apapun yang bikin kamu takut, sini biar aku yang hadapin. Hewan menjijikkan? Sini aku geplak. Temen brengsek? Sini aku hajar. Konsulen galak? Sini aku gebuk."

Aku tersenyum geli. "Hmm, tapi, konsulen paling galak, ya ... Dokter Dhanti." Takut-takut, aku menyebut nama ibunya Ody, beliau dikenal sebagai konsulen alias dosen paling ditakuti semasa aku berkuliah dulu.

Ody tergelak. "Oke, aku tarik kata-kataku. Aku gak mungkin gebukin ibuku sendiri."

Aku merekatkan jarak. "Boleh peluk?" bisikku pelan.

Ody membulatkan matanya. Mata penuh kantuk itu berbinar. "Ayo berpelukan." Kemudian, ia memelukku erat-erat.

Sementara, rasa bersalahku semakin menjerat. Ody menggeliat. "Gi, sebentar. Aku hampir lupa."

Ody meninggalkanku, untuk kembali dalam sekejap mata, dengan dua tangan tersembunyi di balik punggung. "Hapemu rusak ya, Gi?"

"Iya, jatuh."

Benar, jatuh. Jatuh dengan sengaja. Aku melemparnya saat sedang diserbu nafsu besama Celia.

"Tadaaa!" Ody menyodorkan tote bag warna hitam dengan logo apel tergigit. Aku terkesiap saat Ody menjejerkan isi tote bag tersebut. Sebuah kotak ponsel iPhone model teranyar, lengkap dengan casing tambahan berwarna hijau. Ody paling tahu warna kesukaanku.

"Nih, hijau tahi ayam. Kesukaan kamu, kan?" Ody nyengir.

"Dy, apa tidak berlebihan?" Aku memandang seluruh pemberian Ody dengan ragu.

Ody mengernyit. "Berlebihan apa? Kamu butuh handphone, kan?"

"Iya sih ... " Aku berpikir akan bertahan saja dengan ponsel sekaratku tapi sungguh sangat menyusahkan. Baru saja aku berpikir akan memberi ponsel baru begitu gajian, tapi Ody sudah duluan membelikan. "Dy, kamu sudah terlalu banyak memberi, sementara aku rasanya belum pernah memberimu apa-apa," lirihku.

"Kamu di sini saja aku sudah senang, kok. Beneran!" seru Ody dengan wajah berseri-seri.

Mataku memberat. Yang ada di pikiranku kala itu adalah, aku harus segera mengakhiri hubunganku dengan Celia.

In Between In Between ✔️ | ODYSSEY vol. 1Where stories live. Discover now